NovelToon NovelToon

THE RECORD: Dari Balik Kamera, Dia Mengawasi

PROLOG: Vesta Hestia

Vermont, 2021

"Kembali lagi bersama NBC Night News bersama saya Katherine Loevanca yang akan menemani malam anda dengan berita-berita ter-update dari seluruh dunia."

"Kali ini berita mengejutkan datang dari seorang live streamer populer Amerika Serikat –BI dengan nama channel CatchaGhost, ditemukan tewas bersama dua orang tanpa identitas lainnya setelah hilang selama satu tahun yang lalu di wilayah selatan St. Hill Woodstock–Vermont.

"Ketiga mayat tersebut ditemukan warga dalam keadaan hangus tanpa busana di dalam sebuah gedung bekas sekolah Woodstock Highschool yang terbakar tujuh tahun silam.

"Saat ini kepolisian masih belum memberikan keterangan lebih lanjut terkait penyebab dan bukti-bukti yang mengacu pada buntut dari kasus yang mengejutkan Vermont. Namun sebuah akun twitter @xxbixx menggemparkan dunia maya dengan sebuah cuplikan live streaming terakhir dari sang streamer sebelum menghilang tanpa jejak. Saat ini video tersebut sudah ditonton sebanyak 4 juta kali dalam dua hari sejak diunggah.

"'Itu kutukan Vesta Hestia,' tulis @xxbixx. Video berdurasi 23 detik itu memperlihatkan B.I yang tengah membaca sebuah surat di dalam sebuah ruangan sebelum lampu senter mati dan siaran pun berakhir."

"Berikut hasil tangkapan layar Vesta Hestia yang berhasil diperjelas …."

...-The Vesta Hestia-...

Dalam rengkuh peluk sang Dewi Vesta Hestia.

Aku menemukan diriku mematung.

Sedang tangan-tangan kotor Priapos mulai menggerayangi.

Meremas sana sini seperti si handal pembuat roti.

Aku bisu saat satu persatu kancing seragamku terpelanting dengan paksa.

Aku diam saja saat bawahanku disingkap dengan begitu hina.

Sang Vesta Hestia tanpa sabar mencium.

Aku menemukan diriku sesak nyaris terkubur.

Sedang tawa penuh hiburan memekakkan telinga hingga tuli.

Keluh peluh Priapos membanjiri indra saat masuk berdiri.

Aku tidak menjerit.

Meski robekan nyata di bawah sana membuatku ingin memekik sampai suaraku pergi.

Aku menemukan diriku mati.

Sedang jantungku masih memompa membangunkan nadi.

Memberiku hidup yang ingin segera aku sudahi.

Aku sudah menanti dan bersiap untuk pergi.

Namun ternyata murka Dewi Vesta menyayangkan niat.

Sekuntum bunga merah diselipkan di antara jari.

Kelopaknya jatuh menyemai di bumi.

Aku bahagia, musim semi rupanya datang lebih awal.

Kuntum bunga merah mekar dimana-mana.

Meluluh leburkan kulit dan jiwamu dalam gugurnya yang hangat membakar.

Sayangku Priapos, biar sang Dewi menabur bunga merah sebagai rumah untukmu bersemayam.

...***...

...Satu tahun kemudian…...

...***...

Bus pagi ini sudah terlambat lebih dari lima menit yang lalu. Mungkin karena ini adalah hari Senin yang sibuk dan langit tidak dalam mood yang baik saat bangun dini hari tadi. Meski begitu, hujan deras rupanya tidak meredupkan kesibukan di Pittsburgh. Air terciprat dimana-mana tapi mereka tidak mengurungkan niat untuk pergi.

Termasuk aku.

August milik Taylor Swift yang memanjakan telinga, mengalun sayup-sayup dari toko roti seberang jalan. Udaranya beraroma ragi manis yang bercampur dengan tanah basah. Cukup membuatku merasakan pusing yang nyaman. Itu sebelum seorang bibi berambut ikal dengan bau pakaian tak kering berdiri disampingku.

Seperti seorang ignorant, tangannya diangkat ke atas guna meregangkan otot. Ketiaknya sekarang berada tepat di atas kepalaku dan detik itu juga aromanya berubah asam. Aku diam saja dan memutuskan untuk menjauh berdiri di ujung halte. Mengisi paru-paruku dengan udara segar sebanyak-banyaknya.

Sejak dini hari tadi, halte bus sudah sesak dengan para pekerja dan pelajar. Seorang wanita dengan rambut yang dicat merah menyala berdecak beberapa kali. Suara lidahnya yang ditindik mengganggu pendengaran.

Belum lagi suara ketukan sepatu seorang pria yang terlihat gusar itu menambahkan harmoni yang aneh. Ia berulang kali melihat jam tangan rolex palsu miliknya. Sedangkan yang lainnya mulai mengomel karena bus tidak kunjung datang. Bahkan dengan pesimis sudah membicarakan pemotongan gaji atau membersihkan toilet dan semacamnya. Mungkin hanya aku yang tidak berpikir apa-apa.

Pagiku selalu lebih buruk dari ini. Hal seperti telat masuk kelas tidak mempengaruhiku sama sekali.

Sepuluh menit kemudian, akhirnya bus line 12 yang berangkat dari Mcknight Flyer hingga ke Franklin Park, sampai di penglihatan. Orang-orang mulai berdesakan berlomba masuk ke dalam bus. Sebelum aku sempat menyisipkan diri diantara kerumunan, seorang nenek menarik tas gendongku dengan keras hingga aku nyaris terjatuh.

"Sudah penuh. Naik bus berikutnya saja." Suaranya kering seperti musim kemarau.

Aku hendak protes namun sebelum aku sempat membuka mulut, suara sang sopir menghentikanku dengan penuh sesal. Namanya paman Erlo. Dia punya wajah yang sangar dengan kontur wajah kokoh tapi siapa sangka pribadinya sangat ramah karena selalu menyapaku.

"Hei nak, busnya sudah penuh. Bus berikutnya sudah ada di depan. Tunggulah sebentar lagi, ya. Maafkan aku." Begitulah saat pintu bus tertutup di depan wajahku.

Mesin dinyalakan dalam derunya yang khas. Orang-orang di dalam bus menatapku acuh dari balik jendela. Mungkin hati kecil mereka bersorak penuh kemenangan memikirkan fakta bahwa yang berdiri di luar bus bukanlah mereka. Aku menggelengkan kepala saat merasa terlalu memikirkan orang lain. Paman Erlo pun menyalakan lampu sein yang segera berkedip untuk belok di perempatan.

"Pulanglah. Bus berikutnya tidak akan datang." Nenek di belakangku kembali bicara seolah tidak pernah menarikku lalu menyuruhku menunggu bus selanjutnya beberapa detik lalu. Aku mengernyit berniat protes dan berbalik menghadapnya.

Perawakan nenek ini kecil dan bungkuk. Wajahnya yang penuh kerut dan flek itu terlihat ramah dan sangat tua. Ada satu plastik belanjaan berisi bawang polong di tangannya. Jika aku bisa menebak umur, mungkin nenek ini berusia lebih dari tujuh puluh tahun.

Aku membuka mulut hendak bertanya namun teriakan yang memekik di belakangku membuatku menoleh dengan cepat.

Bus yang hendak aku naiki, dihantam dari arah yang sama melalui jalur sebelah kiri.

Seketika, decitan ban meringkik nyaring seperti kuda saat hantaman keras dari bus lain mengenai bagian depan dengan cepat. Serpihan lampu dan kaca seketika berterbangan di udara. Badan bus berputar beberapa kali sebelum salah satu sisinya menabrak trotoar hingga terbang terguling ke atas pembatas jalan.

Seperti sebuah teknik slow motion dalam sebuah film, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana bus itu melayang di udara setelah terhempas. Dari balik jendela, aku melihat paman Erlo yang semula berpenampilan rapi dan gagah kini dadanya sudah remuk dengan kaca yang menusuk tengkoraknya sampai tembus. Para penumpang, termasuk bibi yang beberapa waktu lalu berdiri dekatku berteriak penuh horor. Tubuhnya melayang akibat benturan keras, sedang mulutnya menganga lebar tanpa suara. Seolah dunia sedang dibisukan untuk sementara.

Aku juga melihat tangan dengan rolex palsu itu terlepas dari pundak sang empu begitu menabrak tiang pegangan bus sampai putus. Darah memuncrat dimana-mana seperti pipa air yang bocor. Mereka, para penumpang bergulingan seperti kertas lotre di dalam sana. Sebelum aku bisa menyaksikan detail lebih jauh, waktu terasa kembali ke normal. Bus itu ambruk dengan cepat di atas pembatas jalan. Tubuh besi itu terpotong menjadi dua di depan mataku seperti toasted baguette yang baru matang.

Aku ambruk di atas aspal seolah tulangku melunak dengan tiba-tiba. Orang-orang berlarian menghindar saat asap mengepul dari baguette itu. Seolah benda itu akan meledak kapan saja.

Namun sebelum aku sempat bangkit, sesuatu tiba-tiba menggelinding dari bus melewatiku lalu berhenti di belakang. Tepat dimana si nenek berdiri.

Sesuatu itu adalah sebuah 'bola' dengan rambut merah menyala yang menatapku horor. Sementara lidahnya yang ditindik menjulur nyaris putus.

Sebelum kesadaran terkikis dari tubuhku, aku baru menyadari, si nenek tidak ada dimana-mana.

...***...

Author note: Halo semuanya, Kaia's here! Kenalin ya, ini novel pertamaku di noveltoon! Kalau kalian suka sama karyaku, sedikit support sangat berarti buat aku jadi mohon dukungannya~ Jangan sungkan untuk bertanya perihal cerita di kolom komentar yaaa sebisa mungkin aku jawab 🙈 Bisa hit me up di chat agar lebih private di sosial mediaku IG @.kaialituhayu terimakasih atas dukungannya~ 🥰

CHAPTER 1: The Granny (Part 1)

Izzy Crawford.

Sebuah nama yang akan selalu ada di daftar orang yang paling dikucilkan seantero North Oakmont Senior High School. Si Crawford muka gorden, si Crawford anak idiot, si Crawford bisu dan ada banyak lagi panggilan spesial yang melabeli nama belakangnya. Intinya, dia adalah salah satu dari deretan pecundang yang tidak terlihat dan dijauhi karena tidak berguna.

Sayangnya, itu adalah namaku.

Aku memilih tidak protes. Salah satu pilihan terbaik saat kau bagian dari minoritas adalah diam dan terima. Hiduplah seperti si hantu Casper maka kau akan baik-baik saja.

Bukan tanpa alasan aku mengatakan ini. Ada banyak para minoritas sepertiku yang mencoba untuk keluar dari kubangan menyedihkan dan mencoba untuk masuk ke dalam lingkup mayoritas, tapi apa? Bukan hanya dijadikan pesuruh berlabel ‘tangan kanan’, mereka justru dijadikan mainan. Direndahkan, dimanfaatkan. Itulah sedikit dari banyaknya akibat untuk minoritas yang tamak.

Maka dari itu, aku ingin tetap bersembunyi. Diam saat mereka menghina dan terima saja agar mereka puas sampai bosan. Lagipula Izzy Crawford hanyalah sebuah nama. Dilabeli dengan panggilan bodoh tidak menyakitiku barang sedikitpun.

Namun nyatanya takdir selalu bertingkah seperti pembuli.

Tiba-tiba namaku dibicarakan dimana-mana. Di berita nasional, di koran, di media sosial. ‘Izzy Crawford, Si Gadis dengan Mata Tuhan.’ Begitulah mereka melabeliku sekarang. Ini lebih buruk daripada sebelumnya. Aku nyaris tertawa mendengar bagaimana mereka memanggilku sebagai umat Tuhan padahal aku ini sama sekali bukanlah hamba-Nya yang taat.

Semua ini terjadi karena aku adalah satu-satunya penumpang yang selamat dari kecelakaan besar yang pernah terjadi di Pittsburgh. Ini cukup membingungkan karena aku sama sekali bukan penumpang. Bahkan tidak menginjakkan kakiku ke atas badan bus. Namun aku memilih tidak protes, para jurnalis selalu membutuhkan bumbu agar hasil pekerjaannya menarik.

Yang membuatku keberatan adalah berita itu sudah tersebar dimana-mana. Aku, si pecundang yang tidak terlihat kini menjadi pusat perhatian karena sebuah video CCTV dari tempat kejadian memperlihatkan identitasku. Parahnya, cuplikan itu bocor dan tersebar di media sosial yang jangkauannya lebih luas daripada yang aku duga.

Bahkan ada yang menyunting video itu dengan menambahkan musik macam-macam seolah aku ini superhero atau manusia dari negeri lain. Ada juga yang menyebutku alien dan time traveler dari masa depan.

Ck!

No comment, tapi aku cukup mengerti kenapa mereka menyebutku begitu. Dari cuplikan video CCTV, aku terlihat hendak menaiki bus sebelum kembali berjalan mundur. Seharusnya ada seorang nenek disana. Namun ternyata, aku berjalan mundur dengan kehendakku sendiri.

Tidak ada nenek tua dengan satu plastik penuh bawang polongnya.

Tidak ada seseorang pun yang menarikku untuk urung menaiki bus.

Tidak ada bus yang penuh.

Kursinya kosong dan hanya terisi sembilan orang penumpang.

Aku terpelongo saat menonton videonya untuk pertama kali dan bertanya-tanya tentang apa yang kulihat waktu itu. Pikiran itu pun segera terdistraksi oleh para jurnalis yang ingin tahu.

Tentu saja semua yang aku lakukan di dalam video itu menjelaskan bahwa, aku tidak jadi masuk karena suatu alasan, dan itu adalah karena aku tahu apa yang akan terjadi dua menit kemudian. Aku tahu bus itu akan bertabrakan dengan bus line 12 berikutnya dan semua orang akan mati.

Begitulah para jurnalis membumbui beritanya.

F*ck.

Izinkan aku mengumpat.

Masalahku yang memang sudah banyak, kini semakin menumpuk karena para polisi dan jurnalis selalu menghampiri di tiap kesempatan karena aku adalah saksi hidup. Itu kata mereka.

Aku tidak bisa menjelaskan soal bus yang penuh karena jelas-jelas banyak kursi yang tersisa. Aku juga tidak bisa memberitahu mereka apa yang sebenarnya terjadi, bahwa sebetulnya seorang nenek menarikku dan menyarankanku untuk menaiki bus berikutnya.

Tentu saja sungguh mustahil membuat mereka mendengarkanku. Mereka tidak akan percaya. Mereka akan menganggapku gila dan membumbui berita dengan label aneh lainnya.

Jadi yang kulakukan adalah berbohong kalau aku ketinggalan sesuatu dan memutuskan untuk pulang. Tentu saja mereka tidak mengindahkan informasi yang tidak menjual itu, tapi itu semua cukup untuk mengusir otak-otak sok tahu mereka.

Hanya saja, kini duniaku berubah 180 derajat.

Teman-teman sekolahku– ah, aku tidak cukup dekat dengan mereka untuk memanggil teman– maksudku, mereka yang satu sekolah denganku kini menatapku bak selebriti. Well, katakanlah seperti itu. Meskipun tatapan aneh dan penasaran alih-alih memuja diberikan padaku, aku cukup merasa menjadi pusat perhatian sepanjang koridor sekolah. Kini, aku menjadi 'terlihat' dan rasanya sungguh tidak tenang.

“Hei, Crawford!”

Nah, kan?

Kubilang apa?

Belum sempat aku berpikir jauh-jauh, salah satu dari mayoritas kini memanggilku.

Karena tidak ingin cari masalah tentu saja aku menghentikan langkah. Kini di depanku berdiri si paling mayoritas. Primrose Couper dengan dua dari empat kurcacinya. Ini tidak penting sebenarnya tapi akan aku kenalkan secara singkat siapa yang meratui para mayoritas ini.

Gadis yang baru saja menyapaku adalah ketuanya. Seorang live streamer di Moutube dengan jumlah pengikut yang nyaris mencapai dua juta. Selebriti sekolah. Ikon. Dengan tangan di depan dada, si pirang itu menatapku dengan pandangan menilai. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan padaku, tapi apapun itu aku yakin akan berkaitan dengan Moutubenya, berhubung sekarang aku juga ‘selebriti’ dadakan.

Firasatku mengatakan, ini tidak akan bagus.

“Dia bukan Crawford, Rose. Dia si mata Tuhan.” Yang barusan berbicara adalah Delilah Ford. Kurcaci Primrose nomor satu yang paling setia. Diantara yang lain aku paling tidak suka padanya. Selain karena dia itu sok cantik, Delilah adalah yang paling sering mengataiku. Seperti yang baru saja ia lakukan dengan memanggilku mata Tuhan.

“Kau sangat tidak sopan Eli, bagaimana jika tiba-tiba dia mengutukmu jadi ikan pari?” Candaan konyol ini tentu saja datang dari mulut Ethan Moore. Kekasih Delilah yang selalu memanggil gadis itu Eli. Sebetulnya dia memang selalu begini kepada semua orang, jadi aku tidak terlalu ambil pikir.

“Kalian diamlah.” Satu kata dari Rose membuat Delilah dan Ethan bungkam. “Kita harus bersikap baik pada Izzy. Dia pasti masih trauma dengan kejadian kemarin. Apa kau baik-baik saja?” tanya Rose padaku. Pertanyaan itu terdengar sangat tidak tulus. Tentu saja aku tahu. Siapa pun tahu itu. Lihat saja seringaian penuh akal bulus miliknya.

Meski begitu, aku mengangguk mengiyakan.

“Baguslah kalau begitu. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Ah tidak, aku ingin minta tolong tapi tidak sekarang. Belajarlah yang fokus ya, istirahat yang banyak dan jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita bicarakan lagi nanti,” ujarnya sebelum menepuk pundakku sok perhatian dan berjalan menjauh bersama dua kurcacinya yang cekikian.

Meskipun yang barusan itu tidak terjadi apa-apa, tapi aku tahu aku telah ditandai.

“Kudengar ada kepala yang menggelinding ke arahnya waktu itu. Bukankah itu mengerikan?” Seseorang di belakangku berbisik.

Ya, tentu saja. Aku bahkan tidak bisa tidur karena itu.

Dan kurasa, apa yang akan Primrose rencanakan akan membuat efek yang sama padaku.

...***...

CHAPTER 2: The Granny (Part 2)

Siang sudah akan beranjak pulang ketika kelas berakhir. Dari balik kaca bus aku bisa melihat bulan yang sudah mengintip malu-malu di balik awan kemerahan. Waktu sudah menunjukkan waktu pukul tujuh sore. Itu artinya bus harus sudah sampai di pemberhentian Mcknight Flyer sebelum pukul setengah delapan lewat.

Sebuah notifikasi pesan muncul di lockscreen. Dari nenekku.

From, Fckin Nena**:

Kau dimana? Cepatlah, aku harus pulang***.

Aku menghela nafas dan mengetik pesan balasan. 30 menit lagi. Tulisku lalu menekan tombol kirim.

Aku memasang earphone saat bus berhenti di titik pemberhentian Brookline. Fly me to the moon versi Joytastic Sarah mengalun merdu memenuhi telinga.

Fly me to the moon and let me play among the stars …

Terlihat dari luar, ada tiga orang yang naik. Dua diantaranya adalah laki-laki yang tengah berbincang satu sama lain. Lalu keduanya duduk di sampingku. Aku tidak tahu mereka membicarakan apa karena Sarah masih bernyanyi–memborong semua atensiku. Aku mengetukkan kaki mengikuti tempo.

Let me see what spring is like on Jupiter and Mars ….

Bus masih berhenti, menunggu orang terakhir yang sedang naik tangga bus dengan lambat. Rupanya itu adalah seorang wanita tua yang bungkuk dan menenteng satu kantong plastik bawang po–

Jantungku berhenti satu detik.

Seorang wanita tua dengan wajah ramah dan penuh flek, naik ke dalam bus dan membawa satu plastik bawang polong.

Bibirku bergetar saat ingatan dua hari yang lalu hadir di kepalaku.

Nenek itu duduk di kursi bagian tengah. Jarak kami terhalang empat kursi yang masih kosong.

Suara Sarah kukencangkan sampai volume sembilan puluh. Melodi yang mendayu menusuk telingaku seketika.

Dengan pencahayaan bus yang remang seadanya, aku berharap bahwa wanita itu bukanlah nenek yang kutemui dua hari yang lalu. Kupikir sekarang aku tengah berhalusinasi atau apa. Mungkin saja ini semua terjadi karena efek pasca traumaku yang masih tersisa tanpa aku sadari.

Tapi tidak. Wanita itu adalah orang yang sama. Aku sangat ingat kerutan yang sangat tua itu dan flek-flek besar yang tersebar di wajahnya yang ramah.

Itu benar-benar dia.

Bus kembali berjalan. Si nenek duduk dengan tenang. Kini aku menatapi punggungnya yang kelihatan ringkih dari kursi paling belakang. Pikiranku bergelut di dalam kepala. Aku merasa harus melakukan sesuatu guna memuaskan pertanyaan yang membelukar di benak.

Soal apa yang terjadi waktu itu, apa aku harus bertanya padanya? Apa yang seharusnya kutanyakan?

‘Kenapa kau tiba-tiba menghilang waktu itu? Siapa kau? Apa maumu? Apa yang sebenarnya terjadi?’

Apa aku harus bertanya begitu?

Aku diam sesaat untuk berpikir.

Tidak.

Aku memutuskan untuk melupakan segalanya.

Bisa saja aku salah lihat.

Bisa saja saat itu aku sedang berhalusinasi, kan?

Aku mengalihkan pandanganku ke jendela. Kepada baris pepohonan yang gelap, pada bunyi kendaraan yang senyap, pada obrolan dua orang pria yang entah membicarakan apa. Sebisa mungkin aku mencoba tidak berpikir macam-macam dan mencoba menghitung bintang di langit atau apa saja yang membuatku kehilangan fokus padanya.

Lagu Fly me to the moon berakhir. Deru mesin kembali terdengar samar-samar sebelum instrumental lagu yang sama kembali terputar. Rupanya aku mengaktifkan mode on loop.

Namun kali ini yang kudengar bukanlah suara Sarah.

Fly me to the moon and let me play among the stars ….

Suara berat yang tidak kukenali bernyanyi lambat-lambat. Liriknya dinyanyikan dengan dayu yang sangat pelan seperti terdistorsi. Suasananya tiba-tiba terasa sunyi. Tidak ada suara selain Fly me to the moon yang semakin lama terdengar melambat.

Let me see the devil is like on Jupiter and Mars ….

Liriknya berubah.

Let me see the devil is like ….

Jantungku bertalu saat memeriksa ponsel guna memeriksa apakah ada kesalahan. Namun, ternyata ponselku baik-baik saja.

Dengan panik aku mengecilkan volume. Namun Fly to the moon masih saja terdengar dimana-mana. Semakin lambat. Semakin berat.

Dan tiba-tiba saja lampu berkedip dengan sangat cepat …

Para penumpang berhenti bergerak.

Dengan perlahan aku menoleh ke depan.

Nenek itu ternyata tengah menatapku.

Ponsel yang tengah kupegang jatuh ke lantai bus–menimbulkan suara ribut. Aku ikut mematung seperti para penumpang bus. Seolah dunia ini sedang dijeda.

Si nenek mulai ikut bernyanyi mengiringi suara 'si bukan Sarah' sambil melihatku. Menyanyikan Fly to the moon dengan senyumnya yang lebar. Tubuhnya berbalik 45 derajat, sedang matanya terpaku dengan milikku. Entah berapa lama kami bertatapan dengan aku yang melihatnya bernyanyi dengan gigi-gigi hitamnya.

‘Si bukan Sarah’ menyanyi semakin lambat. Suaranya semakin besar dan tiba-tiba saja ada suara jeritan memekakkan telingaku.

Dengan cekatan aku melepas earphone. Suara ‘si bukan sarah’ berhenti. Begitu aku melihat lagi, ternyata si nenek tidak lagi menatapku.

Aku menemukan diriku bernafas tidak beraturan sedang sayup-sayup suara Sarah kembali mengalun merdu dari earphone yang masih menyala.

Aku menelan ludah dan membawa ponselku yang terjatuh dengan tangan bergetar.

Aku tidak bisa berhadapan dengannya lebih lama lagi maka aku bangkit dan berjalan cepat tanpa melihat ke arahnya lalu memutuskan duduk di kursi depan dekat supir.

“Hei nak, jangan berjalan-jalan dalam bus!”

Aku diam saja saat sang supir menegurku.

Yang aku butuhkan sekarang hanyalah tidak melihatnya.

Meskipun aku masih bisa merasakannya kembali menatapku dari belakang sana.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!