NovelToon NovelToon

Dendam Kesumat : Kasyaf

kejadian horor di terminal

"Yo terminal, terminal, terminal"

Seseorang berseru dari arah depan bus. Ya, dia adalah co driver sebuah bus. Bus merah yang berjalan lambat. Seorang gadis berjaket parasut yang tadinya tertidur, terkejut mendengar seruan co driver itu.

"Cuwik, mas" seru salah seorang penumpang. Penumpang itu berjalan ke arah depan.

Gadis berjaket parasut itu menyiapkan tasnya. Dia juga memeriksa ponselnya. Belum ada pesan singkat maupun telepon yang masuk. Namun foto sang ibu langsung terpampang di layar depan.

Diapun menghembuskan nafas berat. Seolah ada masalah berat berkaitan dengan sang ibu.

Dia buka pesan singkat dari seseorang yang dia beri nama kontak, adek. Sebuah foto lama, yang dia terima enam bulan lalu, dia tekan hingga memenuhi layar ponselnya.

Foto sebuah pernikahan, dari sepasang insan yang tampak tak lagi muda. Foto itu mengambil tempat di belakang kedua mempelai. Ada lingkaran yang membingkai mempelai laki-laki. Ada panah yang menunjukkan sebuah tulisan. Bapak, begitu tulisan yang ditunjuk panah itu.

Untuk beberapa saat gadis itu tenggelam dalam lamunannya. Beberapa aksi mulai dia susun di pikirannya, yang sedianya hendak dia lakukan sesampainya di rumah. Namun, lampu merah pertigaan menyadarkannya kalau terminal tujuannya akan segera terlihat. Diapun segera menepis angan-angan itu dan mengantongi kembali ponselnya.

"Pulang kemana?"

Perhatian gadis itu teralihkan ke sebelah kiri. Seorang laki-laki di kursi seberang tersenyum padanya.

"Sido Dadi, mas" jawab gadis itu.

"Wah. Masih jauh, dong" komentar laki-laki itu.

"Iya, mas" jawab gadis itu.

"Masnya pulang kemana?" Lanjut gadis itu.

"Pucang Sewu" jawab laki-laki itu.

"Deket, dong?"

"Iya. Mau mampir?" Goda laki-laki itu.

"Makasih, mas. Udah ditungguin ibu" tolak gadis itu.

"Oke. Kapan balik tangerang lagi? Jangan-jangan ketemu lagi, entar" goda laki-laki itu lagi.

"Waduh. Kayaknya nggak balik lagi, mas"

"Loh kenapa? Abis kontrak, gitu?"

"He he. Ya gitu, deh"

"Oh" laki-laki itu mengangguk-angguk.

"Ya udah. Aku doain, semoga mbaknya cepet dapet kerja lagi"

"Amiin. Makasih mas, doanya"

Bus merah itupun masuk ke dalam terminal. Semua penumpang, tak terkecuali dengan gadis itu bersiap untuk turun.

Beberapa kali dia tolak tawaran tukang ojek maupun tukang becak saat baru turun. Dia lantas berjalan menuju tempat keberangkatan bis lokal.

Untuk sejenak dia melihat jam di ponselnya. Sudah lewat dari jam tujuh malam. Dia tampak berpikir, mengingat-ingat jadwal keberangkatan bis. Dan dia yakin, seharusnya masih ada satu atau dua trip lagi menuju desanya.

Ya Alloh, harusnya aku gembira bisa menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiranku. Tiga tahun nggak bisa pulang rasanya kangen banget sama semuanya. Tapi pulang dengan status habis kontrak begini, seperti orang yang kalah perang saja, rasanya.

Gadis itu memainkan ponselnya sembari berjalan. Dia hanya berpatokan pada sudut matanya tanpa memperhatikan jalannya dengan sepenuhnya. Yang penting masih terlihat tembok di kiri dan kanannya, dia terus berjalan.

Tapi lama kelamaan dia jadi curiga. Terminal ini seharusnya tidak punya lorong sepanjang ini. Tapi dia merasa sudah berjalan seperti menyusuri koridornya terminal Tirtonadi.

Gadis itu berhenti sejenak. Dia menyebar pandangan ke sekitar. Di belakangnya, ujung koridor ini sudah tak terlihat, karena sudah sekian kali dia berbelok arah. Ke depan, ujung satunya belum juga terlihat.

"Emang terminal ini diperluas, ya? Tapi kok desainnya aneh? Terlalu vintage gitu loh" gumam gadis itu.

Dia kembali berjalan. Kali ini dia tidak memainkan ponselnya. Sepenuh hati dia memperhatikan sekitarnya. Sungguh, dia merasa sangat aneh dengan terminal kotanya ini.

Semakin berjalan, dia seolah kembali ke jaman dulu. Ruangan-ruangan di kiri-kanannya seperti tidak baru saja dibangun. Setidaknya tidak dalam kurun waktu tiga tahun ke belakang. Pintu dan jendela di ruangan-ruangan itu besar-besar, identik dengan gaya arsitektur eropa. Mirip bangunan-bangunan di kota tua Jakarta.

Srek srek srek

Terdengar suara orang menyapu. Gadis itu mempercepat langkahnya. Dan benar, dia melihat ada seorang nenek-nenek sedang menyapu lantai.

Tak selayaknya nenek-nenek jaman sekarang yang lebih suka pakai daster, nenek-nenek itu masih memakai jarik dan baju khas wanita jawa jaman dulu.

Sapu yang dipakai juga bukan sapu yang lazim digunakan di jaman sekarang. Sapu itu masih menggunakan sabut kelapa dengan bambu sebagai pegangannya.

"Permisi, mbah" sapa gadis itu.

"Nggeh" jawab nenek-nenek itu dengan bahasa jawa.

"Mau tanya, mbah. Tempat keberangkatan bis ke timur, ke arah mana ya, mbah?" Tanya gadis itu.

"Mriko" jawab simbah itu.

Dia menujuk ke kirinya. Bukan tanpa alasan, ada koridor cabang di depannya, atau di kanan gadis itu.

"Oh. Masih jauh, mbah?"

"Mboten" jawab simbah itu menggunakan bahasa jawa lagi.

"Oh. Sudah nggak jauh lagi ya, mbah. Makasih"

"Nggeh"

Gadis itu berjalan lagi. Dia lebih bersemangat karena sebentar lagi dia akan sampai di ujung koridor ini.

Namun dia jadi curiga, saat koridor ini semakin lama semakin berkurang penerangannya. Seharusnya kalau masih jam operasional, penerangan tidak boleh dikurangi. Sudah lebih dari sepuluh meter dia berjalan, namun belum juga bertemu ujung dari koridor ini. Malah penerangan semakin tak bersahabat.

"Astaga. Itu apa?"

Gadis itu menghentikan langkahnya. Tatapannya terpaku pada tiga benda berwarna putih yang tergantung di langit-langit koridor. Di bawah benda-benda putih ada sebuah meja yang tampak ringkih yang menopang ketiga benda putih itu.

"Karung beras atau apa, ya?"

Gadis itu masih berpikiran positif. Dia melanjutkan langkahnya meskipun kini sangat pelan dan sangat waspada.

"A'udzubillahi minas syaitonirrojim"

Gadis itu melafadzkan doa-doa saat dia semakin dekat dengan benda yang tergantung di langit-langit koridor itu. Dia mengambil ponselnya dan menyalakan lampu flashnya.

"Allohu Akbar"

Dia terkejut saat dia mengarahkan lampu Flashnya ke arah benda putih itu.

"Po, po, pocong?" Gumamnya lirih.

Ketiga benda itu kini jelas di matanya, bukan merupakan karung beras. Ketiga benda itu jelas sekali berbentuk pocongan utuh. Kainnyapun masih baru. Ketiga pocongan itu tergantung di bagian leher. Hanya saja tidak terlihat wajahnya. Tali yang menggantung ketiganya tampak menegang tapi belum sepenuhnya menegang.

Braakk

"Aaaa"

Gadis itu berteriak kencang, saat meja ringkih di depannya tiba-tis patah. Ketiga pocongan itu kini tergantung sepenuhnya.

"Tolooong"

Dia ketakutan bukan main, saat mengetahui ketiga pocongan itu bergerak-gerak.

Keekhh, eeeek, keekh

Terdengar juga suara orang tercekik dari arah pocongan itu. Seolah pocongan itu adalah manusia yang masih hidup dan sedang menjalani hukuman gantung.

"Tolooong"

Gadis itu berlari kembali ke arah kedatangannya. Jatuh-bangun dia berlari, berharap akan bertemu nenek-nenek tadi.

"Woo pateni ae!"

"Iyo. Pateni ae!"

"Ha?"

Gadis tadi sontak mengerem langkahnya, begitu melihat ada gerombolan orang mempersekusi nenek-nenek tadi. Setengah melompat dia masuk ke dalam salah satu ruangan yang kebetulan pintunya terbuka.

"Ampuuun, ampuuuun"

Terdengar suara nenek-nenek tadi memohon pada gerombolan laki-laki tadi. Namun sepertinya gerombolan itu tidak memiliki belas kasihan.

Mereka terdengar berbuat kasar pada sang nenek. Termasuk juga pada seorang laki-laki, seorang ibu muda dan bahkan kepada seorang anak-anak.

"Jangaaaan!"

Buaaakk

"Jantooo"

Bak buk bak

Terdengar suara teriakan diiringi hantaman dan tendangan silih berganti. Gerombolan itu seperti memang berniat untuk menyiksa. Karena menit telah berganti namun suara pukulan dan tendangan itu tak kunjung berhenti. Suara laki-laki dam ibu muda itu semakin menyayat hati.

Bak buk bak

"Minggiiiir!"

Braaaakk

"Jantoooo"

"Biadaaaap"

Terdengar teriakan dan tangis yang membahana. Namun juga ada tawa lepas dari gerombolan itu. Seperti pemain bola yang berhasil mencetak gol.

Gadis itu merasakan ketakutan yang teramat sangat. Dia sudah membayangkan apa yang terjadi kepada anak kecil itu.

Namun, diantara ketakutannya, dia masih teringat sesuatu. Ya, dia merasa harus merekam aksi kejam itu. Dia merasa harus melaporkan kebiadapan itu. Karena kalau harus mencegahnya, dia merasa itu tidak mungkin.

Dengan sekuat tenaga dia meredam ketakutannya. Dia lalu beranjak merendahkan tubuhnya, tiarap ke lantai. Dengan gerakan perlahan dia berusaha mengintip sambil menyiapkan ponselnya untuk merekam.

Kraaakk

"Ha?"

"Martiiiii"

Gadis itu hampir saja kelepasan suara. Baru saja mengintip, sebuah aksi kejam terjadi di depan matanya.

"Martiiii"

Ibu muda tadi, kepalanya putus akibat dipenggal salah satu dari gerombolan itu. Tanpa ada rasa ngeri sedikitpun orang itu malah bersorak kegirangan sembari mengacungkan celurit yang dia pakai untuk menebas leher ibu muda tadi. Sedangkan ibu muda korbannya itu, masih menggeliat-geliat sekarat.

Sang suami hanya bisa mengumpat dan menangis histeris, melihat sang istri sekarat bersimbah darah di depan matanya. Tak jauh darinya, sang anak telah terlebih dahulu gugur dengan kepala pecah.

"Sekalian aja, jangan buang waktu!" Teriak salah satu dari mereka.

"Iya. Setan desa memang harus dihabisi segera" sahut yang lain.

"Betul" sahut yang lain bersahut-sahutan.

Salah seorang dari mereka memberi isyarat. Dan empat orang maju, yang lain mundur. Dua diantaranya membawa empat batang bambu yang cukup panjang.

"Nggak usah sedih pak lurah. Kamu dan emakmu akan kami antar menemui anak dan istrimu. Ha ha ha ha" kata orang yang memberi isyarat itu.

"Bang*******t. Aku bersumpah. Anak turunku akan menghabisi anak turunmu, Wulung"

"Lurah Mardianto. Masih bisa ngancem, rupanya" ejek laki-laki yang dipanggil Wulung. Anak buahnya tertawa.

"Anak-turunmu yang mana, To? Sutopo? Anak sulungmu yang planga-plongo itu?"

*Mbah kakung*?

Gadis itu merasa kenal dengan nama yang disebut oleh si Wulung.

"Apa si Rukmini? Ah. Dia sih, kena goyanganku juga ketagihan. Ha ha ha" tanya si Wulung lagi.

*Astaga. Yang mereka maksud bener-bener kakungku. Rukmini kan adiknya mbah Topo. Yang jatuh di gunung. Berarti itu simbah buyutku, dong? Lha terus, ini aku ada di mana? Yang aku liat ini, apa*?

Wulung dan yang lain tertawa lepas tanpa kasihan sama sekali. Sedangkan yang dipanggil lurah Mardianto itu hanya bisa menangis dan terus mengumpat. Gadis itu malah terpaku.

"Kelamaan, ki. Sikat aja langsung" seru salah seorang anak buah Wulung.

"Kerjakan!" Jawab si Wulung.

Keempat orang itu membagi diri mereka menjadi dua pasang. Masing-masing memegang dua bambu. Mereka membuat huruf X tepat di leher nenek-nenek dan laki-laki itu. Mereka seperti hendak menjepit leher keduanya dengan bambu-bambu itu. Dua empat laki-laki datang membantu empat orang yang memegang bambu.

"Lakukan!"

"Ha?" Gadis itu hampir memekik lagi.

"Hiyaaaa"

"Heek"

"Keeeekh"

Seperti yang telah diduga, kedelapan orang itu benar-benar menjepit leher nenek-nenek dan anaknya itu dengan sekuat tenaga.

Dengan keadaan tangan dan kaki terikat, keduanya tidak bisa melawan sama sekali. Keduanya mengeliat-geliat merasakan sakit yang teramat sangat, sekaligus nafas yang kian tersengal.

Gadis itu tampak ingin merangsek untuk mengagagalkan upaya pembunuhan terhadap kakek buyutnya itu. Namun dia tidak bisa bergerak. Tubuhnya kaku seperti ketindihan.

Dia hanya bisa menangis menyaksikan kekejaman di depan matanya. Dia tidak bisa menggerakkan matanya barang sedikitpun. Aplagi untuk memastikan kamera ponselnya bekerja atau tidak.

Bayangan orang sakarotul maut malah membuat sekujur tubuhnya terasa ngilu. Dia memejamkan matanya. Berharap kekejaman itu akan segera berakhir dan dia bisa segera pergi dari tempat ini.

*Darrr*

"Aww"

"Woooooiii"

Sebuah letusan senapan mengejutkan gadis itu. Keadaan di depan matanyapun berubah.

*Darrr darrr darrr darrr*

Letusan demi letusan mengiringi suara orang yang berteriak terkejut dan lari tunggang langgang.

"Bapaaaaaak"

Terdengar suara teriakan seorang laki-laki.

"Simbooook"

Sia berlari dan langsung menubruk tubuh wanita yang terpenggal kepalanya itu.

"Simbooooook"

Dia berteriak lagi. Dia menengadahkan kepalanya saat berteriak penuh amarah.

Mbah Topo?

Gadis itu rupanya mengenali siapa laki-laki yang sedang menangis itu. Walau laki-laki itu masih sangat muda.

"Biadap kamu Wulung" teriak laki-laki itu.

"Kamu harus mati di tanganku, Wulung" lanjutnya.

"Topo jangan!"

Seorang laki-laki menahannya, disaat sutopo beranjak hendak berlari.

"Topo mau ngejar si Wulung, den. Mau Topo bunuh manusia terkutuk itu. Haaaah"

"Topo, jangan!"

"Kenapa Raden melarang saya, ha?" Teriak Sutopo.

Dia mengibaskan tangan orang yang dia panggil Raden. Namun tak membuahkan hasil. Laki-laki yang berbeda usia sekitar lima belas tahun itu terlalu kuat untuknya yang baru berumur lima belas tahun.

"Kalau Gusti Bendoro dipenggal kepalanya begini, apa Raden Manaf masih bisa sabar, ha?" Lanjut Sutopo.

"Aku tahu, Po. Aku tahu. Tapi dia itu sakti mandraguna. Jangankan ngelawan manusia, demit aja takluk sama dia"

"Topo nggak peduli. Hutang nyawa dibayar nyawa, den"

"Kalau kamu mati, siapa yang jagain Rukmini? Kamu mau Rukmini dijadiin pelacur sama Wulung?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, Sutopo mengendurkan berontaknya. Dia menatap orang yang dia panggil Raden Manaf itu dengan tatapan penuh tanya.

"Dendam kamu, dendam aku juga, Po" kata Raden manaf, setelah Sutopo tenang.

"Aku pasti akan balaskan dendam kamu itu. Diaa menyasar orang tuamu, itu karena dia dendam sama Romo Adipati Mangkunegaran. Aku kan pernah bilang"

"Ya tapi apa Topo tidak boleh bergerak sendiri, Den?" Tanya Sutopo setengah menangis.

"Boleh. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu. Dia tidak akan melawanmu, Po. Dia akan membiarkanmu hidup. Begitu juga denganku. Dia akan membuat kita melihat dengan mata kita sendiri, bagaimana dia akan memecah belah dan menghabisi anak-cucu kita satu per satu. Seperti dulu istri dan anak-anaknya yang menjadi korban saat dia digerebek pasukan mangkunegaran. Jadi percuma saja kita kejar. Dia malah ngumpet"

"Apa?"

"Kalau kamu pikir dia sepantaran lek Mardi, kamu salah, Po. Dia sepantaran buyutku. Dia tidak bisa dibunuh. Dia hanya bisa dibunuh di satu hari. Hari paling apes untuk semua ilmu kadigdayannya. Sebelum hari itu tiba, kamu harus belajar kanuragan dan kadigdayan. Rahmi menjadi tanggung-jawabmu sebagai suami"

"Rahmi?"

"Kamu juga, Ismo" seru Raden Manaf.

"Saya, Den?"

*Simbah*?

Seperti saat mengenali sutopo, gadis itu tampak sangat mengenali laki-laki yang dipanggil Ismo itu. Walau si Ismo itu masih sepantaran dengan Sutopo.

"Sebagai juragan, kamu harus awas! Jaga istrimu agar tidak terpedaya muslihat si Wulung! Tunjilah itu kembang desa. Tapi dia lemah"

"Juragan? Tunjilah?" Tanya Ismo.

*Mbah Tun*?

"Juragan apa, den? Kan saya sama laya Sutopo, abdinya Raden. Dan Tunjilah yang mana, den?" Lanjut Ismo.

"Romo Adipati yang bilang. Kemarin aku terima surat dari beliau. Apa kalian tidak percaya sama wangsit yang diterima Romo Adipati?"

Keduanya terdiam. Tak ada yang berani menjawab. Sutopo hanya menatap orang-orang yang menutupi jasad keluarganya.

"Kalau tidak percaya, ya silakan! Silakan kejar Wulung sampai dapat. Tapi kalau kamu sampai mati dan Wulung jadiin Rukmini dan Rahmi sebagai pelacurnya, aku tidak bertanggung jawab"

Sutopo tidak menjawab. Dia hanya merendahkan badanya. Kini dia bersimpuh menatap jasad kedua orang tuanya, adik bungsunya dan juga simbahnya. Ismo ikut bersimpuh. Raden Manafpun ikut merendahkan badannya.

"Dan sebagai sahabat, kalan harus saling percaya! Kalau aku masih hidup, aku akan arahkan kalian. Tapi kalau aku sudah mati, aku akan titipkan wangsit untuk kalian. Kalian harus percaya dengan wangsit yang aku titipkan pada salah satu diantara kalian! Camkan itu, biar pengorbanan lek Mardi dan mbok Marti tidak sia-sia!" Lanjut Raden Manaf.

"Dek, dek"

Sebuah teguran dan tepukan di pundaknya, membuat gadis itu tersentak.

"Adek ngapain, di sini?"

bayangan masa lalu

"Adek ngapain, di sini?"

Gadis itupun membuka matanya. Betapa terkejutnya dia, menyadari bahwa dia tidak sedang berada di koridor terminal. Melainkan berada di tengah-tengah kuburan.

Diapun beranjak bangun dengan wajah kebingungan.

Dia memindai sekitarnya, tak satupun yang sama dengan yang baru saja dia lihat. Ponselnyapun ternyata masih dalam posisi terkunci. Saat dia menengadahkan kepalanya, seorang bapak-bapak dengan sarung di pundak sedang menatapnya dengan raut wajah khawatir.

"Pak. Ada siapa?"

Terdengar seseorang berseru dari kejauhan. Sosoknya terlihat jelas meski cukup jauh. Seorang wanita muda, seumuran dengan gadis itu. Wanita itu berjalan menghampiri mereka.

"Ajak ke rumah dulu aja, pak! Kayaknya embaknya ketakutan" kata wanita itu, setelah mencapai posisi mereka.

"Adek, ini anak bapak. Kita ke rumah bapak duku, yuk! Adek sepertinya baru datang dari jauh" ajak bapak itu.

Gadis itu tidak segera menjawab. Dia masih bingung dengan apa yang tengah terjadi dengannya. Apakah ini halusinasi, atau malah yang di koridor tadi, yang halusinasi? Pertanyaan itulah yang mengemuka di benaknya.

"Mbak. Kalau yang sekarang ini, embak udah di alam nyata" kata wanita itu sembari jongkok di depan gadis itu. Gads itu memperhatikannya.

"Kalau yang sebelumnya, itu embak lagi diganggu" lanjutnya. Gadis itu masih tidak bergeming.

"Yuk mbak, kita rehat di teras! Itu rumah kami" kata wanita itu lagi. Dia menunjuk salah satu rumah, tepat di arah dimana dia datang tadi.

Walau masih super bingung, namun gadis itu menganggukkan kepalanya. Sebuah senyum dia dapatkan dari wanita yang mengajaknya. Dia masih memasang sikap waspada, barangkali ini adalah halusinasi juga.

Sekeluarnya mereka dari area makam, banyak orang yang mendatangi mereka. Orang-orang yang merupakan warga sekitar, menanyai perihal gadis itu. Beberapa orang diantara mereka malah bercerita sendiri, kalau ini adalah kali ke tiga ada orang yang diganggu sampai terdampar di makam itu.

Karena gadis itu masih syok, mereka sepakat untuk memberikan waktu untuk gadis itu menenangkan diri.

Merekapun membubarkan diri. Sang tuan rumah dengan sabar menemani gadis itu. Bahkan kini lengkap dengan sang istri pula. Mereka mengajak gadis itu berbincang, walau pastinya belum mendapatkan respon positif. Butuh waktu lama bagi gadis itu untuk bisa keluar dari ketakutannya.

"Nama saya Icha, pak" kata gadis itu memperkenalkan diri.

"Oh. Adek namanya Icha? Saya Hartono. Istri saya, Astri. Anak saya, Yuna" sahut sang tuan rumah.

"Terimakasih pak, sudah mau menolong Icha. Kalau bapak tidak menemukan Icha, nggak tahu deh, Icha bakal kaya gimana"

"Sama-sama, dek Icha. Bukan hal aneh lagi di sini. Setiap tahun ada saja yang nyasar ke makam itu"

"Kalau boleh tahu, tadi mbak Icha ngeliat apa?" Tanya Yuna. Perhatian Icha teralihkan.

"Aduh. Pemandangan yang ngeri banget, mbak Yuna. Penyiksaan yang sangat tidak manusiawi" jawab Icha.

Suaranya berat, menggambarkan kegeraman dan kesedihan. Air matanya juga meluncur begitu saja. Dia juga menceritakan apa saja yang dia lihat di koridor tadi.

"Apa yang dek Icha lihat itu, adalah bayangan masa lalu, dek"

"Bayangan masa lalu, pak?"

"Iya. Apa yang dek Icha ceritakan adalah kejadian nyata di masa lalu. Kekejaman yang dilakukan sekelompok orang yang organisasinya sudah dibubarkan mbah Harto. Adek tahu kan, maksud saya?"

"Ya. Dari penggunaan bambu itu, persis seperti foto diorama yang pernah Icha lihat" jawab Icha.

"Dulu, bangunan lama terminal itu, nyambung sampai ke ujung belakang kuburan itu" kata pak Hartono menunjuk ke makam. Icha menoleh ke arah yang ditunjuk pak Hartono.

"Bangunan itu dulunya adalah kantor milik pemerintah kolonial Belanda. Orang pribumi nyebutnya, benteng" lanjut pak Hartono.

"Benteng itu, bukannya bangunan rumah sakit ya, pak?" Tanya Icha.

"Itu benteng wetan. Yang terminal ini, benteng kulon" jawab pak Hartono.

"Oh" Icha mengangguk-angguk mengerti. Dia baru tahu soal itu.

"Benteng kulon sempat dikuasai orang-orang itu, dan digunakan untuk membantai orang-orang yang mereka cap sebagai setan desa. Banyak yang gugur di benteng itu" kata pak Hartono.

"Lalu, kenapa benteng itu menghilang, pak?"

"Benteng kulon terbakar hebat saat TRI melakukan penumpasan kepada mereka. Ya, nggak masuk sejarah, sih. Tapi memang ada pertempuran di sini"

"Oh"

"Qodarulloh, benteng kulon hampir hilang tak berbekas. Tersisa bangunan yang dipakai buat teminal, dan pohon beringin itu" kata pak Hartono, menunjuk pada beringin di tengah makam.

"Setelah itu, tanah benteng ini diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada warga. Khusus bagian belakang ini, di situlah tempat pembantaiannya. Makanya tidak ada yang mau dikasih tanah itu. Dengan kesepakatan bersama, tanah itu dijadikan pemakaman"

"Sungguh biadap" kata Icha lirih.

Dia menangis mengingat bayangan kekejaman yang tadi dia lihat. Yuna mendekat dan menghiburnya.

"Adek yang hati-hati, ya! Jangan suka ngelamun! Mata batin adek sensitif. Bisa jadi, akan ada makhluk tak kasat mata yang usil pada adek. Atau adek tanpa sengaja masuk ke dimensi gaib"

. "Astaghfirulloh. Lalu Icha harus bagaimana pak?"

"Banyak berdzikir saja! Dan jangan banyak melamun. Lebih baik tidur kalau sedang dalam perjalanan menggunakan kendaraan umum"

"Memangnya adek ini dari mana dan mau kemana?" Tanya bu Astri.

"Saya dari Tangerang bu, mau ke Sido Dadi" jawab Icha.

"Loh. Arah ke timur tinggal satu angkutan lagi lho, dek. Nginep aja, ya?" Seru bu Astri.

"Terimakasih, bu. Tapi Icha lagi ditungguin ibu Icha"

"Anterin aja, pak! Kasihan, Sido Dadi. Kita juga pernah ditolong orang Sido Dadi" pinta bu Astri pada suaminya.

"Nggak usah repot-repot bu, terimakasih. Icha naik angkutan umum saja" tolak Icha lembut.

"Bukannya ngusir dek Icha, kalau mau ikut angkutan umum sih, bentar lagi dateng dianya. Mending kita anter aja" tawar bu Astri lagi.

"Terimakasih bu. Ini saja Icha sudah merepotkan" tolak Icha lagi.

"Mbak Icha beneran udah baikan? Kalau belum, nginep aja mbak, besok Yuna anter" seru Yuna.

"Terimakasih mbak Yuna. Icha udah baikan kok" jawab Icha. Yuna tak membantah.

"Mungkin lebih baik Icha pamit, bu Astri, pak Har. Lemah teles ya bu, pak" lanjut Icha pamitan.

"Iya, dek Icha. Kita juga pernah ditolong orang Sido Dadi. Jadi, nolong orang Sido Dadi kami anggap kaya nolong keluarga sendiri"

"Alhamdulillah. Terimakasih bu Astri" sahut Icha.

"Yun. Anterin mbak Icha ke terminal, gih!" Perintah bu Astri ke Yuna.

"Iya" jawab Yuna.

"Bentar mbak. Yuna ambil kunci motor dulu" kata Yuna ke Icha.

Tak lama kemudian Yuna telah kembali dan siap mengantarkan Icha. Ichapun salim dan pamitan pada pasangan suami-istri yang telah menolongnya itu. Hanya lima menit, keduanya telah sampai di terminal.

"Makasih mbak Yuna, sudah mau Icha repotin" kata Icha setelah turun dari motor.

"Sama-sama, mbak" jawab Yuna.

"Yuk, saya temenin ke dalem" tawar Yuna.

"Nggak papa nih, mbak?" Tanya Icha basa-basi.

"Nggak papa. Saya seneng kok, bisa bantu mbak Icha" jawab Yuna.

"Makasih banget ya, mbak Yuna. Icha memang masih agak takut"

"Iya. Yuk!" Ajak Yuna.

Ichapun mengangguk setuju. Keduanya berjalan menyusuri koridor depan. Yuna mengajak Icha masuk dari pintu yang berbeda. Dan tak perlu masuk koridor lagi, mereka telah sampai di tempat keberangkatan bis lokal ke arah timur.

“YOOO. BERANGKAT, BERANGKAT, BERANGKAT”

Seseorang berteriak dengan kencangnya. Terlihat sebuah mikrobus bergerak dari arah apron kedatangan, menuju apron keberangkatan. Terminal kota ini tak seberapa besar.

*KRATAK KRATAK KRATAK*

*DUEEEEERRR*

Sebuah petir menggelegar dengan pongahnya. Memberikan peringatan bahwa awan yang terkumpul di langit bukanlah awan biasa. Andai ini siang hari, pasti orang-orang akan mengerti, betapa pekatnya awan yang menggelayut di atas kepala mereka.

“Ikut, pak”

Icha berteriak memanggil sang sopir. Karena tampaknya sang sopir tidak hendak memarkir mobilnya dulu.

"Mbak. Icha pamit, ya?" Seru Icha.

"Ati-ati mbak Icha!" Sahut Yuna.

"Makasih atas semuanya. Semoga Alloh membalas dengan yang lebih baik lagi"

"Amiin"

"Mari mbak Yuna, assalamualaikum"

"Waalaikum salam"

Icha beranjak mendekat dan langsung melompat naik, saat salah seorang penumpang membukakan pintu untuknya. Icha memilih duduk di kursi paling belakang, di pojok kanan. Dia letakkan tas punggungnya yang terlihat berat itu di lantai.

Awal masalah

Icha beranjak mendekat dan langsung melompat naik, saat salah seorang penumpang membukakan pintu untuknya. Icha memilih duduk di kursi paling belakang, di pojok kanan. Dia letakkan tas punggungnya yang terlihat berat itu di lantai.

 Saat mikrobus itu mulai berjalan, Icha melambaikan tangan ke arah Yuna. Yuna menyambut lambaian tangannya. Di dalam hati dia merasa bersyukur sekali, disaat dia membutuhkan pertolongan, ada orang baik yang dengan senang hati menolongnya.

   “Wah. Bakal ujan deras, nih. Ati-ati, pir!” kata salah seorang penumpang.

   “Iya. Makanya ini saya berangkat lebih awal. Lagian udah sepi, mbok” jawab si sopir.

Dia memegangi keningnya, seolah menyesali sesuatu. Ya, dia lupa mengenai payung ataupun jas hujan. Kalau sudah begini, dia hanya bisa mengandalkan jaket parasutnya. Berharap jaketnya bisa melindunginya dari hujan, jika hujannya belum berhenti saat dia harus sudah turun.

    Joko tingkir ngombe dawet. Jo dipikir marai mumet! .....

Ponsel wanita itu berdering. Dengan sedikit tergelak, dia mengambil ponsel itu dari saku jaketnya.

“Halo assalamu’alaikum” sapanya.

“Wa’alaikum salam”

Suara kalem keibuan menjawab dari seberang telepon. Icha tersenyum mendengarnya.

“Sudah sampe terminal, nduk?” tanya orang yang menelepon.

“Sudah, bu. Ini Icha sudah naik angkutan ke timur” jawab Icha.

"Nggak ada kendala kan, selama perjalanan?"

"Selama perjalanan sih, nggak ada, bu. Cuman mimpi buruk aja" jawab Icha sedikit berbohong.

"Ya Alloh, mimpi apa, nduk?"

"Haduh, serem banget pokoknya bu. Icha sampai nggak habis pikir, kok bisa Icha mimpi kaya gitu"

"Nggak baca doa ya, pas mau tidur?"

"He he. Namanya juga ketiduran, bu"

"Ya pantes. Makanya jangan lupa berdoa! Biar setan nggak bisa ganggu kita"

"Ibu pernah mimpi sesuatu yang nggak masuk akal nggak, bu?"

"Kaya yang kasusnya Putri itu? Belum pernah, sih. Emang kenapa, nduk?"

"Ibu tahu, Lurau Mardianto? Sama Sumarti?" Icha balik bertanya.

"Allohu Akbar. Itu mbah buyutmu, nduk. Orang tuanya mbah Topo"

"Kalau Raden Manaf?"

"Ya Alloh. Icha mimpiin beliau?"

"Iya, bu. Ya itu, yang Icha bilang horor. Lurah Mardianto, Sumarti, Janto, sama nenek-nenek yang dibilang emaknya lurah itu"

"Allohu Akbar. Mereka semua leluhurmu, nduk"

"Kalau begitu, apa wanita itu termasuk bagian dari rencana itu, bu?"

"Bukan" terdengar jawaban cepat dari seberang telepon.

Icha terkesiap. Terlalu cepat jawaban dari seberang telepon doa dapatkan. Seolah-olah yang di seberang telepon sangat mengetahui tentang ceritanya. Dia juga bingung, karena seolah-olah yang di seberang telepon itu membela wanita yang dia tanyakan.

"Ibu tahu soal itu? Ibu pernah bertemu Raden Manaf?" Tanya Icha kemudian.

"Belum. Tapi mbah Ismo pernah cerita"

"Ya Alloh. Ibu yakin wanita itu bukan bagian dari rencana manusia abadi itu?"

"Abadi dari mana? Udah almarhum, dia. Dia tidak punya keturunan. Jadi, tidak akan ada lagi yang ngincer anak-cucu beliau bertiga"

"Ibu yakin?"

"Yakin"

Icha terdiam. Dia sedang menganalisa ucapan ibunya. Di dalam hatinya dia belum merasa lega. Baginya, tidak mungkin dia diberikan penglihatan semacam tadi kalau tidak ada tujuannya.

“Sudah, sudah! Jangan mikirin itu dulu! Tugas Icha sekarang adalah pulang secepatnya. Udah kangen, tahu. Mau ngerampok juga, oleh-olehnya"

"He he"

Icha tergelak mendengar ucapan yang nada bicaranya mirip seorang sahabat. Padahal itu ibunya.

"Udah makan, belum?”

   “Udah, bu. Tadi ada yang jual nasi ayam. Nggak nyangka, enak lho, bu” jawab Icha.

Dia memilih untuk tidak menceritakan pengalaman menyeramkan yang baru saja dia alami.

   “Alhamdulillah”

   “Ibu, gimana kondisinya? Sudah baikan?” potong Icha.

   “Udah. Orang ibu nggak papa, kok”

   “Iya, deh. Ibunya Icha emang wonder women. Tapi banyakin istirahat ya, bu! Icha sedih kalo ibu sakit”

   “Iya, nduk. Segitunya mikirin ibu. Kamu ati-ati, ya! Nanti kalo udah mau turun, kamu telepon, ya! biar nanti dijemput bapak”

   “Ngapain, bu? Lagian, emang dia ada di rumah?” tanya Icha dengan nada ketus.

Sejenak, tak ada jawaban dari seberang telepon. Hanya helaan nafas yang lirih terdengar.

   “Ada. Itu lagi ngobrol sama tamu”

Jawaban dari seberang telepon itu, membuat wajah Icha berubah merah padam.

   “Ada ada wanita laknat itu ya, bu?”

Ibunya Icha tidak segera menjawab. Hal itu membuat Icha salah tingkah. Dia merasa bersalah telah menanyakan hal itu.

   “Iya, ada” jawab ibunya, kemudian.

   “Maafin Icha, bu!”

   “Kenapa harus minta maaf?”

   “Ya, Icha barusan salah nanya. Eemm, “

   “Nggak salah kok, nduk. Ya udah. Ati-ati, ya!” potong ibunya.

   “Ya, bu”

   “Eh bu. Mbah Ijah ada, kan?” tanya Icha.

   “Loh. Kok malah mbah Ijah yang ditanyain?”

   “Ya kan gantinya uti, bu. Yang ngayomin kita”

   “Heem. Siapa nih yang lebih disayang? Ibu apa mbah Ijah?” tanya ibunya.

   “Ya dua-duanya, bu. Semuanya Icha sayang” jawab Icha dengan nada merengek. Takut ibunya marah.

   “Ha ha ha. Iya, iya. Ibu bercanda. Udah, ati-ati, ya!”

   “Iya, bu”

   “Assalamu’alaikum”

   “Wa’alaikum salam”

    Huuufffttt

Icha menghela nafas berat. Belum juga hilang rasa syoknya dengan kejadian mistis tadi, pikirannya malah memutar ingatan menyedihkan. Dia sandarkan kepalanya di sandaran kursi. Pening terasa kepala itu memikirkan kejadian demi kejadian yang terjadi setengah tahun belakangan.

    Ya Alloh. Kenapa harus seperti ini? Kenapa engkau pertemukan lagi Bapak dengan mantan kekasihnya dulu? Sedih Icha, lihat ibu dimadu. Belum juga ibu bisa ikhlas menerima kenyataan bahwa dirinya dimadu, sekarang Engkau buat Icha kehilangan pekerjaan. Icha sedih ya Alloh, denger ibu sakit gara-gara mikirin icha.

Enam bulan lalu

  Icha sering terlihat murung karena memikirkan keadaan di rumahnya. Beberapa kali bahkan dia sampai mendapatkan teguran dari rekan kerjanya karena ketahuan melamun. Padahal mereka sedang bergelantungan di atas sebuah tangki minyak yang bukan main tingginya. Untungnya rekan kerjanya itu adalah kekasihnya. Jadi hanya teguran lisan saja yang dia dapatkan.

Ketika pulang kerja, disaat mereka mampir makan malam, sang kekasih suka menanyakan tentang masalahnya. Namun Icha selalu bilang baik-baik saja. Walau sebenarnya kesal, sang kekasih masih bisa bersabar. Dia masih setia mengantarnya sampai ke kontrakan dan menyatakan kesediaannya untuk menjadi tempat berbagi cerita.

Sering dia mendapatkan telepon dari adiknya,.yang selalu curhat mengenai tingkah polah sang bapak. Sering juga dia kepusingan, karena tidak tahu harus berbuat apa.

Terlebih ketika mendengar kabar, ibunya sudah sakit saja bapaknya masih nekad meminta ijin untuk menikah lagi. Bapaknya selalu beralasan kalau masih ada janji yang masih belum dia tepati. Walau janji itu dipertanyakan oleh Icha, karena terhalang restu, tapi bapaknya masih menganggap itu sebagai janji yang harus ditepati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!