Pagi yang cerah dengan cuaca yang begitu mendukung untuk beraktivitas. Matahari yang belum begitu tampak sempurna. Namun, membuat seorang wanita bangun dengan rasa bahagia menyambut harinya
Wanita itu bernama Wina Wijaya, Wanita cantik lemah lembut, tegas dan keibuan. Wina juga mempunyai seorang anak perempuan bernama Syasa, putri semata wayangnya dengan almarhum suaminya.
Ya … Wina adalah seorang singel parent alias janda. Suaminya meninggal saat bertugas. Almarhum suaminya adalah seorang angkatan laut. Suaminya meninggal saat putrinya berusia 1 tahun dan kini Syasa sudah berusia 4 tahun.
Seperti biasa Wina membangunkan putri kesayangannya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.
"Sayang ... anak Mama bangun yuk …!” ujar Wina mengusap lembut rambut Syasa. Dengan malasnya anak kecil nan lucu itu menggeliat kemudian bangun.
"Mama," jawabnya lesu.
"Ayo sayang, nanti terlambat loh Sekolahnya,” jelas Wina selembut mungkin sembari mengusap rambutnya.
Wina menggendong Syasa menuju kamar mandi dan memandikannya. Setelah selesai Wina mendandani dan menyuapinya, ia juga sudah rapi untuk berangkat bekerja.
Status janda membuat Wina harus bekerja keras untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan dirinya serta sang anak.
Sebenarnya Jika dirinya tidak bekerja Wina masih mendapat tunjangan dari mertuanya setiap bulan. sebab mertuanya juga bukan orang sembarangan. Mertua Wina adalah seorang pengusaha kaya dan terkenal di Ibu kota dan koleganya juga orang-orang petinggi pemerintahan dan luar negeri. Syasa Sang anak adalah pewaris tunggal dari kerajaan bisnis mertuanya, akan tetapi Wina mempunyai prinsip sendiri tidak ingin merepotkan sang mertua dan tidak ingin menjadi beban keluarga suaminya.
Wina juga memilih untuk menetap di kota Surabaya. Karena terakhir sang suami di tugaskan di Surabaya. Banyak kenangan yang tersimpan di Surabaya. Maka dari itu, ia tidak mau meninggalkan kota yang penuh kenangan bersama almarhum sang suami. Wina juga bekerja di salah satu perusahaan milik rekan bisnis mertuanya Namun, ia tidak bekerja menjadi staf atau bagian penting dalam perusahaan kolega mertuanya melainkan menjadi seorang office girls.
Wina mempunyai alasan tersendiri, mengapa dirinya memilih untuk menjadi office girls. Sebab ia tidak ingin berkutat dengan kertas dan berkas yang membuatnya pusing tujuh keliling. Ia juga menyembunyikan identitasnya sebagai menantu orang terkaya di negeri ini. Bukan tanpa alasan itu semua demi keselamatan dirinya dan putrinya. Sebab musuh Mertuanya juga begitu banyak, ia tidak ingin terjadi sesuatu pada sang putri.
Sebelum berangkat bekerja, Wina menitipkan Syasa pada pengasuhnya yang tetangganya, sekaligus sahabatnya, Mita. Mita dengan senang hati menerima tawaran Wina untuk menjaga Syasa selama dirinya bekerja. Mita sendiri juga belum dikaruniai seorang anak selama 4 tahun menikah.
"Mbak Mita! titip Syasa ya. Tolong antar ke sekolah, jagain ya Mbak, anaknya aktif banget." ucap Wina sembari menggendong Syasa di hadapan Mita
"Iya. Kamu tenang saja, Syasa aman sama aku,” balas Mita mengambil syasa dari gendongan Wina.
"Iya mbak. Terima kasih ya Mbak. Ini bekal buat Syasa dan ini uang jajannya." Wina menyerahkan bekal, tas dan uang untuk syasa pada Mita.
"Iya. Ya sudah ... sana berangkat. Nanti kamu terlambat." Wina tersenyum lalu segera berangkat ke kantor.
Sesampainya di kantor Wina langsung menuju lantai 29. Karena tugasnya di lantai 29. Wina menghampiri temen-teman kerjanya di pantry yang sudah datang lebih awal.
“Pagi!” sapa Wina pada teman-temannya yang ada di pantry dan sedang menyusun gelas.
"Pagi nyonya!" jawab Tiyas yang memang suka bercanda dan selalu memanggil Wina dengan sebutan nyonya.
"Nyonya? Aamiin...!" jawab Wina diiringi tawa semuanya.
"Ok! Kita mulai bekerja," sambung Rudi rekan kerja lainnya.
"Kasih aku nafas, Rud. Aku baru sampai," balas Wina sembari meletakkan tasnya di loker.
"Iya nyonya, kami akan menunggu Anda." Rudi dan semua tertawa begitu juga para staf lain yang mendengarnya dan memang begitulah mereka selalu kompak dalam bekerja. dan melakukan bersama-sama.
Tidak terasa hari sudah mulai sore, Wina dan yang lainnya bersiap pulang. Wina dan Tiyas kini berada di parkiran. Tiyas pulang bersama Rudi karena memang mereka sedang dekat, dan Doni sendiri mengendarai sepeda motornya dan langsung menuju kampus. Karena ia juga sedang kuliah. Wina sendiri mengendarai motornya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada kendaraan melaju begitu kencang dan membuat Wina terkejut sampai ia terjatuh. Mobil yang hampir saja menyerempetnya itu pun sudah melesat jauh. Saat dirinya terjatuh, tidak ada seorang yang menolong. Karena memang jalanan sedang sepi hanya beberapa orang saja melintas. Itu pun tidak ada yang mau menolong.
Namun, tiba-tiba ada salah satu mobil yang berhenti di pinggir jalan. Dua pria turun dan mendekati dirinya. Wina melihat dua pria tersebut sedikit berlari dan ia pun berusaha berdiri. Salah satu pria tersebut begitu tampan dan salah satunya biasanya saja.
“Kamu gak apa-apa?” tanya pria tersebut membantu Wina bangun dan salah satu pria tersebut membantu mendirikan sepeda motornya.
“Gak apa-apa," balas Wina sedikit takut. Wina takut jika dua pria itu orang jahat.
“Tidak perlu takut Nona. Kami bukan orang jahat, saya Dedi sopir tuan ini.” ucap pria yang mendirikannya motor Wina.
“Kamu ada yang luka? Kenapa bisa jatuh?” pria tersebut memegang satu pundak Wina, Wina menggeleng lalu menyingkirkan tangan pria tersebut.
“Terima kasih, tuan. Permisi!" Wina kemudian berjalan menuju motornya dengan rasa takut. Pria itu hanya tersenyum begitu juga sang sopirnya. Mereka tahu jika Wina ketakutan.
Saat menyalakan motor, Wina masih gemetaran. Alhasil motornya tidak kunjung menyala. Pria tersebut pun menghampiri Wina sedangkan sopirnya menuju mobil.
“Kenapa lagi?" tanyanya
“Gak tau! Gak mau nyala!”
Pria tersebut melihat Wina gemetaran, lalu ia menghela nafas panjang kemudian menstandarkan motor Wina. Sang sopir menghampiri mereka lalu keluar dari mobil dan membawa satu botol minuman.
“Tuan, mungkin Nona ini butuh minum. Biar tidak syok." pria itu mengambil botol minuman dan memberikannya pada Wina.
“Minumlah!" Wina menggeleng karena takut minuman tersebut diberikan sesuatu.
“Gak perlu takut. Ini air putih biasa. Ini masih bersegel.” Dengan ragu Wina menerimanya. Kemudian ia duduk di trotoar jalan di ikut pria tersebut duduk di sampingnya. masih dengan rasa gemetaran ia minum. Melihat Wina memegang botol gemetar pria tersebut pun membantunya.
“Rilex ya, apa perlu saya antar pulang." Wina secepat kilat menggeleng.
“Tidak tuan. Terima kasih. Saya sudah tidak apa-apa, saya hanya syok." Wina berdiri di ikuti pria tersebut.
“Sekali lagi terima kasih tuan.” pria tersebut mengangguk sambil tersenyum.
“Oh ya, Saya Bram!” Wina melihat Bram mengulurkan tangan, dengan ragu Wina membalasnya.
“Wina. Em … terima kasih!” Wina tersebut tipis kemudian menaiki motornya. Bram hanya tersenyum melihat Wina mengendarai sepeda motornya.
Saat hendak melangkah masuk ke dalam mobil. Bram tidak sengaja melihat gelang milik Wina, yang mungkin saat jatuh dari motor, gelangnya terlepas dari pergelangan tangannya. Bram pun mengambilnya lalu memperhatikan gelang tersebut.
“Wina Wijaya,” gumam Bram membaca ukiran nama milik Wina. Sekilas ia tersenyum melihat sang sopir yang juga tersenyum kemudian mereka masuk kedalam mobil lalu pulang pulang ke rumah.
sepanjang perjalanan pulang, Bram terus tersenyum sendiri di dalam mobil, sampai sang sopir, Dedi terheran melihat tuan mudanya tersebut. Tidak seperti saat baru keluar dari bandara, raut wajahnya yang kesal dan menunjukkan jika tidak senang pulang ke negaranya sendiri.
“Maaf tuan, sepertinya Anda begitu bahagia setelah bertemu gadis tadi?” Bram tertawa kecil
“Bapak bisa saja. Orangnya cantik ya, Pak!” balas Bram sambil melihat gelang milik Wina.
“Iya tuan. Nona tadi cantik, cocok sama tuan.” Bram tertawa kecil membayangkan wajah Wina.
Sesampainya di rumah Bram menemui sang Mama. Ia berjalan menuju ruang makan dengan senyum bahagia. Bram memeluk Mamanya dari belakang membuat Mamanya sedikit terkejut.
“Astaga, Nak. Mama terkejut!” Bram tertawa dan masih memeluk Mamanya.
“Bagaimana perjalananmu, sayang?” tanya Bu Mila.
“Ya begitu lah, Ma. Sebenarnya Bram malas pulang sudah nyaman di London. Tapi aku masih ingat Masih mempunyai Mama di sini. Mama yang selalu mendukung apa yang dilakukan anaknya.” Bram mencium pipi Mamanya.
“Ya sudah, temui ganti baju kamu, terus temui Papa kamu!" Bram mengangguk malas. Ia malas bertemu sang Ayah, sudah pasti jika nanti bertemu ada saja pembicaraan yang membuat dirinya bosan dan sudah pasti hanya membicarakan perusahaan.
“Iya, Ma. Nanti." Bram kemudian mengambil gelas lalu mengambil minum setelah itu ia menuju kamarnya yang berada di lantai atas.
Mila hanya memandang punggung sang anak dengan rasa iba. Melihat Bram yang nampak begitu letih. Mila tahu jika Bram tidak menyukai bertemu Papanya karena sudah pasti masalah pekerjaan yang selalu dibahas.
Pak Bima memang sangat keras dan tegas dalam mendidik sang anak, agar Bram terlihat sempurna di mata orang lain, bahkan di mata rekan bisnis Papanya agar disegani dan ditakuti.
Bram dibentuk dan didik Papanya ala Militer, disiplin, tegas, tanggung jawab, serta tidak takut pada siapapun, dan hasilnya ia juga tidak takut pada Pak Bima sendir, miris bukan.
Pak Bima melihat Bram menaiki tangga tanpa menyapanya yang sedang duduk di ruang santai. Ia hanya menghela nafas panjang kemudian meletakkan surat kabarnya di atas meja.
"Bram! Besok kau ikut papa ke
kantor!” seru Pak Bima pada Bram.
“Hm!” jawabnya singkat tanpa menoleh ke arah sang Papa.
Sesampainya di kamar ia menghela nafas panjang dan melemparkan tas ranselnya di atas tempat tidur. Ia duduk di tepi tempat tidur lalu melihat gelang milik Wina. Ia tersenyum mengingat wajah cantik Wina, walau Wina masih mengenakan helm, kecantikan Wina masih tetap terlihat.
“Wina,” gumamnya lalu ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Tanpa terasa ia pun tertidur.
Pagi harinya Bram ke kantor bersama papanya. Ia begitu gagah berjalan sejajar bersama pak Bima memasukinya lobby. Aura Anak dan orang tua tersebut sangat disegani oleh semua karyawan.
Bram menjadi pusat perhatian banyak karyawan yang belum mengetahui jika pak Bima mempunyai putra yang gagah, tampan dan berwibawa seperti dirinya.
Sesampainya di lobby Mereka berdua disambut oleh Damar, sang asisten sekaligus sahabat Bram semasa remaja.
"Selamat pagi pak. Selamat datang!” sambut Damar dengan senyuman santun.
"Pagi! " jawab pak Bima. Damar beralih menyalami Bram yang sedari tadi diam dengan mengedarkan pandangan di area lobby.
“Selamat datang Bram!"
“Hm!” jawab Bram sekenanya.
Bram masih mengedarkan pandangannya dan tidak sengaja melihat seorang gadis yang kemarin ia tolong di jalan. Siapa lagi kalau bukan Wina Wijaya. Bram melepaskan kaca matanya dan melihat Wina sampai menghilang di balik lift.
“Dia kerja di sini?” batin Bram lalu mengenakan kaca mata hitamnya lambali.
Damar dan Pak Bima hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. Mereka sudah yakin jika Bram melihat Wina, sudah pasti jatuh hati. Sebab Wina walau seorang office girl, ia adalah primadona di kantor. Mereka bertiga masuk ke dalam lift khusus dan menuju lantai 29.
Sesampainya di lantai 29. Pak Bima membawa Bram ke ruangannya, di ikuti Damar.
“Ini ruangan kamu,” ujar Pak Bima. Bram melihat sekeliling ruangan yang sepertinya sudah diperbarui sesuai keinginan Bram agar nyaman dalam bekerja.
“Baiklah. Papa pulang, mulai detik ini perusahaan ini tanggung jawabmu,“ ujar Pak Bima pada Bram.
“Iya!" Jawab Bram singkat.
“Damar nanti yang akan membantumu dan menjadi asistenmu.”
“Ok!“ lagi-lagi Bram hanya menjawab dengan singkat.
“Papa pulang. Dam kau bantu Bram!”
“Siap, Om!” Damar menyalami pak Bima lalu pak Bima keluar ruangan.
“Apa rencanamu kau selanjutnya, Bram?" tanya Damar saat Bram duduk di kursinya.
"Bekerja? Apalagi?” balas Bram tanpa ekspresi
“Ok baiklah, Aku kembali ke ruanganku, jika membutuhkan bantuanku. Aku ada di ruangan sebelah.”
“Hm!"
Bram dan Damar memang sudah berteman dari kecil bahkan sampai kuliah, dan Ayah Damar dulunya bekerja di perusahaan Sanjaya group. Tempat saat ini ia bekerja menggantikan posisi sang Ayah, ketika Ayahnya meninggal dunia.
Disisi lain Wina dan rekan kerjanya mengantarkan minuman untuk para staf dan dewan direksi, dan itu sudah pekerjaannya setiap pagi.
“Wina! Tolong kamu antar air putih ini ke ruangan pak Bima, tapi di ruangan pak Bima bukan pak Bima, tapi katanya bos baru. Kalau gak salah dengar tadi anak pak Bima.“ Tiyas memberikan nampan berisi segelas air pada Wina.
“Ya sudah antar sana! Kenapa harus aku.”
“Gak bisa, aku kebelet. Bye!“ Tiyas pergi begitu saja menuju toilet sedang Wina hanya tertawa kecil, kemudian Wina menuju ruangan Bram untuk mengantarkan air putih tersebut.
“Permisi!” salam Wina di ambang pintu.
“Masuk!” Wina berjalan masuk dan menuju meja Bram.
"Maaf Pak. Ini air minum untuk Bapak.” Bram terdiam mengingat suara yang pernah ia dengar tak lama ia memutar kursinya dan melihat Wina.
Wina terkejut rupanya bos barunya adalah orang yang menolongnya kemarin.
“Tuan? Tuan yang kemarin menolong saya?” Bram tersenyum tipis ia kecewa rupanya Wina hanya seorang office girl.
Wina meletakkan kopinya di meja dan tersenyum sopan. Wina men menunduk saat Bram melihatnya.
“Kalau begitu saya permisi pak!"
“Hm!” Wina lalu berjalan keluar,
"Tunggu! Buatkan saya kopi!" pinta Bram sebelum Wina menarik knop pintu. Wina membalikkan badannya dan melihat Bram.
"Baik tuan, " balas Wina lalu membalikkan badannya kembali
"Jangan terlalu manis,” pinta Bram lagi. Terpaksa Wina membalikkan badannya lagi.
"Baik tuan!”.
''Kopinya jangan terlalu banyak.'' Lagi-lagi Wina harus memutar badannya lagi
''Baik tuan,'' jawabnya yang masih sabar, dan tersenyum sopan lalu membalikkan badannya.
''Airnya harus benar-benar panas!''
''Astaga!'' geram Wina dan ia terpaksa membalikkan badannya lagi.
'Baik tuan! Ada lagi, mungkin sarapan nasi goreng, nasi uduk atau yang lainnya?” jawab Wina sopan namun di buat-buat. seraya mengeratkan giginya. Ingin sekali Wina menimpuk Wajah tampannya itu dengan nampan.
"Tidak itu saja,” jawab Bram menahan tawa melihat ekspresi Wina yang menahan kesal.
"Mohon di tunggu tuan ,permisi .." pamit Wina lalu tersenyum.
“Tunggu!“
“Astagfirullah!!” batin Wina. Wina menghela nafas panjang kemudian membalikkan badannya lagi.
“Ada lagi, Tuan. Apa mau pesan nasi kebuli, biryani?“ kesal Wina, Bram hanya menahan tawa sambil mengeluarkan sesuatu di saku jasnya.
Bram berjalan mendekati Wina, tanpa ekspresi Bram meraih tangan Wina lalu meletakkan gelang tersebut di telapak tangan Wina.
“Gelang kamu kemarin terjatuh,“ Wina masih melihat melongo dengan sikap Bram lalu melihat Pergelangan tangannya. Ia juga baru sadar jika gelangnya hilang.
Jam menunjukkan pukul 12.00 siang, semua karyawan istirahat untuk makan siang. Mereka keluar mencari maka di sekitar kantor, ada pula makan di kantin serta ada pula makan di tempat kerjanya masing-masing.
Damar menuju ruangan Bram dan mengajaknya makan siang. Damar melihat Bram yang masih sibuk dengan laporannya sampai dasinya sudah entah kemana.
"Bram! " panggil Damar.
"Hem!”
“Istirahat yuk!"
“Sebentar!"
“Mau ke restoran atau kantin?”
“Kantin saja!” balas Bram membalik berkasnya.
“Ok. No problem! Kantin atas?
Bram terdiam sejenak mengingat Wina. Jika ke kantin atas ia tidak bisa melihat vwina.
“ke kantin bawah!”
“Tumben?”
“Kenapa? Aku juga mau melihat kantin karyawanku. masih layak atau tidak, makanannya masih menu yang dulu atau tidak.” Bram menyelesaikan pekerjaannya, setelah itu. Mereka menuju kantin.
Mereka menjadi pusat perhatian, sebab tidak biasanya petinggi kantor makan di kantin kantor. Biasanya mereka makan di restoran mewah yang tidak jauh dari kantor.
Bram melihat sekelilingnya saat mengambil makanan, pandangannya berhenti pada sosok Wanita yang kemarin ia tolong. Siapa lagi kalau bukan Wina. Wina sedang makan bersama ketiga rekannya, Tiyas, Doni dan Rudi.
Melihat senyum Wina yang manis dan teduh membuat Bram tersenyum dalam hati. Di mata Bram Wina sangat berbeda, cara makan dan bicara pada teman benar-benar berbeda.
Bram menghela nafas lalu mengambil makanannya, lalu mengikuti langkah Damar menuju meja di salah sudut kantin.
Selama makan ia terus mencuri Padang Wina dan mengabaikan karyawan, yang terus melihat dan berbisik-bisik tentang dirinya yang tampan dan bos baru. Berbeda halnya dengan Wina yang hanya diam menikmati makanannya, walau Tiyas begitu heboh melihat Bram.
Wina seolah tidak begitu antusias adanya bos baru yang begitu tampan. Walau sebenarnya Wina juga sesekali mencuri pandang Bram.
“Tiyas, duluan yuk! Shalat dulu.” ajak Wina.
“Bentar habiskan minum dulu!” Tiyas menghabiskan minumannya lalu bangkit diikuti Wina.
“Kita duluan ya!” pamit Wina lalu sekilas melihat Bram, tanpa disangka pandangan mereka bertemu membuat keduanya salah tingkah.
Wina kemudian bersikap biasa dan lang berjalan keluar kantin di ikuti Tiyas berlari kecil di belakangnya.
“Win …! Kenapa buru-buru? Aku mau lihat bos baru!” seru Tiyas saat di luar kantin.
“Nanti lagi Tiyas, masih banyak waktu. Nanti siang kamu saja yang antar air minumnya. Kebetulan air minumnya habis, sekalian bawakan gelas baru.”
“Aku gak berani! Kamu aja ya. Kamu kan gak grogian, Bisa hadapi cowok dengan santai. Kamu kan pengalaman.” Tiyas melihat Wina bersikap santai.
“Pengalaman bagaimana maksud kamu?” Wina menekan tombol lift kemudian mereka masuk kedalamnya. Wina tahu apa yang dimaksud Tiyas.
“Ya … gitu deh!”
“Sudah, santai saja.” Wina menepuk pundak Tiyas.
“Wina, kamu kenapa sampai sekarang gak nikah lagi, cari pendamping baru? Syasa kan butuh sosok papa baru!” tanya Tiyas.
“Gak mau aja. Malas bangun bikin kopi!” keduanya tertawa.
“Serius Wina …!”
“Gak mudah Yas! Semua butuh pertimbangan, apalagi statusku janda. Aku gak mau sembarangan memilih suami, dia harus bisa menerima anakku dan diriku apa adanya.”
“Ok, aku mengerti!” Wina tersenyum begitu juga Tiyas.
Wina bukan tidak ingin menikah lagi. Hanya saja belum ada yang bisa membuat dirinya jatuh hati. Baginya Almarhum suaminya adalah segalanya.
Wina dan Tiyas keluar dari lift. Keduanya menuju mushola. Keduanya shalat berdua. Sementara itu Bram dan Damar baru saja keluar dari kantin dan kembali ke lantai 29.
Sesampainya di lantai atas Bram tidak sengaja melihat Wina dan Tiyas di mushola dan sedang berdoa. Bram tidak sadar berhenti dan memperhatikan Wina yang berdoa begitu khusyuk.
“Bram!” panggil Damar. Bram hanya melihat Damar dan langsung melanjutkan langkahnya menuju ruangannya, sedangkan Damar melihat sekilas ke arah mushola ya hanya dibatasi kaca.
“Oh! Kau lihat office girl itu! Bram … Bram.” Damar kemudian menuju ruangannya.
Tidak terasa hari menjelang sore. Satu persatu karyawan pulang ke rumah masing-masing. Tidak terkecuali Wina dan Bram mereka pulang dengan mengendarai kendaraannya masing-masing.
Di perjalanan Bram tidak sengaja berpas-pasan dengan Wina saat di lampu merah. Ia melihat Wina dari balik kaca pintu mobilnya. Tanpa sadar ia pun tersenyum.
Lampu merah berubah menjadi hijau semua kendaraan pun melaju. Bram tanpa sadar mengikuti Wina sampai ke kompleks perumahannya. Saat Wina masuk kompleks, Bram berhenti. Ia hanya ingin tahu dimana rumah Wina, setelah itu ia pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah Bram langsung menuju kamarnya. Sang Mama yang sedari tadi melihat raut wajah Bram yang terus tersenyum juga ikut tersenyum. Bu Mila menduga jika Bram bertemu dengan salah satu karyawan yang sesuai kriterianya. Bu Mila berharap Bram bertemu Wina, menantu rekan bisnis suaminya.
Ya …Bu Mila memang mengetahui jika Wina adalah menantu pak Herman, istri dari almarhum Alfin. Putra tunggal pak Herman. Namun pak Bima dan Bu Mila Diam karena mereka menghormati keputusan Wina. Mereka tahu alasan Wina menyembunyikan identitasnya dari pak Herman sendiri.
Bu Mila menyusul Bram ke kamar sambil membawa minuman. Bu Mila masuk ke kamar dan melihat sang anak sedang mengganti baju. Rupanya ia baru saja selesai mandi.
“Tumben anak Mama sudah mandi.” Bu Mila meletakkan segelas jus di meja nakas.
“Mama, Iya Ma. Gerah!”
“Habis lihat gadis-gadis cantik di kantor gerah ya!” goda Bu Mila diiringi tawa kecil keduanya.
“Mama bisa saja. Di kantor memang banyak gadis cantik dan ada juga yang buat Bram tertawa dalam hati.”
“Tertawa dalam hati?”
“Ah … lupakan, Ma!”
"Bram … kapan kamu cari pendamping, biar ada yang bisa membantu mama mengurus kamu? Mama dan papa sudah semakin tua, sudah ingin menimang cucu! Usia kamu sudah 32 tahun, Bram.” Bu Mila menatap Bram begitu dalam seolah mencari jawaban dari anaknya, kapan sekiranya sang anak mencari pendamping.
"Nanti Bram carikan Mama menantu yang sudah mempunyai anak, Mama langsung punya cucu!” balas Bram santai.
"Janda maksudmu? Kamu ini memang kamu mau sama janda?" Bram duduk di tepi tempat tidur.
“ Ya … gak apa-apa ma, janda juga manusia, lebih berpengalaman. Hitung-hitung menolong kehidupannya dan memuliakannya."
Bu Mila duduk di tepi tempat tidur dan mengusap rambut putra semata wayangnya.
"Terserah kamu saja, Mama akan mendukung apapun keputusanmu,” jawab Bu Mila. Bu Mila berharap Wanita itu adalah Wina.
"Terima kasih, Ma. Mama selalu mendukungku.”
''Dan carilah istri yang selalu mendukung mu,” saut Bu Mila lalu menepuk pundak anaknya.
“Atau mau Mama jodohkan dengan anak teman Mama?” goda Bu Mila yang langsung mendapat tatapan tajam Bram.
“Mama …! Bram sudah dewasa. Biar Bram cari pendamping sendiri.”
“Ok, baiklah. Mama tunggu di ruang makan ya. Papa sebentar lagi pulang.”
“Iya.” Bu Mila kemudian keluar dari kamar Bram.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!