Bahagia, adalah jalan hidup yang akan di ambil seorang gadis bernama Lii Nuah, panggilannya Nuah. Hidupnya memang terkesan ngenes tapi dia merasa hidupnya tidak seburuk apa yang di lihat orang orang.
Sore itu tepat di hari sabtu, Nuah baru saja dari pemakaman orang tuanya. Ya, Nuah adalah seorang anak yatim piatu. Dia tak memiliki kerabat seorangpun namun karena sifat Nuah yang baik membuatnya di cintai banyak orang dan banyak orang pula yang bersedia melindunginya tanpa syarat.
"Eh, neng Nuah? Pulang nyekar?" Seorang wanita bertanya dengan senyum lembutnya.
"Iya Bu, baru pulang dari sawah ya?" Nuah balik bertanya saat melihat penampilan yang dirasa cocok untuk pertanyaan itu.
"Iya neng, malam ini pengajian mingguan jangan lupa ya neng!" Nuah mengangguk dan wanita itupun berlalu. Nuah kini berada di sebuah tempat yang indah dengan pemandangan sawah yang hijau dan siluet jingga nampak menerpa air di atas sawah.
Nuah menghembuskan nafasnya berulang ulang, entah mengapa sejak pagi hatinya merasa tidak tenang. Hal itu pula yang membuatnya nyekar ke pemakan orang tuanya, Nuah takut bila sesuatu yang buruk terjadi pada makam kedua orang tuanya, tapi ternyata tidak ada apapun yang terjadi di sana.
Nuah menatap sebuah saung sawah di pinggir jalan, sebuah sepeda motor terparkir di jalan. Nuah tau betul dengan pemilik kendaraan roda dua tersebut.
"A Dani ngapain di sini?" Nuah merasa penasaran. Nuah mengendap endap hendak mengejutkan punggung tegap yang kini sudah dia lihat.
"A Da..!" Nuah berhenti tiba tiba, matanya tiba tiba membulat melihat sosok di depan matanya. Dani, kekasihnya sejak SMA tengah bercumbu dengan seorang janda kembang di desa itu.
Kini keterkejutan agaknya bukan hanya Nuah yang merasakannya, Dani yang merasa kepergok juga terkejut bukan main. Nuah sakit hati? Ya, tentu saja. Tapi bila harus menangis Nuah tidak akan menangis demi orang yang tak berperasaan seperti itu.
"Nu...Nuah?" Nuah terkikik, Dani merasa aneh dengan kelakuan Nuah. Nuah berbalik dan kembali berjalan, seraya mengangkat tangannya dan melambai santai dia berkata.
"Lanjutin malam minggunya, jangan lupa kita udah putus ya!" Nuah dengan santai begitu saja pergi, hati Nuah memang sakit, sangat sakit.
Setelah sampai di rumah Nuah benar benar menyesal tidak melakukan sesuatu hal keren seperti pada drama yang sering dia tonton. Nuah mendengus kesal dan membuka pintu rumahnya dengan kasar.
"Ah sial! Padahal itu di pinggir sawah, kenapa gak kepikiran dari tadi si! Andai aku tadi inget buat nyungsepin dia ke sawah rada puas mungkin hati ini, Ck!" Nuah menggerutu tidak jelas seraya menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.
Nuah sendiri bukanlah seorang anak yatim piatu yang miskin, dia adalah seorang anak yatim piatu yang tajir melintir yang bahkan buat beli sesuatu saja gak usah mikir langsung boking.
Nuah merupakan anak yang pandai, namun sayang 3 tahun lalu orang tuanya mengalami kecelakaan mobil, mereka meninggal namun Nuah selamat dan asuransi orang tuanya yang besar, kebun, sawah, dan rumah megah 3 lantai milik orang tuanya menjadi miliknya semua.
Dulu Nuah sempat bermimpi untuk melanjutkan sekolahnya dan kuliah di Fakultas Kedokteran, tapi setelah dirinya mengenal Dani mimpi Nuah menjadi mati, dia hanya ingin hidup bahagia bersama Dani, itu mimpinya dulu. Dan sekarang penghianatan gila itu sudah membuat Nuah agak gila.
"Astagfirullah, Ya Allah yang maha melihat, engkau maha tau perasaan seseorang. Makasih Ya Allah engkau sudah menunjukkan sesuatu dan menyibakan hijib yang menghalangi mata ku tentang pembohong itu, makasih banget Ya Allah." Nuah tersenyum sebelum akhirnya suara adzan maghrib berkumandang.
Nuah berjalan kaki menuju mesjid yang letaknya tidak jauh dari rumahnya, seorang wanita paruh baya nampak menghampiri Nuah, dia seorang Ustadzah di kampungnya.
"Neng? Gak papa kan?" Nuah terkejut dan langsung berbalik menatap Ustadzah itu.
"Oh gak papa kok, cuma lagi mikir aja. Nuah mau lanjut kuliah Bu, cuma bingung siapa yang mau ngerawat rumah." Nuah menjawab canggung karena dia tidak terbiasa berbohong, jadi sejatinya berbohong pasti kikuk.
"Mau Kuliah ke mana neng?" Ustadzah itu memang sudah curiga dengan gerak gerik Nuah, dia sudah cukup baik mengenal Nuah, jadi sesedikit apapun hal yang di sembunyikan Nuah pasti wanita itu mengerti.
"Yang deket aja lah Bu, mau di Depok. Tapi bingung sama rumah." Bu Ustadzah itu tersenyum dan mengelus punggung Nuah.
"Ibu bantu rawat rumah, kalo kebun sama sawah kan emang sudah di paro tinggal di lanjutin aja. Gimana?" Ustadzah itu menawarkan diri, Nuah tersenyum lebar dan mengangguk setuju.
Setelah sholat maghrib ada pengajian mingguan dan setelah isya Nuah pulang di temani oleh para tetangganya yang mengobrol ringan, sekaligus pamitan pada mereka.
Di pos ronda, nampak Dani tengah menunggunya Nuah hanya memutar bola matanya malas. Para tetangganya sudah berdehem memberi kode pada Nuah, namun Nuah lempeng saja tidak beraksi.
"Kok di anggurin si neng?" Nuah tersenyum lembut.
"Dia bukan siapa siapa saya kok Mbak, udah gak usah ngurusin bebek gituan." Nuah berjalan cepat dan segera masuk ke rumahnya. Namun Nuah bisa merasakan dengan jelas bila ekor mata Dani masih mengikutinya.
Nuah buru buru mengunci pintu rumahnya dan bergegas masuk ke kediaman megah itu, seorang wanita menyapa Nuah sebelum dia masuk ke dalam.
"Malam ini Ibu tidur di rumah Nuah aja ya? Ibu sudah dapat izin dari suami." Nuah tersenyum dan kembali membuka gerbang membiarkan wanita itu masuk ke dalam rumahnya.
"Huuu, buru masuk Bu. Bahaya!" Nuah langsung menyeret Ustadzah itu masuk ke kediaman rumahnya dan langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa di ruang tamu.
"Bahaya?" Ustadzah merasa penasaran dengan kata yang tadi sempat terucap dari bibir Nuah.
"Si Dani ngeliatin kita mulu Bu, aku baru putus dari dia. Haaa... aku beneran merasa bahwa tuhan beneran baik sekarang." Nuah menutupkan lengannya ke atas matanya.
Beberapa tahun lalu dia sempat memaki pada tuhan karena dia harus hidup sendirian, dia juga selalu merasa tuhan tidak adil terhadapnya. Namun, setelah di pikir pikir ulang memang itulah jalan terbaik dari yang maha kuasa untuknya dan tak pantas baginya terus mengeluh pikirnya.
"Allah maha adil Neng, Semangat!" Ustadzah itu mengepalkan tangannya. Nuah terkikik geli melihat tingkah wanita itu dan mengangguk setuju.
"Iya Bu. Aku mening jadi Dokter aja, keren kan?" Ustadzah itu mengangguk dan merapikan mukenanya dan mukena Nuah.
Malam itu Nuah dan Ustadzah berkemas mempersiapkan barang barang yang di perlukan oleh Nuah, aset dan surat tanah memang sejak awal sudah berada di tempat yang aman yaitu di tangan lembaga kenegaraan dan itu sangat aman.
"Aku mau hidup biasa aja di sana Bu, tolong jaga rumah ya?" Itulah kata kata terakhir yang mereka bincangkan sebelum akhirnya masuk ke alam mimpi yang menyambut mereka dengan bahagia.
Ilustrasi Lii Nuah, cantik gak cantik gak?
Pagi itu juga Nuah berangkat dari kediamannya, pagi itu jam belum menunjukkan pukul 4 dini hari. Nuah sudah sampai di sebuah pasar pagi yang sudah ramai dengan para pemburu sayuran dan bahan bahan lainnya.
"Ibu nganternya sampai sini ya Nuah, baik baik di jalan." Bu Ustadzah memberikan wanti wanti pada gadis yang sudah dia anggap putrinya sendiri itu.
"Sip Bu, Assalamualaikum." Nuah mengecup punggung tangan Bu Ustadzah karena mobil pasar yang yang hendak membawa Ibu Ustadzah sudah sampai di depan mereka yang artinya Bu Ustadzah sudah harus pulang kembali.
Nuah melambaikan tangannya saat samar samar mobil yang di tumpangi Bu Ustadzah menghilang dari pandangannya, Nuah melangkahkan kakinya menuju sebuah terminal.
"NUAAAAAH!!" Sebuah suara yang amat di kenal Nuah hampir memecahkan gendang telinga Nuah, Nuah memutar bola matanya malas.
"Apa?" Dengan acuh tak acuh Nuah bertanya dengan nada sedikit memaksa agar suaranya tidak terdengar sebal.
"Kamu mau kemana?" Sosok pria itu bertanya dengan nada yang terdengar manis dan bersahabat.
"Bukan urusan kamu! Aku mau kemana aja emang mesti buat surat keterangan dulu dari kamu? Enggak kan Dani!" Nuah bener bener gedek sekarang, di tambah tempat itu sangat sepi sekarang.
"Nuah, maaf yang kemarin itu aku.." Dani hendak menjelaskan apa yang terjadi, namun Nuah berdecak kesal dengan apa yang hendak di lakukan Dani.
"Ck, udah deh sana lu minggat! Lu yang khianati gue! Lu juga yang sumpah sumpahan dulu, dan sekarang lo minta maaf? Huh.. maaf banget ya gue gak semurahan itu!" Nuah menekan beberapa kata hendak menegaskan argumentasinya yang kuat.
"Kenapa ini?" Seorang pria berperawakan tinggi dengan jas acak acakan dan helem yang masih melekat di kepalanya menyapa Nuah dan Dani.
"Oh, ini kak mahluk gak tau diri mau ngebegal." Nuah menjawab asal dengan rasa kesal yang menyegel ubun ubunnya saat itu.
"Oh berani ngebegal di sini ya?" Pria itu membuka helmnya hingga nampak sosok tampan dan berkarisma di sana.
"Eng...enggak kok, Nuah ayo balik ke desa." Dani menarik koper Nuah, namun dengan sigap Nuah menendang perut Dani dan saat Dani hendak mengaduh dengan kepala ke depan Nuah dengan cepat menjambak rambut Dani.
Nuah melemparkan rambut serta kepala Dani ke jalan yang saat itu sangat sepi, Dani mengaduh merasakan perut dan kepalanya yang berdenyut nyeri.
"Dasar gila!" Nuah mengangkat tangan kanan Dani dan memelintirkan ke belakang hingga sebuah bunyi nyaring keluar.
KREEEK....
"ARRRGHHHH!" Teriakan Dani memecah kesunyian membuat para jangkrik terkejut termasuk pria yang masih berdiri di sebelah motor gedenya.
"Kayanya patah tuh." Lirih pria yang sedari tadi hanya memperhatikan saja itu.
"Ups! Sorry kayanya tangan lo patah. Tapi sayang banget istirahat 4 bulan masih bisa sembuh nih, lain kali kalo lo berani ganggu gue lagi gue bakal buat lo gak bisa jalan selamanya. Ngerti!" Nuah melemparkan tangan Dani, bergegas menuju koper dan tasnya yang semula dia tinggalkan.
Rambut Nuah terkepang dua, hingga memudahkan gadis itu bergerak lues tanpa terhalang rambut panjangnya. Nuah sekilas melempar senyum ke arah pria yang masih memperhatikannya.
"Thanks banget kak, tapi kalo tangan kamu yang patahin tangannya masalahnya bisa ke pengadilan. Bye.." Nuah melangkahkan kakinya dengan ringan menuju trotoar jalan.
Tidak berapa lama kemudian suara adzan subuh terdengar bergema dan Nuah langsung bergegas menuju ke arah masjid terdekat, tanpa di sangka pria yang semula menyapanya kini juga berada di sana.
"Hai ketemu lagi." Pria itu menyapa lebih dulu, Nuah saat itu sudah selesai sholat subuh begitupun pria yang yang menyapanya.
"Iya, tapi gak bisa lama nih. Tuhh busnya udah datang. Byeee..." Nuah berteriak seraya langsung bergegas masuk ke dalam terminal dan masuk ke sebuah bus yang baru tiba dan memasukan earphone ke telinganya hingga hanya tersisa suara merdu Raisa saja di telinganya.
Nuah menghela nafas panjang dan enggan menutup kedua bola matanya,dia melihat lihat ponselnya. Nuah saat itu mencari tempat untuk dia tinggal, Nuah sedang mencari kostan murah di daerah Depok.
"Ketemu!" Ucap Nuah serentak saat menemukan sebuah kostan sederhana dengan jumlah penghuni yang cukup banyak dan tempat yang tidak begitu jauh dari daerah kampus.
Nuah tersenyum puas, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan ke pagi dan matahari sudah menampakkan sinarnya, begitupun Nuah yang sudah sampai di tempat tujuannya.
"Permisi." Nuah menyapa seorang wanita bertubuh sejajar dengannya dengan wajah penuh makeup dan baju ketat.
"Apaan lo? Anak baru ya?" Nuah mengangguk hingga seorang wanita melambaikan tangan ke arah Nuah.
"Lii Nuah ya?" Tanya gadis berperawakan mungil dengan wajah tertutupi hijab hitam nampak manis.
"Iya, aku sudah pesan kamar secara online dan sudah bayar juga ke rekening pemilik kostan, kakak ini?" Nuah sedikit bingung menatap wanita yang tingginya sepundaknya itu.
"Oh, aku Kia. Kebetulan kita bakal tetanggan nih." Kia dengan riang mengambil koper Nuah dan membawanya ke depan pintu sebuah ruangan.
"Nah ini kuncinya, dan aku tinggal di sana. Di samping sana tempat tinggalnya kak Wulan, sekarang dia masih tidur, dan di sebelah kamarku ada kamar kak Sofie dan disana kamar..." Kia terus memaparkan siapa saja yang tinggal di sana hingga ke lantai dua dan tiga.
Gadis yang semula di sapa oleh Nuah ternyata seorang Mahasiswi di Fakultas Ekonomi dan dia memang selalu begitu, selalu bergaya elit meski nyatanya sangat ngenes. Begitulah yang di paparkan oleh Kia.
Kia sendiri adalah seorang Mahasiswi jurusan kehutanan dan seorang gadis periang dan ceria serta penuh semangat. Itulah karakter yang bisa di ambil oleh Nuah saat itu dari sosok seorang Kia.
Nuah menghela nafasnya merasa lega juga memiliki tempat yang ramai, ya setidaknya dia tidak kesepian seperti di rumahnya dulu, rumah besar yang hanya di tinggalinya seorang diri.
Jam siang itu menunjukkan pukul satu siang. Nuah baru saja menunaikan sholat dzuhur dan rebahan di atas ranjang barunya dan kasurnya. Lelah, itulah nama yang tertera pada tubuh Nuah saat itu, mata Nuah terasa lengket hingga akhirnya pertemuannya dengan alam mimpi tak dapat terelakkan lagi.
Entah esok akan seperti apa, yang jelas langkah besar yang kini di ambil Nuah sudah cukup untuk membuatnya merasa perubahan dalam hidupnya akan sangat besar dan melebihi besar dari apapun yang pernah dia lakukan sebelumnya. Menyesal? Jelas Nuah belum tau jawaban dari pertanyaan itu. Namun untuk saat ini, Nuah sama sekali tidak menyesal dia merasa cukup nyaman.
Ilustrasi Wulan.
Malam itu adalah malam paling berbeda yang pernah Nuah jalani, Kia menggedor pintunya saat jam menunjukan pukul 8 malam.
"Nuah, ayo kita ngumpul." Kia dengan khasnya yang riang langsung menggusur tangan Nuah yang masih terpaku.
"Nah kenalin ini kak Sofie dan ini kak Wulan." Kia menunjuk pada seorang wanita berhijab besar dan tersipu menatap Nuah.
"Hai kak Sofie nama ku Nuah." Nuah mengulurkan tangannya yang mendapatkan sambutan hangat dari Sofie.
"Kak Wulan hai, aku Nuah." Nuah tersenyum mengulurkan tangannya pada Wulan, Wulan tersenyum dan menarik lengan Nuah untuk duduk di sampingnya.
"Oke Nuah, gak usah sungkan sungkan di sini." Nuah mengangguk.
"Gadis berambut hitam dengan wajah ayu di seberang sana, ayo duet sama abang?" Seorang pria dengan spaiker dan son yang cukup besar meraung raung.
"Tuh dedemit suka bener nyari masalah sama gue!" Wulan bangkit dari duduknya dan berkacak pinggang menunjuk ke arah seberang kostan, dimana sosok pria tengah senyam senyum ke arahnya.
"Eh Jenglot idup! Suara fals gitu aja mau duet sama aye? Gak level woi!" Nuah terkejut bukan main dengan suara cempreng bernada tinggi dari Wulan.
"Aduh nyai anu gelis kawanti wanti, penting gampil ngambek atuh liss bilih tereh kolot." Nuah yang mengerti dengan ucapan pria itu terkikik.
"Jangan pakek bahasa alien dong woi!" Lagi lagi suara cempreng itu mampu membuat Nuah terkejut.
"Hahahahah, iya iya.." Kia yang memperhatikan itu langsung mendekat ke arah Nuah merasa bila Nuah mengerti dengan ucapan pria itu.
"Apa artinya?" Tanya Kia dengan mata berbinar penuh dengan rasa ingin tahu.
"Katanya jangan marah marah nanti cepet tua." Jawab Nuah membuat telinga gajah yang dimiliki oleh Wulan beraksi dengan cepat.
"Eh Jenglot! Lo ngatain gue cepet tua ya? Sial lo!" Nuah terkekeh memperhatikan tetangga barunya itu.
"Kia, kenapa Wulan kaya yang sewot banget gitu?" Kia yang mendapatkan pertanyaan itu langsung bersikap gaya khas profesional dan dengan cepat memaparkan keterangan yang begitu panjang.
"Begini dulu deh, kita liat dulu sosok di depan sana yang di panggil Jenglot oleh Kak Wulan dia bernama Jaka, dia berasal dari Ciamis. Dia sebenernya baik banget dan naksir berat sama kak Wulan, tapi kak Wulannya belum bisa move on dan gak suka di ganggu cowok gak jelas kaya gitu. Sekilas info nih ya Nuah, Kak Wulan itu dulu di tinggalin pacarnya dan lagi hamil dua bulan. Aku juga gak tau yang sebenernya terjadi kaya apa, yang jelas orang orang di sini nganggap kak Wulan itu sebagai wanita murahan tapi buat aku pribadi dia itu gak kaya gitu. Bahkan menurut aku sendiri kak Wulan adalah sosok paling dewasa dan suka ngejagain kita dan paling peka di antara kita semua." Kia memaparkan keterangannya hingga suara tangis bocah terdengar dari dalam kostan Wulan.
"Mama... haaa..." Tangis bocah laki laki membuat Wulan buru buru masuk ke dalam kostannya dan melihat bocah kecil berusia setahun lebih tengah berjalan ke arahnya.
"Cup, cup sayang anak Mama yang ganteng. Bobo lagi yo?" Wulan lama didalam kamar sedangkan percakapan di luar kamar tidak begitu banyak, Kia yang memang sangat kepo itu terus nyerocos menginterogasi Nuah, sedangkan Sofie yang terkesan pemalu dan tidak banyak bicara hanya menjadi pendengar saja.
"Anak udah tidur, kalian lagi ngurusin apa?" Wulan duduk di samping Nuah dan menepuk paha Nuah.
"Nyari cowok jaman sekarang gak boleh cuma ganteng dan kaya aja, kita harus nyari sosok pria yang berprinsip yang utama." Wulan langsung masuk pada pembicaraan saat mendengar Nuah yang baru memutuskan pacarnya karena perselingkuhan kekasihnya yang terbongkar.
"Iya kak, harta bisa di cari bareng bareng dan bersama ganteng juga gampang sekarang tinggal masuk salon aja. Tapi kalo orang berperinsif dan setia itu tidak mudah zaman sekarang." Nuah dan Wulan merenung, ucapan Nuah barusan yang menerangkan dirinya sendiri juga tanpa sengaja menoreh kenangan dalam benak Wulan.
"Ya, aku juga ngerasa gitu makanya aku milih minta di jodohin aja sama bapak." Sofie kini ikut berbicara membuat perhatian Nuah, Kia dan Wulan mengarah pada mulut besi Sofie.
"Di jodohin?" Kia yang memilki rasa ingin tahu tinggi langsung merapat dan duduk mendekat ke arah Sofie, Wulan yang merasa penasaran juga duduk mendekat.
"Gimana ceritanya Fie?" Wulan penasaran dan memasang telinganya berusaha menyimak ucapan Sofie.
"Sebenernya ini udah lama banget si, sekarang aku lagi ngerjain sekripsi dan bentar lagi mau sidang. sebenernya setelah aku lulus aku mau langsung di pinang sama seseorang." Alis mata Kia dan Wulan berdenyut berusaha memahami apa yang mereka dengar.
"Siapa calonnya?" Wulan yang pernah mengalami kegagalan akan cinta kini merasa sangat perduli pada temannya itu, karena mau bagaimanapun rasa sakit yang dulu sempat dia miliki masih sangat terasa dan sulit untuk menemukan obatnya.
"Kata bapak dia seorang Habib dan insya allah dia orang yang baik." Mata Kia melotot seketika.
"Wahhh, nanti anaknya bisa jadi Habib dan Syarifah dong? Eh tapi ni ya kak, kata orang orang kalo nikah sama Habib itu mesti siap di poligami. Emang siap?" Wulan mengangguk setuju dengan apa yang di paparkan oleh Kia.
"Aku gak tau si, tapi aku merasa kalo dia adalah jodoh yang di berikan tuhan buat aku." Sofie senyum senyum di benaknya kini terlintas sosok pria yang sudah berjanji hendak mempersuntingnya dan sosok yang akan jadi imamnya kelak.
"Wah, ada bunga bunga cinta disini. Ada calon budak cinta." Wulan terkekeh melihat semburat merah yang terlihat di pipi manis Sofie.
"Gimana si rasanya punya pacar?" Kia kini malah penasaran, Nuah menatap Kia yang nampak sangat polos meski nampaknya teori yang dia miliki cukup matang tapi sepertinya bila urusan pengalaman dia masih anak jagung.
"Kamu gak usah tahu apa itu pacaran, sekolah aja dulu yang bener jadi orang dulu baru mikirin cowok itu juga kalo kamu sudah tajir, ngerti!" Wulan nyerocos seakan tengah memarahi adiknya sendiri yang ketahuan pacaran.
"Iya kak, cuma aku penasaran aja gimana rasanya." Kia cemberut lemas dan duduk menatap ke arah luar dan menatap langit yang kini penuh bintang.
"Tuhan sudah menyiapkan seseorang untuk Kia, seseorang yang baik pastinya karena Kia juga orang yang baik." Sofie dengan petuah bijaknya memberikan pengarahan pada gadis polos seperti Kia.
"Iya, jangan kecil hati kalian. Mendingan tahan sama perasaan seperti itu utamakan dulu untuk bahagia." Wulan juga menatap ke arah langit hingga matanya terasa panas seolah sosok yang dulu meninggalkannya tanpa permisi itu berlalu di ujung matanya.
Ilustrasi Kia
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!