POV author.
Plak
Plak
Plak
Panas dan perih menjalari wajah Shireen saat seorang wanita cantik dengan rambut terurai datang ke hadapannya yang tengah bersantai di sebuah kafe.
"Apa apaan ini?" sentak Shireen tak terima, wajahnya terasa kebas ini akibat tamparan wanita yang tak di kenalnya itu, dan parahnya lagi karna hal itu kini semua mata pengunjung yang ada di sana mengarah padanya, membuatnya malu setengah mati.
"Hah? Apa katamu?" wanita di depan Shireen memutar bola matanya jengah, ingin sekali Shireen menjambak bibirnya yang merah merona itu jika saja tak ada banyak orang di sana.
"Kamu! Wanita murahan yang sudah merebut suamiku! Dasar pelakor kamu!"
Plak
Satu tamparan lagi mendarat di pipi Shireen yang sudah memerah, Shireen terduduk di kursi sembari memegangi pipinya. Dadanya naik turun menahan amarah yang meletup letup hingga ke ubun-ubun.
"Hei! Kalian semua!" Wanita itu memanggil seluruh pengunjung kafe sampai semuanya mengerumuni mereka, wajahnya tampak puas melihat kondisi Shireen saat ini.
"Lihat lah wanita ini! Jangan tertipu dengan penampilannya yang alim dan tertutup ini. Karna dia adalah wanita murahan yang sudah merebut SUAMIKU! SUAMIKU! Mereka bahkan sudah menikah tanpa izin dariku sebagai istri sah nya! Wanita ini, wanita hi na ini dia PELAKOR!"
Berang, Shireen bangkit dan mengangkat tangannya tinggi tinggi sebelum akhirnya menjatuhkan satu pukulan telak ke wajah wanita yang sejak tadi mengatainya pelakor itu.
"AKU BUKAN PELAKOR, MBAK!" pekiknya marah.
Gubrak
Wanita yang sejak tadi berkoar-koar tentang Shireen jatuh tersungkur setelah mendapatkan satu tamparan balasan dari Shireen. Tak perlu berkali-kali mendaratkan tangannya yang mulus ke wajah wanita itu, nyatanya wanita itu langsung diam tak berkutik hanya dengan satu tamparan keras dari Shireen.
Shireen mengusap usap tangannya yang baru saja menampar wanita itu, di dekatinya lagi wanita yang terduduk lemas itu dengan amarah yang menggebu, di tariknya dagunya dan di dongakkan wajah cantik yang kini tampak mengecap lima jarinya itu ke atas, tampak kabut mulai memenuhi kelopak mata wanita cantik itu.
"Dengar ya, Mbak! Aku tidak kenal siapa, mbak. Dan aku juga tidak kenal siapa suami mbak, jadi tolong berhentilah mengatakan aku pelakor. Aku bukan pelakor!" marah Shireen dengan mata berkilat marah.
Wanita itu hanya diam, bahkan saat Shireen akhirnya melepas cengkramannya di dagu wanita itu dengan kasar, wanita itu masih diam.
"Huuuuu! Orang nggak kenal kok main tuduh aja sih. Nggak malu."
"Lain kali lihat lihat dulu, mbak kalau mau nuduh orang ,malu sendiri kan jadinya."
"Ih amiit amit kalau aku begitu sih, masalah nggak selesai, makin malu iya."
Suara suara sumbang orang orang yang menonton kejadian di kafe itu langsung berdengung seperti lebah yang keluar dari sarangnya dan membubarkan diri meninggalkan tempat kejadian perkara.
Demikian pula dengan Shireen yang tak menyangka akan mendapat serangan asing di kala me time nya sore itu.
****
Sesampainya di rumah.
"Assalamualaikum," ucap Shireen sembari membuka pintu rumah bercat putih yang setengah tertutup itu, dari dalam terdengar suara tertawa sang anak yang begitu nyaring.
"Waalaikumsalam, yeeeyyy bunda pulang!" seru seorang bocah berumur empat tahun yang merupakan anak kandung Shireen, buah hatinya dengan sang suami, Hamdan.
Shireen menyambut tubuh yang mulai gembul itu dengan suka cita, di bawanya bocah laki laki gembul itu ke dalam pelukan dan menghujaninya dengan ciuman. Entahlah ,rasanya bertemu dan memeluk putra semata wayangnya itu bisa membuat semua masalah dan rasa lelahnya sirna seketika.
"Loh? Sayang, kok sudah pulang? Memangnya sudah me time nya?"
Dan ini, Hamdan. Lelaki yang sudah menemani Shireen selama lima tahun belakangan, lelaki baik hati, pekerja keras juga penuh pengertian yang begitu mencintai keluarga kecilnya itu.
Shireen mengulas senyum , menurunkan Gala, putra mereka ke lantai dan menyambut uluran tangan suaminya sebelum menciumnya takdzim.
"Bosan, Mas jalan jalan sendirian ternyata lebih enak sama kamu dan gala kalau jalan jalan." Shireen berusaha menutupi kegusarannya dengan senyuman.
Hamdan pun mengangguk samar lalu kembali mengajak putra mereka untuk kembali ke ruang tengah, dimana mereka sejak tadi bermain bersama sambil menonton tv.
Yah, ini hari Minggu. Dan seperti minggu minggu lainnya yang selalu mereka lewati, hari ini harusnya menjadi hari bersantai bagi Shireen, berjalan jalan menikmati apa yang dia suka dan melakukan apapun yang di inginkannya. Sedang Gala, putra mereka akan di jaga seharian penuh oleh sang suami, semua itu juga atas permintaan suaminya yang selalu ingin mental istrinya sehat dan bahagia. Istri mana yang tidak bahagia mendapat suami sepengertian Hamdan, bukan?
Shireen masuk ke kamar, sedang suami dan anaknya kembali terdengar sibuk bermain bersama. Shireen tak perlu takut sang anak tak terurus karab sejak lahir, Hamdan sudah demikian mencintai anaknya dan tak pernah segan menolongnya mengurus sang anak, walau itu termasuk membersihkan kotorannya sekalipun. Sungguh, Shireen selalu merasa beruntung mendapatkan suami seperti Hamdan. Lelaki baik yang di kenalnya di sebuah mall saat Hamdan masih menjadi seorang cleaning servis.
Tok
Tok
Tok
Shireen tersentak saat mendengar pintu kamarnya di ketuk, matanya yang entah sejak kapan terpejam kini mengerjab membuka walau masih terasa berat dan lengket.
Tok
Tok
Tok
"Bun? Kamu tidur?" suara Hamdan terdengar begitu lembut membelai telinga Shireen, wanita dua puluh delapan tahun itu menguap sebentar sebelum menyahut panggilan suaminya.
"Masuk aja, Yah nggak di kunci," sahut Shireen dengan suara tersebut berat, khas orang bangun tidur.
Ceklek
Pintu kamar terbuka, Hamdan melangkah masuk dan langsung mendekati Shireen yang masih betah berbaring karna merasa sangat lelah. Ternyata lama tidak bertarung kali ini membuat tenaga dalamnya sebagai pemegang sabuk hitam pencak silat terkuras hanya karna mengeluarkan satu tamparan tadi.
"Ngantuk ya?" Hamdan mengelus pipi Shireen lembut, namun Shireen langsung mengernyit kala merasakan perih di pipinya.
"Auh," erangnya pelan.
"Kenapa, Bun?" tanya Hamdan cemas, di tiliknya wajah Shireen yang sebagian masih tertutup jilbab instan warna tosca yang di kenakannya.
"Astaghfirullah, Bun ini kenapa?" seru Hamdan kaget.
Bagaimana tidak, wajah Shireen kini tampak memerah karna bekas tamparan wanita tak di kenal di kafe tadi. Awalnya tak begitu di rasa, namun rupanya sakit juga setelah beberapa lama.
Shireen mengaduh ,bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk di hadapan suaminya.
"Itu pipi bunda kenapa? Berantem lagi? Kan ayah sudah bilang jangan pernah berantem lagi kalau nggak bahaya, Bun." Hamdan mengomel sembari mengambil kotak p3k yang di letakkan di nakas samping tempat tidur mereka.
Shireen hanya diam, membuka jilbab instan yang di pakainya dan mengambil cermin kecil dari dalam tasnya.
"Coba cerita sama ayah, gimana bisa pipi bunda memar seperti ini?" tanya Hamdan setelah selesai mengompres pipi Shireen yang memar.
Shireen menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan suaminya.
"Ada wanita yang menampar bunda waktu di kafe, dia bilang kalau bunda kalau sudah merebut suaminya. Dia bilang, bunda pelakor."
Shireen memindai wajah Hamdan saat mengatakan itu, dan di dapatinya sekilas jika Hamdan tampak terkejut.
"Ap- apa? Wanita ... bilang bunda pelakor?" tanyanya gugup.
Shireen tersenyum miring. "Iya, yah. Apa wanita itu benar?" tanya Shireen lagi, membuat Hamdan semakin tampak salah tingkah.
"Ah, emmm ... itu ..."
Sementara itu.
Desas desus suara sumbang mulai memenuhi gendang telinga Kalin.
Ya wanita yang tadi datang dan langsung melakukan penyerangan pada Shireen tak lain adalah Kalina Zahra, seorang wanita yang merasa sang suami sudah mengkhianatinya dengan Shireen.
Entahlah, Kalin pun merasa tidak percaya pada awalnya. Sebab saat dia menyelidiki perselingkuhan suaminya yang sudah hampir tiga tahun sangat jarang pulang dia pun sempat terkejut saat tahu wanita yang menjadi selingkuhan sang suami ternyata adalah seorang wanita kaya yang nama keluarganya saja sangat terkenal bahkan di seluruh jagad bisnis Indonesia.
Menarik diri dari keramaian, Kalin memilih singgah sebentar di sebuah taman yang berada tak jauh dari kafe tempat sebelumnya dia menemui wanita yang di cap nya pelakor itu, ya apalagi namanya sebutan bagi seorang wanita yang merebut suami orang?.
Cukup lama Kalin duduk di taman tersebut, angin sepoi-sepoi yang mengelus pipi mulus nya mampu mengeringkan jejak air mata yang sebelumnya membentuk dia aliran di sana.
"Tega kamu, mas." Kalian kembali tergugu.
Di rogohnya ponsel dari dalam tas tangan yang dia gunakan, di bukanya layar ponsel tersebut. Tampak wallpaper berupa foto dirinya dan sang suami terpampang di sana.
"Tiga tahun aku setia menunggu kamu, dan ini balasan kamu, Mas?" isak Kalin sembari menatap foto tersebut.
Hatinya sakit, hancur luluh sampai rasanya tak berbentuk lagi. Ya, walau Shireen tak mengakui jika suaminya adalah suami dari Kalin, tapi kalin yakin sangat yakin malah jika suami mereka adalah satu orang yang sama.
Puas menangis, Kalin menghapus air matanya dengan kasar. Raut wajahnya berubah kencang.
"Tunggulah pembalasan ku, Mas. Akan ku buat kamu dan selingkuhan mu itu mati kutu."
Setelah berjanji demikian, Kalin bangkit berjalan menuju sebuah mobil yang sudah menunggunya di sisi luar taman.
"Kita ke rumah Dady, Pak," titah Kalin pada seorang pria berumur yang duduk di balik kemudi.
"Siap, Nyonya."
Dan mobil hitam tersebut pun melaju dengan kecepatan tinggi menuju sebuah tempat yang selama hampir tiga tahun terakhir tak pernah lagi di injak Kalin.
Kalin menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
"Kalin pulang, Dady."
****
"Apa perlu saya temani, Nyonya?"
Pak Bas, supir pribadi Kalin bertanya sembari membukakan pintu mobil untuknya.
Kalin mengulas senyum tipis pada supir pribadi sekaligus orang kepercayaan sang Dady yang selama tiga tahun terakhir selalu berada di dekatnya untuk memastikan dia dalam keadaan baik-baik saja.
"Nggak usah, Pak Bas. Bapak istirahat saja, Kalin bisa sendiri kok."
Pak Bas pun mengangguk dan tak lagi memaksa, hanya menatap nanar kepergian sang majikan yang sudah di anggapnya anak sendiri itu. Ya, karna Pak Bas sudah bekerja pada keluarga Handjojo sejak Kalin masih kecil, lima tahun jika Pak Bas tak salah ingat, seumuran dengan putranya yang kini juga bekerja di keluarga tersebut tapi sebagai satpam di kantornya.
****
"Dad, Im home."
Suara Kalin terdengar serak, kala dia melangkah masuk ke rumah yang sejak kecil dia tempati. Pernikahannya dengan sang suami, Malik lah yang membuatnya memilih keluar dari rumah tersebut dan segala kemewahannya karna sang Dady tak menyukai suaminya.
Dady Kalin, Tuan besar Adam Handjojo menoleh. Mata tuanya yang memakai kacamata mengembun melihat sosok yang kini berdiri di ambang pintu rumahnya.
"Tahu pulang juga kamu, anak nakal?" geramnya dengan suara serak pula, Tuan Adam berdiri merentangkan tangan ke depan dan langsung di Songsong Kalin dengan pelukan hangat yang selama tiga tahun ini begitu dia rindukan.
"Im home, dad. Im sorry, Im so sorry." Kalin terisak di dada dadynya.
Tuan Adam tak bicara, hanya isakan pelan yang terdengar dari bibirnya menandakan jika beliau pun punya perasaan yang sama dengan putrinya yang begitu di cintanya itu.
"Kenapa kau baru pulang hah? Apa kau sudah lelah hidup di luar sana dalam kekurangan? Ayolah, Nak berhenti keras kepala dan kembali lah pada Dady dan momy." Suara serak Tuan Adam kembali terdengar, kali ini dia melepas pelukannya dan meletakkan ke dua tangan besarnya di pundak Kalin.
Kalin tergugu, di tatapnya netra tua yang memancarkan kasih sayang dan cinta yang begitu dalam untuknya itu. Sorot itu masih sama, tak ada yang berubah bahkan setelah Kalin secara terang-terangan lebih memilih meninggalkan ayahnya demi sang suami yang kini mendua itu. Sungguh, inilah penyesalan paling besar dalam hidup Kalin.
"Maafkan Kalin, dad. Maafkan anak nakal mu ini, sekarang bahkan anak nakal ini kembali untuk meminta bantuan. Maaf, jika Kalin begitu tidak tahu malu. Setelah menyakiti Daddy sekarang justru pulang meminta bantuan," Isak Kalin menghiba.
Tuan Adam menggeleng cepat, di rangkulnya pundak sang anak dan di bawanya ke dalam dekapannya. Mereka duduk bersisian di sofa empuk dimana tadi Tuan Adam tengah membaca koran.
"Tidak apa, Nak. Dady sudah maafkan kamu, sekarang kamu pulang saja dady sudah sangat bahagia sekali. Itu artinya kamu lebih memilih Dady, sekarang katakan bantuan apa yang bisa Dady berikan, nak?" Tuan Adam bertanya dengan lembut sekali, membuat rasa bersalah di dada Kalin semakin membuncah.
Kalin merebahkan kepalanya ke dada sang ayah, merasai lagi setiap kehangatan yang sampai rela di tukarnya dengan kesengsaraan selama hidup dengan suaminya selama ini. Baru Kalin sadari, betapa bodohnya dia selama ini. Dan Kalin, tak akan membiarkan dalang dari semua ini tetap hidup tenang setelah apa yang dia lakukan.
"Dad," panggil Kalin agak ragu, sebenarnya dia malu untuk mengutarakan hal tersebut pada sang ayah. Namun dendam yang berkobar di dalam hatinya perlu di tuntaskan sampai akar agar dia puas.
"Hm? Katakan, sayang apa yang bisa Dady lakukan untukmu?" tanya Tuan Adam lagi, mengelus kepala Kalin lembut dan penuh kasih sayang.
"Mas Malik ...."
"Apa yang di lakukan laki-laki tak tahu malu itu?" sela Tuan Adam cepat, kilat amarah sudah tampak terpantik dari sorot matanya .
Kalin meneguk ludah, sudah terlanjur basah seperti ini tak mungkin jika dia ingin mundur lagi. Tidak, kali ini Kalin bertekad untuk tidak melindungi suaminya lagi, Malik sudah keterlaluan.
"Mas Malik ... dia ... sudah menikah lagi, Dad."
"Apa?" seru Tuan Adam berang, bahkan saking kagetnya Kalin sampai terjengit dari pelukannya dan sedikit beringsut menjauh.
Tuan Adam memutar tubuhnya ke hadapan Kalin, sampai tampak jelas rona kemarahan di wajahnya yang tegas.
"Katakan sejak kapan be de bah itu berani bermain api di belakang kamu?" tanyanya lagi, amarahnya sudah benar-benar terpancing sekarang. Dan Kalin tahu setelah ini walau ke lubang kerak neraka sekalipun Malik bersembunyi Tuan Adam tak akan melepaskannya.
Kalin menunduk, memainkan jarinya dan menjawab lirih.
"Entahlah, Dad. Kalin ... baru mengetahuinya belakangan ini saja, setelah Pak Bas membawakan bukti saat Mas Malik tengah pergi berduaan dengan wanita lain."
Brakkkk
Tuan Adam menggebrak meja, wajahnya yang putih bersih tampak memerah karna marah.
"Kurang ajar, setelah ini biar Dady yang akan urus dia dan membuat dia berlutut di bawah kaki kamu."
"Tunggu, dad." Kalin menyela dengan wajah cemas.
"Apalagi? Kamu takut?" sindir Tuan Adam yang menyadari betapa bucinnya sang putri terhadap suaminya itu dulu.
Kalin menggeleng cepat. "Bukan itu, Dad. Tapi ... selingkuhan Mas Malik ... itu ... adalah putri dari pesohor dunia bisnis, Tuan Robertson."
"Apa? Robertson?" cicit Tuan Adam gusar.
*Flashback.
Namanya Hamdan Al Maliki, seorang pria biasa yang juga berasal dari keluarga sederhana.
Ayahnya sudah lama meninggal, sedangkan ibunya hanya seorang tukang cuci gosok di rumah rumah warga sekitar kontrakan mereka.
Hamdan memiliki seorang adik perempuan yang masih sekolah di sekolah menengah atas, parasnya cantik persis seperti almarhum bapak mereka. Namun sayang, sifatnya yang pemalas membuat adiknya itu sering mendapat masalah di sekolah dan kerap kali tidak naik kelas. Dan kini adalah tahun ke duanya berada di kelas dua belas, penentuan apakah dia akan lulus dengan nilai baik atau malah mengulang kembali di tahun berikutnya.
*
Sejak berhenti sekolah saat masih SMA dulu, Hamdan memutuskan untuk bekerja serabutan, apa saja dia kerjakan asalkan bisa menjadi yang guna memenuhi kebutuhan keluarga.
Sang bapak meninggal dalam kecelakaan tunggal, yang di sebabkan oleh supir yang di duga mengantuk saat menyetir di jalur tol membuat minibus yang di kendarai bapaknya keluar jalur dan berakhir di parit yang cukup dalam di bawah jalan layang tol. Dan kala itu, sang bapak yang menyupir seorang diri di temukan tak bernyawa.
Dan sejak saat itulah keluarga Hamdan mulai mengalami kesulitan, baik dari faktor ekonomi maupun non ekonomi. Kerap berpindah pindah kontrakan karna tak mampu membayar sampai akhirnya Hamdan bisa di terima bekerja menjadi seorang cleaning servis di sebuah mall dengan bantuan seorang temannya yang kasihan melihat kondisi Hamdan dan keluarganya.
****
"Bang, uang SPP ku kapan di bayar? Kata guru kalau nggak di lunasi juga aku nggak bisa ikut ujian, Bang. Abang akan tahu ini tahun terakhir aku di sekolah, kalau nggak ikut ujian lagi aku nggak lulus lagi nanti," keluh sang adik, Rena pagi itu saat Hamdan akan berangkat menuju mall tempat dia bekerja.
Hamdan mengambil nafas besar, setelah memasang sepatunya dengan benar dia menoleh pada sang adik yang bibirnya tampak maju itu.
"Sabar ya, gajian nanti Abang bayar. Makanya kamu juga jangan suka bolos, jangan suka bikin masalah biar tahun ini bisa lulus. Emangnya nggak capek sekolah Mulu? Temennya udah pada kuliah juga, kamu masih aja betah pake seragam abu abu." Hamdan menimpali dengan santai.
Rena semakin manyun, seperti sifatnya yang selalu tak mau di salahkan maka kali ini dia pun tetap akan seperti itu.
"Apa sih malah kemana mana bahasanya, pokoknya Rena nggak mau tahu ya, bang. Uang SPP Rena harus sudah lunas sebelum ujian, Rena malu juga tahu bang nggak lulus lulus." Rena mencebik.
Hamdan tertawa sumbang. "Iya iya, sudah sana berangkat. Abang juga sudah telat ini."
****
(Ndan, jangan lupa uang kontrakan harus di bayar lusa. Kamu ada uangnya kan? Emak capek, ndan kalau harus pindah pindah terus, kalau bisa setelah ini kita jangan pindah pindah lagi. Kamu usahakan ya)
Satu pesan masuk ke ponsel jadul milik Hamdan, siapa lagi juga bukan dari Surti, ibunya yang setiap harinya bekerja menjadi buruh cuci gosok di rumah tetangga, atau jika tidak membantu mengasuh anak anak tetangga yang penting ada bayarannya untuk mereka makan.
Hamdan lagi lagi hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, mie instan cup di hadapannya tak lagi memancing selera. Padahal sebelumnya tadi Hamdan merasa sangat lapar sampai tak sabar untuk segera menikmati mie instan tersebut, tapi kini perutnya seolah kenyang dan tak bernafsu lagi memakannya.
"Kenapa jadi begini?" erang Hamdan putus asa.
Shift kerjanya sudah habis ,Hamdan memilih tak langsung pulang. Pikirannya yang kusut membuatnya melangkah menuju ke ruang terbuka di mall tersebut dan duduk di sana, menghabiskan waktu dengan asap rokok dari pengunjung yang juga ada di sana, hanya bedanya Hamdan tidak merokok jangankan untuk merokok untuk makan saja dia harus berhemat agar semua kebutuhan cukup sampai saatnya dia gajian.
Dan saat itulah, tanpa sengaja Hamdan melihat pertengkaran sepasang muda mudi yang usianya sepertinya tak jauh darinya. Semua pasang mata yang ada di sana pun tertuju pada pasangan itu, sepertinya si wanita menangkap basah kekasihnya selingkuh di ruang terbuka itu dan langsung melabraknya di tempat walau dampaknya kini mereka pun menjadi pusat perhatian.
Hamdan tertegun kala wanita yang tampaknya adalah kekasih yang di khianati itu mencakar dan menyiksa selingkuhan dari kekasihnya, namun ternyata si pria malah membela selingkuhannya dan tanpa ragu melayangkan tamparan ke pipi kekasihnya sampai wanita malang itu jatuh ke lantai. Dan setelah itu, semua orang membubarkan diri karna di usir oleh petugas keamanan, hanya tinggal Hamdan dan si wanita malang itu yang tinggal di sana dalam diam.
Cukup lama Hamdan bertahan di sana, suasana sepi membuat Hamdan dapat mendengar Isak tangis dari wanita tersebut. Karna merasa iba, Hamdan memutuskan untuk mendekati dan menghiburnya.
"Padahal bulan depan kami sudah merencanakan pertunangan, tapi dengan mudahnya dia selingkuh dan menampar aku. Sumpah ,aku tidak akan pernah mengampuni pria itu, akan aku buat dia menyesal," adu wanita yang ternyata bernama Shireen itu setelah Hamdan berbasa-basi dengannya sebelumnya.
"Iya, kamu terlalu berharga untuk laki-laki tak tahu diri seperti itu. Seperti katamu tadi, semoga dia mendapat karma yang setimpal dengan perbuatannya terhadap kamu," timpal Hamdan prihatin.
Wanita cantik bernama Shireen itu mengulas senyum, senyum yang begitu manis sampai membuat Hamdan terus terbayang akan dirinya. Dan sejak saat itulah, Hamdan menyadari jika dia telah jatuh cinta untuk pertama kalinya.
****
"Jadi ini rumah kamu?" tanya Shireen sore itu, kala mereka berjanji temu setelah sebelumnya sempat dekat dan sering jalan bersama di mall tempat Hamdan bekerja.
"Iya, rumah kontrakan bukan rumah aku." Hamdan menjawab apa adanya, lalu mempersilahkan Shireen masuk ke dalam.
Walau belum resmi berpacaran, tapi kedekatan yang terjalin selama beberapa bulan terakhir sejak hari naas itu, Shireen menjadi lebih terbuka dan nyaman dengan Hamdan walau dia orang yang sederhana.
"Assalamualaikum," ucap Hamdan begitu pintu terbuka, kebetulan saat itu Bu Surti dan Rena tengah berada di rumah.
"Waalaikumsalam." Mereka menyahut serentak.
"Bu, ada temen Hamdan." Hamdan memberi kode pada Shireen untuk masuk, dan begitu Bu Surti melihatnya beliau langsung menyayanginya seperti anak sendiri.
"Kamu ayu sekali, nduk sering sering lah main ke sini ya kalau lagi senggang. Ibu seneng sekali," tutur Bu Surti sembari mengelus tangan Shireen yang halus.
Shireen mengulum senyum, sejujurnya dia pun merasa sangat nyaman bersama Bu Surti dan Rena yang tampak begitu menghargainya.
"Insyaallah, Bu nanti Shireen bakalan sering sering main ke sini ya," ucap Shireen kala itu.
Dan sejak itulah kedekatan yang semakin intens mulai terjalin antara Shireen dan Hamdan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!