Ketuk palu serta pembacaan putusan Hakim dua tahun yang lalu atas perkara pengajuan cerai yang dilakukan Meta-Mantan istrinya masih teringat jelas di benak Adnan. Menjadi bayang-bayang menakutkan setiap dia bangun dari tidur. Kisah rumah tangga yang dibangun hampir sepuluh tahun itu kandas karena alasan anak yang tak kunjung hadir. Bagi sebagian orang kehadiran anak dalam rumah tangga memang sangat dibutuhkan. Apalagi bagi mereka pebisnis yang akan mewariskan usaha pada keturunannya. Selalu harus ada keturunan minimal satu.
Adnan sendiri merupakan seorang anak pengusaha yang memiliki masalah dengan sistem reproduksinya. Hal itu yang membuat Meta nekad mengajukan perceraian.
"Maaf, Mas. Aku gak bisa bertahan dalam rumah tangga kita tanpa kehadiran anak. Aku tidak ingin kesepian di masa tua nanti." Ucapan yang dikumpulkan Meta sebelum mereka benar-benar berpisah.
Miris. Adnan sempat terpuruk. Bahkan samapi harus melakukan konseling dengan psikiater. Setelah mulai membaik, Adanan mulai bangit. Kesedihan pasca perceraian dia alihkan pada pekerjaan. Adnan menjelma menjadi sosok yang gila kerja. Rumah mewah yang dia bangun tak pernah lagi disinggahi. Sebab dia memilih tinggal dipartemen yang dekat dengan kantor. Itu pun dia gunakan hanya sekedar untuk istirahat. Pulang jam sepuluh malam, bersih-bersih lanjut tidur. Bangun pagi-pagi, setelah rapi langsung berangkat. Untuk sekedar sarapan pun dia lebih memilih di luar.
Suara pintu yang dibuka membuat Adnan sejenak mendongak dari layar laptop yang menyala. Ternyata yang datang adalah Arif rekan bisnis yang satu bulan lagi akan melepas masa lajang.
"Nih dari Meta." Arif meletakan kartu undangan di meja Adnan.
"Kapan?" Adnan tak berniat membuka undangan itu dan memilih mendapatkan informasi dari sahabatnya.
"Dua minggu lagi, tepanya hari sabtu tanggal 28 bulan ini. Dia berpesan agar kamu datang jangan lupa bawa pasangan katanya."
Adnan tertawa setelah menutup laptop. Melirik sekilas pada kartu undangan yang terlihat mewah.
"Bilang sama dia, gak perlu khawatir. Saya pasti datang," balas Adnan sambil menghubungi bagian OB meminta dibuatkan kopi untuk dirinya juga Arif.
"Rencana mau bawa siapa?"
Kerutan di kening Adnan terlihat jelas setelah mendengar pertanyaan dari Arif.
"Sendiri lah. Ngapain repot-repot bawa pasangan. Gak wajib kan?" Jari Adnan bermain di atas meja hingga menghasilkan bunyi tuk tuk tuk.
"Wajib ... karena itu bukti bahwa kamu sudah move on dari Meta. Bisa besar kepala dia kalau tahu kamu belum juga move on." Arif meyandarkan bagian tubuhnya agar terasa santai. Pertemuanya dengan Adnan kali ini memang bukan untuk pembahasan bisnis. Melainkan menyampaikan amanah dari Meta.
Adnan semakin tergelak dengan penuturan sahabat sekaligus rekan bisnisnya. "Biarkan saja dia besar kepala. Dengan saya datang dan terlihat baik-baik saja itu menunjukan bahwa saya sudah move on. Saya gak mau repot, Rif. Apalagi harus menyewa seorang perempuan untuk menemani kondangan. Mending kalau nyarinya mudah lah kalau susah?"
"Kan kamu bisa ajak Senja-sekretaris kamu. Kayaknya dia naksir sama kamu," balas Arif mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada OB yang telah menyajikan minuman untuknya.
"Ngaco. Intinya saya tidak mau repot. Saya bakal datang sendiri," putus Adnan menyesap kopi yang masih mengepulkan asap sehingga ara tercium begitu kuat.
"Ya, ya ya terserah ku aja. Bebas," balas Arif tak pelak menimbulkan tawa.
***
Hari itu telah tiba. Adnan datang sesuai ucapannya. Dia datang seorang diri. Seorang pria tampan yang keluar dari mobil paling paling mahal, serta memiliki tubuh tegap mempesona di balik balutan pakaian yang tak kalah mewah. Adnan melenggang santai menuju pelaminan di antara tatapan orang-orang yang mengaguminya.
Pesta yang dibuat Meta memang pesta yang mewah meriah. Yang menghadiri pun bukan hanya sanak saudara dan kerabat dekat, tapi para petinggi negara pun sebagian terlihat hadir.
Langkah tegap Adnan berhenti di depan dua mempelai yang menyapa dengan senyum ramah. Ucapan serta doa tulus yang diucapkan Adnan diaminkan langsung oleh Meta dan suami.
"Datang sendiri, Mas?" tanya Meta. Sejak kedatangan Adnan yang di sorot lampu, matanya celingukan karena rasa penasaran dengan siapa mantan suaminya datang. Namun sampai saat dia bertanya, dia tidak melihat ada perempuan lain yang berdiri di samping sang mantan.
"Iya saya datang sendiri. Saya tidak akan mendapat hukuman kan karena datang seorang diri?" jawab Adnan dengan sedikit guyon.
Suami baru Meta tertawa mendengar jawaban Adnan yang bercanda. Tak jauh beda dengan bibir merekah milik Meta yang semakin tersenyum lebar saat menghetahui Adnan datang seorang diri. Dia mengartikan bahwa mantan suaminya memang belum bisa move on dari dirinya.
"Ternyata benar dia belum bisa move on dari aku."
"Sekali lagi saya ucapkan selamat. Doa baik dari saya akan menyertai kehidupan baru Anda berudua."
"Terima kasih, Pak Adnan," kata suami barunya Meta.
Usai mengucapkan selamat, Adnan menyapa sesama rekan bisnis yang juga hadir atas undangan Meta. Dia terlihat santai dan menikmati pesta, bahkan masih bisa tertawa lepas saat salah satu rekan bisnisnya melontarkan guyonan
Adnan merasa sudah cukup untuk hadir di sana. Dia sudah terlihat baik-baik saja di mata Meta. Dia pun pamit pada rekan-rekannya yang masih menikmati pesta.
"Mau kemana Pak Adnan kan pesta belum selesai?" tanya salah satu dari mereka. Berdiri menyalami Adnan.
"Biasalah mumpung malam minggu," kekeh Adnan.
"Wah sepertinya kami akan mendapat undangan lagi setelah ini," ujar yang lain masih melemparkan guyonan.
"Pasti. Saya harap secepatnya," Balas Adnan masih dalam mode bercanda. "Rif, saya duluan."
"Oke, hati-hati," balas Arif yang juga berdiri bersama pasangannya.
Saat Adnan berbalik seorang anak kecil berlari dan menabraknya. Bersamaan dengan itu terdengar suara yang sepertinya tidak asing bagi dirinya.
"Kan ... tadi sudah Ibu bilang jangan lari-lari," ujar perempuan itu. Menarik pelan tubuh si anak kecil.
Jantung Adnan seperti mendadak tak bekerja. Dia berdiri memaku di tempat. Diam seperti patung saat pemilik suara itu mendekat dan meminta anak kecil yang tadi menabrakanya untuk kembali ke meja mereka. Anehnya perempuan itu terlihat santai. Bahkan masih melemparkan senyum manis dan mengucapkan kata maaf setelah anaknya meminta maaf lebih dulu. Berbeda dengan Adnan yang hatinya seperti diporak porandakan.
"Nan, Oke?" tanya Arif menepuk pundak Adnan dan membuyarkan keterpakuan Adnan.
"Oke. Saya oke." Adnan kembali melangkah melanjutkan niat semula yang hendak pulang.
Hembusan nafas kasar terdengar saat tubuh Adnan sudah masuk ke dalam mobil. Jantungnya masih berdetak cepat. Padahal dari dalam dia jalan biasa bukan habis lomba lari maraton.
"Kenapa dia bisa ada di sini?" Dia bertanya sendiri dan tidak mendapatkan jawaban. Tadinya dia hendak menunggu perempuan tadi keluar, namun setelah dipikir-pikir bisa saja perempuan tadi hanya seseorang yang mirip. Bukan benar-benar seseorang di masa lalunya.
Sebelum benar-benar meninggalkan gedung tempat pesta pernikahan Meta, Adnan masih sempat menoleh, berharap perempuan tadi muncul agar dirinya mendapatkan jawaban yang membuatnya tenang.
Ketenangan tak pernah Adnan rasakan lagi setelah bertemu wanita itu di pesta minggu lalu. Hampir setiap malam wanita itu datang dalam mimpinya. Sehingga setiap bangun tidur Adnan akan selalu cemas dan berkeringat.
Dia lirik ponsel yang disimpan di atas nakas. Sampai hari ini dia belum mendapat kabar dari orang suruhannya untuk mencari tahu tentang wanita itu. Mereka perlu bertemu lagi sebab Adnan merasa ada hal yang dia lewatkan bersama perempuan itu.
Setelah mengusap wajah secara kasar, Adnan bangkit dan menyambar handuk. Lima belas menit kemudian dia keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar. Bersamaan dengan itu ponsel di atas nakas berdering. Yang ditunggu akhirnya menghubungi lebih dulu.
"Iya yang saya tahu dia tinggal di Bandung. Heem ... kosong? ... Oh Oke."
Setelah memutus panggilan, Adnan langsung membuka aplikasi mobile bangking dan mengirimkan sejumlah uang sebagai bayaran pada orang yang tadi menghubunginya. Kemudian dia sendiri bergegas memakai pakaian, merapikan rambut serta menyemprotkan parfum. Setelah rapi dia turun ke lantai satu dan menyambar kunci mobil.
Kini mobil yang dia kendarai sudah bergabung bersama kendaraan lain yang lalu lalang di jalan raya. Tujuannya adalah kantor. Ya meskipun tentang wanita itu sangat penting untuk saat ini. Namun tanggung jawab sebagai pimpinan perusahaan tak bisa dibuat main-main. Aturan yang dia buat bukan hanya untuk mereka yang bekerja di bawahnya. Tetapi dirinya pun harus ikut serta mentaati.
"Pagi, Pak," sapa Senja dari balik meja kerja.
Adnan mengangguk sebagai balasan, pria itu tetap fokus pada tujuan utama.
"Ah Senja!" Adnan yang tadi sudah menghilang di balik pintu kembali mundur menemui Senja. "Jadwal saya dari makan siang sampai sore apa?"
"Sebentar saya cek dulu, Pak." Senja membuka catatan agenda kegiatan Adnan. "Jadwal dari makan siang sampai sore, kosong, Pak. Tapi jam sembilan Anda memiliki jadwal pertemuan dengan Peter Kang, Pak."
"Oke." Senja sudah biasa mendapat jawaban singkat seperti itu. Dia yang berharap banyak pada sang atasan lagi-lagi harus menelan kekecewaan. Adnan tak pernah melirik dirinya sebagai seorang wanita. Padahal dirinya juga cantik, bodynya seksi. Itu bukan pujian dari diri sendiri melainkan dari beberapa orang di sekitarnya. Termasuk karyawan kantor.
***
Mobil putih milik Adnan berhenti di depan pintu gerbang sebuah perumahan. Dari nama yang tertera jelas memang sama dengan apa yang di kirim oleh detektif swasta yang dia sewa. Dia pun turun dan bertanya pada satpam untuk memastikan.
Setelah mendapat jawaban dan benar alamat yang dia tuju ada di komplek ini, Adnan kembali ke dalam mobil dan diiizinkan masuk. Dengan syarat meninggalkan kartu identitas.
Cukup lama mobil yang dikendarai Adnan berputar-putar pelan di jalanan komplek. Rumah yang dia cari masih belum juga ditemukan. Dia kembali menghentikan mobil kembali bertanya pada warga yang saat itu tak jauh dari tempatnya. Dengan sukarela orang yang ditanyai menunjukan rumah yang dia cari.
Sebuah bangunan minimalis namun terlihat elegan kini ada di depan mata. Alamat nomor rumah sama dengan alamat yang dia dapat tadi pagi.
Adnan sudah mengetuk pintu beberapa kali tapi tak mendapat sahutan dari dalam. Namun dia yakin rumah itu tidak kosong. Sebab televisi di dalam rumah itu terdengar menyala.
"Permisi!" Adnan kembali mengetuk pintu untuk kesekian kalinya. Tak lama terdengar sahutan dari dalam. Orang yang dia cari muncul setelah pintu terbuka. Perempuan cantik seperti yang dia temui di pesta malam itu. Bedanya saat ini dia tengah memakai pakaian kebesaran khas ibu-ibu. Daster serbaguna.
"Iya, cari siapa ya?" perempuan itu bertanya setelah tadi terlihat terkejut.
"Ibu, handuknya mana?" terdengar suara anak kecil yang mendekat. "Ah malu," seru anak kecil itu menutupi bagian tubuhnya dan bersembunyi di balik tubuh sang ibu saat sadar ada orang lain di sana dan dirinya tidak menggunakan handuk karena baru selesai mandi.
"Sebentar ya, Pak. silahkan duduk dulu." Adnan dipersilahkan duduk sedangkan si pemilik rumah membawa putranya masuk ke dalam kamar. Memakaikan pakaian serta minyak telon pada putranya.
Tak sampai sepuluh menit, perempuan itu kembali menghampiri Adnan beserta anak kecil yang sudah rapi dan wangi. Yang membuat Adnan tersenyum adalah sikap anak kecil itu yang menghampiri dan mencium punggung tangannya dengan takdzim.
"Vano, tunggu sebentar di sana ya. Om ini ada perlu sebentar sama Ibu."
"Iya, Ibu. Em tapi aku boleh makan pisangnya?"
"Boleh ambil aja, tapi makannya sambil duduk ya."
Anak kecil itu berlari ke arah dapur dan kembali dengan dua pisang di tangan. Dia langsung duduk di depan televisi dan menikmatinya.
"Dia anak kamu?" tanya Adnan yang sejak tadi memperhatikan tingkah Vano.
"Iya, namanya Vano. Maaf kalau tadi tidak sopan pada Anda," jawab perempuan itu merengkuh.
"Bukan masalah. Kamu cukup pintar mendidik dia. Suami kamu di mana?"
"Ayahnya Vano sudah meninggal," jawab perempuan itu tersenyum tapi kelihatan sekali bahwa dia tidak nyaman. Apalagi ketika Adnan seperti menguliti dirinya. Memperhatikan begitu inten dari atas ke bawah. "Jadi siapa yang anda cari, Pak?"
Adnan mengerutkan kening, "Kamu gak ingat saya?"
Ibunya Vani terlihat berpikir, tak lama wajahnya berubah ceria. "Ah kalau tidak salah anda orang yang sama dengan yang ketubruk anak saya waktu di pesta ya. Ya ampun saya baru ingat. Sekali lagi saya minta maaf ya pak. Anda sampai repot-repot mencari kami ke sini."
Gelengan kepala terlihat jelas meskipun pelan dilakukan oleh Adnan. "Berhenti pura-pura Kaluna. Saya tahu kamu adalah Kaluna seseorang di masa lalu? Kenapa kamu ada di pesta pernikahan Meta malam itu?"
Lagi-lagi kerutan di kening perempuan yang dipanggil Kaluna itu terlihat. "Anda sampai mencari tahu nama saya," kekeh Kaluna menggelengkan kepala, "Kalau soal pesta ya jelas karena saya memenuhi undangan. Apa setiap orang yang datang ke pesta itu anda datangi seperti sekarang?"
Rahang Adnan terlihat mengeras, "Kaluna," geramnya. "Berhenti berpura-pura seperti tidak mengenal saya. Ayo selesaikan apa yang terjadi di masa lalu. Itu kan tujuan kamu muncul di hadapan saya."
"Maaf, Pak sepertinya Anda salah orang. Saya memang Kaluna tapi saya merasa tidak mengenal Anda. Apalagi memiliki urusan dengan Anda. Jika memang sudah tidak ada lagi yang perlu di sampaikan silahkan Anda pulang. Saya masih ada pekerjaan." Kaluna berdiri di ambang pintu, mempersilahkan Adnan Keluar.
Sebelum bangkit Adnan menatap lekat anak kecil yang tengah menikmati pisang sambil menonton tayangan kartun. Kemudian tatapannya beralih pada Kaluna yang berdiri angkuh di ambang pintu.
"Kamu yang datang kembali ke kehidupan saya. Maka jangan harap kamu akan bisa lari begitu saja," kata Andan menatap lekat manik mata Kaluna yang membalas tatapan tajamnya.
"Anda sepertinya sakit." Kaluna mencibir memperhatikan pria di hadapannya dari atas ke bawah.
"Ibu ayo," teriak Vano girang saat akan berangkat ke sekolah. Sistem belajar yang hangat dan nyaman membuat dia senang dan jarang rewel saat dibangunkan untuk sekolah. Vano selalu terlihat ceria dan riang karena akan bermain bersama teman-temannya.
"Ok ayo," balas Kaluna yang menyusul dari dalam dan mengeluarkan motor. Helaan nafas kasar terdengar saat dia berbalik dan melihat pria yang beberapa hari lalu mendatanginya dan sekarang datang lagi. Mendekat ke arah mereka. "Apa saya masih punya urusan dengan Anda, Pak?"
Kali ini Kaluna tidak lagi menahan rasa tidak nyamannya. Dia sampaikan itu secara prontal. Didukung dengan ekpresi yang terlihat kesal atas kedatangan Adnan.
"Jelas, urusannya adalah kamu pura-pura tidak mengingat saya," kata Adnan bersedekap menghalangi jalan mereka. Bahkan menjegal motor yang hendak dinaiki oleh Vano.
Wajah yang cerah ditambah tersorot sinar matahari pagi semakin memancarkan pesona. Menggoda iman para perempuan muda yang melihatnya. Tetapi tidak dengan Kaluna. Perempuan itu justru tampak jengah.
"Kalau seperti kata Anda saya pura-pura. Lalu keuntungan untuk saya apa?"
"Karena kamu tidak ingin apa yang kamu sembunyikan diketahui oleh saya. Iya kan?"
Lengkung di bibir Kaluna membentuk senyum sinis. "Saya tidak punya urusan dengan Anda. Tolong beri saya jalan." Kaluna mendudukan Vano pada kursi khusuk untuk anak agar nyaman saat berkendara menggunakan motor.
"Satu lagi, saya merasa tidak menyimpan rahasia apa pun dari Anda. Karena kita tidak pernah saling mengenal." Kalimat itu diucapkan sebelum Kaluna benar-benar pergi meninggalkan Adnan yang mematung di tempat.
***
Untuk menjawab rasa penasaran, Adnan kembali mencari tahu tentang Kaluna pada orang-orang terdekatnya. Kata mereka selama Kaluna tinggal di komplek perumahan ini tak pernah melihat pria yang katanya suami Kaluna.
"Jadi dia pindah ke sini seorang diri?" Lagi Adnan bertanya.
"Waktu itu berdua sama perempuan seumuran dengan Mbak Luna tapi hanya beberapa bulan saja. Setelah itu tak terlihat lagi, Pak."
Jawaban itu semakin menguatkan dugaan kalau Kaluna memang berbohong tentang ucapannya waktu itu. Setelah mengucapkan terima kasih, dia masuk ke mobil dan meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah menyusul Kaluna ke sekolah Vano.
"Luna!" Adnan bergegas turun.
Luna menoleh sekilas. Tak berniat menemui Adnan yang memanggilnya.
"Luna kita harus bicara." Adnan cekal tangan Luna yang hendak melajukan motor. "Ikut! atau saya teriak memberi tahu mereka kalau kamu mencuri sesuatu milik saya."
Bibir Luna memang tak pernah tersenyum manis pada Adnan. Bibir yang merah alami itu selalu tersinggung sinis sejak Adnan mendatanginya.
"Lepas!" tatapan tajam itu mneyorot Adnan yang menggelengkan kepala. Pria itu pantang melepaskan sesuatu sebelum mendapatkan apa yang dia kejar.
"Oke." Luna menyerah dengan harapan setelah ini Adnan tidak lagi mengejar. Cerita masa lalu biarlah menjadi kenangan usang yang akan habis dimakan rayap hingga tak bersisa. Luna capek jika harus menggar atau mengenang kembali kisah pahit yang pernah dialami.
Sebuah kafe yang tak jauh dari sekolah Vano menjadi tempat pilihan untuk mereka bicara. Kafe yang biasanya digunakan sebagai tempat nongkrong para ibu atau suster yang menjemput anak-anak pulang sekolah.
Adnan tak melepas tatapannya pada Kaluna yang justru terlibat gusar karena dia tak kunjung bicara.
"Jadi mau membahas apa lagi?" Suara Luna terdengar ketus.
"Kenapa kamu berbohong?"
Kini Luna menatap tajam lawan bicaranya, "Tentang apa?"
"Suami kamu yang sudah meninggal."
Terlihat jelas di mata Andan perempuan itu melengos.
"Anda masih mencari tahu tentang saya," kekeh Luna.
"Kamu tinggal di perumahan itu sudah lima tahun. Usia Vano beranjak lima. Itu artinya kamu pindah ke perumahan saat kamu sedang mengandung dia. Tapi yang jadi pertanyaan. Anak siapa Vano? Tetangga kamu bilang tak pernah melihat suami kamu sama sekali. Apa Vano anak saya?"
Luna tertawa pelan, "Anda merasa begitu? Memangnya kapan Anda menabur benih di rahim saya?"
Helaan nafas kasar dengan usapan kasar pada wajah dilakukan Adnan. Dia tak menyangka Kaluna yang dulu merupakan perempuan lugu kini jadi perempuan berani.
***
Usai membantu Vano mengganti pakaian sekolah dengan pakaian santai. Luna kembali duduk di mesin jahit yang menjadi pekerjaan selama ini. Dia tumpukan tangan disusul wajah yang menelungkup. Pria itu datang lagi, gumamnya.
Sesak dalam dada yang tak pernah mengurai bahkan melebur, selalu datang saat dia mengingat momen pahit dalam perjalanan hidupnya.
Enam tahun yang lalu, tepatnya saat berusia delapan belas tahun dan baru lulus sekolah. Dia datang ke kota membawa harapan yang tinggi. Tekadnya ingin bekerja agar bisa kuliah. Dia tidak ingin mengandalkan biaya dari orang tuanya dan menjadi beban. Kala itu dia berpikir mudah tapi pada kenyataannya butuh usaha yang besar untuk mendapatkan hal tersebut.
"Aku akan bekerja dan pulang menjadi sarjana." Kalimat itu pernah dia ucapkan pada orang tuanya yang tinggal di pedesaan. Kalimat itu juga selalu menjadi cambuk agar dirinya tidak mudah menyerah.
Usia yang masih remaja, belum memiliki pengalaman apa pun. Di tambah susahnya mencari pekerjaan yang menggunakan ijazah SMA, membuat Luna menerima pekerjaan apa pun. Kata dia selama itu menghasilkan uang halal maka dia akan bekerja dengan baik. Yang penting tujuannya tercapai. Tawaran untuk bekerja di rumah pun dia terima.
Malam itu di rumah majikannya tampak ramai. Beberapa bulan bekerja di sana dia sudah hafal beberapa kebiasaan orang kaya. Salah satunya berpesta sampai pagi. Tentu dalam pesta yang disajikan bukan hanya sekedar teh atau kopi. Karena Teh atau kopi tidak membuat mereka yang berpesta menjadi lupa daratan.
Kaluna juga mengenal beberapa teman majikannya yang sering datang ke rumah. Salah satunya Adnan yang katanya saat itu adalah pria beristri. Adnan selalu datang seorang diri. Katanya istrinya sibuk.
"Na, bawain ini ke lantai atas ya," titah majikannya yang diangguki langsung oleh Kaluna.
Buru-buru Kaluna kembali ke lantai bawah setelah mengantarkan permintaan majikannya. Aroma alkohol yang menyengat benar-benar membuat dia tidak nyaman.
Kaluna tak pernah menunggu sampai pesta selesai. dia dijinkan istirahat lebih dulu. Sebab saat pagi dia pasti repot membereskan sisa pesta. Sekitar pukul tiga, Kaluna terbangun karena tenggorokan yang terasa kering. Dia keluar kamar menuju dapur.
"Hah!" Kaluna berjengkit kaget saat melihat seorang pria dengan tatapan yang menyeramkan. Bau alkohol masih tercium saat pria itu mendekat. Memepet tubuh Kaluna hingga bersandar pada meja pantry.
Kaluna bergidik saat tangan pria itu menyentuh pipinya. Wajah yang sangat dekat membuat dia merasakan hangatnya nafas Adnan menyentuh wajah.
"Kamu cantik sekali." Suara Adnan terdengar berat. Di matanya terlihat kabut gairah.
Kaluna mendorong tubuh yang semakin menghimpit dirinya. Dia teriak tapi tidak ada yang datang menolong. Tak dapat dihitung berapa kecepatan Andan saat pria itu membawa tubuhnya masuk ke dalam kamar dan mengungkungnya. Membuat dirinya tak sempat menghindar dan melarikan diri. Malam itu menjadi malam paling mengerikan bagi Kaluna
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!