'Bismillah.. tolong kuatkan aku Tuhan. Ijinkan aku menjaga Hanin, biarkan aku menjaga kesucian dan harga diri istriku. Jika memang aku pantas bersanding dengannya, beriLah aku perlindungan karena ada satu wanita yang ku jaga lahir batinnya.'
"Silakan ke arena..!!"
Tanpa rasa ragu, sejenak Bang Enggano memejamkan matanya. Serangan pertama dilancarkan. Aura penuh ketegangan dan magis kental terasa di sana. Bang Enggano mampu menangkis serangan tanpa merasa kesulitan sedikit pun.
~
Sepuluh menit berlalu, nampaknya lawan dan Bang Enggano pun sudah lelah. Keduanya sama-sama hebat dan kuat.
Bang Noven mulai cemas pasalnya malam lalu sahabatnya itu sudah dalam keadaan drop dan sempat sakit akibat kelelahan.
Di sisa tenaganya, Bang Enggano kembali melakukan serangan. Belati terayun memusingkan lawan. Tendangan demi tendangan mengarah mengecoh, hingga pada detik-detik yang di tentukan. Bang Enggano mengarahkan serangannya. Tubuhnya yang lelah membuatnya kurang waspada.
zzlllbb..
Bang Enggano terbanting, terkapar dan menggelinjang di atas tanah. "Hgghh.. sakitnya Ya Tuhan..!!" Bang Enggano terus mengerang merasakan perih.
"Abaaaaang..!!!" Hanin berteriak histeris ingin mendekati Bang Enggano namun Bang Noven menahan tubuhnya.
Sekilas ada rasa sakit di hati Irene melihat perhatian suaminya pada wanita lain tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menebar rasa cemburu.
"Jangan Hanin, kamu pasti paham aturan mainnya. Tunggu sampai perangkat adat memutuskan..!! Belati yang menusuk lebih dalam, dia lah pemenangnya."
Bang Enggano melepas belati di tangannya. Darah segar menyembur dari bibirnya dan pria tersebut masih mempertahankan jalan nafasnya.
Para perangkat adat memeriksa keadaan keduanya. Perangkat adat mencabut belati dari perut Bang Enggano dan juga pria tersebut lalu memperhatikan dengan seksama. Namun saat itu lawan Bang Enggano tumbang dengan sempurna.
Para perangkat berbisik-bisik lalu salah satunya menuju kepala adat dan kepala adat mengangguk mengerti.
"Kami akan umumkan secara adil masalah ini. Saya selaku kepala adat memutuskan bahwa Badia Natha Haninda, bukanlah resmi menjadi penduduk adat kami dan Pak Enggano bisa membawa Nona Hanin keluar dari desa adat." Ucap kepala desa memutuskan.
"Alhamdulillah." Tetes air mata Bang Enggano mengalir, ia menatap gadis cantiknya yang sudah histeris dalam sergapan Bang Noven.
Anggota team saling berpelukan tak bisa menahan rasa haru atas perjuangan Letnan mereka.
Bang Noven pun tak lagi bisa menahan Hanin yang berontak, ia melepaskan Hanin.
Hanin berlari menghambur dan memeluk Bang Enggano. Tangannya membersihkan banyaknya darah di wajah, ia juga menahan laju darah yang mengucur deras dari sekitar perut Bang Enggano.
"Kenapa Abang lakukan semua ini?? Apa untungnya mempertahankan perempuan sepertiku????" Pekiknya masih histeris.
"Kamu adalah berlian di dalam tumpukan jerami. Ternyata hanya darah yang bisa meluluhkan hatimu. Aku ikhlas dan tidak akan mengeluh tentangmu. Biarkan aku mencintaimu dengan caraku..!!"
Bang Enggano berusaha kuat menahan rasa sakit dari luka tusukan belati.
"Kenapa harus dengan nyawa Abang?"
"Karena Abang sudah berjanji untuk satu hati, Abang akan kembali untuk putri rimba yang ku cintai." Jawab Bang Enggano kemudian pandangannya kabur dan tidak tau apapun lagi.
"Tolong bantu saya. Dantim mu blackout total..!!" Perintah Bang Noven.
.
.
.
. Episode 38. UNTUK SATU HATI - NARAY
.
.
.
.
Pernikahan pun telah terjadi. Kini Letnan yang akan segera naik pangkat itu harus berjuang keras membimbing seorang gadis lugu asal pedalaman yang sama sekali tidak mengenal dunia luar.
Bagaimana perjuangan Letnan Enggano membuat seorang Haninda pantas bersanding dengannya sekaligus menghadapi konflik yang tidak mudah di dalam rumah tangga mereka.
🌹🌹🌹
Usai Hanin mandi, Bang Enggano masih sibuk menghubungi disana sini karena dirinya harus menyiapkan segala laporan dan purna tugasnya dalam misi kemarin.
"Hanin pakai kain apa Bang?" Tanya Hanin.
"Pakai pakaian yang tadi di beli..!!" Jawab Bang Enggano lirih karena perhatiannya terbagi.
:
Bang Enggano mengusap rambutnya dengan handuk lain sedangkan handuknya yang lain masih terlilit di pinggang.
Baru saja Bang Enggano masuk ke dalam kamar, betapa terkejutnya dirinya saat melihat Hanin duduk dengan pose yang luar biasa. Gejolak batinnya tak dapat di tahan. Logika dari akal sehatnya beradu dengan batin yang terus meronta. Jiwa tempurnya bangkit menurut l*b*do.
'Opo maneh to yoo.. awak remuk ora karuan tapi bojo ngajak ngasah gaman.'
"Abang kenapa?" Tanya Hanin bingung.
Bang Enggano tetap menarik senyumnya, memang ada yang salah tapi salahnya mungkin membuat suami manapun di dunia ini merasa sangat bahagia. l******e brokat berwarna hitam menjadi boomerang bagi Bang Enggano.
"Tadinya Abang mau menunda honeymoon sampai besok pagi, tapi ternyata kamu minta di sayang sekarang." kata Bang Enggano.
Suami Hanin itu naik ke atas ranjang lalu melonggarkan handuknya.
Seketika Hanin menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, ia begitu terkejut melihat apa yang baru di lihatnya selama ini. Handuk belum terbuka tapi Hanin sudah nampak gugup dan takut seperti itu.
Telunjuk lentik Hanin menyentuh tubuh Bang Enggano yang sudah menegang sempurna.
"Kenapa?? Mau lihat??" Bang Enggano hanya tersenyum saja melihat tingkah sang istri. "Nampaknya Abang harus lebih keras mengajarimu pelajaran anatomi tubuh."
Perlahan Bang Enggano naik ke atas ranjang, tangannya menarik tengkuk Hanin hingga sedikit mendongak mengarah padanya. "Abang sudah tidak tahan di kepung rasa rindu. Malam ini adalah malam pengantin kita. Malam yang wajib dari Abang untuk mengajarkan kamu tentang kesucian hubungan antara laki-laki dan perempuan."
Pertama kali Bang Enggano membuka tubuhnya di hadapan sang istri. Tangannya mengarahkan jemari Hanin untuk menyentuhnya. "Kenali tubuh suamimu..!!"
"Baang..!!" Hanin nampak gelisah tapi tangan itu menurut dan ada perasaan berbeda di dalam dadanya. Ia pun tidak menolak saat Bang Enggano mengeksplor tubuhnya.
Dengan sabar dan lembut Bang Enggano naik ke atas tubuh Hanin. Hati-hati sekali Bang Enggano menung***i Hanin.
"Aaaahh.." jerit kecil Hanin karena merasakan benda asing menancap di tubuhnya.
Suara Hanin melambungkan fantasi Bang Enggano setinggi langit. "Sakit?" tanya Bang Enggano.
Hanin menggeleng, tapi manik matanya melihat sosok gagah yang berada tepat di atas tubuhnya. Ekspresi wajah Bang Enggano tiba-tiba membuat desiran di dadanya.
Dengan gerak terarah, Bang Enggano melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami.
"Hanin malu Abaang..!!" ucapnya lirih sampai menangis.
Bang Enggano mengunci bibir Hanin agar istrinya itu tidak mengganggu kerja kerasnya. "Pejamkan mata dan rasakan saja..!!!"
:
Bang Enggano menunggu sampai Hanin menyelesaikan rasanya setelah di rasa Hanin berada titik puncak barulah Bang Enggano menyelesaikan hasrattnya. Denyut mantap dan kuat tak dapat lagi di tahannya hingga roboh dinding pertahanan dan tumpah membasahi tubuh Hanin.
Perlahan Bang Enggano menarik diri tapi Hanin menahan lengan Bang Enggano. "Jangan pergi dulu..!!" pinta Hanin.
"Haaahh.. kenapa?"
Hanin bingung mengungkapkan tapi jelas Bang Enggano memahami arti dari raut wajah Hanin.
"Mau lagi?"
"Mau, tapi seperti tadi..!!" kata Hanin.
Bang Enggano masih menerka bagian mana yang di inginkan Hanin. "Yang manaa?"
.
.
.
.
Harus Bang Enggano akui, menuruti permintaan Hanin bukanlah hal yang mudah. Komunikasi yang masih semrawut membuat pembicaraan mereka kadang menggunakan lajur dua arah. Seperti saat ini akhirnya Bang Enggano mengerti keinginan Hanin.
"Sudah?" tanya Bang Enggano meskipun tubuhnya harus sedikit memaksa demi menyenangkan sang istri di malam pertamanya.
Hanin mengangguk, pipinya merah merona. Bang Enggano tersenyum kemudian bergeser dan membanting diri di samping Hanin.
***
Para senior dan rekan meledek Bang Enggano yang datang membawa istri dari tempat penugasan. "Enak sekali kau ya, di tempat tugas bisa k***n, kami dulu bawa pasukan.. Kedinginan, panggul ransel. Kau malah panggul istri." ledek Bang Novra.
"Jodoh saya dapat disana Bang." jawab Bang Enggano enteng sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Ngomong-ngomong apa rasanya nikah sama perempuan primitif? Sudah coba kau colok belum?" senior Bang Enggano yang lain juga memang begitu penasaran dengan kehidupan baru Bang Enggano. "Eehh.. kemarin Abang lihat ajudanmu merapikan dang menghias rumdismu. Apa jangan-jangan benar istrimu belum kau apa-apakan??"
Bang Enggano tersenyum saja mendengar cuitan para seniornya. Hanya dirinya dan Tuhan saja yang tau betapa semalam tadi dirinya sembah sungkem dan bertekuk lutut menyelesaikan malamnya bersama Hanin. Ternyata sang istri begitu pintar saat dirinya mengajarinya meskipun masih sedikit malu-malu.
"Do.. kalau wajahnya lelah begitu tapi ada rona bahagia berarti sudah di jajal lah." kata Bang Novra.
Bang Enggano langsung berdiri dan memberikan penghormatan pada kedua seniornya. Ia tidak ingin ada orang lain yang berusaha masuk untuk mencari tau tentang rumah tangganya lebih dalam. "Ijin mendahului Bang. Saya masih ada pekerjaan..!!" pamit Bang Enggano.
:
Siang itu ada dua orang paruh baya masuk ke area asrama Batalyon.
"Mohon maaf Bapak dan Ibu mencari siapa?" tanya seorang petugas piket jaga.
"Baru ya Mas. Saya Handoko."
Petugas piket jaga tersebut menunduk untuk melihat ke dalam. "Siap salah komandan...!!"
"Putra saya sudah kembali dari penugasan khan?" tanya Pak Handoko.
"Siap.. sudah komandan. Silakan..!!"
:
"Papaa.. kenapa nggak bilang kalau mau kesini?" Bang Enggano menunduk menyalami kedua orang tuanya.
Mama Harni mengusap punggung putranya. "Mama sudah tidak sabar ingin mengajak kamu untuk segera melamar Meisya." kata Mama Harni dengan senyum sumringah.
Bang Enggano terdiam menatap wajah sang Mama. "Ada yang ingin ku bicarakan dengan Papa dan Mama..!!"
"Apa le?"
//
"Astagfirullah.. kamu sudah menikah?? Wanita dari mana yang kamu nikahi??" Papa sampai kaget mendengarnya, begitu juga sang Mama.
"Iya Pa, dia gadis yang kutemui saat kerja kemarin." jawab Bang Enggano.
"Oohh.. gadis pulau K ya. Nggak apa-apa, nggak buruk juga. Mama mau bertemu dengan istrimu..!!" pinta Mama Harni.
"Tolong jangan beri reaksi mengejutkan Ma..!!"
:
Mama Harni duduk bersandar melihat tampilan Hanin untuk pertama kali. Gadis yang jauh dari kata sopan dan terkesan liar. Mama Hanin melihat Bang Enggano selalu menuntut dan mengarahkan apapun yang harus di perbuat bahkan untuk hal sekecil apapun.
"Apa yang terjadi sampai kamu memilih gadis itu Gano????? Dia masih sangat remaja, usianya masih tujuh belas tahun dan tentara di larang menikahi gadis di bawah umur, itu pelanggaran." kata Mama Harni. "Dia tidak bisa apa-apa Gano, apa kamu akan mempertaruhkan seluruh hidupmu demi gadis tidak berpendidikan???? Apa kamu di guna-guna Gano???"
"Jangan bicara begitu Ma. Aku cinta sama Hanin."
"Cinta tidak membuatmu kenyang Gano. Mama menjodohkan kamu dengan Meisya yang jelas pendidikannya tinggi. Dia tidak akan mempermalukan kamu..!!" ucap Mama Harni.
"Aku sedang berjuang untuk membuatnya layak dan pantas bersanding denganku Ma. Semua manusia itu sama di mata Tuhan tak terkecuali Hanin. Lantas apa karena Hanin kurang pintar lalu kita harus membuangnya seperti sampah?? Hanin juga punya perasaan Ma." kata Bang Enggano.
Hanin terus menunduk tanpa kata. Papa Handoko terus menatap gadis yang menjadi pilihan putranya. Sebagai seorang pria agaknya beliau dapat mengimbangi jalan pikir putranya. Maka soal hati memang semuanya tidak bisa di paksakan.
"Ma, sebaiknya kita jangan terlalu keras. Gano pasti sudah memikirkan baik dan buruknya. Kita juga tidak tau bagaimana situasi saat itu, yang menjadi alasan Gano memilih Hanin." bujuk Papa Han.
"Saya akui Hanin kurang pintar Ma, tapi dengan minimnya pendidikan Hanin, dia tidak akan mungkin tau kerasnya dunia luar."
"Tidak Gano. Mama tidak bisa menerima Hanin. Batalkan pernikahan kalian..!!" pinta sang Mama.
"Maaa.. pernikahan sudah terjadi dan aku tidak mungkin membatalkannya. Pernikahan bukan mainan Ma."
"Kamu pilih Mama atau dia??? Kalau kamu pilih dia lebih baik Mama mati Gano..!!!" ancam Mama.
Hati Hanin sungguh terpukul. Rasa traumanya akan penolakan tiba-tiba saja muncul. Hanin menjadi sangat ketakutan.
"Hanin pergi.. Hanin tidak akan menggangu disini..!!" Hanin beranjak dari duduknya dan Bang Enggano segera mencegahnya.
"Tenang dulu dek. Abang sedang mengusahakan yang terbaik untuk kita berdua." bujuk Bang Enggano.
Hanin tak mau mendengar dan ia tetap melangkah pergi.
"Abang ini suamimu Hanin.. menurutlah apa kata Abang..!!" kata Bang Enggano. "Masuk ke kamar, nanti Abang menyusul..!!"
Setelah mendengar kata tersebut Hanin langsung berlari masuk ke kamarnya.
Papa Han tersenyum melihat menantunya yang begitu penurut dan Mama Harni hanya sekedar melirik dari ekor matanya.
Mama Harni menitikkan air mata. "Kamu anak tunggal Mama le, anak Mama satu-satunya, anak semata wayang. Mama ingin kamu menikah dengan gadis yang tepat, bukan orang hutan macam Hanin. Kemarin kamu memilih janda, setelah Mama dengar kamu membatalkan pertunangan.. hati Mama sangat senang, tapi yang ini lebih parah Gano."
Bang Enggano bersimpuh di kaki sang Mama lalu menunduk memohon restu. "Tolong jangan bilang seperti itu Ma.. Anakmu ini sudah tergila-gila dengan gadis itu."
Mama tak menjawabnya, beliau membuang pandangan.
"Jika Mama katakan, lebih baik Mama mati jika aku memilihnya.. Mama pun bisa kehilangan anakmu ini, aku sudah menyentuhnya Ma. Siksa akhirat lebih kejam dari siksa dunia. Tuhan menuntut tanggung jawabku sebagai suami."
Mama melepaskan genggaman tangan putranya. Sungguh baru kali ini sang putra menentang ucapannya demi seorang gadis tidak berpendidikan dan urakan seperti Hanin.
"Berarti kamu memilih dia dan membuang Mama dari hidupmu?" tanya Mama.
"Aku tidak mengatakan begitu. Tapi setelah ijab qobul terjadi. Jelas aku wajib memilih Hanin dalam hidupku Ma." jawab Bang Enggano.
Mama berdiri dan menenteng tasnya. Beliau membawa kesedihannya sendiri dan berjalan menuju pintu. Hatinya semakin sedih saat harapan agar putranya mencegah langkahnya namun tidak ada satu kata pun terucap dari bibirnya.
"Kamu sungguh tidak menginginkan Mama.. Gano??"
"Hidup adalah pilihan Ma, dan Mama lebih memilih pergi. Selamanya Mama akan tetap ada di hati ku tapi Hanin separuh nyawaku. Mama membunuhku jika memintanya pergi..!!" ucap Bang Enggano berusaha tegas menetralkan situasi.
.
.
.
.
Hanin duduk merenung bersandar pada sisi ranjang. Ia sungguh tak menyangka hidup akan serumit ini dan ia berfikir usai kejadian kemarin semua akan berjalan baik-baik saja.
Apapun yang terjadi hari ini, telinganya telah mendengar semua. Hatinya terasa sesak namun ia mencoba bersabar.
Tak lama pintu kamar terbuka. Bang Enggano melihat Hanin masih terlihat bersedih. "Dek..!!" sapanya kemudian menutup pintu kamar.
"Hanin mau ke dapur, Hanin belum menyiapkan makanan untuk Pa_pa dan Mama." Hanin membiasakan diri untuk menyapa mertuanya.
"Kamu mau masak apa? Kamu terbiasa makan sagu sedangkan Papa dan Mama terbiasa makan nasi." jawab Bang Enggano kemudian duduk di samping Hanin.
Perasaan Hanin semakin sedih, lelehan bening menitik di sela bingkai matanya. Ia ingin menahan air matanya namun hatinya tak kuasa lagi, Hanin terisak-isak. "Hanin tak cocok di sini. Hanin ingin pulang."
Bang Enggano menyandarkan kepala Hanin di bahunya. Perasaannya ikut sedih melihat tangis sang istri.
"Hanin mau sama siapa disana? Kita sudah berumah tangga, tidak boleh sedikit-sedikit ingin pergi, minta pisah, tidak betah. Kalau ada yang tidak nyaman di hati, harus di bicarakan. Kalau Hanin sedang marah, Abang berusaha menahan diri tapi kalau Abang sedang panas, Hanin harus bisa jadi air yang menyejukkan. Hanin paham maksud Abang?"
"Paham." jawab Hanin.
Hanin beringsut di dada Bang Enggano.
"Kenapa dek?" tanya Bang Enggano cemas karena Hanin meremas pakaiannya dengan kuat.
"Perut Hanin panas Bang, nyeri sekali." jawab Hanin.
"Istirahat saja ya.. Abang mau keluar sebentar..!!" kata Bang Enggano sambil mengusap perut Hanin. Pekerjaannya begitu menumpuk hingga dirinya terpaksa meninggalkan Hanin di rumah untuk bertemu dengan Danyon.
//
Mama Harni memasak di dapur. Wajahnya nampak datar saja.
"Hanin bantu ya Ma..!!"
"Potong sayurannya..!!" kata Mama.
Tanpa banyak bicara Hanin mengerjakan perintah Mama mertua.
Mama Harni melirik cara Hanin dalam bekerja, cepat dan cekatan.
"Hafalkan bahan itu. Gano suka asam-asam daging dan tempe penyet. Belajar masak..!! Lihat cara Mama..!!" kata Mama menunjukan cara memasak pada Hanin.
Hanin pun bisa menghafalnya dengan cepat. Saat Mama Harni menunjuk deretan bumbu dapur dan meminta Hanin mengulangnya lagi, itu pun tak sulit bagi Hanin.
"Kamu tidak bisa makan nasi?" tanya Mama Harni tanpa menoleh pada Hanin sedikit pun.
"Bisa Ma, tapi masih sedikit saja. Perut Hanin sakit." jawab Hanin lagi.
"Ya sudah aduk nasinya..!!" Mama Harni menunjuk sebuah magic com.
Hanin membuka magic com tersebut namun aroma uap nasi membuat Hanin mual.
"Astagaa Haniiinn... ini hanya uap nasi, bukan racun." kata Mama kemudian mengaduknya sendiri. "Iris bawang..!!"
Kini Hanin beralih posisi. Ia pun mengiris bawang merah tanpa hambatan namun saat melihat bawang putih Hanin merasa tidak tahan dan berlari menuju kebun di halaman belakang rumahnya.
bruugghh..
"Astagfirullah.. kenapa lari-lari dek???" tegur Bang Enggano yang baru saja kembali dari Batalyon.
Hanin tak memperdulikan pertanyaan Bang Enggano dan terus menuju kebun belakang.
"Hhkk.. hhkkk.." Hanin begitu tersiksa dengan rasa mual dan muntah.
"Walaah dek, kenopo to?" Bang Enggano memijati tengkuk Hanin. "Masuk angin kah?"
"Hanin nggak kuat bau nasi, bawangnya juga bau sekali Bang." jawab Hanin.
Tak lama Hanin memeluk Bang Enggano tapi kemudian lemas dalam pelukan Bang Enggano.
"Ganoo.. ada apa??" tanya Bang Jay yang tidak sengaja melihat kepanikan sahabatnya.
"Hanin mual sampai pingsan Jay." jawab Bang Enggano kemudian membawa Hanin masuk ke dalam kamar.
Tau sahabatnya sedang sibuk dengan urusannya, Bang Jay pun kembali melajukan motornya ke arah batalyon.
Mama sempat melihat Hanin pingsan tapi Mama masih melanjutkan acara memasak.
"Mamaaa.. tolong Hanin Ma..!!"
"Paling hanya pura-pura karena nggak mau masak Gan." kata Mama tapi kemudian masuk ke kamar membawa tas kecil.dari kopernya.
"Haniin.. dek..!!" Bang Enggano terlihat cemas sembari menepuk pipi Hanin.
Mama pun masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang. Dengan stetoskopnya Mama memeriksa keadaan Hanin. Kening Mama sejenak berkerut. "Terakhir haid kapan Gan?" tanya Mama.
"Mana kutau Ma. Seingatku Hanin tidak pernah haid." Jawab Bang Enggano.
"Tapi kamu sudah........."
"Apa sih Ma. Apa pentingnya tanya begitu?"
"Mama ini bidan.. Gano. Mama harus tau riwayat kesehatan pasien Mama, bukan mau ghibah." kata Mama. "Kapan??? Semalam??" tanya Mama Harni karena kamar Bang Enggano masih berserakan bunga yang indah.
Bang Enggano masih terdiam seribu bahasa dan hal itu membuat Mama Harni sangat kesal sampai menyambar bantal kecil dan menghantam wajah putranya.
"Postur tubuh Hanin sudah sangat sempurna melebihi gadis seusianya. Dalam posturnya, seharusnya Hanin sudah haid. Masa kamu nggak tau??" tanya Mama lagi.
Bang Enggano masih setia mematung seakan tak peduli ucapan mamanya. "Kalau ada pasien dan keluarga pasien yang jual mahal seperti mu, Mama benar-benar pusing Gan. Ini untuk diagnosa..!!"
"Jelas sudah lah Ma. Anak Mama ini sudah sangat dewasa untuk hal itu. Nggak ada laki-laki yang kuat menahan serangan nafsuu s*****t apalagi sudah menikah. Tapi masalahnya aku benar tidak tau kapan Hanin haid."
"Kapan itu?? Benar semalam??"
"Tembak rudal pertama, kurang lebih dua bulanan Ma. Lebih lah." jawab Bang Enggano.
"Hanin hamil."
"Oohh.... Haaaaahh?????????" betapa terkejutnya Bang Enggano mendengar ucapan Mamanya. "Serius Ma????"
"Apa bidan akan bohong masalah seperti ini??? Cepat kamu beli testpack untuk lebih meyakinkan."
...
Hanin baru saja sadar, sejak tadi Bang Enggano sudah menunggunya dengan gelisah.
"Hanin mau ke kamar mandi Bang..!!"
"Ayo.. Abang antar..!!" Bang Enggano membantu Hanin untuk bangkit. Ada semangat tersendiri dan pastinya penuh harap tersimpan.
~
Bang Enggano keluar dari kamar mandi sembari menggenggam benda kecil di tangannya.
"Mana Gan.. Papa lihat hasilnya." Ternyata sejak tadi Papa Han yang sedang menanti kabar dengan harap cemas.
"Ini Pa." Bang Enggano menyerahkan benda kecil itu dan ia terfokus pada Hanin.
"Ini tandanya apa Ma? Positif atauuuu......"
Papa terlonjak kaget saat Mama tiba-tiba sudah ada di sampingnya.
"Kenapa bisa invalid???? Kamu terbalik pakainya ya Gan???" tanya Mama dengan tatapan khasnya.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!