NovelToon NovelToon

Sampai Bulan Januari

01. Sampai Bulan Januari: Bar

"Hai, guys! Sekarang kita lagi di mana?" Pekikan nyaring seorang gadis di dalam sebuah ruangan bising dengan pencahayaan remang-remang, tak lantas membuat beberapa teman-temannya yang juga ikut serta di belakang, mencoba untuk menghentikannya.

Bahkan, beberapa temannya yang sengaja berpakaian seksi dengan make up yang lumayan tebal terus melambaikan tangannya pada layar ponsel.

"Kita lagi di bar! Huuu!" Teriak salah satu temannya yang berpakaian tipis nan ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang begitu sempurna, Anne.

"Eh, Ra! Lo baru pertama kali 'kan ke sini? Say hi dong sama followers guee!" Vinca, si gadis yang sempat memekik lantang di depan layar ponselnya, menyahut pada satu orang temannya yang sedari tadi hanya diam di tempat. Tampak raut wajah tak nyaman yang dia perlihatkan.

Bisa dibilang, Vinca sedang mencoba siaran live di akun instagram miliknya. Followers Vinca sendiri lumayan cukup banyak, sekitar sembilan ribuan.

"Hai! Gue, Laura!" Dengan gelagat gugup, gadis bernama Laura itu mulai tersenyum seraya melambaikan tangan. Sesekali, Laura akan membenarkan tatanan pakaiannya yang terlalu minim.

Walau bukan hal tabu lagi jika Laura sering berpakaian seksi, tetapi, pakaian yang kali ini dia kenakan terlalu seksi. Sampai rasanya terlalu memperlihatkan lekuk tubuhnya yang cantik.

"Eh, eh! Eric belum ke sini?" Anne menyahut pada Laura. Bisa dibilang, diantara teman-teman Laura yang lain, Anne adalah yang paling dekat dengan Laura.

"Em, kayaknya masih di jalan. Bentar gue coba telepon,"

Bertepatan dengan Laura yang berucap demikian, Vinca mematikan siaran live-nya. Saatnya untuk melakukan foto-foto selfie.

"Eeh, ikutan dong!" Juwita, yang juga salah satu temannya, menyahut heboh tatkala melihat Vinca mulai membuka kamera instagram. Tak ayal, gadis itu juga mulai memilah beberapa filter yang akan dipakai untuk membuat wajahnya terlihat semakin cantik lagi.

"Eh, gue juga dong! Ayo, Ra!" Anne ikut-ikutan, seraya menarik Laura supaya mendekat.

Tanpa ragu, Laura mulai berekspresi paling cantik bersama teman-temannya. Sesekali, mereka akan tertawa renyah saat melihat hasil selfie mereka yang beberapa diantaranya terlihat sedikit buram. Namun, mereka akan bersorak gembira saat foto selfie mereka tampak sempurna dari berbagai sisi.

"Ih, lo cantik banget sih, Raa! Jadi iriii!" Ucapan itu terlontar dari mulut Vinca yang spontan diangguki Juwita.

Sialnya, hanya karena pujian yang memang spontanitas itu, membuat Anne yang sedari tadi memasang senyum dan tawa yang lebar lantas mengganti raut wajahnya menjadi dingin.

"Coba sini lihat!" Terlanjur kesal, Anne merebut ponsel Vinca. Menatap nyalang hasil foto selfie tersebut.

Benar saja. Seperti yang dikatakan Vinca, diantara mereka berempat, Laura terlihat paling mencolok dengan senyuman manisnya. Walaupun jika dibandingkan dengan Anne yang berkulit seputih salju, kulit Laura terlihat berwarna kuning langsat, namun aura cantiknya tetap tidak bisa dikalahkan.

Sial! Capek-capek gue suntik putih, tetep aja si Laura yang paling kelihatan menonjol. Batin Anne menggerutu.

"Eh, iya! Lo cantik banget sih, Ra! Coba posting, deh. Pasti banyak yang like." Seolah melupakan kekesalannya, Anne balik memuji dengan raut wajahnya yang berbanding terbalik dengan isi hatinya.

Dipuji habis-habisan oleh teman-temannya tak membuat Laura meninggi. Justru gadis itu malah tersipu dengan sesekali akan menyenggol lengan teman-temannya.

"Apaan, sih! Kalian juga cantik tahuuu! Lihat, deh. Juwita cantik banget pas bibirnya dimajuin. Cute gitu. Vinca juga manis bgt pas matanya merem sebelah gini. Anne apalagi. Kulitnya putih, cantik. So, kita semua tuh cantikkk!" Laura merangkul bahu teman-temannya dengan begitu tulus. Sayangnya, jauh di dalam lubuk hati teman-temannya, mereka tidak demikian seperti Laura.

"Ekhem! Lagi sibuk apaan, nih?" Sahutan rendah yang terdengar familier, seketika membuat perhatian keempat gadis cantik itu mengalihkan perhatian.

Ketika sama-sama menoleh, senyum di wajah Laura dan Anne langsung tercetak.

"Eric?"

"Akhirnya dateng juga!"

Laura refleks mengernyit bingung saat dia dan juga Anne berucap berbarengan. Jujur saja, Eric adalah pacarnya, tetapi kenapa justru Anne yang senang?

Melihat tatapan curiga dari Laura, dengan cepat Anne tertawa renyah. "Gue tuh cemas, takutnya entar gak ada yang bawa lo pulang, Ra! Sorry, ya! Gue gak maksud, kok."

"Oh. Kirain." Tanpa berniat memperpanjang, Laura berlari memeluk Eric. Begitupula dengan Eric yang langsung memeluk pinggang ramping Laura, lalu diakhiri dengan mencium mesra dahinya.

"Kangen." Ucap Laura, yang dibalas kekehan pelan oleh Eric.

"Sama. Em, nyari tempat duduk, yuk!" Ajakan Eric, dibalas anggukkan antusias oleh Laura.

Tak berapa lama, perhatian Eric beralih pada teman-temannya Laura. Namun, yang membuat Eric mengerutkan dahi adalah, salah satu teman Laura yang memperlihatkan raut wajah tak biasa. Sialnya, Eric dibuat terpesona sepersekian detik. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering hanya karena menatap gadis itu, Anne.

"Guys, gue sama Eric mau nyari tempat duduk buat berdua. Kalian gue tinggalin dulu, gak pa-pa 'kan?"

"Eh, iya santai aja,"

"Gak balik lagi juga gak pa-pa. 'Kan, Anne?" Juwita menepuk lengan Anne, membuat gadis itu tersadar dengan apa yang tengah ia pikirkan.

"Ah, i-iya. Nanti kabarin lagi aja kalau udah mau balik."

...****...

"Er!" Laura memanggil Eric yang sedari tadi tampak tidak fokus menyesap ujung rokoknya.

"Hm."

"Menurut kamu, Anne orangnya gimana?" Eric seketika memokuskan perhatiannya pada sepasang bola mata Laura yang menatapnya penuh ragu.

"Kenapa? Kamu takut aku diambil Anne? Bukannya kalian temen?"

"Bu-bukan gitu. Aku cuman nanya aja." Laura membuang muka seraya sedikit menjauhkan diri dari Eric.

Eric yang paham lantas mematikan rokok, memusatkan perhatian seluruhnya hanya pada Laura. Tangan kekarnya yang menganggur mulai nakal menyentuh sensual pinggang Laura.

"Dia biasa aja. Lebih cantikkan juga kamu. Aku tuh orangnya setia, gak mungkin aku selingkuh sama cewek lain. Apalagi ceweknya teman dari pacar sendiri."

Raut wajah Laura langsung berubah ceria selepas mendengar buaian Eric. "Iya, deh. Aku percaya." Balas Laura, kemudian memeluk lengan Eric sampai tanpa sadar, dadanya dibuat menempel dengan lengan Eric.

Dan, ya. Hal itu membuat Eric lagi-lagi dibuat terpancing untuk kedua kalinya di malam yang sama.

Pertama karena Anne yang memperlihatkan raut wajah nakal, kedua karena Laura yang dengan nakal menempelkan asetnya.

Entah gadis itu sadar atau tidak, yang jelas, Eric merasakan bagian bawahnya mengeras hanya karena hal itu. Otaknya bahkan ikut memikirkan hal yang tidak-tidak bersama Laura.

"Laura!"

"Hm."

Seberusaha apa pun Eric menahannya, yang terjadi saat ini adalah bagian bawahnya semakin tersiksa. Tanpa memberikan aba-aba, tangan Eric yang satunya mulai membelai paha bagian dalam Laura, sampai membuatnya tersentak hingga berakhir mendorong Eric.

"Eric!" Laura yang pada dasarnya tidak suka disentuh dengan cara demikian, jelas saja dia mengamuk.

Bukannya merasa bersalah, Eric justru menampilkan rona kekesalan di wajahnya. "Kenapa sih, Ra? Kita 'kan di sini have fun! Sekali aja, Ra! Masa lo-"

"Enggak! Gue udah janji sama diri gue sendiri untuk nggak ngelakuin hal itu sebelum adanya ikatan pernikahan. Lagian, gue masih SMA! Lo mungkin bebas karena lo udah kuliah!" Laura menghela napas berat seraya melipat kedua lengannya di depan dada.

Sungguh, sikap yang paling Laura benci dari Eric adalah yang satu ini. Suka menyentuh seenaknya.

"Ck! Ya udah, oke! Maaf! Lain kali gue gak gini lagi."

Pasrah? Iya!

Walaupun Eric bukanlah cowok baik-baik, tetapi Eric tidak bisa memaksa Laura yang memang tidak mau. Bagi Eric, dia bisa melakukan **** dengan siapa pun asal partnernya menginginkannya.

Jika tidak mau, Eric juga malas!

"Gue mau pulang aja." Laura sudah berancang-ancang hendak melenggang dari dalam ruang VIP di bar tersebut.

Melihat gerak-gerik Laura yang mulai menenteng tas, buru-buru Eric mencegahnya. "Gue anterin."

"Gak usah! Sekarang mending lo introspeksi diri atas apa yang udah lo lakuin sama gue!"

"Tapi, Ra-"

"Setop! Gue gak mau denger apa pun."

...****...

Anne yang tengah tertawa lepas bersama Juwita dan Vinca, pun ditemani dengan tiga orang pemuda tampan, dibuat terdiam saat menyaksikan Laura berjalan tergesa-gesa dari dalam bilik VIP.

Raut wajahnya terlihat begitu kusut, apalagi ketika Eric tampak berlari menyusul Laura. Sayup-sayup Anne mendengar permintaan maaf dari Eric yang tidak direspons oleh Laura.

"Ha, kesempatan."

"Kesempatan apa?" Salah seorang pemuda yang duduk di samping Anne, mulai merangkul bahunya sensual. Salah satu tangannya yang lain bahkan dengan terang-terangan menyentuh paha mulus Anne yang terekspos.

Bukannya merasa risih seperti hal yang dirasakan Laura, Anne justru sebaliknya.

"Ah! Buru-buru banget?" Anne menarik leher pemuda itu yang tampak semakin kelaparan setelah mendengar ******* Anne.

"Mau booking?"

"Di mana?"

Pemuda itu terkekeh, seraya mendekatkan mulutnya ke salah satu telinga Anne untuk membisikkan sesuatu. "Hotel."

^^^To be continued...^^^

...Laura Anatasha Relieska...

*Btw, nama Anne itu dibacanya bukan Aneu, bukan juga Ana, An apalagi, tapi En. Oke? Sip, sekian:*

Cerita ini agak kurang belaian kasih sayang. Jangan heran kalo sikap dan sifat para castnya agak laen wkwk. But, cmn di awal doang, kok. Selebihnya, ENGGAK!

02. Sampai Bulan Januari: Pertengkaran Keluarga

Anne terkekeh sarkas mendengar ajakan itu. "****! Gue mau Eric!" Anne mendorong tubuh pemuda itu cukup kuat, sehingga membuatnya menyingkir dari tubuhnya.

Anne kemudian bangkit dari sofa. Berjalan penuh kharisma melewati beberapa orang-orang di bar untuk menyusul Eric.

"Eric!" Anne memanggil Eric yang ternyata tengah bersantai dekat pintu masuk bar dengan ditemani seorang wanita cantik yang menuangkannya sebuah minuman.

"Wtf!" Anne menggerutu sebal, kemudian memilih menduduki salah satu kursi di depan Eric. Tangan wanita cantik itu yang dengan sembarangan membelai dada bidang Eric tepat di depan matanya, membuat Anne sedikit tidak rela.

"Eric!" Anne kembali memanggil nama Eric dengan begitu manja.

Eric yang tengah menyesap rokoknya hanya menoleh sekilas. "Kenapa?"

"Sama gue, ayo!" Eric sempat dibuat terbatuk oleh ajakan ambigu dari Anne. Tanpa pikir panjang, Eric menyuruh wanita yang tengah menemaninya itu untuk pergi. Tak lupa memberikan tip.

"Maksud lo?"

Anne tidak menjawabnya dengan lisan, melainkan dengan gestur tubuh serta ekspresi nakalnya. Eric yang paham pun terkekeh seraya mematikan rokoknya.

"Cepe, mau?"

"Gue gak jualan. Gue cuman mau have fun!" Ujar Anne, diakhiri menggigiti bibir bawahnya.

Jika sudah ada tawaran menggiurkan begini, siapa juga yang akan menolak? "Gas! Gue akan buat lo inget, gimana rasanya kalau lo berani mancing-mancing gue."

...****...

Sesampainya di rumah, Laura langsung meraih ponselya. Melirik waktu yang telah menunjukkan pukul satu dini hari. Diam-diam Laura mengembuskan napas lega. Pikirnya, di jam segini kedua orang tuanya pasti telah tertidur. Tanpa pikir panjang, Laura mulai merogoh kunci pintu. Membukanya perlahan sampai akhirnya terbuka sepenuhnya.

Sebelum benar-benar masuk, Laura menyempatkan diri untuk menatap sekitar ruangan yang tampak begitu gelap. Lampu-lampu di berbagai sudut sudah hampir dimatikan semua. Karena takut salah injak, Laura memutuskan menghidupkan senter.

Aman. Batin Laura saat tak mendapati siapa pun di sana.

Dengan langkah tergesa-gesa, Laura berlari dengan kedua kaki yang berjinjit menuju kamarnya. Sesekali Laura terus memanjatkan doa, berharap semuanya lancar sampai dirinya tiba di dalam kamar.

Dan, sepertinya Tuhan memang sedang berpihak pada Laura. Sesampainya di kamar dan menutup pintu dengan perlahan, tidak ada tanda-tanda akan orang tuanya.

"Akhirnya bisa bernapas lega!" Gumam Laura, kemudian menyalakan lampu kamar.

Lagi-lagi Laura dibuat bernapas lega. Padahal, dia sempat curiga jika orang tuanya tengah bersembunyi di dalam kamarnya. Namun ternyata, semuanya tak lebih hanya ketakutannya belaka.

Untuk menghancurkan bukti, Laura bergegas mandi untuk menghilangkan aroma alkohol dan rokok yang melekat di tubuhnya. Walau sejatinya Laura tidak minum, terkadang tubuhnya ikut terpapar aroma dari alkohol, pun dari asap rokok yang paling dominan.

Tak hanya mandi, Laura pun mulai memasukkan pakaiannya ke dalam mesin cuci.

Malam ini, Laura tidak akan membiarkan siapa pun mengetahui jika dirinya baru saja keluyuran dari sebuah bar remang-remang.

...****...

"Laura! Buka pintunya! Mama tahu kamu di dalam! Laura!" Suara teriakan yang diiringi dengan gedoran kasar di balik pintu, membuat Laura mengerang dalam tidurnya.

Ketika mencoba membuka mata, pukul tujuh pagi tertera gamblang di dinding kamarnya. Pikir Laura, hari ini adalah hari sabtu, ngapain mamanya teriak-teriak?

"LAURA!" Nada teriakan mamanya terdengar meninggi. Dengan sangat terpaksa, Laura pun bangkit dari tempat tidur. Kedua bola matanya setengah terpejam.

"Laura! Kamu denger Mama nggak!?"

"Iya, bentar. Lagi mau buka kunci." Laura menepuk kedua pipinya secara bersamaan. Dirasa kesadarannya mulai terkumpul, barulah Laura membuka kunci. Belum sempat dirinya menarik knop pintu, pintu itu langsung dibuka dengan begitu tidak sabaran oleh mamanya.

"Anj*r!" Laura menggerutu spontan saat jidatnya dengan tidak aestetik membentur daun pintu.

"Laura! Semalam kamu ke club 'kan?" Saras, selaku ibu kandung Laura, bertanya dengan nada yang membentak.

Bukannya merasa takut, Laura malah menguap seraya menggaruk belakang kepalanya.

"Enggak." Ucapnya, santai.

"Bohong! Kamu kira Mama nggak tahu? Kalau bukan karena Liora yang ngasih lihat video live kamu sama temen-temen kamu semalam, Mama juga gak akan marah-marah hari ini!" Saras semakin membentak Laura.

Sungguh, kepala Saras rasanya sudah mau pecah gara-gara kelakuan putri sulungnya yang tidak pernah bisa berubah.

"Ck, dia ngaduin apa lagi?" Tatapan Laura berubah menusuk. Sejatinya tatapan itu bukan ditujukan pada Saras, melainkan pada Liora yang jelas memang tidak ada di tempat. Laura hanya refleks, karena dirinya yang sudah terlalu benci pada Liora, adiknya yang hanya berjarak dua tahun dengannya.

Plak!

Sebuah tamparan telak Saras layangkan pada pipi Laura. Amarahnya kian menggunung saat Laura terus saja menjelek-jelekkan Liora.

"Ngadu? Liora ngadu sama Mama juga gara-gara kelakuan kamu sendiri! Coba kalau kamu hidup kayak Liora! Mama gak akan tuh ngelarang-larang kamu. Sudah berapa kali Mama ingatkan, jangan berteman dengan para gadis berandalan itu! Mereka bukan anak baik-baik! Dan lagi, kamu masih berhubungan 'kan sama Si Eric? Tadi malem kamu diapain aja sama dia? Diper*wanin, iya? Suka jadi perempuan malam? Kamu itu-"

"SETOP!" Laura balas membentak, sehingga menghentikan cercaan Saras yang belum selesai diucapkan.

Air matanya luruh seiring dengan hatinya yang terus tergores karena mamanya yang lagi-lagi membandingkan Laura dengan Liora.

Liora, Liora dan Liora!

Soal teman dan pacar yang Laura pilih? Laura tidak merasakan apa-apa. Laura tahu betul jika mereka bukanlah orang-orang baik, tetapi Laura nyaman berada di lingkaran ini.

"Aku mohon, Mama keluar dari kamar aku!" Tanpa membahas lebih panjang, Laura menunjuk pintu keluar teruntuk mamanya. Sedikit pun gadis itu tidak melirik pada mamanya yang juga merasakan sakit hati yang teramat sakit.

"Mama tuh sayang sama kamu! Tapi kenapa kamu kayak gini?" Saras menatap putri sulungnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Enggak, Mama tuh nggak pernah sayang sama aku, yang Mama sayang itu cuman Liora, LIORA! Sekarang Mama keluar, aku pengen sendiri." Tekan Laura, membuat Saras tidak dapat berbuat apa-apa selain pergi meninggalkan putrinya.

...****...

Di sebuah kamar kost dengan pencahayaan minim, Eric diam-diam terkekeh sarkas disela menyesap rokoknya. Tatapan nyalang kemudian jatuh pada Anne yang tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur.

Ingatan Eric tiba-tiba melayang pada hal-hal yang membuatnya kurang puas selama melakukan itu dengan Anne.

Otak gilanya dengan tanpa permisi membayangkan wajah Laura, padahal sudah jelas bahwa perempuan yang tengah melakukan hubungan malam dengannya adalah Anne, salah satu teman dari pacarnya sendiri.

Sial! Pasti semuanya gara-gara Laura! Si gadis sok jual mahal yang membuat Eric kian tertantang untuk segera menjamahnya.

"Ck! Gue balik. Pilihan gue tetep pengen Laura!" Pungkas Eric, lalu mematikan ujung rokoknya. Kemudian memakai kembali seluruh pakaiannya yang tergeletak di lantai kost-kostan Anne.

...****...

Saat ini, tepatnya di ruang keluarga, Laura tengah berusaha diintrogasi oleh papa dan mamanya. Sedangkan Liora, adiknya, gadis itu sedang mengurung diri di kamar.

Bukan tanpa sebab Liora memilih mengurung diri. Itu semua dia lakukan semata-mata karena sebelumnya, Laura memarahi dan membentaknya karena telah mengadukan dirinya yang pergi ke bar semalam.

Padahal, niat Liora sebenarnya baik. Dia ingin menyadarkan kakaknya, namun sepertinya, Liora salah memilih cara.

"Papa bener-bener kecewa sama kamu Laura!" Ditya, selaku papa kandung Laura, akhirnya bersuara setelah cukup lama beliau terus terdiam meratapi wajah Laura.

"Tujuan kamu berbuat seperti itu sebenarnya buat apa? Kamu mau balas dendam sama kami?" Laura masih tetap diam, sebanyak apa pun papanya terus bersuara.

"Minggu depan mulai sekolah 'kan? Pokoknya Papa gak mau tahu, mulai besok kamu akan tinggal di rumah Omah Sonya dan Opah Galih. Bukan untuk seminggu, tapi satu semester. Kalau sampai bulan januari nanti ketika Papa kembali menjemput kamu, tapi kamu masih tetap seperti ini, jangan harap kamu kembali ke rumah ini! Mengerti?"

"Papa bercanda 'kan?" Sungguh, Laura tidak ingin dikirim ke rumah Omah Sonya dan Opah Galih. Selain karena mereka tinggal di sebuah desa yang kumuh akan pesawahan dan perkebunan, di sana juga lumayan susah sinyal. Dan Laura benci itu!

"Ngapain Papa bercanda? Sekarang, kemasi barang-barang kamu, besok juga Papa suruh Pak Anto anterin kamu ke rumah mereka!" Putus Ditya, pada akhirnya. Dirasa selesai, Ditya bangkit dari sofa, meninggalkan istrinya pun putri sulungnya yang terdiam memaku dengan raut wajah memelas.

Saras menghela napas panjang. Ketika dia hendak bangkit, tangannya langsung ditahan oleh Laura. "Mah! Tolong Laura, Laura gak mau tinggal di desa!" Untuk pertama kalinya, Laura memohon pada Saras.

Dan sialnya, hal itu membuat Saras iba, sungguh! Tetapi, semua orang di keluarganya tahu seperti apa Ditya. Dia adalah orang yang keras. Jika sudah memutuskan sesuatu, jangan harap seseorang bisa mengubah keputusannya.

"Maafin Mama! Kamu tahu sendiri Papa kamu. Mama harap dengan keputusan Papa kamu saat ini dapat membuat kamu berubah menjadi jauh lebih baik lagi."

^^^To be continued...^^^

03. Sampai Bulan Januari: Hari Tersial

Sepanjang hari ini, Laura terus berada di dalam kamarnya dengan perasaan gusar. Ingin dia pergi ke luar, namun tatapan nyalang dari papanya, sudah cukup membuatnya menciut.

Dan saat ini, Laura mencoba menghubungi nomor telepon teman-temannya. Dan sialnya lagi, tidak ada satu pun yang mengangkat panggilan. Kebiasaan!

"Eric! Gue coba telepon dia!" Teringat akan Eric yang belum sempat Laura hubungi, dengan cepat Laura beralih menelepon Eric.

Lumayan lama menunggu. Saat didering ketiga, barulah panggilannya diangkat.

"Eric! Gue-" Laura menghentikan ucapannya saat terdengar suara-suara aneh yang begitu menjijikkan dari seberang sana.

"Eric? Lo ... lagi ngapain?"

"Gueh? Lagi solo sambil bayangin wajah lo, eungh!" Lagi-lagi terdengar suara erangan rendah yang berasal dari mulut Eric. Dan sialnya, hal itu membuat Laura panas dingin.

"G*bl*k lo! Berhenti gak!" Aneh. Eric yang melakukan, tetapi Laura jadi ikut-ikutan tidak nyaman. Tanpa sadar Laura menelan ludah.

"Laura desah!" Suruhan Eric, membuat Laura tersadar dari apa yang tengah dia lamunkan.

"A-apa?"

"Gue bilang, desah! Coba lo desah yang kuat! Gue mau denger."

"Enggak! Apaan sih, bye!" Laura buru-buru mematikan teleponnya sepihak. Demi apa pun, Eric benar-benar sudah gila! Menyuruhnya untuk mengeluarkan suara-suara aneh, disaat Laura sendiri rasanya sudah dibuat aneh hanya karena mendengar suara Eric.

"Emang gak waras tuh cowok!"

...****...

Pukul tiga sore, Anne terbangun dari tidurnya. Ketika perempuan itu hendak beranjak dari tempat tidur, kaki dan pinggangnya terasa mati rasa. Refleks dirinya berdesis menahan ngilu.

Gila!

Eric adalah cowok paling gila yang melakukan hal itu dengan begitu brutal. Rasanya seperti mau mati saat Eric belum juga menuntaskan hasratnya.

Tetapi, itu cukup baik. Setidaknya semua yang pernah menjadi milik Laura, sudah pernah Anne cicipi. Dan, ya. Laura hanya akan mendapatkan bekasnya.

Selama menjalin pertemanan dengan Laura, Anne tidak pernah berlaku tulus. Dia hanya ingin memanfaatkan harta kekayaan orang tua Laura yang juga adalah sponsor utama di sekolah.

Dekat dengan Laura, semua yang diinginkan terpenuhi. Gadis itu dengan bodohnya selalu mengiyakan ketika Anne maupun Juwita dan Vinca menyuruhnya untuk membayar belanjaan maupun sekadar makan di kantin.

Ketika mencoba membuka ponsel, beberapa panggilan tak terjawab tampak memenuhi kolom notifikasi. Nama kontak 'Laura', membuat Anne tanpa sadar tertawa singkat.

"Sekarang adalah saatnya berperan sebagai sahabat paling baik." Gerutu Anne, kemudian menghubungi Laura.

Tak berapa lama, panggilan teleponnya langsung diangkat. Dengan menarik napas dalam-dalam, Anne mengubah raut wajahnya. "Halo, Ra? Sorry, ya, gue gak sempet angkat telepon lo! Kebetulan guenya lagi tidur siang, hapenya dimode silent. Em, btw, lo ada apa teleponin gue berkali-kali?"

"Huwaaa, Anne! Gue ... gue mau dikirim ke desaaa!"

Anne mengernyit bingung dengan ucapan Laura. Sesekali dirinya akan tertawa pelan sambil menggaruk belakang kepalanya. "Desa? Maksudnya perkampungan?"

"Iya, itu! Males banget gak siiii!"

"Mau ngapain?" Tanya Anne. Terdengar bunyi decak sebal dari seberang sana.

"Ini semua tuh gara-gara Si Tukang Ngadu, Liora! Kalau bukan karena dia aduin gue yang tadi malem ke bar, gue gak akan diusir dari rumah! Mana besok gue langsung otw, lagi. Anne, bantuin gueee!"

Sungguh, mendengarnya saja sudah membuat orang kesal! Jika Laura pergi, terus bagaimana dengan nasib Anne? Masih banyak daftar keinginan yang belum terpenuhi.

"Lo ... gak akan lama 'kan di sana?" Mencoba tetap tenang, Anne lanjut bertanya.

"Gue disuruh tinggal selama satu semester, Anne! Massa percobaan gue sampe bulan januari! Kalau gue tetep gak berubah, gue akan tinggal selamanya di sana!"

"Bentar, bentar! Lo bilang satu semester? Sampe bulan januari? Tanya dulu, januarinya itu januari kapan? Tinggal selama satu semester keknya nanggung gak sih? Minggu depan kita udah kelas dua belas, dan kelas dua belas sekolah tuh gak sampe setahun penuh." Ucapan panjang lebar Anne, seketika membuat Laura tersadar.

"Iya juga, ya! Enggak! Gue harus tanya! Thank you, ya, Anne! Lo emang sahabat gue!" Anne mengernyit jijik mendengar celotehan Laura.

"Hm. Semoga lo gak jadi pergi, ya." Biar gue bisa terus manfaatin lo.

"Huhuu ... makasih! Doain!"

"Hm." Setelahnya, panggilan telepon benar-benar terputus oleh Laura yang mematikannya.

"Dasar!"

...****...

Saat yang paling tidak diinginkan terjadi. Sekalipun Laura tidak pernah mengemasi barang-barangnya, tetap ada ART yang senantiasa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Laura mendengus sebal saat jam baru saja menunjukkan pukul delapan pagi.

Di pagi-pagi buta begini, papanya sudah berancang-ancang mengusirnya dari rumah. Menyebalkan!

Dengan langkah berat tanpa berpamitan secara layak, Laura menyeret kedua kakinya menuju mobil. Untuk barang-barangnya sendiri telah dimasukkan ke dalam bagasi oleh supir pribadi.

Lagi-lagi Laura menghela napas. Ketika mencoba membuka layar ponselnya, tak ada satu pun pesan chat masuk ke nomornya. Berharap ada yang bertanya untuk memastikan, apakah Laura benar-benar dipindahkan ke desa atau tidak. Nyatanya, semuanya kosong. Hanya notifikasi dari yutub yang memenuhi kolom notifikasi ponsel Laura.

"Sial, sial, sial! Kalian tuh sahabat gue bukan, sih? Elo juga! Ngakunya cinta, tapi giliran gue bilang mau dipindahin ke desa langsung minta putus! Anj*ng lo!" Laura menggerutu sebal, masih dengan posisinya.

"Non, ayok!" Sahutan itu berasal dari sang sopir yang sudah stand by di mobil.

"Iihh! Iya, iya! Bawel banget!" Rasanya Laura benar-benar kesal dan muak saat ini. Sedikit pun kedua orang tuanya tidak mengucapkan selamat tinggal, maupun sekadar melihatnya di depan pintu.

Rasanya seperti, Laura benar-benar telah didepak keluar dari rumah mewahnya. Semua fasilitasnya berupa mobil mewah, tas mewah, sepatu mewah, dan koleksi super mahalnya, disita habis-habisan.

Yang Laura bawa ke dalam koper? Hanya pakaian sehari-hari yang tidak terlalu mewah, seragam sekolah, tas sekolah, laptop, dan rangkaian skincare serta make up.

Untungnya Laura punya tabungan rahasia. Dari jauh-jauh hari sekali, Laura sudah menjual beberapa atau mungkin puluhan pakaian, tas dan sepatu bermerek yang dia miliki.

Hanya menjadi pajangan dan berakhir bosan, jadilah dirinya jual secara diam-diam. Dan sekarang, hasil dari menjual barang-barang mewahnya telah lumayan menumpuk. Setidaknya, Laura tidak akan terlalu menyedihkan nanti ketika berada di desa.

"Nanti mampir ke ATM dulu." Ucap Laura, tepat ketika dirinya telah memakai sabuk pengaman.

"Siap!"

...****...

Laura refleks mengaduh sampai terbangun dari tidurnya. Kepalanya yang dia sandarkan di punggung sofa mobil, berakhir terbentur ke jendela kaca.

Sial!

"Aduhh, ada apaan sih? Kok, ngerem mendadak?" Laura sudah hidup sial, dan sekarang dirinya menjadi semakin sial lagi ketika sang sopir pribadi, sebut saja Pak Anto, bergegas ke luar dari mobil untuk mengecek sesuatu.

Dengan malas tingkat dewa, Laura melepaskan sabuk pengaman, lalu turut ke luar menyusul Pak Anto.

"Kenapa mobilnya? Awas aja kalau mogok! Mana jalannya sepi gini. Sawah semua, lagi. Heuhh!" Laura merogoh ponselnya yang dia taruh di dalam tas selempang. Niatan awalnya hanyalah untuk bercermin, tetapi ketika tidak sengaja menyalaka ponsel, bola matanya seketika melotot.

"Iihh, kok gak ada sinyal? Ini beneran udah masuk kampung halamannya Omah?" Laura berdecak sebal apalagi ketika mendengar gumaman pasrah dari Pak Anto.

"Pak Anto! Dari sini ke rumahnya Omah masih lama, nggak?"

"Hm, kalau jalan kaki bisa sampe dua puluh menitan, Non. Tapi kalau pake kendaraan mah paling lima belas menit juga sampe."

"Ya udah, buruan, keburu sore ntar makin mager, tahu nggak!" Laura sudah berancang-ancang hendak masuk ke mobil. Namun gara-gara mendengar suara helaan napas panjang dari Pak Anto, Laura tiba-tiba penasaran dengan apa yang terjadi pada mobilnya. Tanpa berpikir panjang, Laura mendekati Pak Anto yang masih sibuk memeriksa keadaan mesin mobil.

"Pak Anto! Mobilnya kenapa, sih?"

Dengan berat hati, Pak Anto kembali menghela napas berat seraya menatap tak enak hati pada anak dari majikannya. "Maaf, Non! Mobilnya mogok. Harus diperbaiki dulu. Pak Anto mau nyari tukang bengkel dulu, ya, seben-"

"Eeh, enak aja! Terus Laura gimana? Tungguin di sini, gitu?" Laura memotong ucapan Pak Anto dengan tergesa-gesa. Jujur saja, Laura takut diculik jika ditinggal sendirian di tempat asing ini.

"Kalau Non Laura ikut, terus yang jagain mobilnya siapa?"

"Iiih, gak mauuu! Nanti kalau ada yang nyulik Laura gimana?" Kesal dan muak. Laura rasanya ingin menangis dan mengadukan segalanya pada Tuhan lalu berteriak; kenapa nasibnya begitu sial begini?

Semua orang meninggalkannya. Keluarga, sahabat, pacar, bahkan Pak Anto juga mau meninggalkannya sendirian. Tidak tahukah jika Laura adalah tipe cewek penakut?

"Hm, gini aja, deh. Biar saya telepon Opah Galih saja, bagaimana? Suruh sopirnya biar jemput Non Laura." Laura tampak menimbang sejenak. Tak berapa lama, ia pun mengangguk.

"Ya udah." Ujar Laura, pada akhirnya. Tanpa pikir panjang, Pak Anto mulai mengeluarkan ponselnya. Ketika dia hendak membuka aplikasi telepon, tiba-tiba suara Laura menghentikan kegiatannya.

"Bentar, 'kan gak ada sinyal!?"

Kekehan dari Pak Anto membuat Laura mengernyit. "Kata siapa? Ada, kok! Cuman ya, gitu, Non. Harus pakai kartu tertentu dulu, baru ada sinyal. Sebentar, ya, Non! Mau telepon dulu Opah Galih."

"Hm."

^^^To be continued...^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!