Di suatu pagi yang cerah, dr. Surya dan dr. Andi bersiap untuk melakukan operasi pada pasien yang mengalami Siringomielia. Mereka berdua memasuki ruang operasi dengan penuh semangat dan konsentrasi.
Dr. Surya, seorang dokter yang sangat berpengalaman, mulai mempersiapkan diri dengan memakai sarung tangan steril dan masker. Ia kemudian menghampiri pasien yang telah dibius dan berbaring di meja operasi. Sementara itu, dr. Andi, yang merupakan asisten dr. Surya, juga bersiap dengan peralatan yang akan digunakan selama operasi.
"Andi, siapkan pisau bedah dan pinset." titah Dr. Surya
Dr. Andi mengangguk dan segera mengambil alat-alat yang diminta. Namun, pikirannya mulai melayang dan ia terlihat melamun.
Dr. Surya, yang sedang fokus pada operasi, menyadari bahwa dr. Andi belum memberikan alat yang dimintanya. Ia kemudian menoleh dan melihat dr. Andi melamun.
"Andi! Fokus! Kita sedang melakukan operasi! Berikan saya pisau bedah dan pinset sekarang!" bentak dr. Surya.
Dr. Andi tersadar dari lamunannya dan segera meminta maaf. Ia lalu memberikan alat yang diminta oleh dr. Surya.
Operasi pun dimulai. Dr. Surya dengan cermat dan hati-hati melakukan prosedur untuk mengatasi Siringomielia pada pasien tersebut. Dr. Andi, yang kini sudah kembali fokus, membantu dr. Surya dengan memberikan alat-alat yang diperlukan dan mengikuti setiap instruksi yang diberikan.
Setelah beberapa jam yang melelahkan, operasi akhirnya selesai. Dr. Surya dan dr. Andi merasa lega dan puas dengan hasil yang mereka capai.
Setelah operasi berakhir, dr. Surya dan dr. Andi berjalan keluar dari pintu ruang operasi. Suasana di lorong rumah sakit masih sama seperti sebelumnya, namun ada aura tegang yang mengelilingi kedua dokter tersebut.
Dr. Surya, dengan wajah yang serius dan ekspresi yang tegang, berhenti tepat di luar pintu operasi. Dia menatap dr. Andi dengan tatapan yang tajam dan penuh kekecewaan.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi denganmu hari ini, Andi. Tapi ketidakhadiran mu secara mental di ruang operasi tadi benar-benar tidak dapat diterima," ujar dr. Surya, suaranya terdengar tegas dan keras.
Dr. Andi tampak terkejut, namun ia tidak bisa membantah apa yang dikatakan dr. Surya. Ia merasa bersalah dan mengakui bahwa ia memang tidak fokus saat operasi.
"Maaf, dr. Surya. Saya..." dr. Andi mencoba menjelaskan, namun dr. Surya memotongnya.
"Tidak ada 'maaf', Andi. Kita berdua adalah dokter. Kita memiliki tanggung jawab untuk pasien kita. Saat kita berada di ruang operasi, kita harus sepenuhnya fokus. Tidak ada ruang untuk melamun atau berpikir tentang hal lain," dr. Surya menegaskan, suaranya penuh dengan penekanan.
Dr. Andi mengangguk, memahami betapa seriusnya situasi ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri dan pada dr. Surya bahwa ia akan lebih fokus dan profesional di masa mendatang.
Dr. Surya, setelah melihat penyesalan di wajah dr. Andi, merasa puas bahwa pesannya telah disampaikan. Ia menghela nafas dan kemudian berjalan pergi, meninggalkan dr. Andi untuk merenung tentang apa yang baru saja terjadi.
Di hari yang sibuk, Rumah Sakit Serenity Prime, dipenuhi oleh pasien yang datang dari berbagai latar belakang dan kondisi kesehatan. Begitu memasuki pintu utama, suasana ramai terasa begitu nyata. Suara orang berbicara, anak-anak menangis, dan pergerakan kursi roda menciptakan harmoni kehidupan di rumah sakit.
Dr. Andi, dengan rasa kesal dan menyesal, keluar dari ruang operasi dan berjalan tanpa arah dengan kekesalannya karena dirinya sendiri.
Di koridor rumah sakit, perawat dan dokter berlalu-lalang dengan cepat, membawa berkas pasien dan alat medis. Mereka tampak sibuk namun tetap tersenyum kepada pasien yang mereka temui.
Sesekali, terdengar suara pengumuman melalui speaker, memanggil pasien untuk datang ke ruang periksa atau menginformasikan jadwal operasi.
Suatu malam yang hujan lebat, Dr. Surya sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit setelah melakukan beberapa operasi yang melelahkan. Ia mengendarai mobilnya dengan hati-hati melalui jalan-jalan yang licin dan berkelok-kelok. Lampu jalan yang redup dan kabut tebal membuat visibilitas semakin buruk.
Tiba-tiba, seekor rusa melompat keluar dari semak-semak dan berlari melintasi jalan. Dr. Surya mencoba menghindar, tetapi mobilnya tergelincir dan kehilangan kendali. Mobil itu berputar dan menabrak pohon di pinggir jalan dengan kecepatan tinggi.
Benturan itu sangat keras hingga airbag di dalam mobil meledak keluar, tetapi itu tidak cukup untuk melindungi Dr. Surya dari cedera serius. Ia terjebak di dalam mobil yang hancur, sadar tetapi tidak bisa bergerak. Ia mencoba memanggil bantuan, tetapi suaranya tenggelam oleh suara hujan yang mengguyur.
Dr. Surya berjuang untuk tetap sadar, tetapi rasa sakit dan kelelahan akhirnya mengalahkan dia. Ia merasakan kesadaran mulai memudar, dan sebelum kegelapan menyelimuti, ia berharap bahwa pengetahuan dan keterampilannya sebagai dokter bisa diteruskan dan digunakan untuk membantu orang lain.
Ketika tim penyelamat akhirnya tiba, sayangnya sudah terlambat. Dr. Surya telah menghembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan dunia dengan pengetahuan medisnya yang luar biasa dan semangat untuk menyelamatkan nyawa.
Di sisi lain, Di dalam ruangan rapat yang luas, dr. Andi berdiri di depan puluhan dokter ahli bedah saraf lainnya. Ia baru saja menjelaskan tentang kasus aneurisma otak yang kompleks dan berisiko tinggi yang memerlukan operasi segera. Wajah-wajah di ruangan itu tampak serius dan penuh pertimbangan.
"Saya memahami risikonya, namun pasien membutuhkan operasi ini. Siapa yang bersedia untuk mengambil kasus ini?" tanya Dr. Andi.
Namun, satu per satu, dokter-dokter di ruangan itu mulai menolak.
Dr. Ravi, seorang dokter senior, berbicara pertama, "Saya tidak bisa mengambil risiko ini. Saya punya tanggung jawab terhadap keluarga saya. Jika sesuatu terjadi pada saya saat operasi, mereka akan menderita."
Dr. Lisa, seorang dokter muda, juga mengungkapkan kekhawatirannya, "Saya baru saja memulai karir saya dan saya belum siap menghadapi kasus sekompleks ini. Saya khawatir jika ada kesalahan, reputasi saya akan hancur."
Dr. Omar, seorang dokter berpengalaman, menambahkan, "Saya sudah dekat dengan pensiun dan saya tidak ingin menghabiskan tahun-tahun terakhir karir saya dengan stres dan risiko yang tinggi ini."
Namun, di antara penolakan dan alasan, satu suara berbeda muncul. Dr. Jina, seorang dokter yang dikenal karena sifat materialistis nya, berdiri dan berkata, "Saya akan melakukannya. Tapi saya harap rumah sakit dan keluarga pasien memahami bahwa ini akan memerlukan biaya yang sangat besar. Dengan risiko tingkat ini, saya yakin bisa menanganinya. Namun dengan syarat, dr. Andi, akan menjadi asisten saya."
Semua orang di ruangan itu terdiam, menatap dr. Jina dengan ekspresi campuran antara kagum dan skeptis. Sementara itu, dr. Andi merasa lega bahwa ada satu orang yang bersedia mengambil kasus ini, meskipun dengan alasan yang kurang mulia.
Suasana di ruangan rapat menjadi semakin tegang. Dokter-dokter yang sebelumnya menolak kini mulai memojokkan dr. Andi dengan berbagai pertanyaan dan hinaan.
Dr. Ravi, dengan nada sinis, bertanya, "Andi, apakah kamu yakin kamu bisa menangani kasus ini? Kamu masih muda dan kurang pengalaman."
Dr. Lisa menambahkan, "Andi, apa kamu tidak takut reputasi mu akan hancur jika operasi ini gagal? Kamu tahu kan, dunia medis ini kejam."
Dr. Omar, dengan nada merendahkan, berkata, "Andi, kamu ini terlalu naif. Kamu pikir ini seperti di sekolah kedokteran? Ini nyawa pasien yang berada di tanganmu. Jangan berpikir karena kamu murid dari dr. Surya, kau bisa berbuat seenaknya dengan nyawa pasien."
Beberapa dokter lain juga menimpali dengan hinaan dan pertanyaan mereka sendiri, mencoba meremehkan dr. Andi dan meragukan kemampuannya.
Namun, di tengah hujan hinaan dan pertanyaan itu, dr. Andi tetap tenang. Ia tahu bahwa ini bukan tentang dirinya, tetapi tentang pasien yang membutuhkan bantuannya. Ia berdiri teguh, siap untuk menjawab setiap pertanyaan dan hinaan yang dilemparkan kepadanya.
Ketika dokter-dokter lain mulai memojokkan dr. Andi dengan pertanyaan dan hinaan, ia memutuskan untuk menghadapi situasi tersebut dengan tenang dan percaya diri.
Ia sadar bahwa menjaga fokus pada kepentingan pasien adalah prioritas utama. Seperti yang di ajarkan dr. Surya kepadanya.
Dr. Andi, dengan suara yang tenang namun tegas, menjawab, "Saya mengerti kekhawatiran dan keraguan Anda semua. Namun, kita di sini sebagai dokter memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa pasien. Saya percaya bahwa dengan dukungan dari tim medis, dr. Jina sebagai pemimpin operasi dan saya sebagai asistennya, kita dapat menghadapi kasus ini dan memberikan hasil terbaik untuk pasien."
Ia melanjutkan, "Saya tidak akan membiarkan ketakutan dan keraguan menghalangi saya untuk melakukan yang terbaik bagi pasien. Saya akan belajar dari pengalaman ini dan terus mengembangkan keterampilan saya sebagai dokter. Saya berharap kita semua dapat bekerja sama untuk mengatasi tantangan ini, bukan saling menjatuhkan."
Dengan jawaban yang matang dr. Andi berhasil meredam suasana tegang di ruangan rapat. Beberapa dokter mulai merasa malu dan sadar bahwa mereka seharusnya lebih mendukung rekan mereka. Meskipun masih ada keraguan, suasana di ruangan itu mulai berubah menjadi lebih positif dan konstruktif, karena mereka semua menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang sama untuk membantu pasien yang membutuhkan.
"Besok pagi kita akan memulai operasinya, jadi..." Sebelum Andi dapat menyelesaikan ucapannya, tiba tiba dering telepon masuk ke semua ponsel dokter yang ada di ruang rapat tersebut.
Di tengah rapat yang sedang berlangsung, dr. Andi duduk di antara rekan-rekan dokternya, mendengarkan pembahasan yang sedang berlangsung. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Ia melihat layar dan melihat bahwa ada panggilan masuk dari rumah sakit.
Dr. Andi merasa panggilan ini mungkin penting, jadi ia meminta izin untuk menjawabnya.
Dr. Andi berkata, "Maaf, sepertinya ini panggilan penting dari rumah sakit. Izinkan saya menjawabnya."
Rekan-rekan dokternya mengangguk, dan dr. Andi beranjak dari kursinya, berjalan ke sudut ruangan untuk menjawab panggilan tersebut.
"Halo, ini dr. Andi. Ada apa?"
Di seberang telepon, suara rekan kerjanya terdengar cemas. "Andi, ada kabar buruk. Dr. Surya baru saja meninggal dunia."
Mendengar kabar ini, dr. Andi merasa seolah dunia berhenti berputar. Ia merasa terkejut dan sedih."Oh, tidak... Tidak mungkin. Apa yang terjadi?"
"Kami belum mendapatkan detail lengkap, tapi sepertinya dr. Surya mengalami kecelakaan yang tak terduga. Kami harus memberi tahu semua orang."
Dr. Andi menghela nafas, mencoba menenangkan diri.
"Terima kasih telah memberi tahu saya." Setelah mengakhiri panggilan tersebut, dr. Andi berjalan kembali ke meja rapat dengan wajah pucat. Ia memberi tahu rekan-rekannya tentang kabar duka tersebut dan rapat pun segera diakhiri.
Setelah seharian bekerja keras di rumah sakit, dr. Andi akhirnya pulang ke rumah. Begitu memasuki rumah, ia disambut oleh mertuanya, Tina, yang tampak menunggunya dengan ekspresi tidak senang. Dr. Andi merasa lelah dan mencoba untuk mengabaikan sikap mertuanya, berharap bisa langsung menuju kamar untuk beristirahat.
Namun, Tina tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ia mulai menghujani Andi dengan hinaan dan celaan.
"Lihat siapa yang baru pulang! Kamu pikir kamu hebat hanya karena kamu dokter, ya? Tapi di mataku, kamu tidak lebih dari menantu yang tidak berguna!" pekik Tina.
Andi mencoba tetap tenang dan tidak terpancing oleh hinaan Tina. Ia berusaha untuk melangkah melewati mertuanya, tapi Tina semakin murka melihat sikap Andi yang mengabaikannya.
"Oh, jadi kamu mengabaikan aku sekarang? Kamu merasa terlalu penting untuk mendengarkan apa yang harus kukatakan, ya? Ingat, Andi, aku tidak pernah minta kamu menjadi menantuku. Kamu tidak pantas untuk keluargaku!"
Andi merasa perasaannya terluka, tetapi ia tahu bahwa bereaksi terhadap hinaan Tina hanya akan memperburuk situasi. Ia mengambil napas dalam-dalam dan memutuskan untuk tetap tenang.
"Maaf, Tina. Saya sangat lelah setelah bekerja seharian. Saya hanya ingin beristirahat sebentar. Kita bisa bicara nanti jika kamu mau." ucap Andi dengan nada yang rendah.
Mendengar jawaban dr. Andi, Tina tampak tidak puas, tetapi ia akhirnya membiarkan dr. Andi pergi ke kamarnya. Meskipun situasi di rumah terasa tidak menyenangkan, dr. Andi tetap berusaha untuk menjaga ketenangan dan fokus pada tanggung jawabnya sebagai dokter dan menantu.
Setelah Andi berhasil melewati Tina dan masuk ke kamarnya, ia duduk di tepi tempat tidur, merasa lelah dan sedih. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka perlahan dan Sia, istrinya, masuk dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Andi, aku mendengar apa yang ibu katakan tadi. Aku minta maaf atas perlakuannya. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu."
Andi, yang biasanya ramah dan hangat, kali ini merasa begitu lelah dan kecewa sehingga ia menanggapi Sia dengan dingin, "Tidak perlu minta maaf, Sia. Aku sudah terbiasa dengan perlakuan ibumu. Aku hanya ingin sendiri sekarang."
Sia merasa sedih melihat suaminya begitu tertekan, tetapi ia mengerti bahwa Andi memerlukan waktu untuk meresapi perasaannya.
"Baiklah, Andi. Aku akan memberimu waktu untuk sendiri. Jika kamu ingin bicara atau membutuhkan sesuatu, aku ada di ruang keluarga, ya." ucap Sia.
Andi mengangguk lemah, dan Sia perlahan keluar dari kamar, menutup pintu di belakangnya. Meskipun Andi menolak penghiburan dari istrinya, Sia tetap berusaha untuk mendukung suaminya dan berharap situasi di rumah akan membaik seiring waktu.
Andi sedang tidur pulas di kamarnya setelah menghadapi hari yang melelahkan di rumah sakit begitu juga di rumah. Tiba-tiba, ia merasa terbangun oleh suara gemuruh yang jauh. Langit tampak berkilauan dengan cahaya aneh yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Andi merasa ada kehadiran tak kasat mata yang menariknya keluar rumah. Ia mengikuti dorongan itu dan berjalan ke taman di belakang rumahnya. Di sana, ia melihat cahaya misterius yang menyinari pohon tua, dan di bawah pohon itu, ia melihat sosok yang samar-samar mirip Dr. Surya.
Sosok itu mengulurkan tangannya ke arah Andi dan berkata, "Andi, pengetahuan dan keterampilan medis yang telah aku perjuangkan seumur hidupku untuk diteruskan kepada seseorang yang layak. Sebenarnya aku tidak ingin jika ilmu ini menghilang begitu saja maka dari itu, aku memilih kamu untuk mewarisi warisan ini dan menggunakan kekuatan ini untuk kebaikan."
Sebelum Andi bisa meresapi apa yang terjadi, cahaya misterius itu menyelimuti tubuhnya, membuat seluruh tubuhnya terasa hangat dan penuh energi. Ia merasa seolah-olah arus listrik mengalir melalui urat nadinya, menghubungkan pikirannya dengan pengetahuan dan pengalaman Dr. Surya.
Ketika cahaya itu mereda, sosok Dr. Surya menghilang, dan Andi merasa seolah-olah ia baru saja mengalami mimpi yang sangat nyata.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*
Pagi itu, matahari baru saja menyingsing di langit ketika Dr. Andi tiba di UGD sebuah rumah sakit di kota. Tidak lama setelah ia tiba, sebuah ambulans melaju kencang memasuki halaman rumah sakit. Pasien yang dibawa tampak sangat kritis dan memerlukan perawatan segera.
Melihat itu, dr. Andi segera berlari ke arah ambulan tersebut. Dan dengan cepat membentuk tim dengan beberapa residen yang bertugas di UGD.
Pasien tersebut adalah seorang wanita muda yang baru saja mengalami kecelakaan motor yang parah. Ia mengalami pendarahan internal dan kerusakan organ yang luas. Dr. Andi dan timnya dengan sigap mengevaluasi kondisi pasien, dan mereka segera menyadari bahwa pasien tersebut mengalami ruptur aorta, yaitu robeknya pembuluh darah utama yang mengalirkan darah dari jantung ke seluruh tubuh.
Menyadari betapa kritisnya situasi ini, Dr. Andi langsung mengambil alih kendali. Dengan tegas dan lugas, ia memerintahkan timnya untuk segera menyiapkan peralatan yang diperlukan. "Saya butuh alat laparoskopi, gunting bedah, dan alat penjepit pembuluh darah sekarang!" ujar Dr. Andi dengan suara yang keras namun tenang, menunjukkan otoritasnya sebagai dokter yang berpengalaman.
Tim UGD dengan cepat menyiapkan peralatan yang diminta Dr. Andi dan mengatur ruangan agar sesuai dengan standar operasi. Mereka semua tahu betapa pentingnya kecepatan dalam situasi seperti ini, dan mereka bekerja sama untuk memastikan segalanya siap tepat waktu.
Dr. Andi memulai operasi darurat di UGD dengan fokus dan tenang. Ia mengenakan sarung tangan steril dan masker, lalu memeriksa kondisi pasien sekali lagi sebelum memulai prosedur. Tim UGD telah menyiapkan peralatan yang diperlukan di sekitar meja operasi, sesuai dengan permintaan Dr. Andi sebelumnya.
Dalam langkah pertama, Dr. Andi membuat sayatan kecil di perut pasien untuk memasukkan laparoskop, alat yang dilengkapi dengan kamera kecil untuk melihat bagian dalam tubuh pasien. Ia kemudian memeriksa aorta yang rusak dan merencanakan strategi terbaik untuk memperbaikinya.
Sambil tetap fokus pada tugasnya, Dr. Andi dengan keren meminta peralatan tambahan yang diperlukan. "Saya butuh forceps dan elektrokauter sekarang," ujarnya dengan percaya diri. Seorang perawat segera memberikan peralatan yang diminta, dan Dr. Andi melanjutkan prosedur dengan lancar.
Dr. Andi menggunakan forceps untuk mengangkat dan memisahkan jaringan di sekitar aorta yang rusak, sementara elektrokauter digunakan untuk menghentikan pendarahan di area tersebut. Setelah mencapai aorta yang robek, Dr. Andi meminta graft prostetik, yang akan digunakan untuk menggantikan bagian aorta yang rusak.
"Saya memerlukan graft prostetik ukuran 28mm, cepat!" kata Dr. Andi dengan keren, tanpa mengalihkan perhatiannya dari area operasi. Tim UGD segera menyediakan graft yang diminta, dan Dr. Andi melanjutkan untuk menjahit graft ke aorta yang robek, memastikan bahwa tidak ada kebocoran darah lagi.
Setelah graft berhasil dipasang, Dr. Andi memeriksa kembali area tersebut untuk memastikan tidak ada komplikasi. "Saya butuh alat penjepit pembuluh darah untuk memeriksa kebocoran," ujarnya dengan tenang. Tim UGD menyerahkan alat yang diminta, dan Dr. Andi memeriksa seluruh area operasi untuk memastikan hasilnya sempurna.
Dengan operasi yang berhasil, Dr. Andi memberi isyarat kepada timnya untuk menutup sayatan dan merapikan area operasi. Seluruh proses berjalan lancar berkat kepemimpinan Dr. Andi yang keren dan tegas, serta kerja sama tim yang solid. Pasien tersebut berada dalam kondisi yang jauh lebih baik berkat keahlian dan dedikasi Dr. Andi dan tim UGD.
Setelah beberapa saat yang menegangkan, operasi berhasil diselesaikan, dan kondisi pasien mulai membaik. Dr. Andi dan timnya merasa lega melihat pasien tersebut berhasil ditangani dengan baik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!