NovelToon NovelToon

Rahasia Ruang Laborat

Anak Baru

Bunyi bel masuk terdengar nyaring di sebuah Sekolah Menengah Atas. Suara riuh siswa berlarian terdengar di depan gerbang masuk. Dua satpam dan dua orang guru menyemangati anak didiknya untuk segera masuk.

"Ayo anak-anak! Cepat masuk, pintu ditutup lima menit lagi!" Seorang lelaki muda dengan kacamata minus meneriaki para siswa yang masih berjalan santai.

"Kampret! Nyaris aja gue telat lagi! Sialan si Irfan, katanya mau jemput malah udah jalan duluan!" 

Randi, nama siswa yang berjalan setengah berlari itu terpaksa meliukkan tubuhnya yang kurus di detik terakhir gerbang ditutup.

"Randi! Jaga ucapanmu, mau kena tambahan poin?!" tegur salah satu guru yang menyambut kedatangan para siswa.

"Eh, jangan dong Bu! Poin saya sudah banyak bisa kena damprat emak nanti kalo nambah!" rajuk Randi memelas.

Guru bernama Suyati itu mengedikkan kepala pada Randi agar segera masuk ke dalam kelas.

"Pak Arif, nanti tolong saya dibantu untuk proposal bantuan sekolah ke kecamatan ya?!" Bu Suyati mendekat setelah pintu gerbang tertutup rapat.

"Oke Bu, habis jam pelajaran ketiga saya kosong Bu."

"Siiplah! Saya duluan pak Arif. Kebagian jam pertama nih!" 

"Monggo, silakan duluan Bu!"

Bu Suyati bergegas menuju ke ruang guru untuk bersiap sementara Arif, memilih menghabiskan rokoknya sebentar di gardu satpam.

"Masuk kelas jam berapa pak Arif?" tanya salah satu satpam paruh baya bernama Broto.

"Jam pertama sih pak, tapi santai lah mau praktikum juga."

"Oh, praktek Biologi? Bedah kodok lagi pak?" Pak Broto bertanya lagi sambil menyesap kopi hitamnya.

Arif tertawa, ia menghembuskan asap tipis dari mulutnya. "Nggak pak, lagi percobaan tumbuhan lumut."

"Kirain kayak kemarin sampai jejeritan kodoknya lari."

Arif membuang puntung rokoknya, mengedarkan pandangan sejenak ke halaman sekolah. 

"Sepi ya pak?" 

"Orang udah mulai belajar. Pak Arif aja yang masih betah disini!" sahut pak Broto sambil memilin kumis lebatnya.

Arif tersenyum masam, bukannya ia tak ingin bergegas tapi … Arif takut. 

Sesuatu dalam laboratorium itu membuatnya tak nyaman. Meski di tengah keramaian siswa tapi Arif merasa ada yang salah. Sosok dalam gelap memperhatikan dirinya, dan Arif tak tahu apa itu. Bulu halus di tengkuknya selalu meremang tatkala menatap sudut ruangan di dekat lemari penyimpanan alat.

Ekor mata Arif menangkap sesuatu yang janggal di lantai dua, tepatnya di ruangan laboratorium Biologi. Arif memicingkan mata, memastikan penglihatannya tak salah. Seorang siswa wanita tengah menatap kosong ke satu titik.

"Siapa dia? Siswa baru?"

Baru saja Arif selesai bergumam, anak perempuan itu menoleh dengan gerakan kaku ke arahnya. Matanya menatap tak suka pada Arif.

"Pak … pak Broto kenal anak mana itu? Saya kok baru liat ya?"

"Mana pak?"

"Itu yang lantai dua, di ruang Laborat!"

Pak Broto keluar dari gardu dan menatap ke arah ruangan yang ditunjuk Arif. "Aah, pak Arif sukanya bercanda nih! Mana, orang nggak ada anak juga!"

Arif berdecak kesal, ia kembali menunjuk ke arah yang dimaksud. "Itu anaknya masih disana, rambutnya sebahu rada keriting! Tuh lagi lihat kesini dia. Anak kelas sepuluh atau sebelas ya? Jamnya samaan sih!"

Pak Broto bingung harus menjawab apalagi karena dirinya memang tidak melihat sosok anak perempuan yang dimaksud Arif. Pak Broto pun hanya bisa menggaruk rambut ikalnya.

Arif bergegas pergi tanpa menunggu jawaban, ia penasaran karena belum pernah melihat wajahnya. Apa dia melewatkan sesuatu? Begitu pikirnya sepanjang koridor menuju ruangan guru.

"Bu, ada murid baru kok nggak bilang-bilang saya?!" Pertanyaan pertama langsung meluncur dari bibir Arif begitu tiba di ruang guru.

Mejanya bersebelahan dengan meja Bu Suyati, wali kelas sepuluh. Arif dengan cepat merapikan buku pedoman guru yang akan digunakan.

"Murid baru?" Bu Suyati mengernyit.

"Iya, kelas ibu bukan?"

"Pak Arif, tahun ini kita nggak nerima siswa baru. Belum maksudnya."

"Ah, masak sih?!"

Bu Suyati menjelaskan aturan penerimaan siswa baru yang tahun ini ditutup karena kelebihan kuota. Tapi Arif yakin betul, siswa perempuan yang dilihatnya tadi adalah siswa baru. Wajahnya asing dan sedikit aneh.

Tak ingin membuang waktu Arif segera menuju ruang laboratorium. Ia berjalan sedikit tergesa, sesuatu dalam diri murid itu menarik perhatiannya. Ruangan Laborat ternyata masih lengang, teriakan dan candaan siswa kelas sepuluh dan sebelas terdengar di lantai bawah.

Sosok itu masih berdiri sendirian ditempat yang sama. Arif mengatur nafasnya yang tersengal.

"Kamu sendirian? Mana yang lain?" Arif meletakkan bukunya di meja guru.

Gadis itu menoleh kaki pada Arif dan menggeleng pelan. "Tidak ada."

Hawa aneh menyapa Arif, tubuhnya merespon ganjil. Bulu kuduknya meremang begitu juga dengan pori-pori di permukaan kulit tangannya. Ia mengusap tengkuk dan merasakan hawa dingin tak biasa.

"Kamu anak baru? Siapa nama kamu?" Ia masih penasaran dan kembali bertanya mengabaikan firasat aneh yang ada.

"Namaku, Mayang."

Arif yang Penakut

Namaku, Mayang …,

Kalimat itu terus terngiang di telinga guru muda berkaca mata yang kini terdiam mematung. Arif berpikir keras.

"Mayang? Tidak ada nama itu dalam daftar absen anak kelas sepuluh dan sebelas."

Arif berulang kali memeriksa daftar absensi siswa nya tapi ia tidak menemukan satupun nama yang merujuk pada nama Mayang.

"Masa iya dia hantu? Di pagi hari begini? Nggak mungkin kan? Tapi … Bu Yati bilang tidak ada murid pindahan atau murid baru."

Arif meraba tengkuknya, merasakan kengerian yang disebabkan sosok murid bernama Mayang. Ia mencoba mengingat kejadian pagi tadi. Pak Broto, satpam tua berkumis lebat itu juga tidak melihat sosok Mayang. Hanya Arif saja yang melihatnya.

"Tunggu seragamnya bukan seragam sekolah sekarang, seragam Mayang sedikit berbeda."

Guru muda itu menarik nafas panjang, berjalan mendekati jendela tempat Mayang berdiri. Matanya menatap lurus ke depan memposisikan diri sebagai Mayang.

"Apa yang dilihatnya dari sini? Rumah, atau mungkin sesuatu?"

Tatapan Arif beralih pada gardu satpam dimana pak Broto dan Pak Salim sedang mengobrol. Satpam berkumis tebal, pak Broto melambaikan tangan padanya dari bawah sana. Arif membalas dengan senyuman dan mengacungkan ibu jari.

Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan laboratorium yang kini kembali sunyi. Jam pelajaran lab Biologi telah usai, menyisakan tumpukan sampah tanaman lumut di pojok ruangan. Arif membersihkan sisa-sisa sampah tisu dan tanaman yang tercecer.

Arif menguatkan diri, sejujurnya ia takut berada sendirian di ruangan lab ini. Terlalu sunyi dan terlalu menyeramkan. Letak ruangan lab yang berada di paling ujung koridor, membuat Arif harus berjalan cukup lama melewati beberapa ruangan lab lain yang seringkali kosong. Apalagi saat ia harus melewati ruangan arsip --bahasa keren dari gudang menurut Bu Yati.

Setiap kali melewati gudang, bulu kuduk Arif meremang. Ia bisa merasakan aura yang begitu gelap merembes dari balik pintu. Gembok besar berkarat menandakan ruangan itu tak pernah dibuka selama beberapa tahun terakhir.

Alarm di ponselnya berbunyi, mengingatkan Arif pada janjinya membantu Bu Yati membuat pengajuan bantuan sekolah. Ia bergegas merapikan buku dan mengembalikan beberapa alat praktek yang sudah dibersihkan dan dibilas dengan cairan pembersih.

Suara aneh terdengar dari sudut ruangan begitu nyaring dan mengagetkan. Decitan hewan terdengar dari arah lemari penyimpanan alat praktek diikuti suara benda bergeser pelan.

Arif mendekat dengan ragu, "Semoga cuma tikus atau semacamnya."

Tangannya gemetar saat hendak menyentuh handle lemari, jantung Arif nyaris saja keluar dari rongga dada begitu pintu lemari terbuka.

Tidak ada apa-apa disana, lalu darimana suara itu?

Arif memeriksa tiap rak dalam lemari, tidak ada yang aneh. Ia memeriksa jas lab siswa yang digantung rapi. Memastikan tak ada hewan pengerat yang bersembunyi. Disinfektan khusus disemprotkan ke arah jas-jas lab yang bergantung berderet.

Ia berjongkok untuk memeriksa bagian bawah lemari, kembali menyemprotkan cairan disinfektan. Menunggunya sesaat.

"Syukurlah tidak ada apapun, hanya perasaanku saja."

Arif merutuki dirinya yang terlahir sebagai penakut. Bahkan di usianya sekarang ini Arif tetap saja tidak bisa mengendalikan rasa takutnya itu. Ia mengunci lemari dan meletakkan botol disinfektan disisi kiri.

Baru melangkah sebentar, botol itu jatuh membentur lantai keramik dengan keras. Arif sampai terkejut karena begitu kerasnya. Disusul pintu lemari yang membuka perlahan.

Mata Arif semakin membola mendapati mata yang mengintip dari balik lemari. Sosok seram dengan kulit penuh luka, dan mengelupas. Mata itu menatap Arif nyalang, perlahan tapi pasti, sosok itu keluar dari dalam lemari. Merangkak dan terus menatapnya, sebelah matanya terlihat tidak simetris seperti terkena benturan keras.

Arif tercekat, suaranya mendadak hilang. Ia berjalan mundur tapi kakinya terlalu berat untuk melangkah. Sosok itu terus mendekat dan mendekat hingga akhirnya tubuh Arif membentur meja.

Sebut namaku …,

Suara serak dan parau terdengar tepat ditelinga Arif. Sentuhan tangan kasar dan dingin dirasakan Arif menyentuh leher bagian belakang.

Sebut namaku …,

Arif melirik ke samping, tubuhnya kaku tak bisa bergerak, lehernya terasa berat sekali. Sesuatu sedang bercokol disana. Arif tak tahu apa yang terjadi padanya. Di belakang tubuh guru muda itu ada sosok wanita seram berpakaian seragam yang kini tengah merangkulnya dari belakang.

Sosok itu terlihat jelas di cermin, memiringkan kepalanya sambil kembali berbisik dengan seringai menakutkan.

Sebut namaku!

Bau busuk bercampur aroma dupa menyakiti hidung Arif, dan sayangnya ia tak bisa berbuat apapun selain berteriak,

Aaaaargh!!

Penghuni Ruang Lab

Arif membuka matanya perlahan, kepalanya terasa pusing sekali. Suara lelaki yang terdengar serak memanggil manggil namanya.

"Pak Arif, bangun! Bapak kenapa?"

Arif berusaha fokus dan menajamkan penglihatannya yang kabur.

"Ini dipake dulu kacamatanya!" Lelaki yang berjongkok di depannya itu membantu memakaikan kacamata.

"Aduh, kepalaku! Saya kenapa pak?" Arif bertanya sambil memegangi kepalanya yang mengeluarkan darah.

"Saya mau tanya, bapak kenapa? Kok tau-tau ada dilantai begini, mana kepala bonyok begitu?"

Pak Broto membantu Arif untuk berdiri, ia memapah Arif keluar ruangan.

"Saya juga nggak tahu pak, seingat saya tadi itu saya …,"

Arif menghentikan kalimatnya, mana mungkin dia berkata jujur pada pak Broto jika tadi ada sosok hantu seram yang mengganggunya. Bisa-bisa Arif ditertawakan dan diejek sebagai guru penakut.

"Saya kenapa pak? Nungguin ini saya lanjutannya!" Pak Broto jadi semakin penasaran.

"Saya … lupa pak!"

"Yee, udah ditungguin ceritanya malah lupa! Ya udahlah kita ke ruang ruang UKS, nanti bapak tunggu disana biar saya panggilan tuh bidan Siti di depan sekolahan buat periksa luka bapak!"

"Eeh, jangan! Langsung ke ruang guru aja, yang rame!" cegah Arif cepat pada pak Broto yang hendak membuka ruang UKS.

"Iya deh pak, duh sabar ya pak bentar lagi nyampe ini!" Pak Broto terlihat ngeri dengan luka Arif yang terus mengeluarkan darah.

Ruang guru mendadak geger melihat kedatangan Arif yang terluka dan darah bercucuran. Bu Suyati yang kebetulan hendak ke kelas pun mengurungkan niatnya. Bu Jaskun, guru olah raga yang terlihat garang pun ikut dibuat panik, ia berlari kesana kemari meminta bantuan guru lain.

"Ya ampun mas, kenapa bisa jadi begini ceritanya pie?" Bu Jaskun segera membantu pak Broto untuk memapah Arif.

"Pak Broto, ada apa ini?" Bu yati ikut menimpali, panik dan cukup terkejut dengan kondisi Arif.

Wajah pucat Arif terlihat mengkhawatirkan, ia duduk lemas dan berusaha mengingat apa yang terjadi. Mengabaikan hiruk pikuk orang yang terus bertanya tentang apa dan kenapa dirinya bisa terluka.

Seingat ku tadi, ada sosok seram yang menempel di punggung … tapi kenapa aku bisa terjatuh di lantai dan terluka begini?

Memori Arif kacau, ia mencoba mengingat tapi yang terjadi kepalanya semakin nyeri. Pandangannya mulai kabur dan memutar, akibat banyaknya darah yang keluar. Setiap ia memejamkan mata, kilas balik adegan dalam slide hitam putih terus berkelebat samar. Bayangan seseorang membawa tongkat … atau sejenisnya terus muncul.

Seseorang ada disana tapi siapa dan kenapa aku dipukul? Aku yakin, aku terluka bukan karena terjatuh!

Bidan Siti datang tergopoh-gopoh bersama pak Broto. Ia segera memeriksa luka Arif dan membersihkan darah yang mulai mengering di wajah serta lehernya. Enam jahitan terpaksa diberikan bidan Siti pada luka menganga di bagian kepala kiri atas.

Pak Rus duduk tak jauh dari Arif yang sedang ditangani bidan Siti, memperhatikan dengan serius. Pria dengan garis rahang tegas itu tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Pak Arif lain kali hati-hati kalau bekerja, sampai terluka begitu kan yang rugi bapak sendiri!"

"Iya pak, tadi saya terpeleset dan mungkin terantuk sudut meja." jawab Arif menahan rasa sakit.

Pak Rus mengangguk sambil mengusap jenggot nya yang tak seberapa lebat. "Ya sudah kalau semua sudah bisa ditangani lebih baik semua kembali bekerja, kasian anak-anak!"

Satu persatu guru mulai meninggalkan ruangan dan kembali mengajar, tinggallah Arif, Bu Suyati, Pak Rus dan pak Broto.

"Pak Arif yakin mau nerusin mengajar atau mau istirahat dirumah dulu?" Pak Rus bertanya pada Arif.

"Kalau boleh saya disini aja dulu pak, jam ke lima nanti saya pulang. Nggak enak juga dilihat dengan pakaian berdarah-darah begini."

Pak Rus mengangguk tanda setuju, "Pak Broto nanti tolong pak Arif diantar pulang!"

"Siap pak!"

Setelah memastikan kondisi Arif baik-baik saja Pak Rus pun meninggalkan ruangan diikuti pak Broto. Arif mengamati situasi, ia lalu mendekati Bu Yati yang sibuk mengirim pesan.

"Bu … ibu kan senior disini? Saya mau tanya nih."

"Tanya apa?"

"Ruangan Laborat kita itu angker ya Bu?"

Bu Yati seketika berhenti mengetik, ia menoleh pada Arif sekilas sebelum mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Pak Arif pernah diganggu? Atau kecelakaan ini karena pak Arif …,"

Arif mengangguk, "Mayang, apa ibu tahu nama siswa itu?"

Ekspresi Bu Yati berubah tegang, "Mayang?" Ia balik bertanya dengan terbata-bata.

Melihat hal itu Arif semakin yakin jika Bu Yati mengetahui sesuatu. "Ibu tahu kan? Apa sebenarnya yang terjadi?!"

"Eh, nggak! Saya nggak tahu apa-apa, dan sebaiknya pak Arif juga tidak perlu mencari tahu siapa dia?"

"Kenapa Bu? Apa ada masalah yang saya nggak tahu? Saya bagian dari sekolah ini dan saya berhak tahu apa yang terjadi di sekolah ini sebenarnya!" Arif menekankan kalimatnya agar Bu Yati mau berbicara.

Bu Yati ragu sejenak, ia kembali melihat situasi. "Tapi Pak Arif bisa jaga rahasia? Karena jika ini sampai bocor, sekolah kita nggak bakal dapat bantuan dari pemerintah."

"Lho, apa hubungannya Bu sama nama baik sekolah?" Arif semakin dibuat penasaran.

"Ya jelas ada hubungannya! Makanya kami selama ini menutupi semua dengan baik. Meski hal itu tidak akan pernah bisa merubah sejarah kelam sekolah ini."

"Hah, maksud ibu?"

Bu Yati menarik nafas dalam-dalam sebelum bercerita. "Pak Arif benar, ruangan di lantai dua memang terbilang angker. Selama ini kami selaku staf pendidik berusaha menutupi hal itu dari anak-anak tapi desas desus gosip diluar sana tidak bisa kami bendung."

"Tapi kenapa saya sendiri nggak tahu hal ini Bu?"

Bu Yati menatap wajah Arif dengan ekspresi rumit. "Apa bapak akan tetap melamar di sekolah ini dan mau bertahan jika tahu sekolah ini berhantu?"

Arif terpaku, itu pertanyaan sulit untuk dirinya yang penakut. "Ya setidaknya kan saya tahu tentang sekolah ini Bu!"

"Kan, sudah saya duga! Pasti pak Arif takut. Ini yang kami jaga, jika rumor ini dibiarkan berkembang maka tidak akan ada staf pengajar baru yang mau ditempatkan di sekolah kita."

Arif merasa bersalah, perkataan Bu Yati betul juga. Nama baik sekolah dipertaruhkan.

"Jadi siapa Mayang Bu?"

"Mayang, dulunya murid teladan disini dan selalu masuk peringkat sepuluh besar. Sayangnya takdir berkata lain, Mayang menghilang saat ujian akhir sekolah. Pihak keluarga dan sekolah berusaha mencarinya selama berhari hari."

"Terus gimana Bu?"

Bu Yati menggelengkan kepala, "Mayang ditemukan tewas di ruangan yang sekarang menjadi lab Biologi tujuh hari setelah dia menghilang. Mayang masih memakai seragam sekolah saat dia hilang. Kasihan anak itu, dia ... termasuk siswa kesayangan saya."

Kedua mata Bu Yati membayang mengingat siswa kesayangannya yang harus tewas mengenaskan.

Arif semakin lemas, jadi benar Mayang yang berbicara dengannya itu adalah hantu di ruang Laborat. Jantungnya berdebar kencang, mengingat kembali pertemuan perdananya pagi tadi.

Muncul pertanyaan baru di benak Arif, jika hantu Mayang berani menunjukkan eksistensinya lalu siapa sosok seram yang keluar dari lemari penyimpanan alat lab? Apakah itu Mayang atau ada sosok lain yang memang menghuni ruangan laboratorium?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!