"Kardiomiopati? Apa itu, Dok?" tanya Larasati dengan matanya yang mulai memerah.
Seorang pria paruh baya dengan jubah putih, menghela nafas panjang. Ia menegakkan posisi duduknya, kemudian menautkan jemarinya. "Sederhananya, kardiomiopati adalah gangguan pada otot jantung, Bu. Karena infeksi yang terjadi pada otot jantung anak ibu, jantungnya menjadi bekerja lebih keras dari jantung pada umumnya."
Bagai tersambar petir di siang bolong, hari ini Larasati harus menerima kenyataan bahwa anak semata wayangnya menderita kelainan pada jantungnya. Kontras dengan suasana hati Larasati yang sedang kelabu, cuaca Jakarta siang itu justru sedang terik.
Kini Larasati sedang menyeruput segelas kopi susu di sebuah warung kopi pinggir jalan. Suara klakson yang bersahut-sahutan, asap dari kendaraan dan rokok, juga suara gelak tawa dari orang sekitar yang sedang bercengkrama, turut menemani riuhnya pikiran Larasati. Berkali-kali ia menghela nafas, hingga Amel— perempuan yang menjadi temannya selama tiga tahun terakhir, merasa penasaran dengan apa yang terjadi.
"Kenapa sih, Ras? Ada yang ganggu pikiran lo?"
Setelah meletakkan kembali gelas yang tadi ia genggam, Larasati mengalihkan atensinya pada Amel. "Miko sakit, Mel. Anak gue usianya baru 6 tahun, tapi dia sakit."
Larasati mulai terisak. Ia bahkan sudah tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang mungkin heran melihatnya tiba-tiba menangis.
"Dokter bilang ada kelainan di jantungnya. Miko harus dirawat dalam minggu ini, karena keadaannya harus dipantau."
Alih-alih memberi tanggapan, Amel memilih mengusap pelan bahu milik Larasati. Ia tahu, bukan kata 'sabar' yang ingin Larasati dengar saat ini.
"Miko juga harus cari pendonor buat transplantasi jantung. Gaji gue berapa sih, Mel? Lo tahu sendiri kalo gue sama Dirga selama ini kelimpungan karena harus bayar cicilan rumah dan biaya hidup lainnya. Duit tabungan gue bahkan nggak akan cukup untuk biaya perawatan Miko, apalagi transplantasi."
"Dirga udah tau?" tanya Amel, yang mendapat gelengan dari Larasati.
"Gue belum sempet ngobrol sama dia. Lo tau sendiri dia sibuk banget." Larasati tertawa hambar. "Bahkan dengan kesibukan dia yang kayak gitu, kita nggak akan mampu bayar biaya rumah sakit buat Miko."
"Coba lo obrolin sama Dirga deh, Ras. Mau gimana pun sibuknya Dirga, dia harus tau kondisi anaknya. Dia juga harus berusaha buat cari jalan keluar. Kalo ngandelin gaji jurnalis kayak kita mah, nggak akan cukup, Ras."
Amel benar. Hal pertama yang harus Larasati lakukan adalah menceritakan kondisi anaknya pada Dirga. Bagaimana pun, Dirga juga harus memikirkan jalan keluar untuk kesembuhan Miko. Maka tanpa berpikir panjang, Larasati beranjak meninggalkan warung kopi itu untuk menuju ke sebuah halte busway. Tujuannya adalah kantor tempat Dirga bekerja.
Dirga merupakan karyawan dari sebuah perusahaan retail yang cukup terkenal di Jakarta. Meski begitu, Dirga hanya bekerja sebagai staff biasa yang gajinya bahkan tidak sampai dua digit. Namun, pernikahan mereka yang menginjak usia 8 tahun itu cukup menyenangkan bagi Larasati.
Ia tidak menginginkan barang mewah atau mobil keluaran terbaru seperti milik teman-temannya. Cukup Dirga berada di sisinya dan menemaninya sepanjang sisa hidup, Larasati sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi.
Butuh waktu sekitar 30 menit hingga Larasati sampai di pelataran kantor tempat Dirga bekerja. Ia berjalan dengan pasti untuk memasuki gedung yang memiliki 4 lantai tersebut. Alih-alih masuk lebih jauh, Larasati memilih untuk menunggu di area lobi dan menelepon suaminya untuk turun dan menemuinya.
Hingga tak lama kemudian, Dirga terlihat berjalan cepat untuk mendatangi Larasati. Seperti biasa, laki-laki bertubuh tinggi itu tampak sangat tampan dengan lesung pipinya saat tersenyum.
"Kenapa, Ras? Tumben banget ke sini?" tanya Dirga lembut, kemudian ia membawa Larasati untuk duduk di sebuah sofa yang berada di lobi tersebut.
"Ga, tadi aku udah bawa Miko ke rumah sakit."
"Terus? Apa kata dokter?"
Larasati menghela nafas panjang. Ia tahu, bahwa bukan hanya dirinya yang akan hancur setelah mengetahui kondisi Miko, tapi juga Dirga. Laki-laki itu jelas sangat menyayangi Miko.
"Ada kelainan di jantung Miko, Ga. Dia harus dirawat dalam minggu ini." Netra legam milik Larasati terasa panas, sebab butiran bening yang sebentar lagi akan jatuh membasahi pipinya. "Bukan cuma itu, Miko bahkan butuh pendonor buat jantungnya. Kita harus gimana, Ga? Aku nggak mau Miko kenapa-napa."
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Dirga. Ia menatap kosong pada Larasati yang mulai terisak. Dadanya begitu sakit. Belum pernah ia merasa sehancur ini. Dirga bahkan tidak memiliki tenaga untuk sekedar menenangkan Larasati saat ini.
"Jangan diem aja, Dirga! Aku dateng ke sini bukan cuma untuk liat kamu diem gini," ujar Larasati dengan suara paraunya.
"Kita jual rumah aja, Ras. Nanti aku hubungi pihak bank, biar mereka cari pembeli baru buat ngelanjutin cicilan rumah kita."
"Jual rumah nggak segampang itu, Ga. Kamu pikir bakal dapet pembeli dalam minggu ini? Miko nggak boleh nunggu lebih lama lagi."
"Terus apa lagi yang bisa kita lakuin, Ras? Cuma itu satu-satunya jalan. Nggak mungkin aku pinjem duit perusahaan. Mereka nggak akan kasih pinjaman sebesar itu."
'Kecewa' adalah satu kata yang menggambarkan perasaannya saat ini. Dimatanya, Dirga hanya tidak mau berusaha. Namun, Larasati menolak untuk menyerah dan menganggap bahwa sudah tidak ada jalan lain. Meski menemui Dirga pada akhirnya hanya memberinya jalan buntu, Larasati tidak ingin berhenti untuk mencari cara.
Setelah menghapus jejak air matanya, Larasati beranjak pergi meninggalkan Dirga yang masih mematung di tempatnya. Ia tidak lagi kemperdulikan panggilan Dirga yang memintanya untuk berbalik.
Setelah berjalan cukup jauh dari kantor Dirga, Larasati merogoh ponsel yang ia simpan di tas hitamnya. Dengan cepat ia mencari nama sesorang di daftar kontaknya. Untuk beberapa saat, Larasati terdiam. Ia terlihat ragu untuk menekan tombol panggilan pada nomor telepon tersebut. Berkali-kali ia menggigit bibirnya sendiri dan mengacak rambutnya dengan frustasi. Lalu setelah beberapa saat, Larasati mulai menelepon nomor tersebut.
Pada nada sambung ke lima, seseorang dari seberang telepon menjawab panggilannya.
"Tawaran yang lo kasih ke gue tiga hari lalu, boleh gue ambil sekarang? Apa tawarannya masih berlaku?"
Benar. Kalau Dirga tidak bisa memberinya jalan keluar atas masalah kesehatan Miko, maka Larasati akan mencarinya sendiri. Apa pun akan ia lakukan, agar anak semata wayangnya bisa kembali sehat dan normal seperti anak-anak lainnya.
Untuk saat ini, Larasati tidak peduli pada resiko yang akan ia hadapi di masa depan. Sekali lagi, yang paling penting untuknya adalah kesehatan Miko. Hingga Larasati lupa, bahwa hidupnya bukan hanya tentang Miko, tapi juga Dirga dan rumah tangga mereka...
*Sebelumnya Larasati tidak pernah mendatangi tempat-tempat seperti club* malam atau semacamnya. Namun, hari ini ia dengan berani menginjakkan kakinya pada sebuah club malam yang cukup ramai. Ia sedang duduk berdua bersama seorang perempuan. Di hadapannya, sudah ada dua gelas minuman beralkohol.
"Kenapa lo akhirnya ambil tawaran gue?" tanya seorang perempuan cantik dengan surai kecoklatan.
"Anak gue sakit, Ran. Gue butuh banyak duit buat obatin dia."
"Dirga gimana? Lo nggak minta ijin sama dia, kan?" Rani terkekeh, sambil mulai menikmati segelas wine.
"Ya nggak mungkin gue minta ijin, lah!" Larasati mendekatkan kepalanya pada Rani. "Tapi cowok ini siapa, Ran? Kenapa tiba-tiba dia minta gue buat jadi simpenannya? Padahal gue kan nggak pernah dateng ke tempat ginian?"
"Lo inget Jovanka, nggak?"
"Jovanka? Temen kuliah kita dulu?"
Rani mengangguk sambil menjentikkan jarinya. "Gotcha! Jovanka yang orang tuanya tajir melintir."
"Emang kenapa dengan Jovanka?"
"Dia sering dateng ke sini, dan minta gue buat temenin dia minum. Terus dia tanya-tanya soal lo." Rani mengendikkan bahunya. "Tiba-tiba aja gitu dia tanya soal lo. Terus gue bilang kalo lo udah punya laki, eh dia malah minta kontak lo, dia bilang nggak masalah meski bakal jadi second choice."
Rani terkekeh melihat Larasati yang masih tampak kebingungan. "Dia suka sama lo sejak kuliah, Ras. How lucky you are."
"Dia suka sewa cewek?" tanya Larasati polos, yang sontak membuat Rani tertawa begitu kencang.
"Lo pikir rumah, bisa disewa? Dia ke sini tuh cuma cari pelarian dari hidupnya, Ras. Dia nggak suka pake cewek sana-sini, kok. Santai aja."
"Jo!" panggil Rani tiba-tiba, sambil melambaikan tangannya pada laki-laki bertubuh atletis yang baru saja mendekat ke arah mereka. "Nih, udah gue panggilin ke sini si Laras. Jangan lupa janji lo buat transferin gue!"
Alih-alih menjawab, Jovanka justru terkekeh sambil mengusap kepala Rani yang mulai beranjak pergi.
"Hai, Ras. Udah lama nunggunya?" tanya Jovanka santai.
"Nggak, gue juga baru dateng." Larasati menatap lamat pada laki-laki dihadapannya. Memperhatikan penampilan Jovanka dari ujung rambut sampai kaki. Laki-laki itu terlihat cukup tampan dengan rambutnya yang sedikit panjang, namun tetap terlihat rapi. "Kenapa lo tiba-tiba pengen ketemu gue?"
Jovanka tertawa, lalu mengambil segelas alkohol yang masih utuh. "Nggak usah berlagak polos, Ras. Lo pasti paham yang gue mau."
"I mean, bukannya lo udah nikah, Jo?"
"Gue nggak pernah cinta sama istri gue, Ras."
Kini giliran Larasati yang tertawa. Begitu kencang, hingga membuat Jovanka heran. "Klasik banget jawaban lo! Kalo nggak cinta ngapain nikah?"
"Sama kayak orang-orang kaya kebanyakan, kita dijodohin. Just for make bisnis keluarga kita makin besar."
"That's why lo cari gue buat pelarian?" tanya Larasati sambil terkekeh. "Gue udah punya suami, Jo. Anak gue bahkan udah 6 tahun."
"Tapi sekarang lo tetep dateng, kan?"
Sesak. Hanya itu yang Larasati rasakan saat mendengar ucapan Jovanka. Membayangkan betapa repotnya Dirga menjaga Miko sendirian di rumah, sedangkan dirinya sedang asik duduk bersama seorang laki-laki di sebuah club malam, membuat rasa bersalahnya membuncah. Tatapannya berubah sendu. Sungguh, ia ingin pulang ke rumah dan berlari memeluk Dirga sekarang. Namun, saat mengingat ucapan dokter bahwa Miko harus segera di rawat, Larasati kembali membulatkan tekadnya untuk menjadi wanita simpanan Jovanka.
"Anak gue sakit, Jo. Gue butuh duit banyak. Gue nggak akan mau dateng dan duduk di sini berdua sama lo, kalo bukan karena duit!"
Jovanka tertawa, lalu kembali menenggak segelas alkohol yang berada di genggamannya. "Ini alasan kenapa gue suka sama lo, Ras. Omongan lo bikin sakit, tapi gue suka. At least lo jujur."
"Apa yang bisa gue dapet kalo jadi simpenan lo?"
"Hmmm..." Jovanka tampak berpikir sejenak, lalu meletakkan gelasnya. Ia berjalan mendekat pada Larasati, lalu duduk tepat di sampingnya. "Kemewahan? Barang-barang yang belum pernah lo beli? Kesembuhan buat anak lo? Gue bahkan bisa beliin pulau kalo lo mau."
Larasati terkekeh. Ia cukup tahu, semua kemewahan yang akan ia dapatkan tidak akan benar-benar gratis. "Terus, apa yang lo mau dari gue?"
"Simpel, sih. Lo harus bener-bener menjalankan peran sebagai istei gue. Jadi pendengar yang baik, dateng kalo gue butuh ditemenin, and..."
"Dan? Dan apa?" tanya Larasati yang kini jantungnya benar-benar berdebar menunggu Jovanka menyelesaikan kalimatnya.
*"Dan kasih gue keturunan, maybe*? Cause Teressa istri gue, nggak bisa kasih itu."
...****************...
Cukup lama Larasati termenung di depan pintu rumahnya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk setelah menghela nafas panjang. Ia melihat Dirga yang duduk dan tertidur di sofa ruang tamunya. Larasati berjalan mendekat, lalu mengusap pelan rahang tegas milik suaminya dengan jemarinya. Merasa terganggu, Dirga terbangun dan mengerjapkan matanya beberapa saat, sebelum akhirnya menatap Larasati sambil tersenyum teduh.
"Baru pulang?" Dirga melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. "Gimana risetnya? Siapa sih, yang mau kamu interview sampe lembur gini?"
Benar. Larasati berbohong pada Dirga. Ia mengatakan bahwa harus melakukan riset karena mendapat tugas mewawancarai salah satu orang penting di Jakarta, hingga mengharuskannya pulang larut.
"Ada, Ga. Dia keluarga pengusaha besar. Kebetulan temen kuliah aku dulu."
"Bagus, dong? Kamu jadi nggak perlu repot-repot buat perkenalan dulu," sahut Dirga sambil merapikan anak rambut milik Larasati.
Larasati terdiam. Ia tidak mampu lagi kengeluarkan kalimat apa pun, hingga akhirnya ia mulai terisak. "Maaf, Dirga."
"Hey, kenapa nangis?" Dirga yang tampak khawatir, mengusap pelan bahu milik Larasati. "Soal Miko? Ini bukan salah kamu, Sayang. Memang sudah takdirnya Miko sakit, kamu nggak boleh menyalahkan diri sendiri."
"Kita harus gimana, Ga? Meski mungkin tabungan kita cukup untuk biaya perawatan Miko, tapi gimana sama transplantasinya? Aku udah cari tau kemana-mana dan semua orang bilang itu nggak murah."
"Ras, kita coba buat obatin Miko pake terapi dulu, ya. Sambil kita usaha cari uangnya, seenggaknya Miko nggak dibiarin gitu aja."
"Mau sampe kapan, Ga? Mau sampe kapan kita nyiksa Miko dengan biarin dia pake alat-alat di badannya?! Mau sampe kapan kita biarin Miko ngerasain susah nafas?! Mau sampe kapan kita pasrah dengan terapi?! Kamu tau terapi itu cuma memperlambat kerusakan jantungnya. Aku nggak tega liat dia kesakitan."
Sungguh, bukan hanya Larasati yang sedih. Dirga juga merasa hancur hingga ia tidak lagi bisa menikmati makanannya. Namun, dengan keadaan mereka sekarang, bukankah jalan terbaik adalah mengobati Miko dengan terapi?
"Cari cara, Dirga! Lakukan sesuatu, jangan cuma pasrah!" tegas Larasati sambil terisak.
"Kamu mau aku ngapain lagi, Ras? Aku udah saranin buat jual rumah, tapi kamu nggak mau. Kamu mau suruh aku pinjem uang kantor?!"
"Kenapa nggak?! Kalo kamu bisa pinjem duit kantor, kenapa nggak?! Demi Miko, Ga! Demi Miko!"
"Ras, kantor aku nggak segampang itu buat kasih pinjaman. Kalau pun mereka kasih, aku bakal—"
"Bakal apa?! Bakal tertahan di sana lebih lama?! Kamu nggak akan bisa resign kayak yang kamu pengen karena punya pinjaman?!" Larasati menghapus jejak air matanya, lalu beranjak dari sofa. "Kamu egois, Dirga."
"Bukan cuma egois, tapi kamu nggak berguna!"
Pagi-pagi sekali, Dirga sudah bangun dan menyibukkan dirinya di dapur. Larasati bahkan masih bergulung di bawah selimut sambil memeluk Miko. Semalam setelah berdebat dengan Dirga, ia memilih untuk tidur di kamar milik Miko.
Masih sangat jelas dalam ingatan Dirga, bagaimana Larasati memilih untuk meninggalkan keluarga dan seluruh kenyamanan hidupnya, hanya untuk menikahi laki-laki yang tidak memiliki apa-apa sepertinya. Dulu, Larasati berasal dari keluarga yang cukup kaya. Lalu keluarganya mengambil seluruh aset dan fasilitas yang Larasati miliki, karena ia dan Dirga tidak mendapat restu untuk menikah.
Larasati tidak pernah mengeluh soal keadaan ekonomi keluarganya, pun tidak pernah nenibta barang mahal atau kehidupan yang mewah. Maka saat mendengar ucapan Larasati semalam, Dirga sangat menyadari bahwa dirinya sepenuhnya bersalah. Ia setuju pada opini Larasati bahwa dirinya tidak berguna.
Sudah sekitar satu setengah jam Dirga berkutat di dapur dengan bahan-bahan makanan. Sekarang, beberapa masakan sudah tersaji di atas meja makan. Larasati dan Miko baru saja keluar dari kamar, dengan pakaian yang sudah rapi. Setelah mendudukkan Miko pada kursi di samping meja makan, Larasati beranjak untuk keluar rumah.
"Sayang, nggak sarapan dulu?" tanya Dirga setengah berteriak, karena Larasati sudah berada di ambang pintu.
"Mama kerja, Ayah. Katanya buru-buru," sahut Miko yang memperhatikan Dirga sejak ia duduk.
Dirga tersenyum, lalu duduk di samping Miko. "Miko hari ini gimana? Apanya yang sakit?"
"Disini sakit, tapi Miko kuat." Miko menunjuk dada kirinya sambil tersenyum. "Kata Mama, kalo mau jadi Iron Man harus kuat, Miko kuat biar jadi Iron Man!"
Tanpa alasan, dada Dirga sakit. Begitu sakit hingga ia ingin berteriak. Kalau ada orang yang harus disalahkan dalam keadaan ini, maka ia adalah orangnya. Menurut Dirga, dirinya belum cukup berjuang untuk kehidupan Larasati dan Miko.
"Miko, makan yang banyak, ya. Sebentar lagi Ayah antar ke rumah Nenek. Ayah juga harus berangkat ke kantor."
Setelah mengangguk dengan antusias, Miko mulai menyantap makanannya dengan tenang. Tidak ada lagi percakapan di antara ayah-anak tersebut. Hingga tak lama, Dirga mendengar pintu rumahnya di ketuk. Ibunya datang. Wanita yang sudah terlihat cukup tua itu tersenyum di ambang pintu, lalu masuk begitu saja karena pintu rumah terbuka lebar. Rumah yang ditinggali mereka juga tidak luas, ibu Dirga bisa dengan leluasa melihat ke arah meja makan.
"Ibu? Baru aja Dirga mau antar Miko ke rumah Ibu."
Ibu tersenyum, lalu mencium pipi gembil milik Miko. "Mulai sekarang biar Ibu aja yang datang, kasian Miko kalau harus bolak-balik. Dia nggak boleh kecapekan, Nak."
"Larasati mana?" tanya Ibu setelah mengedarkan pandangan ke sekitar. Kini Ibu dan Dirga berjalan ke arah ruang tamu, meninggalkan Miko yang masih sibuk dengan sarapannya.
"Sudah berangkat, Bu. Belakangan ini dia lebih sibuk dari Dirga." Dirga menunduk sambil meremat jemarinya. "Dirga ngerasa bersalah sama Laras, Bu. Harusnya Dirga berusaha lebih keras buat pengobatan Miko."
"Rumah tangga itu yang menjalani dua orang, Nak. Kamu atau pun Laras, sama-sama harus berusaha keras untuk Miko. Ibu percaya kamu pasti bisa cari jalan keluarnya. Lagi pula, Dirga yang Ibu kenal selalu bisa menyelesaikan masalahnya," sahut Ibu sambil tersenyum.
...****************...
Kini Larasati sedang berada di dalam taksi yang membawanya ke sebuah apartement di kawasan elite, di daerah Kemang. Jovanka memintanya untuk datang ke alamat yang sudah ia berikan pada saat mereka bertemu di club.
Butuh waktu sekitar 45 menit hingga dirinya sampai di lobi apartement yang sangat mewah. Ia melangkah denga pasti, menuju sebuah lift yang berada di sisi kanan resepsionis. Setelah menekan angka 16, Larasati menarik nafas panjang. Jantungnya benar-benar berdebar. Ia bahkan belum tahu untuk apa Jovanka mengundangnya kemari.
Ting! Pintu lift terbuka, kemudian Larasati melangkah keluar dari lift tersebut. Matanya membulat sempurna, ketika mendapati bahwa di lantai tersebut hanya terisi lima unit apartement. Larasati benar-benar tidak bisa membayangkan seberapa luas unit milik Jovanka.
Kini Larasati berdiri di depan sebuah pintu yang bertuliskan angka 14 di sampingnya. Setelah kembali menghela nafas panjang, ia mulai menekan sandi pada pintu tersebut. Setelah pintu terbuka, ia mendapati Jovanka yang sedang duduk sambil sibuk dengan laptopnya.
"Welcome home, Ras," sapa Jovanka setelah mengalihkan atensinya pada Larasati yang masih berdiri di dekat pintu. "Ini satu-satunya unit apartement gue yang Terressa nggak tau. Mulai sekarang kita ketemu di sini."
"Gue udah atur sama pengacara kenalan gue, buat jadiin unit ini punya lo. Selama lo masih sama gue, lo nggak boleh jual unit ini. Kalo kita udah selesai—"
"Kenapa?" tanya Larasati yang mulai mendekat. "Kalo kita udah selesai, terus kenapa?"
Jovanka terkekeh, lalu meletakkan laptopnya di atas meja. "Gue nggak berharap kita bakalan selesai, sih. Tapi kalo hubungan kita selesai, lo boleh jual unit ini. Atau lo mau tinggal di sini sama Dirga dan anak kalian juga its oke."
"Bukannya ini berlebihan?" tanya Larasati yang masih mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Apartement itu bahkan lebih luas dari rumah yang selama ini ia tinggali. Ada sebuah jendela besar yang Larasati yakini bahwa pemandangannya akan sangat indah pada malam hari.
"Apanya yang berlebihan?"
"Apartement ini terlalu besar buat gue. Lo nggak perlu kasih gue sebanyak ini, cukup bantu gue sampe Miko sehat."
Jovanka tersenyum, lalu menarik Larasati untuk duduk di pangkuannya. "Nggak ada yang berlebihan, Ras. Kalo nggak karena bisnis keluarga, mungkin lo udah jadi milik gue. Jadi, sekarang gue nggak mau sia-siain kesempatan yang mungkin nggak bakal dateng dua kali ini."
"I'll make you a happiest woman in the world," lanjut Jovanka.
"Wanita paling bahagia?" Larasati tertawa kencang. "Bahagia nggak bisa dibeli dengan uang, Jo."
"Itu statement klasik, tapi kalo lo butuh cinta buat bikin lo bahagia, gue bakal kasih semua cinta yang gue punya. I swear."
"Soal Miko, gue udah ceritain ke Teressa. Dia bilang ada dokter bedah jantung terbaik di Jakarta yang kerja di rumah sakit punya keluarganya. Jadi lo bisa bawa Miko ke sana besok. Soal biaya, gue bakal kirim ke rekening lo."
"Teressa? Lo cerita soal Miko ke Teressa? Gimana bisa?"
Berbeda dengan Larasati yang tampak terkejut, Jovanka justru terkekeh. "Dia taunya Miko anak temen lama gue. Nggak mungkin gue bilang kalo Miko anak selingkuhan gue. Brengsek-brengsek gini gue juga punya akal."
"Baru hari pertama, lo udah kasih gue sebanyak ini. Jadi gue harus kasih apa buat bales semuanya?"
"Just making love with me. Puasin semua fantasi liar gue soal lo malam ini. Kasih gue semua yang Dirga dapat selama jadi suami lo."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!