NovelToon NovelToon

Beyond The Imagination

Prolog

Dunia ini sudah kacau.

Banyak peperangan terjadi demi memperebutkan kekuasaan.

"Yang kuat hidup di atas yang lemah."

Entah sejak kapan slogan itu muncul dan digunakan dalam dunia ini.

Tentunya itu berarti banyak hal.

Kekuatanlah yang menentukan kadar kualitas kehidupan.

Kau kuat maka kau jaya,

Kau lemah maka binasa.

Saat ini negara barat dan selatan sedang berperang, memperebutkan wilayah.

Hampir seluruh orang dewasa diwajibkan berperang, bahkan tidak sedikit anak-anak yang diikutsertakan dalam peperangan tersebut.

Sungguh kejam.

Seluruh penduduk negara diwajibkan untuk mengikuti latihan militer, seluruh fasilitas pun diberikan untuk menopang kegiatan tersebut.

Terkadang mereka merasa aman karena terlalu sering dimanja oleh fasilitas yang negara berikan, sampai-sampai mereka lupa bahwa kematian sedang menunggu mereka.

Mereka hanyalah boneka bagi negara dalam sebuah proses perebutan kekuasaan.

Fakta tentang perang tersebut terkadang dirahasiakan dari anak-anak yang sedang dilatih dalam sekolah khusus. Diiming-imingi mendapatkan pekerjaan setelah lulus, membuat mereka semangat dalam melatih kemampuan mereka

Negaraku ini telah melewati masa-masa perang. Entah kapan perang itu akan terjadi kembali.

Atau mungkin sekarang pemerintah sedang kembali bersiap?

Aku tidak tau.

Tetapi aku yakin, perang akan terjadi tidak lama lagi.

.

.

.

Hari ini adalah hari pertamaku di sekolah menengah atas (SMA) di sekolah khusus unggulan.

Nama sekolahnya "Macht Ist Alles", yang berarti "kekuatan adalah segalanya"

Sesuai namanya, maksud khusus di sini adalah seluruh muridnya, laki-laki ataupun perempuan akan dilatih baik secara mental, fisik, dan sihir.

Mereka juga diberikan berbagai macam latihan untuk membantu meningkatkan kemampuan mereka.

Dan setelah lulus dari sekolah ini, pekerjaan

sudah ditentukan tergantung kemampuan masing-masing.

Maka memang bisa dibilang sekolah unggulan karena sudah bisa memastikan pekerjaan untuk setiap individunya di masa depan nanti.

Sesungguhnya banyak sekolah yang sistemnya seperti ini, namun sekolahku adalah yang paling favorit.

Jadi bagaimana orang sepertiku bisa masuk sekolah unggulan seperti ini? Jawabannya adalah karena keluargaku.

Keluargaku adalah keluarga terhormat, para pendahulunya pun menjadi para petinggi pemerintahan, sehingga terus menghantui mereka.

Sama halnya dengan kedua orang tuaku, mereka adalah orang pemerintahan yang sangat sibuk hingga akhirnya menelantarkan anak mereka.

Tidak adanya kasih sayang di dalam keluarga ini bukanlah suatu kejanggalan, ketidakpedulian orangtuaku juga bukan suatu keanehan.

Aku adalah pemalas.

Berbeda dengan adik perempuanku yang tumbuh menjadi sesosok gadis cantik yang sangat tegar, bijak, baik hati, juga sangat menyayangi kakaknya, aku tumbuh menjadi sosok yang selalu diremehkan.

Namaku Aray Kenzie.

Aku adalah anak pertama keluarga Kenzie. Umur 16th, dengan rambut berwarna hitam pekat lurus, tinggi badan 170cm, berat badan 62kg.

Sebenarnya aku ini tampan, namun karena sifatku itu, aku tidak disukai banyak orang.

Ya biarlah ....

Karena aku membenci sesuatu yang merepotkan seperti berinteraksi dengan makhluk lain, jadi tidak masalah.

Namun, bukan berarti aku ini anti sosial atau apapun itu, aku hanya tidak suka sesuatu yang menggangu kedamaian hidupku.

Motoku adalah "Jangan lakukan apapun. Apabila harus, lakukanlah secepatnya."

Tetapi aku berbeda 180° dengan adik perempuanku.

Namanya Alicia Kenzie.

Dia adalah perempuan cantik dan imut. Umurnya 16th, tinggi 165cm, berat? hm ...

Tidak sopan bila memberitahukan sesuatu yang bersifat privasi dan sensitif bagi perempuan.

Aku pernah menyinggungnya sedikit tentang hal tersebut dan dia marah, tidak mau membuatkan makan malam untukku.

Bahkan hanya dengan perawakannya saja, dia disukai oleh banyak orang. Jadi tidak heran jika banyak yang menyatakan cinta padanya saat pertama bertemu.

Oiya, kami berdua tinggal serumah berdua tanpa orang tua kami karena mereka sibuk.

Huh ... merepotkan bukan menjadi orang terkenal?

Membayangkan menjadi dirinya saja sudah membuatku mual.

Dan jika kau bertanya apa yang aku benci,

aku benci manusia di dunia ini.

Mereka sangat egois juga sangat munafik. Saat miskin mereka meminta, saat kaya mereka menyiksa.

Yang lemah dijajah, yang kuat dipuja. Kesetaraan telah lama dipermainkan oleh kotornya hati para manusia sehingga kemanusiaan itu sendiri hilang entah ke mana.

Ketika awal memimpin mereka berkata dengan mudah akan sejahtera nya kita semua, tetapi diiming-imingi sedikit harta, mereka jatuh tak berdaya.

Tak dapat dipungkiri mereka hidup di dunia ini dengan "Ada apanya" bukan "Apa adanya"

Selalu meneriakkan keadilan tanpa tahu di dalam dirinya telah penuh akan dosa yang tak terhitung jumlahnya.

Konsep suatu kesedihan bukanlah seperti mereka yang telah gugur di peperangan dan bersedih akan nyawa yang telah menghilang, tetapi lebih menderita akan jatuhnya kekuasaan.

Padahal para prajurit hidup demi sang penguasa. Mereka tidur di malam hari tanpa tahu esoknya akan mati, tetapi saat mereka mati dan rekannya bersedih, sang penguasa akan berkata,

"Cukup kita sudahi."

Sungguh ironi.

Kita semua hidup dalam sebuah sirkulasi tanpa henti, bergantung satu sama lain, karena seperti itulah hakikat manusia itu sendiri.

Namun, sekali lagi para manusia bejat itu tak tahu diri. Hidup bagaikan benalu tanpa mereka sadari. Entah sampai kapan hal ini harus terjadi.

Walau diriku tak sehebat sosok legenda yang dapat mengubah semua ini seorang diri,

aku harap dunia dapat diperbaiki suatu hari nanti.

Upacara pembukaan

"Kak Aray! Cepatlah! Nanti kita terlambat!" teriak Alicia dari halaman rumah.

"Jangan terlalu terburu-buru, santai saja," balasku.

"Apa maksudmu? Ini hari pertama kita masuk SMA. Keterlambatan adalah sesuatu yang tidak dapat ditoleransi," jelas Alicia, mendekatiku.

"Kau terlalu kaku. Seperti itulah jadinya jika kau terus mengikuti peraturan sekolah sepanjang hidupmu." Aku menatapnya miris sambil memakai sepatu.

Wajahnya memerah karena ejekanku.

"Lambat! Terlalau lambat! Kau seperti anak kecil yang baru belajar cara memakai sepatu .... " Alicia menarik lenganku, memaksaku berdiri.

Aku menyentil kening Alicia pelan. "Tali sepatuku belum terikat," kataku, memberikan isyarat dengan lirikan mata.

"Ah ... " Alicia terdiam sejenak, mengkonfirmasi. " ... maaf, tunggu sebentar." Kemudian Alicia berjongkok, mengikat tali sepatuku dengan cepat.

"Sudah?" Aku menunduk menatap pucuk kepalanya, bertanya.

"Sudah. Ayo, berangkat," ucapnya, kembali berdiri sejajar denganku.

Jarak antara rumah kami dengan sekolah hanya beberapa blok saja. Jadi, tidak masalah jika kami berjalan kaki.

Umurku dan umurnya hanya terpaut beberapa bulan, hal tersebut menjadikan kami berada dalam angkatan yang sama. Aku lahir bulan Januari sementara dia bulan Juli.

Di tengah perjalanan, Alicia melanjutkan pembicaraan.

"Hei, kak."

"Apa?" Aku bertanya.

Kami berjalan melewati perumahan-perumahan dengan rumah besar yang tentu saja milik orang kaya. Aku menatap satu persatu rumah tersebut, bertanya-tanya bagaimana bisa mereka begitu kaya.

"Tidak. Aku hanya penasaran apakah kita akan ditempatkan di kelas yang sama?"

Aku terdiam sejenak, menatapnya. "Aku juga tidak tahu. Jika kau sebegitu inginnya sekelas denganku ... berdoa saja."

"Kau benar. Aku hanya tidak yakin akan baik-baik saja." Alicia terlihat murung.

Tidak biasanya dia bertingkah manja seperti ini.

"Jangan terlalu melebih-lebihkan. Kau pasti akan punya banyak teman."

"Aku tau itu. Bukan itu alasannya. Aku ingin kau juga memiliki banyak teman. Sekarang kau sudah SMA. Bukankah sudah saatnya berbaur dengan masyarakat?"

"Berbaur dengan masyarakat, ya?"

"Bukannya lebih banyak teman akan lebih baik?" tanyanya polos.

"Siapa yang bilang begitu? Tidak masuk akal. Justru semakin banyak teman, akan semakin banyak hal yang harus dilindungi, dan itu pasti menyusahkan." Aku memalingkan wajah, memasukkan tangan ke dalam saku.

Matanya mengerut, bibirnya bergerak membentuk setengah lingkaran terbalik. Dia marah.

"Baik. Aku tidak akan memaksamu lagi" Lalu dia berjalan lebih cepat, meninggalkanku di belakang.

Benar-benar seorang adik yang perhatian, ya?

.

.

.

Bel pertanda masuk sekolah telah lama berbunyi, yang berarti kami telat.

"Lihatlah! Karena kau terlalu berleha-leha, kita jadi terlambat di hari pertama masuk sekolah. Konyol sekali," dengus Alicia kesal.

"Hm ... mungkin kita cuma terlambat sebentar. Coba kita lewat saja," saranku.

"Ugh .... " Alicia menggigit bibir bawahnya, berjalan menuju gerbang sekolah, berniat mengikuti rencanaku.

"Kau tidak boleh masuk!" Ternyata penjaga gerbang menahan langkah kami.

"Kami hanya terlambat sedikit, kan? Apa salahnya membiarkan kami masuk?" pinta Alicia, memelas.

"Maaf. Peraturan tetaplah peraturan. Sekalipun anak bangsawan yang telat, aku tidak akan membiarkannya masuk," ucap penjaga gerbang tegas.

"Omong kosong .... " Sebuah kalimat spontanitas keluar dari mulutku.

Karena jelas sekali dia berbohong. Tidak mungkin manusia berkedudukan rendah sepertinya berani menghalangi seorang bangsawan.

"Apa katamu?" tanyanya tersinggung.

Saat penjaga gerbang menatap mataku langsung, aku menggunakan sihir telepati padanya.

Sebuah gelombang transparan menembus kepalanya, masuk mengobrak-abrik beberapa ingatan penjaga gerbang dan menggantinya dalam sekejap.

Dalam beberapa saat, mata penjaga gerbang nampak kosong, dan saat sadar ia berkata, "Ha? Apa yang sedang kalian berdua lakukan di sini? Cepat masuk sebelum bel berbunyi."

Alicia tersentak kaget dengan perubahan sikap penjaga yang sangat aneh. "Sebelum bel berbunyi?" Ia bertanya-tanya mengapa sang penjaga terlihat seperti lupa ingatan.

"Sudah, sudah ... kita harus masuk sebelum bel berbunyi," kataku sambil mendorong punggung Alicia.

Saat kami berjalan melewati gerbang, seorang perempuan datang, berhenti di depan penjaga gerbang.

"Maaf, aku terlam–"

"Cepat masuk! Sebentar lagi bel berbunyi!" perintah sang penjaga gerbang, memotong kalimat perempuan itu.

Dia perempuan yang cantik dengan rambut pirang dan mata berwarna biru. Tingginya pas, badannya pun langsing.

Orang yang melihatnya pasti akan langsung jatuh cinta. Namun, aku tidak tertarik akan sesuatu yang berbau percintaan.

Tidak. Bukannya aku tidak tertarik. Namun, berkencan itu melelahkan. Harus membalas pesan dengan cepat, pulang sekolah bersama, memberikan hadiah saat ulang tahun ... anak zaman sekarang sangat tidak mengerti yang namanya efesiensi.

Dan kalian tahu apa yang paling buruk? Kencan di hari libur! Bagaimana mungkin!? Hari libur seharusnya adalah waktu di mana kita bisa bermalas-malasan di atas kasur, buang air tanpa diganggu, berendam lebih dari 1 jam, dan hal-hal menakjubkan lainnya.

Jika kalian berkencan, waktu 3 tahun selama SMA akan kalian habiskan hanya untuk sang pujaan hati dan itu menyebalkan, kan? Hampir tidak ada privasi.

"Itu aneh sekali," gumam perempuan tersebut, berjalan melewati gerbang. Saat melihat kami, ia berlari kecil menghampiri. "Hey, kalian! Apa benar bel belum berbunyi?"

"Entahlah ... saat aku datang tadi, penjaga gerbang itu berusaha menahan kami, bahkan sampai mengatakan sesuatu seperti tidak membiarkan seorang bangsawan lewat atau semacamnya," jelas Alicia, sedangkan aku mendengarkan mereka malas.

"Apa maksudnya?"

"Tidak tahu. Tapi beberapa saat kemudian, dia mempersilakan kami masuk." Alicia mengangkat bahunya.

"Kau orang yang baik ya? Bisa langsung bicara banyak pada orang yang baru kau temui. Namaku Vania Vasco. Salam kenal!" Perempuan itu mengulurkan tangannya.

Jadi definisi orang baik sekarang seperti itu? Benar-benar melenceng sangat jauh dari yang kuketahui. Bahkan perampok bisa banyak bicara ketika mereka sedang merampok bank.

"Namaku Alicia Kenzie. Kau bisa memanggilku Alicia. Senang berkenalan denganmu!"

"Dan dia?" Matanya beralih padaku.

"Tak usah pedulikan aku. Hanya sekedar orang lewat. Alicia, aku duluan."

Menghindari sesuatu yang merepotkan seperti ini adalah keahlianku. Aku berjalan menjauh sambil meletakkan tas di punggung.

"Dia dingin sekali," gumam Vania jengkel.

"Itu kakakku. Dia memang seperti itu, tidak suka berinteraksi dengan orang lain. Tak usah hiraukan dia."

"Dia kakakmu?! Sulit dipercaya. Sangat berbeda bukan? Maksudku sifat kalian itu."

Karena Alicia masih kesal denganku, dia mencoba mengubah topik pembicaraannya.

"Sebaiknya kita tidak terlalu berlama-lama di sini. Upacara pembukaan nampaknya sudah dimulai."

"Baiklah." Vania mengangguk tersenyum, berjalan bersama Alicia ke aula.

.

.

.

"Harap tenang! Upacara pembukaan akan segera dimulai!" Seorang wanita paruh baya memerintah kami lewat mikrofon.

Dari barisan paling belakang aku dapat melihat Alicia dan vania yang baru datang.

Napas mereka tak beraturan, sepertinya mereka berlari.

Aku bertanya-tanya bagaimana seseorang dapat melakukan sesuatu yang sangat merepotkan seperti itu.

"Hah ... untung saja masih sempat." Alicia datang dengan keringat mengucur di dahinya.

Aku melihat vania yang sedang membungkuk karena lelah setelah berlari lalu memalingkan wajah.

"Kepada perwakilan siswa baru, diharapkan untuk naik keatas mimbar!" ucap pembawa acara.

Aku melihat seorang pria yang tampan dengan rambut perak dan mata yang sama dengan warna rambutnya berjalan menaiki panggung dan berhenti diatas mimbar, lalu memulai pidato nya.

"Teman-teman yang saya cintai, saya sebagai perwakilan murid baru akan memberikan sedikit sambutan .... "

Mulailah terdengar bisikan-bisikan mengenai pria tersebut baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan

"Hei, bukankah dia sangat tampan?" kata perempuan didepan ku kepada temannya.

"Ya, sangat tampan!"

"Bukankah dia yang meraih nilai sempurna pada tes masuk kemarin?" bisik pria disebelahku kepada temannya juga.

Ohh ... tipikal manusia sempurna, ya? Bodoh sekali. Apa sebegitu inginnya dia terkenal di kalangan anak perempuan? Tunggu. Apa dia sebenarnya mengincar laki-laki?

Seketika aku merinding.

"Perkenalkan, nama saya Gabriel Rio. Teman-teman semua tahu bahwa sekolah ini bernama "Macht ist alles" yang berarti kekuatan adalah segalanya

Maka kita sebagai murid yang telah dipilih oleh sekolah, harus memperlihatkan kemampuan kita juga memberikan yang terbaik kepada sekolah. Latihlah kemampuan kalian agar menjadi orang yang berguna bagi sekolah maupun negara. Dan yang lebih penting, berguna untuk diri sendiri. Sekian."

Sang perwakilan murid baru itu mengakhiri pidato nya dengan penutup yang bagus.

Terdengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari para murid baru dan juga para guru, pujianpun mulai terdengar dimana-mana

"Sudah tampan, pandai bicara lagi. Sangat keren!"

Oi, oi ... kalian para mamalia terlalu melebih-lebihkan. Apa mereka sebegitu bodohnya sampai menyukai orang yang sama?

Para perempuan sudah tergila-gila padanya padahal dia hanya memberikan kata-kata sambutan.

Aku tidak paham jalan pikiran mamalia.

Setelah upacara selesai Alicia mendekatiku,

"Dia tampan bukan?" tanya Alicia.

"Aku kira kau masih marah padaku."

"Jadi kau memang ingin aku marah, ya?" Dia melipat wajahnya.

"Melihatmu marah tidak terlalu buruk."

"Tapi aku tidak bisa terus menerus marah kepadamu karena ini hari pertama sekolah."

"Apa hubungannya?" tanyaku polos.

"Lupakan saja!"

Kurasa dia masih marah.

Kami berjalan menuju papan pemberitahuan pembagian kelas.

Kelas di sekolah ini mempunyai beberapa tingkatan. Ada 3 tingkatan, yaitu: Anfänger (pemula), Stark, dan Unver.

Tingkatan nya sesuai urutan, Anfänger untuk pemula. Berarti mereka akan diajari dasar-dasar dalam kekuatan.

Stark untuk tingkat menengah, dan Unver bisa disebut untuk yang sudah ahli. Alicia masuk kelas Unver sementara aku Anfänger, perbedaan kasta yang sangat jauh ya?

Tapi memang ini yang aku inginkan. Menjadi pusat perhatian itu melelahkan. Bagiku ini adalah yang terbaik, menghindari segala sesuatu yang merepotkan.

"Sayang sekali ... kita tidak sekelas .... " Alicia terlihat sedih.

"Sudahlah, tidak perlu bersedih. Lagipula bukankah aku yang seharusnya bersedih disini?"

"Benar juga ya? Apakah kau akan baik-baik saja?"

"Jangan khawatir. Selama tidak merepotkan, aku akan baik-baik saja."

"Itulah yang aku khawatirkan .... "

Aku menatapnya malas, menghembuskan napas berat. "Jangan terlalu peduli, nanti kau bisa mati."

"Apa-apaan itu? Jika kau memang tidak ingin diperhatikan bilang saja. Jangan mengada-ada. Sudahlah, jaga dirimu!" Setelah mengatakan itu, Alicia pergi meninggalkan ku.

Dia masih terlalu naif. Tidak tau bagaimana cara dunia ini bekerja. Yah ... tidak perlu dipusingkan, aku juga masih memiliki urusan.

"Nah .... "

Sekarang giliranku masuk kelas. Semoga kelasku isinya sekumpulan kutu buku yang selalu diam membaca saat di kelas. Atau mungkin sekumpulan anti-sosial lebih baik?

Perkenalan

"Selamat pagi semua! Mulai hari ini aku adalah wali kelas kalian. Panggil saja aku pak Roy!"

Ia memiliki mata yang tajam, badan yang kekar dan entah mengapa ia memiliki aura yang sangat membara.

Huh ... orang seperti ini adalah tipe orang yang paling menyebalkan.

Setelah berkata begitu, seluruh kelas yang tadinya berisik, perlahan-lahan mulai tenang.

Aku juga mulai memperhatikannya dari pojokan kelas.

"Kalian sadar bukan ini kelas apa? Kelas yang berisi orang-orang bodoh! Aku tak berkata bahwa kalian itu lemah. Kenapa? Karena kalian hanya belum tau bagaimana menggunakan kekuatan kalian dengan benar.

Maka mulai hari ini, aku akan membimbing kalian agar menjadi lebih kuat.

Ingat ini! Yang kuat selalu berdiri di atas yang lemah. Yang lemah akan ditindas, direndahkan, dicaci!

Jangan mau dibilang lemah sekalipun itu memang benar. Teruslah berlatih dan belajar sampai menjadi yang terkuat!" Ia melanjutkan sambutan nya dengan kata-kata yang mencoba memotivasi kami, sampai ....

"Berengsek! Jangan seenaknya berkata bahwa aku ini lemah!" Seorang anak laki-laki yang terlihat sentimentil bediri dan meneriakkan kata-kata tidak sopan.

"Kau ini sama sekali tidak mendengarkan bukan? Tapi aku suka anak yang bersemangat."

"Kau meremehkanku?" Wajah anak itu memerah.

"Jadi kau ingin bertarung denganku?" Pak Roy memprovokasi anak itu.

"Dengan senang hati!"

Sungguh kelas yang sangat bersemangat. Tentu ini akan menjadi halangan bagiku untuk mendapatkan kedamaian.

Setelah itu hampir seluruh anggota kelas ikut dalam kerusuhan tersebut.

Hanya aku dan beberapa anak lainnya yang terlihat tetap tenang.

"Hei, kau!" Anak laki-laki di sebelahku menyapa.

Aku menoleh.

"Aku perhatikan kau diam saja. Apa kau tidak tertarik dengan kerusuhan ini?" Ia bertanya.

"Jangan bicara denganku." Aku memalingkan wajah.

"Hm? Sepertinya kau membenci hal-hal merepotkan seperti ini. Apa aku benar?"

Oh? dalam sekali tebak benar ya?

Orang yang sangat peka. Aku harus menghindari jenis manusia seperti ini.

"Entahlah."

"Kau menarik." Dia menarik ujung bibirnya sehingga membuat lengkungan ke atas.

Aku hanya diam.

"Ryan Alvarado. Salam kenal. Namamu?" Dia mengulurkan tangannya.

"Aray Kenzie." Aku memperkenalkan diri namun tak membalas uluran tangannya.

Tiba-tiba Pak Roy menggebrak meja.

"Daripada ribut begini, latih tanding di hari pertama sepertinya bukan ide yang buruk. Pilihlah seseorang yang akan menjadi lawanmu. Jika kau menang, kau bisa bertarung denganku sepuasnya."

Ide yang merepotkan.

"Baiklah. Siapapun lawannya aku tidak akan kalah!" Anak itu mengangkat dagunya.

"Maka pilihlah!" perintah pak Roy pada anak itu.

Ia melihat sekelilingnya, mencari lawan. Tadi ia bilang ia akan menang siapapun lawannya?

Namun, sepertinya itu hanya omong kosong. Karena dari gerak-gerik nya ia sedang mencari yang paling lemah. Dan yang ia pilih adalah—

"Kau! Lawanlah aku!" katanya sambil mengarahkan jari telunjuknya padaku.

Eh? Bocah ini benar-benar ... apa memang keberuntunganku seburuk itu? Aku tidak harus menerima tantangannya, kan?

"Merepotkan. Pilih yang lain saja" Bahkan aku sama sekali tidak menatapnya.

"Kau takut? Benar kata orang, yang lemah akan selalu lari dari medan perang."

Hm? Mau memprivokasiku? Lucu sekali. Apa sebaiknya aku ikuti saja permainannya? Toh, tidak akan lama.

Maka aku perlahan menatapnya remeh, terkekeh merendahkan.

"Lemah? Aku tarik kata-kataku. Akan kutunjukkan padamu apa itu lemah."

"Silakan. Aku pasti akan menghajarmu sampai kau meminta ampun kepadaku."

Seluruh kelas mulai bersemangat.

"Baiklah. Kalau begitu, aku akan membuat arenanya," kata pak roy.

Sekolah ini memiliki sistem tersendiri. Dengan campuran antara mantera sihir tingkat tinggi dan teknologi, mereka berhasil membatasi tindakan para siswa dengan menciptakan sebuah mantera sihir baru yang bernama [Arena].

Penciptaan Arena tidak terbatas pada seorang guru, akan tetapi siswa juga diperbolehkan untuk menggunakan mantera tersebut.

Bisa dibilang, ini mantera sihir yang diciptakan untuk bersama.

Namun, bukan sembarang orang yang bisa menggunakan mantera sihir ini. Meskipun termasuk dalam mantera sihir tingkat dasar, pengendalian magi yang stabil masih menjadi sebuah persyaratan dalam penggunaannya.

Magi adalah energi yang tersebar di seluruh dunia. Energi tersebut dapat digunakan dengan cara mengumpulkannya lewat udara dan mengkompresnya hingga bisa masuk ke dalam tubuh.

Tubuh manusia sendiri memiliki wadah alami yang memungkinkan agar magi dapat disimpan dan digunakan sebagai bahan bakar dalam penggunaan sebuah mantera sihir.

Proses pengisian magi dari alam juga termasuk penyaringan magi kotor, pemusatan magi dalam wadah, hingga mengalirkan magi ke seluruh tubuh agar dapat mengaktifkan sebuah mantera sihir yang efesien.

Pada dasarnya, seorang bayi manusia yang baru lahir kedunia pun sudah memiliki cadangan magi yang ia dapat dari ibunya selama masa kandungan.

Jadi, tergantung cara perawatan seorang ibu dalam masa kehamilannya, seorang bayi bisa dikatakan cacat, normal atau bahkan jenius dalam sihir.

Nah, cukup untuk penjelasan dasarnya. Mari kembali pada Pak Roy yang kini tengah mengangkat tangannya, merapalkan sebuah mantera sihir.

"[Creation: Battlefield]!"

Saat itulah percikan magi tersebar dalam ruang kelas berukuran 30x20 meter. Para murid bergumam takjub ketika merasakan magi seorang guru profesional di hadapan mereka.

Sedangkan aku tengah bersiap pada pemindahan fisik ke dalam dunia sihir virtual yang diciptakan oleh Pak Roy.

Seketika ruangan tempatku berada menjadi gelap. Bagai grafik dalam sebuah game online, pandangan gelap tersebut mulai terisi oleh jutaan partikel warna-warni hingga akhirnya berubah menjadi arena seperti Colosseum.

Menyapu bersih pemandangan asing disekitarku, angin sepoi-sepoi bercampur pasir halus menerpa wajahku.

Di tengah arena tersebut hanya ada aku dan anak sombong itu. Tersenyum sombong mengangkat dagunya di hadapanku, dia berkata,

"Tidak baik untuk tidak mengetahui nama satu sama lain sebelum bertarung. Perkenalkan, namaku—"

"Tak usah banyak bicara. Langsung saja," aku menyelanya secepat kilat, melambaikan tangan tanda tak tertarik.

Aku sungguh tak peduli dengan namanya.

Tidak ada gunanya berlama-lama dalam pertarungan bodoh ini. Niatku hanya untuk bermain-main dengannya sedikit saja.

Sudah lama aku ingin mengetes kemampuanku pada orang lain. Mungkin ini akan jadi pemanasan singkat sebelum menjalani hari-hari yang menyebalkan.

Aku harus menyelesaikan ini dengan cepat.

"Jangan terlalu sombong. Kau tidak akan bisa melawanku yang seorang bangsawan!" Ia berteriak.

Ini dia. Bangsawan. Kesombongannya melebihi tingginya langit. Konsep macam apa yang telah dipertahankan oleh kerajaan ini.

Keturunan mereka harusnya lebih memerhatikan kebun yang mereka tanam daripada bermain-main dengan strata sosial masyarakat.

"Kalau begitu, akan kuperlihatkan perbedaan kekuatan antara kita." Aku berkata dengan tenang.

Dengan begitu pertarungan dimulai.

Ia menggerakkan tangannya dan mengucap mantra,

"[Wind Blaze]."

Ini adalah mantera sihir tingkat dasar. Walaupun sama sekali tidak menguras simpanan magi, aku merasa ini tetap tidak pantas.

Mentransmisikan magi dari dalam tubuhnya, sebuah badai angin muncul di tengah Colosseum.

Langit menjadi gelap, angin berhembus kencang. Bersamaan dengan jutaan butir pasir yang ikut terbang bersama angin, pusaran angin besar mulai terbentuk.

Tornado itu mulai menarik apapun ikut kedalam pusaran nya, memporak-porandakan sebagian kursi penonton yang terbuat dari batu kuno.

Wow. Ini cukup kuat untuk sebuah mantera sihir tingkat dasar.

"Bagaimana? Apakah kau menyerah?"

Yah, mau bagaimanapun dia sangat percaya diri dengan kemampuannya.

"Ckckck," Namun, ini belum cukup. Aku menggelengkan kepala tanda tak setuju.

Aku akan mengakhiri ini dengan cepat.

Menatap bosan pertarungan ini, aku mulai bergumam, mengaktifkan sebuah mantera sihir.

Magi mulai tersebar di sekitar tubuhku. Ketika aku merasakan sebuah esensi aneh dalam tubuh, aku mulai mengayunkan kaki, melangkah satu kali.

Dan dalam sekejap, aku menghilang dan kembali muncul di belakang punggungnya, memberikan sebuah tekanan dahsyat.

"Apa–"

Keterkejutan tampak helas dalam mata pria itu, memperlihatkan kerutan kecil di dahinya.

Namun, tak membiarkan ia bereaksi pada strategiku, dengan cepat, aku meletakkan telapak tanganku di wajahnya.

Sekali lagi mengaktifkan sebuah mantera sihir.

"[Death]."

Sihir itu dengan cepat menyambar jiwanya, mengalirkan energi mematikan pada seluruh organ tubuh. merusak fungsi paru-paru, otak, hingga seluruh sel dalam tubuhnya berhenti bekerja.

Matanya berubah putih, tubuhnya berhenti bergerak, jatuh kaku menciptakan suara ambruk di samping kakiku.

"Hey, Nak. Jangan salahkan aku. Seharusnya kau memang tidak memulai pertarungan yang mustahil kau menangkan."

Aku bergumam kasihan dalam hati.

Seharusnya dia akan mati seketika, tapi aku menurunkan efeknya sehingga hanya akan mematikan fungsi beberapa organ tubuh dalam sesaat.

Bisa disebut juga dengan istilah pingsan.

Hanya 10 detik. Menyedihkan.

Sekolah juga memiliki teknologi virtual aneh yang berfungsi untuk menyiarkan pertarungan di dalam setiap [Arena] yang sedang berlangsung pada para siswa yang tertarik.

Tentu itu bertujuan untuk memobilisasi, membatasi, hingga mencatat kekuatan para siswa dan memasukkannya ke dalam database sekolah.

Cih, mereka benar-benar mengerti caranya menipu anak-anak.

Untungnya, akibat mantera sihir dasar elemen angin yang bocah ini ciptakan, visual pertarungan kita berdua pasti akan terhalang oleh badai bahkan dalam layar virtual para siswa.

Aku berjongkok dihadapannya, mendekatkan tubuhku ke telinganya dan berkata,

"Inilah yang kusebut lemah."

Arena yang berbentuk Colosseum pun perlahan menghilang. Partikel-partikel cahaya itu perlahan terbang ke udara, meninggalkan sebuah ruang gelap tak berpenghuni.

Hingga sedetik kemudian, aku sudah kembali ke dalam kelas, kemudian duduk perlahan di atas kursi.

Bisikan-bisikan terdengar dari seluruh kelas.

"Hei! Apa itu tadi? Cepat sekali."

"Bahkan aku tidak tau apa yang terjadi!."

"Padahal yang dilawan adalah seorang bangsawan. Aku dengar bangsawan itu juga cukup hebat."

"Berarti dia lebih hebat bukan?" Sambil melihat ke arahku.

Ah ... ini jadi tambah merepotkan.

Aku melihat tubuh bangsawan itu tergeletak di lantai kelas, namun aku tak peduli.

"Hei! Bukankah kau sangat hebat? Dapat mengalahkannya dengan sangat cepat seperti itu?" Mata Alvarado berbinar.

"Tidak, itu hanya kebetulan." Aku menyanggahnya.

"Sudah kuduga. Kau sangat menarik."

Aku tak mengerti apa yang dipikirkan orang ini.

"Hebat sekali! Kau mengalahkannya hanya dalam beberapa detik! Siapa namamu anak muda?" tanya pak Roy.

Apa maksudnya anak muda?

"Aray Kenzie. Itu namaku."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!