*Ilustrasi Visual
Aisyah Huriyya Atmaja. Gadis cantik keturunan ningrat dari Jogjakarta yang memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Memiliki kisah cinta masa kecil dengan seorang putra kyai pemilik pondok pesantren yang terus terbawa hingga ia dewasa. Mempunyai impian untuk bisa mengunjungi Tajmahal di India.
Hamzah Alghazali. Seorang pemuda gagah penuh kharisma, yang baru saja lulus dari Al-Ahzar, Mesir. Dia adalah putra sulung seorang Kyai pemilik sebuah pondok pesantren yang terkemuka di Jogjakarta.
Dengan demikian, dia lah penerus ayahanda nya kelak.
William Stevan Ballard. Pria Indo-Jerman yang baru saja menyelesaikan sekolah bisnis nya di Canada, dan kembali ke Indonesia untuk menjadi Presdir muda di sebuah perusahaan executive di Jakarta milik Ayahnya.
mempunyai motto hidup :
One Life - One Wife.
***
Pertemuan...
Adzan subuh baru saja selesai berkumandang. Membangunkan insan-insan yang terlelap dalam buaian mimpi, untuk segera tegak dan berdiri menjalankan perintah Robbnya.
Aku segera menutup buku di hadapanku, dan baru saja hendak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku.
"Tok tok tok,. Aishy,.. sudah bangun nduk?" suara ibu terdengar dari luar.
Segera ku buka pintu.
"Sudah bu,. Aishy bangun dari tadi jam setengah empat, sholat tahajjud, terus lanjut belajar."
Aku memang terbangun sejak tadi. Selesai sholat tahajjud, biasanya aku tidur lagi. Tapi karena hari ini adalah hari terakhir ujian sekolahku, dan terkhusus ujian praktek Bahasa Arab, yang menurutku memang cukup sulit, aku sengaja tidak tidur lagi untuk belajar.
"Oh,. yo wes,. ibu kira kamu belum bangun nduk ."
Aku kembali menutup pintu kamar, lalu bergegas mengambil air wudhu, kemudian sholat subuh.
Selesai sholat aku merapikan buku-buku yang masih berhamburan di atas meja belajar, merapikan tempat tidur, lalu membuka jendela kamarku. Seketika dinginnya udara Jogja bercampur aroma melati menyeruak masuk kedalam kamarku.
Ya,.. di halaman rumahku memang di penuhi tanaman bunga melati. Ibuku sangat menyukai bunga melati. Tak hanya untuk memanjakan mata di luar rumah, ibu juga seringkali memanen bunga melati, untuk di keringkan, lalu di jadikan campuran teh, jadilah teh melati.
Ibuku bukan asli Jogja. Ibu berasal dari kota Surabaya, kemudian setelah menikah dengan ayah, barulah ibu menetap di Jogja.
Aku mengedarkan pandangan, hamparan warna putih bunga melati yang tertimpa sedikit cahaya temaram dari lampu teras rumah, menjadikannya seperti butiran-butiran salju.
Kemudian mataku tertuju pada serumpun bunga mawar merah di sudut halaman. Bunga mawar itu aku yang menanamnya, karena aku memang menyukai bunga mawar merah.
Tidak seperti ibu yang begitu fanatik dengan bunga melatinya, aku justru menjadikan bunga mawar seperti sesuatu yang kultus. Exotic. Tak tersentuh. Cukup menatapnya untuk menyerap energi keindahannya.
"Krenteeng,..!"
Bunyi pintu pagar depan rumah mengejutkanku. Terlihat ayah dan mas Mirza, kakakku, baru saja pulang dari masjid seusai sholat subuh.
Aku melirik jam weker kecil di atas meja.
"Astahgfirullah,.! "
Hampir setengah enam. Aku menyambar handuk lalu bergegas mandi. Keasyikan mematung di depan jendela kamar, hampir saja membuatku terlambat berangkat ke sekolah.
***
Aku memasuki ruang kelas dengan sedikit tergesa. Lalu duduk di bangkuku dan meletakkan tas selempangku yang berisi papan pengalas lembar ujian, peralatan tulis, dan satu buku paket bahasa arab. Ku keluarkan bukunya, lalu mulai lagi membuka-buka halamannya.
Beberapa temanku yang sudah datang lebih dulu juga terlihat melakukan hal yang sama denganku. Sebagian juga ada memilih di luar kelas, karena memang belum waktunya jam ujian. Ku lirik laci meja di sebelahku, ada tas biru di dalamnya.
Hmm,.. berarti Nuri sudah datang. Kemana dia?
Nuri Maulida, adalah teman sebangkuku. Kami bersahabat sejak kecil. Kami juga selalu sekolah di sekolah yang sama, dari semenjak di Madrasah Ibtidaiyah, hingga sekarang di Madrasah Aliyah. Dan kami juga mempunyai impian yang sama, untuk kuliah di Jakarta setelah lulus sekolah nanti.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Tadi sewaktu di perjalanan menuju sekolah, rasanya wudhu ku batal. Entah sejak kapan aku memulai terbiasa dengan menjaga wudhu, yang jelas sejak kecil Ayah selalu mengajariku untuk menjaga wudhu.
"Jaga wudhu, maka malaikat akan selalu menjagamu." Ucap ayah waktu itu.
Aku beranjak dari bangku, keluar kelas, dan menuju masjid untuk mengambil air wudhu.
Sekolahku memang berada di lingkungan pesantren. Pondok Pesantren Al-Fallah. Pemilik pondok, KH. Bukhori Alghazali. Beliau adalah ulama besar dan cukup di segani di Jogja. Pondok Pesantren Al-Fallah ini, juga merupakan salah satu pondok pesantren terbesar di pulau Jawa. Pendiri Pondok Pesantren Al-Fallah dulu adalah Syeh Hannan Al-Fallah, Syeh dari Arab yang merupakan kakek dari Kyai Bukhori.
Di Pondok Pesantren Al-Fallah ini, pendidikannya terbagi menjadi dua, yakni sekolah umum dan khusus pesantren. Aku termasuk yang sekolah umum, artinya tidak ikut mondok di pesantren, tapi sekolah di madrasah milik pesantren. Tapi setiap sore aku tetap ikut mengaji di pesantren, dan di akhir pekan, aku nginap di pesantren. Banyak teman-temanku juga melakukan hal yang sama, dan memang di sediakan asrama khusus di pesantren untuk murid model seperti kami ini. Jadi kami nyantrinya hanya di sore hari, dan nginep di pesantrennya sepekan sekali. Kami biasa di juluki santri kalong, he he he,..entahlah kenapa di sebut demikian, padahal kalong itu artinya kelelawar.
Aku selesai berwudhu dan berjalan kembali menuju kelas sambil sibuk memperbaiki lengan bajuku yang tadi kusingsingkan ke atas saat berwudhu.
"Bruuuk,.!!! "
Aku menabrak punggung seseorang dari belakang, hampir saja aku terpelanting jatuh, tapi secara reflek orang itu menolah dan tangan kekarnya mencengkeram lenganku untuk menahan tubuhku agar tidak jatuh terjerembab.
Sesosok wajah putih bersih, beralis tebal, berhidung arab, mengerenyitkan dahi, menatap tajam ke arahku.
Mengetahui siapa orang yang baru saja ku tabrak, jantungku seakan melompat dan berdegup kencang. Buru-buru kutarik lenganku untuk melepaskan diri dari cengkeraman tangannya. Aku beringsut dua langkah ke belakang.
"Afwan, saya tidak sengaja." Ucapku lirih.
Aku kikuk dan tertunduk sambil pura-pura membenarkan jilbabku yang tidak miring. Rasa malu menyergap diriku. Gara-gara jalan sambil menunduk aku sampai menabrak seseorang. Terlebih lagi, seseorang itu adalah....
"Aisyah,.? Kamu Aisyah kan?"
Aku menganggukkan kepala tanpa berani mengangkat wajah. Aku tahu, dia pasti sedang mengamatiku dengan mata elangnya.
"Kamu sudah besar ee sekarang. Salamku yoo sama Masmu. Bilang sama Mirza kalo aku sudah datang. Suruh dia main ke pondok"
Aku menganggukkan kepala, tetap tanpa berani mengangkat wajah.
"Ya sudah sana,. masuk kelas." Perintahnya.
Aku bergegas melangkah tanpa berani menoleh.
"Hey, Aishy...! Kalau jalan itu jangan sambil nunduk. Nanti nabrak lagi. Masih mending kalau nabrak orang, kalau nabrak kambing gimana? ha ha ha...."
Ternyata dia masih memperhatikanku.
Aku semakin mempercepat langkah, tanpa mempedulikan ucapanya barusan.
Ya Robb,.. rasanya ingin tiba-tiba punya ilmu melenyapkan diri seketika. Maluuuuu....
Sampai di dalam kelas, aku buru-buru duduk.
"Hhuuuffh...!!"
Jantungku rasanya belum berhenti deg-deg an.
Astaghfirullah....
"Aishy,. kamu dari mana? dari tadi aku cariin kamu gak ada?" Nuri bertanya sambil menoleh kearahku. Rupanya saat aku ke masjid tadi, dia mencariku.
"Dari masjid, wudhu."
"Eh, Aishy, wajahmu kenapa? kog merah gitu? " Nuri memiringkan kepalanya sambil menyorot tajam kearahku.
" Apaan sih Nur...?!" Aku mendorong bahu Nuri agar menjauh.
Aku pura-pura menyibukkan diri dengan membuka buka bahasa arab di depanku.
Ya Robb,..benarkah wajahku memerah ??
" Eh,.. Aishy,. kamu sudah tahu belum?"
"Tahu apa?"
"Mas Hamzah, putrane Kyai yang kuliah di Mesir itu, sudah datang loh. Tadi pas aku lewat perpustakaan, gak sengaja liat Mas Hamzah disana. Biyuuh, tambah guanteeeeng loh Mas Hamzah. Pokoknya wes koyo orang Arab." Nuri nyerocos panjang lebar.
" Eh,. bukan koyo ding ya...? Kan memang orang arab, keturunan arab. Duuuh...."
Nuri bergumam sendiri sembari menepok jidatnya sendiri.
"Hhhhh...." Aku menghela nafas.
"Aku sudah tau, tadi aku ketemu dia"
"Hahh...? Kamu tadi wes ketemuan sama Mas Hamzah?"
"Ketemu Nuri Maulida. Bukan ketemuan. Itupun juga gak sengaja."
"Cie cie,... Pantesan tadi wajahmu bersemu merah." Nuri menggodaku.
" Apaan sih Nur,..! Diam ah, aku lagi menghafal nahwu sorof ini."
Aku berpura-pura serius membaca buku bahasa arab di depanku. Padahal sebenarnya mata dan hatiku tidak sinkron saat ini. Mataku ke arah buku, dan hatiku ke arah lain.
"Gimana tadi pas ketemuan? Dia masih ingat gak sama kamu? Hi hi hi,... dulu kan kamu sebut dia itu pangeranmu."
Nuri terus saja berceloteh tanpa mempedulikan ke kekianku. Aku semakin merasa jengkel.
" Nuri,...! Kamu jangan sembarangan bicaranya. Kalau ada yang dengar gimana?" Aku mencubit pinggang Nuri.
" Auuw! Aduh! Ha ha ha,..." Nuri mengaduh kesakitan tapi tetap tertawa.
"Kalau gak mau diem aku cubit lagi nih yang keras" Aku pura-pura marah dan mengancam.
" Baik, sendiko dawuh, Kanjeng Raden Ayu Aisyah Huriyya Atmaja "
Aku melotot kearah Nuri karena dia memanggilku seperti itu. Ya memang tidak salah sih sebenarnya, karena itu memang nama gelar kebangsawananku, tapi rasanya jengah saja jika ada yang memanggilku seperti itu.
"TOK. TOK. TOK !" Pintu kelas diketuk.
" ASSALAMUALAIKUM !"
"WALAIKUMSALAAM,..!" Kami satu kelas serempak menjawab salam.
Aku terkesiap melihat siapa yang masuk kelasku. Ternyata dia! Mas Hamzah. Seketika dadaku kembali berdegup kencang.
Ternyata yang menjadi guru penguji di ujian akhir praktek Bahasa Arab, adalah Mas Hamzah.
Ya Robb,. kenapa harus dia ??
_________________Bersambung_______________
Terimakasih sudah mampir membaca Novel Ayat Cinta Aisyah.
Ini adalah karya pertama saya,.
Baruu belajar nulis
Beri dukungannya dengan cara
LIKE dan VOTE ya,..
Tinggalkan salam juga di kolom komentar.
❤️Rohana Kadirman❤️
Lega rasanya setelah menyelesaikan ujian praktek Bahasa Arab. Buatku Bahasa Arab memang cukup sulit. Berbeda dengan Nuri, dia paling jago dalam Bahasa Arab. Setiap kali ada perlombaan Bahasa Arab, Nuri pasti selalu ikut. Bahkan Nuri pernah juara satu lomba Debat Bahasa Arab tingkat provinsi.
Tapi saat ujian praktek tadi, yang lebih menegangkan untukku sebenarnya adalah, ketika harus berhadapan dengan sang guru penguji, Mas Hamzah.
Aku melangkah gontai keluar kelas.
" Aishy,.. kita ke Malioboro yuk sebentar sore" Nuri menyusulku dari belakang.
"Males ah,... Besok-besok aja. Aku janji sama ibu mau bantu bikin kue sore ini."
" Halaah,. gayamu mau bantu. Bantu makan toh? Palingan juga Mbok Minah yang sibuk ngerjain. Ndoro Ayu mah tinggal duduk
manis."
" Eh,. beneran. Ibu mau bikin kue banyak. Mau di bawa ke rumah pakde ku. Kamu ingat Winda toh? Anaknya pakdeku yang dari Sleman itu. Dia mau Lamaran."
"Winda...?" Nuri berusaha mengingat-ingat.
"Itu loh, Winda, sepupuku yang waktu itu pernah datang kerumahku, pas kita berdua lagi kerjakan tugas bikin prakarya di kamarku. Kamu kan ketemu sama Winda, dia masuk ke kamarku. Mosok kamu gak ingat ?"
" Oh iya iya. Aku ingat. Loh, bukannya dia baru lulus sekolah juga sama kayak kita ?"
"Enggak lah. Winda sudah lulus tahun lalu. Sekarang lagi kuliah semester 2 di UGM."
"Cepet temen mau nikah ya,..."
"Di jodohkan dia."
"Oh, gitu. Kog mau ya,... Winda di jodohkan. Padahal Winda itu kan cuantiiik ya,..."
"Perjodohan di kalangan ningrat itu sudah hal yang biasa Nur. Kadang untuk mempertahankan gelar kebangsaan biar gak hilang, jadi di aturlah sebuah perjodohan. Ya meskipun gak semuanya juga, tapi kebanyakan keluarga ningrat memang begitu. Terutama kalo perempuan, pasti sering banget di jodohkan. Soalnya kalau perempuan ningrat, terus nikah sama laki-laki yang bukan ningrat, nanti anaknya gak dapat gelar ningrat lagi. Beda kalo laki-laki ningrat, meskipun nikah sama perempuan yang bukan ningrat, anaknya nanti masih tetap dapat gelar ningrat."
"Jangan-jangan kamu nanti juga di jodohkan Aishy !"
"Aku gak mauu,..! Ayahku juga pernah bilang, gak bakal menjodoh-jodohkan aku."
"Tapi kalau misalnya nanti kamu nikah sama orang biasa, yang bukan keturunan ningrat juga, berarti anakmu nanti gak termasuk ningrat lagi. Hilang dong, darah biru nya."
"Ibuku juga bukan keturunan ningrat Nur, trus ada bedanya gitu aku sama ibuku? Apa derajatku jadi lebih tinggi dari ibuku? Karena aku mewarisi darah ningrat dari ayah, sementara ibuku tidak memilikinya ?"
"Ya,... bukan gitu juga sih Aishy,..."
"Terus,..??"
"Ya sayang aja kalau anakmu nanti gak ada gelar bangsawannya kayak kamu. Rugii, he he he."
"Yang sayang itu, kalau anak kita gak ngerti agama. Itu baru rugiii...!"
"Ah, kamu mah gitu Aishy,..! Kalau aku ya,... Andaikan ada pangeran keturunan kerajaan yang meminangku, pasti aku terima. Maka jadilah aku Putri Cinderella !"
Ucap Nuri sembari mengangkat keatas sedikit roknya, dan berjalan jinjit lalu berputar seperti ala-ala Putri Cinderella.
"Dasar kamu kebanyakan nonton film fairy tale. Dongeng anak kecil itu Nur,..Nur. Ha ha ha."
Aku menertawakan tingkah Nuri yang terlihat sangat lucu.
"Eh tapi, kalau cuman pengen nikah sama keturunan kerajaan, kamu nanti nikah saja sama Mas Mirza. Meskipun bukan pangeran sih, tapi kan tetap keturunan kerajaan, jadi masih ada bau-bau pangerannya sedikit. Bau keringetnya. Ha ha ha."
"Apa,...?? Nikah sama Mas Mirza,..?? Emoooooh aku !"
"Kenapa emooh ?? Kakakku kan ganteng. Keturunan ningrat lagi. Sesuai dengan kriteria suami idamanmu."
"Pokoknya emooh kalau sama masmu. Tukang jail !" Ucap Nuri sambil memanyunkan sedikit mulutnya.
Rumahku dengan rumah Nuri memang berdekatan. Sejak kecil kami sering main bersama. Hampir setiap hari Nuri main kerumahku, atau aku yang main kerumahnya. Jadi, Mas Mirza pun sudah akrab dengan Nuri sejak kecil. Menganggap Nuri seperti adik sendiri. Makanya tidak jarang, Mas Mirza pun sering menjahili Nuri. Dan Mas Mirza, dulu waktu kecil memang nakal.
Aku masih ingat sekali, dulu Nuri pernah dibuat menangis histeris sampai menjerit-jerit, gara-gara boneka barbie milik Nuri di ambil sama Mas Mirza, terus rambut bonekanya di gunting habis dan mukanya di gambari kumis serta jenggot, sehingga boneka Nuri berubah menjadi boneka laki-laki. Kalau mengingatnya sekarang jadi ingin tertawa, lucu.
"Eee,.. jangan gitu Nur. Kualat nanti kamu. Sekarang bilang emooh, eh ternyata nanti jadi jodoh, ha ha ha." Aku meledek Nuri.
"Pokoknya emoooh kalau sama kakakmu itu. Carikan saja aku keluargamu yang lain. Yang cakep-cakep dan baik hati." Seloroh Nuri.
Asyik ngobrol sambil jalan tanpa terasa sudah tiba di depan rumahku. Jarak antara rumahku ke sekolah memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 10 menit berjalan kaki.
"Nur,. mampir dulu rumahku yuuk."
"Males ah, aku ngantuk. Nyampe rumah aku mau tidur."
"Kalau gitu nanti sore kerumahku ya,.. bantu bikin kue. Kamu juga sudah lama gak kerumah, di tanyain tuh sama ibu."
Memang sejak persiapan mau ujian sekolah, Baik Nuri maupun aku, jadi jarang bertemu kecuali di sekolah. Karena sibuk belajar masing-masing.
" Oke deh, Insya Allah ya."
Nuri melambaikan tangannya dan berjalan menuju rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahku.
Aku membuka pintu pagar dan masuk ke halaman rumah. Bunga-bunga melati milik ibu terlihat layu dan menguncup karena tertimpa terik matahari. Sebagian juga berguguran ke tanah.
Hmm,..Tumben ibu belum memanennya.
"Assalamualaikum." Aku bersalam sembari duduk di kursi teras dekat pintu.
"Walaikumsalam" Mbok Minah membukakan pintu, dan tergesa berjalan menghampiriku.
"Eee, Non Ayu sudah pulang. Capek ya Non,..? Sini Mbok Nah bawakan tasnya kedalam."
"Gak usah lah mbok, aku bisa bawa sendiri kog."
"Ya udah. Atau mau di bikinkan minuman? Non Aisyah mau minum apa? Tadi Den Mirza dari kota, pulang bawa banyak buah-buahan loh Non. Ada anggur, jeruk, apel, sama alpukat. Mau di bikinkan jus Non ?"
"Hemm,... Boleh deh mbok. Bikinkan jus jeruk saja. Seger kayaknya panas-panas gini "
" Baik Non, Mbok Nah bikinkan yang sueegeeeer pokoknya." Mbok Minah masuk kembali ke dalam rumah.
"Eh, mbok, gak usah di bawakan ke kamar ya jusnya.Taruh saja di kulkas. Nanti aku ambil sendiri." Ucapku setengah berteriak.
"Oke non, Siap !" Sahut Mbok Minah dari dalam rumah.
Mbok Minah adalah pembantu di rumahku. Beliau seorang janda, dulu suaminya meninggal karena kecelakaan saat bekerja di pabrik. Mbok Minah sudah puluhan tahun bekerja di rumahku, sejak aku kelas tiga SD. Jadi kami sudah menganggap Mbok Minah seperti keluarga sendiri.
Mbok Minah mempunyai 2 orang anak laki-laki, Parto dan Paijo namanya. Parto seumuran dengan Mas Mirza, sementara Paijo dua tahun lebih muda. Ayah juga yang membiayai sekolah Parto dan Paijo sampai mereka tamat SMK. Saat mereka lulus,. sebenarnya dulu di suruh kuliah juga sama ayah. Ayah yang akan membiayai semuanya, tapi mereka tidak mau, dan merasa sudah cukup berterimakasih karena di sekolahkan sampai tamat SMK. Mereka memilih bekerja setelah tamat sekolah. Sekarang mereka berdua juga yang membantu usaha bengkel mobil milik Mas Mirza.
***
Aku masuk ke dapur, dan langsung membuka kulkas, mengambil jus jeruk yang tadi di buatkan Mbok Minah. Ibu dan Mbok Minah terlihat sibuk mempersiapkan alat-alat untuk membuat kue nanti sore.
Mas Mirza duduk santai di depan meja makan sambil menikmati sepiring potongan buah di depannya.
Aku menghampiri dan menarik sebuah kursi di dekat Mas Mirza. Lalu duduk menikmati jus jeruk ku.
"Woooh.... Masya Allah, jus buatan Mbok Nah memang segeeer."
"Mosok toh? coba dikit Aishy !"
Mas Mirza mengulurkan tangan berniat meraih gelas jus ku. Aku buru-buru mengangkat gelas jus ku dan menjauhkannya dari jangkauan tangan Mas Mirza.
"Enak aja, gak boleh. Aku masih haus tahu mas."
"Den Bagus mau juga?? Di kulkas masih ada Den, tadi sengaja bikin agak banyak. Mau mbok ambilkan Den ?"
Mbok Minah yang melihat tingkah kami berdua berusaha melerai.
"Oh, masih ada toh mbok. Gak usah, biar aku ambil sendiri."
Mas Mirza beranjak dari kursi, mengambil gelas dan menuang jus jeruk dari dalam kulkas, lalu kembali duduk.
"Mas, ada salam dari Mas Hamzah. Katanya kamu di suruh main ke pondok."
"Hamzah,... Hamzahnya Pak Kyai ?"
"Iya, mas Hamzah anaknya Pak Kyai. memangnya ada Hamzah yang lain? Wong temanmu yang namanya Hamzah cuman satu itu."
"Weh, sudah pulang toh dia dari Mesir? Kapan dia datang ?"
"Gak tau kapan datangnya. Mas tanya sendiri saja nanti sama orangnya kalau ketemu."
"Lha kamu ketemu Hamzah dimana? Dia nyariin kamu kah di sekolah ?"
"Enggak.... Tadi Mas Hamzah yang jadi guru penguji saat ujian praktek Bahasa Arab di kelasku."
Aku tak berani jujur sama Mas Mirza perihal kejadian di sekolah tadi pagi. Bisa-bisa habis aku di ledekin sama dia.
"Nanti malam lah aku ta main ke pondok. Kangen ee sama Hamzah. Terakhir dia pulang kan pas aku masih SMP. Eh, bukan bukan ding,... Pas aku kelas 2 SMK kayaknya." Ucap Mas Mirza, seolah berbicara untuk dirinya sendiri.
Aku diam saja, malas menanggapinya.
Atau lebih tepatnya aku sibuk dengan pikiranku sendiri.
****
Sore ini,. Nuri beneran datang ke rumahku. Kami berempat, aku, Nuri, ibu, dan Mbok Minah, sibuk di dapur untuk membuat kue.
"Lamanya Nur, kog baru kelihatan." Ibu menyapa Nuri.
"Inggeh Bu.... Sibuk belajar, gak sempat buat main."
"Piye kabare ibumu ?"
"Alhamdulillah, ibu sehat. Tadi pas aku kesini, ibu lagi bikin rendang."
"Kalau gitu mana rendangnya? Mosok aku gak di bawakan Nur ?" Ucapku bercanda.
Ibunya Nuri memang jago bikin rendang. Dulu semasa gadis, katanya pernah lama kerja di rumah makan padang. Jadi sampai-sampai dia pun mahir memasak rendang. Ketika warga sekitar sini ada yang lagi hajatan, ibunya Nuri seringkali di minta bantuan untuk menjadi juru masak khusus daging rendang.
"Yo belum mateng toh Aishy, wong baru di masak. Rendang itu kan lama di masaknya. Kalau sudah masak nanti malam ta anterin."
"He he he,... Asyiiik, nanti malam makan rendang. Rendang buatan ibumu tuh memang paling ueenaak. Kalah loh rasa rendangnya rumah makan padang yang di perempatan jalan itu."
"Halah kamu ini Aishy, kalo tinggal makan ya senang. Coba, sekalian belajar bikin rendang sama ibunya Nuri. Supaya kamu juga pinter masak kayak Nuri." Ucap ibu sambil tangannya sibuk mengadon tepung.
"Ini tolong ceplokin telurnya di loyang, trus di mixer campur mentega dan gula dua gelas. Satu adonan telurnya delapan biji." Ibu memberi instruksi padaku.
"Oke bu...!"
Segera ku ambil loyang, lalu ku masukkan mentega, gula, dan mulai memecahkan telur di atasnya.
"Loh Aishy ! Telurnya jangan langsung di pecahin di atasnya adonan gitu. Nanti kalau ada telur yang busuk ___ "
"PLOOK !!"
Belum selesai Nuri bicara, tiba-tiba telur ke-lima yang ku pecahkan meletus di tanganku. Cairan berwarna hitam meleleh keluar dari cangkang telur yang masih kupegang. Bau busuk menyebar.
"__ Adonan kuenya rusak semua." Nuri menyelesaikan kalimatnya.
"Astaghfirullah,.. telurnya busuk bu." Ucapku sembari manyun menatap ibu.
Ibu hanya menggeleng-menggelengkan kepalanya.
"Harusnya Aishy, mecahin telornya jangan langsung di atas adonan. Pecahin di atas mangkok kecil dulu, baru masukkan di adonan satu persatu. Jadi misalkan ada yg busuk telurnya, ya cuman satu biji itu aja di atas mangkok. Adonannya gak jadi korban semua." Nuri lanjut menjelaskan panjang lebar.
"He he he,... Maaf gak tau." Aku cengengesan sendiri. Lalu berdiri dan mengangkat loyang berisi adonan untuk ku buang.
"Sini Bu, biar aku saja yang mixer adonan kue nya."
Nuri mengambil loyang baru dan menggantikan tugasku untuk bikin adonan kue. Aku sibuk mencuci tanganku yang belepotan dan bau telur busuk.
"Kamu itu Nur,.. memang calon mantu idamaaan. Sudah cantik, pinter, rajin di dapur juga." Ibu memuji Nuri.
"Kalau Nuri mantu idaman ibu, ya jodohkan saja sama Mas Mirza Bu...." Ucapku sambil mengedipkan sebelah mata kearah Nuri.
"Wah, betul itu Non. Den Bagus kalau sama Mbak Nuri serasi. Ganteng & ayuu, sudah akrab juga sejak kecil. Jadi mereka berdua pasti cocok."
Mbok Minah yang sejak tadi fokus di depan oven memanggang kue, jadi ikut-ikutan memberikan pendapat.
"Ho oh,. gelem piye Nur? Jadi mantuku? mosok Mirza kurang ganteng untukmu ?" Ibu menggoda Nuri.
Nuri yang di goda pura-pura tidak mendengar, dan serius dengan mixer di tangannya. Tapi aku tahu, sebenarnya dalam hati dia keki di goda seperti itu.
Akhirnya suasanya dapur jadi seru penuh gelak tawa, gara-gara pembahasan menantu idaman.
*Nuri (ilustrasi visual)
________________Bersambung________________
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Terimakasih sudah mampir membaca Novel Ayat Cinta Aisyah.
Ini adalah karya pertama saya,.
Baruu belajar nulis
Beri dukungannya dengan cara
LIKE dan VOTE ya,..
Tinggalkan salam juga di kolom komentar.
❤️Rohana Kadirman❤️
Malam hari di pondok pesantren Al-Fallah.
Selepas sholat isya' di Masjid dan memberi kajian singkat kepada para santri, Hamzah kembali ke rumah dan masuk ke kamarnya. Kamar yang baru saja tiga hari dia huni kembali, setelah sekian lama di tinggalkannya.
Hamzah merebahkan diri di tempat tidur, dan menatap langit-langit kamarnya. Ia memejamkan matanya sejanak. Sesaat. Kemudian ia bangkit dan duduk di tepi tempat tidur.
Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang kamarnya. Lemari jati dengan ukiran kaligrafi di atasnya, meja dan kursi belajar yang tepat berada di depan jendela kamarnya, dan sebuah rak buku besar berdiri kokoh di sampingnya. Di dinding, terpajang dua buah lukisan kaligrafi yang sudah di bingkai dengan pigura kaca. Itu adalah hasil lukisan Hamzah sendiri.
Barang-barang di kamar itu tak ada yang berubah letaknya, semua masih seperti sedia kala, seperti saat dia tinggalkan. Kecuali, keset kaki di depan pintu kamar mandi yang terlihat baru.
Mungkin Ummi yang menggantinya.
Hamzah beranjak dari duduknya, lalu berjalan ke arah rak buku.
Rak buku itu hampir penuh isinya dengan jejeran buku-buku berjilid tebal. Sebagian besar, adalah buku dengan sampul berbahasa Arab.
Hamzah mengambil beberapa buku yang sampulnya terlihat sedikit berdebu, menepuk-nepuknya dengan tangan, lalu mengembalikannya lagi ke tempatnya.
Dulu, rak buku itu hanya terisi tidak lebih dari sepertiganya saja, tapi kemudian, setiap kali Hamzah pulang dari Mesir, ia selalu membawa buku-buku dari sana, sehingga, sekarang rak buku itu hampir penuh di setiap barisnya.
Tiba-tiba Hamzah tertegun. Tatapannya tertuju pada sebuah buku bersampul coklat di sudut rak bagian bawah. Buku itu terlihat lebih kecil ukurannya di bandingkan buku lainnya. Buku itu hampir saja tidak kelihatan karena terhimpit di antara buku-buku besar.
Hamzah meraih buku itu, lalu menatapnya beberapa saat sambil membolak-balikan di tangannya. Sampul buku itu terlihat sudah usang.
Hamzah membawa buku itu, lalu duduk di depan meja, dan mulai membuka halamannya.
Halaman pertama berisi tulisan kaligrafi dengan lafadz Bismillah. Hamzah mengingat-ingat, sepertinya itu adalah kali pertama dia belajar menulis kaligrafi.
Halaman berikutnya, adalah tulisan kaligrafi nama dirinya sendiri. Ternyata buku itu adalah buku miliknya saat kecil dulu. Dari kecil, ia memang gemar menulis kaligrafi, dan juga menggambar.
Ia ingat, saat kecil dulu, setiap kali pergi bermain, ia selalu membawa sebuah ransel kecil di punggungnya, yang di dalamnya berisi pensil, penghapus, dan buku bersampul coklat itu.
Hamzah terus membuka halaman demi halaman. Ada gambar pohon, gambar rumah, gambar kaligrafi lagi, gambar pemandangan gunung dan sawah, gambar mobil, gambar masjid, gambar Kabah,,.. dan robek. Satu lembar halaman ada yang robek! Atau sengaja di sobek?
Ada sebuah anyaman daun nangka yang sudah kering, berbentuk kipas kecil, terselip di sela-sela lembar halaman itu, seolah-olah kipas daun itu, menggantikan posisi satu lembar halaman yang robek itu.
Hamzah menatap takjub kipas daun itu. Seulas senyum tiba-tiba mengembang di bibirnya.
"Aisyah,..." Gumamnya lirih.
***
Di bawah pohon nangka yang rindang, tak jauh dari halaman masjid pesantren Al-Fallah, seorang anak lelaki kecil berusia sekitar tujuh tahun, duduk bersandar dengan menekuk lututnya ke atas. Di sampingnya, tergeletak sebuah ransel kecil terbuat dari kain perca berwarna hitam. Ia terlihat sedang sibuk menggambar sesuatu.
Tak lama berselang, seorang gadis kecil terlihat berlari-lari menghampiri. Gadis kecil itu berusia sekitar empat tahun. Matanya bulat, Indah. Rambutnya sebahu, di biarkan tergerai tanpa di ikat.
"Mas Hamzah,..!" Pekiknya dengan mata berbinar.
Anak laki-laki kecil yang tengah asik menggambar itu sontak terkejut, karena tidak menyadari kehadiran gadis kecil itu.
"Eh,. Aisyah,. Ngagetin aja !"
"Ha ha ha,... Horee,... Mas Hamzah kaget !"
"Kamu ngapain main sendiri? Mana Mas mu?"
"Tadi sama-sama Mas Mirza, tapi Mas Mirza pergi lihat kambing di kandangnya Mang Udin. Aishy takut kambing, jadi Aishy pergi kesini saja."
"Aisyah, tau gak? Dulu Rosululloh sewaktu kecil kerjanya menggembala kambing loh. Kambingnya banyaaak. Kambing itu hewan ternak yang jinak, jadi Aishy gak usah takut. Kan kambingnya gak gigit."
"Gak mau. Pokoknya Aishy takut sama kambing !"
"Tapi nanti kamu di cari sama Mas mu loh Aishy."
"Gak kog. Mas Mirza tahu kalo aku kesini, nanti kalo mau pulang kerumah, Mas Mirza akan lewat sini."
"Ya sudah kalo gitu." Hamzah kembali menyibukkan diri dengan pensil dan bukunya.
Sementara Aisyah, ia terlihat asyik memunguti daun-daun yang berjatuhan dibawah pohon nangka. Kemudian ia mulai menjalin daun itu satu persatu menggunakan sebatang lidi dengan cara menusuk daunnya.
Jadilah sebuah kipas kecil di tangan Aisyah. Ia menggunakan kipas itu dengan cara mengibas-ngibaskannya di depan wajahnya.
"Mas Hamzah lagi gambar apa sih ?"
Aisyah nampak penasaran. Ia lalu mendekat, dan duduk bersimpuh di depan Hamzah yang tengah asyik menggambar dengan pensil dan bukunya.
"Oh,... Gambar Masjid ya ?"
Aisyah menatap gambar yang tengah di lukis oleh Hamzah, lalu Ia menoleh ke arah Masjid Al-Fallah. Kemudian ia mengerenyitkan dahi, merasa heran dengan sesuatu.
"Tapi kog gambar masjidnya ada kolam dan air mancur di depannya? Kan di masjid gak ada?" Ucap Aisyah melanjutkan pertanyaanya.
"Hhhh,... Alhamdulillah selesai." Ucap Hamzah dengan penuh rasa puas, kemudian ia memasukkan pensilnya kedalam tas ranselnya.
"Bagus gak Aishy ?" Ucap Hamzah sambil mengangkat hasil lukisannya.
"Baguuus. Tapi itu bukan masjid ini kan??" Ucap Aisyah sembari tangannya menunjuk ke arah Masjid Al-Fallah.
"Memang bukan. Ini adalah Taj Mahal."
"Taj Mahal? Dimana itu? Apakah itu Masjid yang sangat mahal?? Kenapa namanya mahal ?"
Aisyah memberondong Hamzah dengan pertanyaan. Mata indahnya terlihat membelalak bulat karena rasa penasaran.
Hamzah tersenyum geli melihat expresi wajah Aisyah yang terlihat sangat lucu dan menggemaskan itu.
"Aisyah mau dengar kisah tentang Taj Mahal ?"
"IYA, MAU !!" Jawab Aisyah cepat dengan penuh antusias.
Aisyah kemudian bergeser dari tempatnya duduk, lalu ikut bersandar di pohon nangka, disebelah tempat duduk Hamzah. Kakinya ia selonjorkan. Matanya tertuju pada gambar Taj Mahal yang baru saja selesai di lukis Hamzah.
"Pada zaman dahulu,... " Mirza memulai ceritanya.
"Di negeri India, ada sebuah wilayah bernama Mughal, yang di pimpin oleh seorang Kaisar bernama Shah Jahan. Kaisar Shah Jahan memiliki seorang istri bernama Mumtajz Mahal. Kaisar sangat mencintai istrinya. Ia merasa sangat bahagia. Sampai suatu ketika, istri kaisar, Mumtajz Mahal meninggal dunia sewaktu ia melahirkan."
Aisyah terlihat manggut-manggut seolah mengerti, dan terus mendengarkan cerita Hamzah dengan mimik wajah serius.
" Kepergian Mumtajz Mahal, membuat kaisar Shah Jahan sangat sedih, dan merasa sangat kehilangan. Lalu ia pun membangun sebuah bangunan menyerupai Istana yang besar dan sangat megah. Bagian dalam istana itu juga sangat indah. Di Lapisi 28 jenis batuan kristal yang berkilauan, dan juga ukiran kaligrafi Arab berlapis emas. Nah, di dalam Istana itulah, istrinya, Mumtajz Mahal, di semayamkan. Sehingga, Bangunan itupun di namakan Taj Mahal. Seperti nama mendiang istri kaisar."
"Begitu kisahnya." Ucap Hamzah mengakhiri ceritanya.
"Mas Hamzah sudah pernah kesana? ke Taj Mahal ?" Tanya Aisyah dengan penuh kepolosan.
"Belum lah Aishy. Taj Mahal itu di India. Tempatnya jauuuuuh banget dari sini."
"Tapi kog mas Hamzah bisa gambar Taj Mahal dan bisa ceritakan kisah Taj Mahal ?"
"Hmm,... Kan ada di buku Aishy. Buku adalah jendela dunia. Dengan membaca buku, kita bisa mengetahui dunia di luar sana."
"Nanti kalau Aishy sudah sekolah,... Aishy harus rajin baca buku juga ya,..."
Aisyah mengangguk, mengiyakan nasehat Hamzah.
"Mas, aku kalau sudah besar nanti mau pergi ke Taj Mahal "
"Oh, ya...??"
"Iya. Mas Hamzah harus antar aku ke sana. Melihat Taj Mahal !"
"Mas Hamzah, mau kan antarkan Aisyah kesana ?"
"Hmm...." Hamzah merasa bimbang. Berusaha memilih jawaban yang tepat.
"Pokoknya Mas Hamzah harus antarkan Aisyah !" Ucap Aisyah setengah menjerit. Matanya terlihat berkaca-kaca. Air matanya mengambang di sudut mata.
Hamzah merasa iba, dan tak tega melihat gadis kecil berusia empat tahun itu merasa sedih dan kecewa.
"Iya, iya.... Nanti kalau sudah besar, Mas Hamzah antarkan Aishy ke sana."
"Janji ??"
"Iya janji"
"Kalo gitu sekarang tulis di sini !"
Aisyah meletakkan jari telunjuknya di atas lukisan Taj Mahal milik Hamzah.
"Tulis apa ??" Hamzah merasa tak faham dengan maksud Aisyah.
"Tulis namaku dan nama mas Hamzah.
AISYAH & HAMZAH !" Ucap Aisyah.
"Oh, oke. Oke. Mas Hamzah tulis disini ya.... "
Hamzah menuruti permintaan Aisyah. Lalu ia menuliskan nama HAMZAH & AISYAH di sudut bawah gambar Taj Mahal miliknya.
"Nah, ini sudah." Hamzah menunjukkan tulisannya kepada Aisyah.
"Itu benar kan? Nama Mas Hamzah dan Aisyah ?" Aisyah bertanya menyelidik.
"Iya, ini nama kita berdua. Ini huruf H-A-M-Z-A-H, bacanya HAMZAH. Dan yang ini huruf A-I-S-Y-A-H, bacanya AISYAH." Hamzah menerangkan kepada Aisyah.
Aisyah tersenyum senang.
"Kalau gitu, sekarang gambarnya di robek, begini !" Ucap Aisyah sembari mempraktekkan dengan tangannya.
"Loh, kog harus di robek ??"
"Iya,... Gambar Taj Mahal ini sekarang punya Aisyah. Aku akan menyimpannya sampai besar nanti. Kalau Mas Hamzah sampai ingkar janji, Aisyah akan marah dan menunjukkan gambar ini !" Ucap Aisyah berapi-api.
"Ha ha ha" Hamzah tertawa geli mendengar ucapan Aisyah.
Namun ia tetap melakukan apa yang di inginkan Aisyah. Dengan hati-hati, ia merobek lembaran bukunya, lalu menyerahkannya kepada Aisyah.
"Nih, sekarang gambar Taj Mahal ini punya Aisyah."
"Horeee !" Aisyah sangat girang. Ia lantas berlari-lari kecil sambil mendekap kertas bergambar Taj Mahal itu dengan kedua tangan mungilnya.
Hamzah tersenyum melihat tingkah lucu Aisyah. Sepertinya, saking senangnya, Aisyah sampai-sampai melupakan kipas daun miliknya yang dibuatnya tadi.
Hamzah memungut kipas daun itu, lalu menyelipkannya di dalam buku. Ia berniat mengembalikannya kepada Aisyah.
"BRUUUK !!!"
Tiba-tiba terdengar suara gaduh terjatuh.
"MBEEEEKK !!!"
Di susul suara kambing mengembik.
Rupanya, Aisyah terjatuh karena menabrak seekor kambing kecil yang tiba-tiba saja muncul di dekatnya.
Dari kejauhan, terlihat Mirza berlari-lari manghampiri, lalu di susul Mang Udin.
Begitu sudah dekat, Mang Udin langsung menangkap kambing kecil itu.
Hamzah berdiri, dan berjalan menghampiri, untuk melihat apa yg terjadi.
Aisyah menangis dan tampak sangat ketakutan. Mirza berusaha menenangkan adiknya dengan cara memeluknya.
"Weee,... Jan tenan bocah ini ! Sudah di kasih tahu kalau lihat kambing dari luar kandang saja. Malah masuk dan pintu kandangnya di biarkan terbuka. Untung cuma satu kambing yang keluar, kalau kambingnya keluar semua bagaimana ?" Mang Udin memarahi Mirza.
"Maaf Mang,... Aku tadi mau kasih makan kambingnya, jadi aku masuk." Mirza menunduk dan terlihat menyesali perbuatannya.
"Yo wes sana pulang mandi, sudah sore. Itu badanmu juga sudah sama baunya dengan kambing." Mang Udin berbalik pulang dan berjalan sambil menggiring kambingnya.
***
"TOK TOK TOK !"
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Hamzah.
"Astaghfirullah...." Gumam Hamzah pelan.
"Gus. Ada Mirza mencarimu." Seru Ummi Salamah dari luar.
Ummi salamah memanggil Putranya dengan sebutan Gus, yang artinya bagus, baik, atau gagah.
Hamzah bergegas membuka pintu.
"Itu, ada Mirza mencarimu di luar. Tadi ummi sudah suruh masuk, tapi gak mau. Katanya nunggu kamu di teras saja."
"Oh, iya ummi." Hamzah menutup pintu kamar dan berjalan keluar.
_________________Bersambung______________
.
.
.
.
.
.
.
.
Terimakasih sudah mampir membaca Novel Ayat Cinta Aisyah.
Ini adalah karya pertama saya,.
Baruu belajar nulis
Beri dukungannya dengan cara
LIKE dan VOTE ya,..
Tinggalkan salam juga di kolom komentar.
❤️Rohana Kadirman❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!