"Ar, aku minta kali ini aja temeni Fira. Dia akan ikut lomba di sekolah, dan dia butuh kehadiranmu untuk menyemangatinya". Wanita itu menatap penuh permohonan pada lelaki yang bernama Arya. Matanya tampak sendu dan penuh pengharapan.
"Aku udah bilang berapa kali ke kamu, Sa. Aku gak bisa. Aku ada keperluan di minggu depan". Kalimatnya terdengar penuh penekanan dengan sedikit emosional.
Risa, wanita yang masih terus menatapnya dengan harap. "Selama lima tahun kita berpisah, aku gak pernah memohon sama kamu, Ar. Tapi kali ini aja, plis. Sekali ini aja, Ar dateng ke acara Fira. Aku tau kamu juga punya keluarga, tapi Fira tetep anakmu. Darah dagingmu yang butuh perhatian dan kasih sayangmu". Kali ini Risa sudah kehabisan cara untuk membujuk mantan suaminya demi kebahagiaan putri semata wayangnya.
Dia tidak pernah meminta apapun pada mantan suaminya itu. Bahkan nafkah yang memang sudah menjadi kewajiban untuk buah hati mereka juga tak pernah dituntutnya. Hanya karena dia masih menghargai keluarga baru Arya. Dia hanya bisa mempertemukan putrinya dengan Ayah kandungnya setahun sekali. Hanya agar anaknya dapat mengingat wajah Ayah biologisnya.
Enam tahun yang lalu, Risa dan Arya adalah sepasang suami istri yang selalu tampak harmonis dan bahagia. Walau di usia kedua pernikahan mereka dan belum mendapat momongan, mereka tetap kompak dan selalu penuh keharmonisan. Suatu ketika, sepupu Risa menceritakan bahwa dia melihat suami Risa, Arya tengah bergandengan mesra dengan seorang wanita yang tengah hamil tua. Mereka tampak bahagia menanti kelahiran dengan memilih perlengkapan bayi. Saat itu Santi yang merupakan sepupu Risa, diam - diam mengumpulkan informasi tentang kedekatan Arya dengan wanita yang tengah hamil tua itu. Mulai dari status hubungan mereka sampai dimana mereka tinggal. Setelah mengumpulkan semua bukti barulah Santi memberanikan diri memberitahukan pada Risa tentang kebenaran suaminya itu.
"Sa, kamu baik - baik aja ? Kayaknya kamu agak lesu gitu". Santi yang baru datang ke rumah sepupunya itu mendapati Risa dengan wajah pucat dan tampak lemas.
"Aku baik - baik aja, San. O iya, tumben kami kesini ? Tantemu lagi gak dirumah. Lagi ada pertemuan di sekolah Zein. Kalo Manda jelas masih di sekolah". Risa menampilkan senyum terindahnya walau terkesan dipaksa.
Santi menghela nafas berat. "Ada yang mau aku omongin denganmu. Sebenernya udah lama aku cari informasi ini secara diam - diam, karna untuk menunjukkan suatu kebohongan perlu bukti yang kuat". Santi menjeda kalimatnya untuk mengatur nafas. "Sa, kamu liat semua ini baik - baik. Aku gak mau kamu tersakiti. Walau aku belum nikah, tapi aku tau pasti rasa sakitnya seperti apa".
"Kamu ngomong apa sih, San. Ngelindur kamu, ya?". Risa terkikik mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut sepupunya itu.
"Kamu liat aja ini, Sa. Siapin mentalmu, ya". Santi menyodorkan ponselnya yang telah menampilkan beberapa video.
Risa menatap layar pada ponsel tersebut. Tangan meraih ponsel Santi dan mulai memperhatikan setiap video yang terpampang disana. Tangannya mulai bergetar. Bibirnya mulai mengatup. Matanya mulai berembun seiring terusnya berputar video tersebut. Tubuh Risa mulai bergetar. Sesak. Mungkin hanya itu yang dirasakannya.
Padahal dia sudah mempersiapkan kejutan pada suaminya. Harapan yang selama ini mereka nantikan. Ya. Risa tengah mengandung anak Arya. Buah hati yang selama dua tahun ini mereka dambakan kini mulai bersemi dirahim Risa. Rasa bahagia yang telah menyelimutinya seakan berubah menyiksanya. Dan hal itulah awal mula perpisahan mereka. Walau tengah mengandung anaknya, Arya tetap tak mau mempertahankan hubungan mereka dan malah memilih dengan istri barunya. Begitu juga dengan Risa yang tak terima dengan pengkhianatan sang suami.
"Risa..."
Lamunannya buyar saat namanya disebut. Perempuan paruh baya yang masih tampak anggun dengan wajah yang mulai menampakkan garis wajah itu menghampiri mereka.
"Ngapain kamu kesini ? Enam taun berpisah masih belum berpaling dari Arya ?" Senyum sinis penuh kebencian terbit di wajahnya.
"Maaf, Ma. Risa ada sedikit keperluan dengan Arya". Sopan dan lembut Risa membalas ucapan sinis wanita tersebut. Wanita yang pernah menjadi mertuanya. Ya, itu adalah Ria, Mama Arya.
"Halah. Banyak alesan kamu. Arya sudah punya keluarga. Jangan kamu usik lagi kebahagian anak saya", sambung Ria dengan amarah yang semakin menjadi. "Kalo aja kamu gak mandul, mungkin kalian masih bersama dan saya bisa merasakan menimang cucu".
Risa menatap Arya dengan penuh penyesalan. Selama ini Arya selalu melarangnya untuk menceritakan tentang anak mereka pada keluarganya. Dia tetap membiarkan keluarganya menganggap Risa sebagai perempuan mandul yang pantas ditinggalkan.
Di awal kelahiran Safira, putri mereka, Arya masih sering datang melihat dan memberi tanggung jawab yang seharusnya. Walau status mereka telah redmi bercerai. Namun bergantinya tahun, Arya tidak pernah lagi datang dan memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang Ayah. Sampai dia harus membesarkan dan menafkahi anaknya seorang diri. Putri mereka pun hanya bisa mengenali wajah sang Ayah tanpa pernah mendapat kasih sayang darinya.
"Sa... Mending kamu pulang. Aku gak mau Rani salah paham dengan ini semua". Arya memalingkan wajahnya sebagai isyarat agar Risa segera pergi. Dia juga tidak ingin Mamanya semakin menghinanya.
Risa pergi tanpa berkata. Hanya menunduk sebagai tanda penghormatan pada keduanya.
Selepas kepergian Risa, Arya kembali masuk ke rumah. Dia tidak ingin mendengar apapun dari Mamanya.
"Mau apa dia nemui kamu ? Mau minta balikan ? Mau morotin kamu ? Dasar perempuan murahan. Masih aja ganggu hidup kamu". Cercanya dengan langkah tergopoh mengejar sang anak. "Arya... Mama ngomong sama kamu". Suaranya setengah berteriak saat Arya tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Hahh". Helaan nafas berat keluar dari mulut Arya. Dia mengusap kasar wajahnya. "Ma, udah dong jangan bahas lagi. Aku gak mau Rani sampek tau. Jadi, plis. Lupakan yang tadi". Wajah tertekan Arya menghadapi Mamanya tak dapat ditutupinya. Jika boleh jujur, dia ingin memutar kembali waktu agar tak menyakiti Risa dengan mengikuti kemauan Mamanya untuk menikah lagi.
"Makanya kamu itu nurut kalo Mama bilangi". Nafasnya masih tersengal karna sedikit emosi melihat tingkah anaknya. "Mama udah bilang, kamu ancam aja dia biar jangan.."
"Ada apa sih, kok ribut-ribut?" Suara Rani yang muncul dari dapur menghentikan kalimat Ria. Buru-buru dia mengatur nafas dan wajahnya agar menantunya tak curiga.
"Eh, Rani. Ini... Anu.." Ria masih berpikir mencari alasan agar menantunya itu tak curiga. "Emmm... Ini si Arya. Udah mama bilang berkali-kali kalo ada pengemis jangan sering - sering dikasih. Nanti jadi kebiasaan".
"Ya, gak papa sih Ma. Kan sedekah". Sahutnya menenangkan hati sang mertua. Dia mengulas senyum sambil mengelus pundak mertuanya. "Mama gak usah sampek marah - marah gitu ke Mas Arya. Selagi kita masih punya kelebihan, gadak salahnya kan kita berbagi".
Wanita cantik dengan rambut lurus panjang itu merangkul ibu mertuanya. Kulitnya putih kontras dengan wajahnya yang selalu tampak cerah dengan riasan diwajahnya menengahi perdebatan ibu dan anak tersebut. Rani terlahir dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya adalah pengusaha kelapa sawit yang cukup terkenal didaerahnya. Mungkin itu juga yang menjadikan Ria sangat menginginkan Rani menjadi menantunya. Berbeda dengan Risa yang hanya anak seorang buruh pabrik. Namun jika dibandingkan dengan Rani, Risa jauh lebih cantik. Jika dia melakukan perawatan. Kulit Risa yang berwarna sawo matang dengan wajah bak bayi selalu tampil menggemaskan. Mata berwarna coklat dengan bulu mata yang melengkung indah alami semakin menambah kecantikannya. Namun, dimata mertuanya itu tak berarti karena keluarganya dari kaum menengah kebawah.
"Bundaaa..." Teriakan anak perempuan dari dalam rumah mampu mengubah wajah lusuh wanita mungil yang baru saja memasuki pelataran rumah.
Senyum terpancar diwajahnya kala sang putri menyambutnya dengan riang. "Assalamualaikum anak Bunda". Tubuhnya merunduk dan tangannya merentang lebar menyambut kedatangan putrinya yang langsung merengkuhnya.
"Waalaikumsalam, Bunda. Bunda jadi ketemu sama Ayah ?". Wajahnya tampak berbinar menanti jawaban dari sang ibu. Risa semakin tak tega menjelaskan yang sesungguhnya pada putri semata wayangnya itu. Betapa harus menderitanya dia di masa kecil tanpa kasih sayang dari seorang Ayah.
Risa mulai mengatur nafasnya sambil mengulas senyuman. "Fira sayang... Fira tau kan gimana sibuknya Ayah. Fira..."
"Fia tau, Bunda. Fia udah paham sekarang". Sambungnya cepat kala sang ibu ingin menjelaskan. Senyum yang dipaksakan putrinya itu semakin menambah sesak di dada Risa. Putri kecilnya terpaksa harus bersikap dewasa dengan keadaan yang tengah menimpa mereka.
Di peluknya erat putrinya sambil menyembunyikan butiran kristal yang hampir lolos dari matanya. "Maafin Bunda, ya sayang". Risa mengusap punggung putrinya, memberikan ketenangan agar putrinya itu tak bersedih.
Safira mengurai pelukan sang ibu. Di tatapnya wajah sedih ibunya lalu tersenyum. "Bunda jangan sedih, ya. Fia janji. Fia gak akan minta Bunda supaya mau ajak Ayah ketemu Fia. Kalo Ayah sibuk, itu artinya ada yang lebih penting dari Fia. Bunda jangan sedih lagi ya". Kedua tangan mungilnya menangkup wajah Risa. "Bunda harus janji. Jangan pernah sedih lagi, ya". Safira mengulas senyum termanisnya.
Risa menggangguk sambil tersenyum. "Iya, sayang. Bunda janji gak akan sedih lagi".
"Hei... jagoan".
Keduanya menoleh ke sumber suara.
"Om Rendy...". Gadis kecil itu berlari begitu antusias menghampiri si pemilik suara yang di sambut dengan pelukan hangat dalam gendongannya.
"Jagoan, Om apa kabar ?", Lelaki itu mengurai pelukannya dan menatap gadis kecil di gendongannya.
"Baik, Om". Matanya begitu berbinar. Senyum bahagia terukir diwajah polosnya. "Fia seneng banget Om Rendy dateng. Fia kangen sama Om". Wajahnya memberengut manja.
"Om juga kangen banget sama Fira. Makanya Om kesini". Tangannya mencubit gemas pipi caby gadis kecil itu. Mereka berjalan menghampiri Risa yang sudah duduk di kursi deket teras.
"Kok dipanggil jagoan, sih. Biasanya kan jagoan buat anak cowok. Safira kan cewek, Ren". Risa memprotes panggilan tersebut pada lelaki yang bernama Rendy itu. Rendy adalah sahabat Risa dari semasa sekolah. Mereka satu sekolah sejak SMP, dan menjadi dekat saat di SMA hingga sekarang.
"Heheee. Gak harus cowok yang bisa jadi jagoan kan, Ri. Cewek juga bisa. Kayak kamu dulu". Balasnya dengan cengiran kuda sambil ikut duduk di kursi sebelahnya. "Lagian, Fira emang jagoan kok ya. Bisa jaga diri dan jaga Bunda sampek sekarang ini. Iya, kan sayang". Ucapnya lagi sambil mengacak-acak rambut gadis kecil di pangkuannya itu.
"Iya, Bunda. Kan Fia juga jagoan karna udh bisa nuruti dan ngertiin setiap yang Bunda bilang". Gadis yang belum genap enam tahun itu membenarkan ucapan sahabat Bundanya.
"Duh... Kayaknya Bunda gak ada yang belain, nih". Rajuknya pada sang putri.
"Heheee. Bunda jangan ngambek, dong. Entar Bunda tambah cantik, loh".
"Eh.. Kecil - kecil udah pinter ngegombal, ya kamu". Risa mencubit gemas pipi putrinya. "Pasti keseringan dengerin Om Zein sama kamu, nih. Makanya dia jadi kayak gini". Matanya tajam menatap sahabatnya.
"Loh... Kok jadi ke aku, sih. Emang anak kamu aja yang makin pinter". Elaknya pada tuduhan Risa. "Ngomong - ngomong. Di rumah Fira lagi kekeringan, ya ?".
Safira menatapnya dengan heran. Lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak, Om. Emang kenapa, Om ?"
"Awww... " Rendy mengaduh kala lengannya dicubit wanita disebelahnya. Dia menoleh dan mendapati Risa tengah memelototinya.
"Gak usah nyindir". Risa beranjak masuk ke rumah dan meninggalkan keduanya yang masih cekikikan.
"Bunda lucu ya, Om kalo lagi marah".
"Iya. Bundamu emang lucu. O iya. Gimana di sekolah ?"
"Semuanya baik, Om. Guru - guru dan temen - temennya juga baik. Kalo pun ada yang jahat, Fia bisa ngatasinya Om. Tapi..." Wajahnya sedikit berubah. "Fia punya masalah, Om".
Alis Rendy bertaut. "Masalah apa, sayang ?"
Safira menghembuskan nafas kesal. " Minggu depan Fia ada lomba disekolah. Fia ikut lomba lari dan lomba nari. Fia pengen banget Ayah bisa dateng dan liat Fia lomba. Tapi..."
"Kalo Om yang dateng, Fira tetep semangat kan ?" Rendy langsung memotong ucapan Safira. Rasanya tak tega melihat gadis sekecil Safira harus terus bersedih.
"Om serius mau dateng ?" Tanyanya memastikan.
"Serius. Om bakalan dateng untuk liat Fira lomba. Biar Fira semangat lombanya dan bisa menang". Dia meyakinkan gadis kecil dipangkuannya. Dia tidak ingin semangat Safira hilang hanya karena sosok Ayah yang tak pernah ada di dekatnya.
Binar bahagia terpancar di wajah Safira. Sedih yang tadi sempat terukir diwajahnya, kini telah berganti dengan senyum yang mengembang. "Yeee.. Makasih banyak ya, Om. Om Rendy memang yang paling debes, deh".
*****
POV RISA
Aku harus banyak belajar untuk bisa menghadapi putri semata wayangku. Tiap hari keingin tahuannya semakin bertambah. Rasa penasarannya membuat dia semakin membawanya bertambah dewasa sebelum waktunya. Seperti saat ini. Dia sangat ingin Ayahnya datang melihat dia mengikuti perlombaan dalam acara sekolahnya.
"Fia mau nunjukkin ke temen - temen Fia, Bun. Kalo Fia masih punya Ayah. Temen - temen selalu ngeledekkin Fia karna Fia gak bisa buat Ayah Fia nganterin Fia sekolah. Sekali ini aja, Bun. Fia pengen Ayah dateng ke sekolah. Biar semua temen Fia tau, kalo Fia masih punya Ayah".
Itulah alasan Safira, anakku, hingga aku harus dengan terpaksa mendatangi rumah Arya, mantan suamiku, agar dia mau menuruti satu permintaan putri kami. Namun, sepertinya Safira harus berbesar hati menerima kenyataan kalau Ayahnya tak bisa meluangkan waktu sedikit untuk dirinya. Rasanya hatiku terenyuh saat mendapati sikap anakku yang bisa menerima setiap alasan yang diberikan oleh Ayahnya. Bahkan untuk acara yang menurutnya sangat penting seperti ini. Aku tidak tega melihat kesedihan anakku. Di sisi lain, Safira seakan bisa menutupi kekecewaannya dengan menyemangatiku. Sungguh beruntung rasanya memiliki putri seperti Safira.
Sore ini, aku merasa tertolong karena kedatangan Rendy. Sahabat terbaikku sejak semasa sekolah. Beberapa tahun ini dia selalu menjadi sosok yang melengkapi kebahagiaan Safira. Tapi aku tak ingin terbawa perasaan dengan sikapnya. Mengingat statusku yang sudah pernah menikah. Aku hanya menganggap sikapnya adalah bentuk simpatinya terhadapku karena kami telah bersahabat lama.
"Ada tamu, ya ? Tumben buat jus".
Suara Ibuku mengagetkanku. Aku sedang memeras beberapa jeruk untuk ku hidangkan pada Rendy dan Safira. "Iya, Bu. Ada Rendy di depan". Ucapku sambil memasukkan air gula dan es batu ke dalam teko. Lalu meletakkan tiga gelas kosong dan teko berisi jus jeruk serta satu toples berisi kripik singkong ke nampan.
"Kenapa kamu gak coba buka hati untuk Rendy ? Kamu pasti tau betul bagaimana perasaan Rendy padamu, kan ?".
Langkahku terhenti saat mencermati setiap kalimat Ibu. Ya, aku tahu betul apa maksud sikap Rendy. Tapi aku tidak bisa memastikan kebenarannya. "Rendy berhak dapat yang lebih dari Risa, Bu".
Tak ku tunggu tanggapan Ibu selanjutnya. Takut mendapatkan pertanyaan yang nantinya tak bisa ku jawab. Lebih baik aku gegas mengantarkan jus jeruk untuk Rendy dan Safira sebelum sindiran Rendy meluncur lagi.
Kembali. Langkahku terhenti di ambang pintu saat mendengar percakapan Rendy dengan putriku.
"Fira mau gak kalo seandainya, Bunda punya Ayah baru untuk Fira ?".
Aku mematung mendengar pertanyaan Rendy. Apa - apaan dia nanya kayak gitu ke Safira yang masih kecil. Tapi aku sendiri juga penasaran dengan jawaban anak semata wayangku itu.
"Ayah Fia ya tetep Ayah Arya, Om. Emang bisa punya Ayah lagi ? Temen - temen Fia semuanya punya satu Ayah. Walau manggilnya gak semuanya Ayah".
Jawaban polos Safira membuatku menarik sedikit ujung bibirku. Ada rasa yang aneh di dadaku mendengarnya. Entahlah. Rasa senang, rasa sedih dan juga kecewa. Rasa yang tak bisa ku jelaskan.
"Ada saatnya, seseorang akan punya dua orang tua, sayang. Seperti sekarang ini yang terjadi padamu".
"Karna Ayah dan Bunda sudah berpisah ya, Om ?"
Aku hanya bisa mematung mendengarnya. Hatiku berdebar. Aku memang sering mengatakan pada Safira bahwa aku dan Ayahnya telah berpisah setiap kali dia bertanya kenapa Ayahnya tidak tinggal dengan kami. Aku juga sudah menjelaskan kepadanya kalau Ayahnya telah memiliki keluarga baru. Walau aku tak yakin Safira bisa mengerti dengan apa yang ku maksud.
"Iya. Jadi gimana ? Fira mau gak Om jadi Ayah Fira ?". Kembali, pertanyaan itu dilontarkan oleh Rendy.
"Enggak deh, Om".
Aku tercenung mendengar jawaban putriku. Entah kenapa perasaan aneh itu muncul lagi. Namun, sedetik kemudia...
"Om jadi Papanya Fia aja. Kan Fia udah punya Ayah Arya. Jadi Om Rendy jadi Papa Fia aja, ya".
Terdengar sangat antusias jawaban putriku. Dan tak tahu kenapa, perasaan bahagia menyelimutiku. Tanpa sadar, senyumku mengembang. Wajahku terasa memanas.
"Udah selesai ngupingnya ?"
"Astaghfirullahaladzim..." Aku tersentak kaget mendengar suara dari arah belakang. Hampir saja nampan yang ku pegang lolos dari tanganku. Ku palingkan wajahku ke arah suara itu. "Ibu... Bikin kaget aja". Pekikku pelan.
"Siapa suruh kamu berdiri kayak patung disitu. Bukannya langsung nganter minuman malah nguping". Ibu menatapku dengan senyum yang tak bisa ku artikan.
"Heheeee..." Aku hanya bisa membalasnya dengan cengiran saja.
"Udah, ayok di bawa keluar minumannya. Tuh, jusnya udah berkeringet". Tunjuk Ibu pada teko diatas nampan yang ku bawa.
Aku pun langsung melangkah keluar mendahului Ibu.
"Jusnya udah dateng". Ucapku sambil meletakkan nampan di atas meja teras. Lalu menuangkan jus jeruk ke masing - masing gelas
"Udah lama datengnya, Ren".
"Eh, ada Ibu. Baru aja, sih. Baru aja ngerasain kekeringan". Jawab Rendy sambil melirikku. Dia menurunkan Safira dari pangkuannya lalu menghampiri Ibu dan menyalaminya. "Ibu mau kemana, nih bawak bekel segala ?"
"Oh, ini mau nganter cemilan buat bapak di warung. Sesekali mampir ke warung, Ren. Siapa tau aja jadi penglaris". Seloroh ibu pada Rendy. "Ibu juga jual mi sop, loh".
"Wah... Kayaknya perlu kesana, nih". Matanya melirik Safira yang sedang menyeduh Jus jeruk.
"Ayok, Pa..."
Mataku seketika membelalak mendengar jawaban putriku. Wajahku tak bisa menutupi keterkejutanku. "Tadi Fira bilang apa ?"
Safira menatapku dengan wajah penasarannya. "Bilang apa, Bun ?"
"Tadi barusan... Fira bilang apa ke Om Rendy ?" Ulang ku lagi.
"Oooh... bilang 'Ayok Pa', Bun". Senyum bahagia terbit di wajahnya yang polos.
"Pa ?" Tanyaku masih penasaran. Mungkin saja pendengaranku sudah berkurang atau bermasalah.
"Iya, Bun. Sekarang Om Rendy jadi Papanya Fia. Boleh kan, Bun ? Boleh kan Uti ?". Dia menatapku dan Ibu dengan bergantian. Astaga... Fira. Panggilan Papa pada Rendy langsung diterapkannya. Apa sebegitu mendambanya dia akan sosok seorang Ayah di sampingnya. Ya, Allah... Ternyata aku masih mengabaikan salah satu kebahagiaan putriku.
"Boleh Fira. Yang penting Om Rendynya gak keberatan di panggil seperti itu". Ibu lebih dulu menyetujui ucapan Safira. Sedangkan aku masih menatap Rendy mencari penjelasan darinya yang hanya di balas dengan tawanya.
"Udah, ayok Fira. Nanti ke buru rame di warung. Kasian Yangkung kerepotan". Rendy langsung menggandeng tangan Safira dan berlalu meninggalkanku yang masih belum mendapat jawaban.
"Lah, jus nya gimana ? Aku udah capek - capek buatin loh"
"Fia udah minum jus nya kok, Bun. Udah Fia abisin satu gelas". Jawab Safira seolah takut aku marah karena tak menikmati hidangan yang sudah ku sediakan.
Aku menatap putriku dan tersenyum. "Trima kasih, sayang". Lalu pandanganku beralih pada Rendy yang ingin melangkah pergi.
"Iya, iya. Ini aku minum". Rendy langsung membalikkan langkahnya menuju meja dan duduk kembali. Lalu meneguk habis jus yang ada di gelas.
"Aaah...." Ucapnya setelah menandaskan segelas jus jeruk dingin. Lalu berdiri danmeraih tangan Safira. "Ayok, sayang".
"Yuk, Pa. Uti mau sekalian ikut kami ?"
Ibu menggelengkan kepala. "Kalian duluan aja. Uti mau naik motor saja".
"Yaudah. Kami duluan Uti. Bye bye, Bunda".
Aku membalas lambaian tangan Safira. Dia selalu tampak lebih bahagia jika berada di dekat Rendy. Selama ini, bukan hanya Rendy yang mendekatiku, tapi ada beberapa pria yang berusaha mengambil hati Safira untuk bisa dekat denganku. Namun hanya Rendy yang mampu menciptakan kebahagiaan untuk Safira. Tentu saja selain Bapak dan adikku, Zein.
"Kamu ikut ke warung, Sa ?"
"Enggak, Bu. Masih ada yang mau dikerjain".
"Yaudah, Ibu mau nyusul Bapak ke warung. Itu Ibu sudah masak untuk makan malem. Kunci pintunya kalo kamu mau istirahat".
Seperginya Ibu, aku langsung membereskan gelas - gelas dan yang lainnya lalu masuk ke rumah menutup pintu. Ku cuci gelas kotor di dapur dan memasukkan teko berisi jus jeruk ke dalam kulkas. Lalu aku menuju kamarku dan Safira untuk rebahan. Rasanya masih ada yang mengganjal di pikiranku mengenai panggilan Safira pada Rendy.
Apa itu artinya aku memang harus kasih Rendy kesempatan, ya ? Tapi kan belum tentu maksud Rendy sama seperti yang ku pikirkan. Bisa jadi dia hanya ingin menghibur Safira yang sedih karena Ayahnya tak punya waktu untuknya. Aku gak boleh terus baper dengan apa yang Rendy buat. Aku harus memastikan apa maksud Rendy menyuruh Safira memanggilnya Papa.
***
Aku masih sibuk merekap pesanan pelanggan di toko rotiku. Setelah mengantar Safira ke sekolah, aku langsung menuju toko. Ya, aku punya toko roti sendiri sejak empat tahun lalu yang berada di dekat pusat kota tempat tinggalku. Tapi, hanya kedua orang tuaku yang mengetahuinya. Aku merahasiakannya dari semua orang termasuk putriku dan kedua adikku. Selama ini aku selalu bilang kalau aku bekerja di toko roti itu. Yang pada nyatanya toko itu adalah kepunyaanku.
Sejak dua tahun belakangan ini, tokoku semakin laris dan telah memiliki pelangganh tetap. Aku menjual berbagai cake dan kue kering. Aku berencana membuka cabang untuk toko rotiku di dekat perumahan yang cukup padat penduduk. Disana sudah banyak ruko - ruko yang berjualana, tapi belum ada toko roti. Aku dan Tia, karyawan terlama dan yang paling loyal di tokoku sudah survey lokasi. Aku juga sudah bertanya - tanya mengenai harga sewa ruko. Hanya tinggal membeli beberapa peralatan pelengkap untuk berjualan.
"Mbak Risa. Ini pesenannya udah beberapa yang kelar. Udah di kotakin juga. tinggal cek aja". Tia yang berbicara. Aku masih mentotal pesanan yang masuk dari akun hijauku.
"Itu pesenan yang harus di antar hari ini, kan ? Yang untuk hajatan atas nama Marisa ?". Tanyaku memastikan.
"Iya, Mbak. Ini ada sekitar tiga ratus kotak". Tia memperhatikan kotak - kotak yang telah tersusun rapi di meja ruangan itu. Kami ada di ruang penyajian yang terhubung dengan ruang penyimpanan dan produksi. Karyawan di ruangan itu ada lima orang. Tiga yang bertugas untuk membuat adonan kue. Dua sebagai penata sekaligus penanggung jawab penyimpanan.
"Kalo gak salah, mereka juga pesen Tiramishu, kan ? Udah di siapin juga ?"
"Udah, Mbak. Ini untuk Tiramishunya". Tia menunjuk kotak berukuran 40 x 40 cm yang ada di tumpukan paling atas.
"Oke. Hati - hati bawanya, ya. Edo sama siapa yang anter ?". Tanyaku. Edo adalah karyawan bagian pengantaran.
"Kayaknya sama Rati, Mbak. Soalnya kemarin kan dia yang trima pesenannya". Jelas Tia. Aku sudah mempercayakan toko pada Tia sejak dua tahun ini. Dia sangat amanah. Sejak awal toko rotiku dibuat, dia adalah karyawan pertama yang mampu bertahan bekerja denganku. Kemampuannya untuk menarik pelanggan dan memajukan toko tak perlu diragukan.
Aku melirik jam di ponselku. 10.35. Sebentar lagi acara Safira akan di mulai. "O iya, Tia. Aku gak bisa lama - lama. Ini udah saya rekap pesenan via online ke Aku. Nanti kamu cek ulang lagi, ya. Trus buat pesenannya. Udah aku cantumin juga nomor masing - masing pelanggan. Kabari mereka kalo pesenan udah mau rampung". Aku menyerahkan salinan rekapan pada Tia. "Aku pergi dulu, Tia".
Setelah berpamitan pada Tia, aku langsung menuju ke tempat motor matic ku terpakir. Menggunakan helm lalu gegas ke sekolah Safira. Perjalanan dari toko ke sekolah Safira hanya memakan waktu dua puluh menit. Aku masih bisa sedikit bersantai untuk sampai ke sana. Semoga saja Rendy menepati janjinya dan sudah berada disana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!