Prolog
Hai perkenalkan namaku Aqila Bahira. Ini adalah kisahku.
Kisah seorang remaja yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Yang dikenal sebagai Dewi SMA, memiliki perilaku baik dan santun ditambah lagi diriku sering menjadi perwakilan sekolah dalam beberapa kegiatan. Baik senior maupun junior mengenalku dengan baik.
Hal ini karena diriku memiliki paras rupawan yang diidamkan banyak perempuan apa lagi laki-laki. Dengan bentuk tubuh bak gitar spanyol, kulit putih dan halus, warna mata hijau, hidung mancung, bibir seksi berwarna merah muda menambah getaran saat memandangnya dan wajah berpipi cuby yang menambah kesan imut pada dirinya. Tak salah dia dijuluki Dewi sekolah. Aku memiliki nama lengkap Aqila Bahira.
Aku merupakan remaja yang baru berusia 16 tahun. Namun, harus mengalami peristiwa paling memilukan dalam hidupku. Bagaimana tidak, sang kakak harus mendekam dalam penjara demi menjaga nama baik dan kesucian ku yang tanpa diketahui telah lama direnggut oleh orang yang sangat dipercayai oleh kedua orang tuaku. Tak lain dan tak bukan itu adalah bos kedua orang tuaku yang telah lama dianggap saudara seperjuangan.
Sekarang, hidupku sangat memilukan bahkan aku pun tak berdaya di hadapan kedua orang tuaku. Masihkah ada secercah harapan untukku dan masa depanku? Kakak yang sangat ku sayang pun tak mampu melindungi ku lagi sekarang. Di sekolah pun aku harus menghadapai teman-teman yang mengira aku berjalan dengan seorang lelaki paruh baya hanya demi harta saja.
Masalah pun semakin bertambah dengan kebencian sang Nyonya majikan dan anak perempuannya padaku karena telah merenggut kebahagiaan mereka. Hidup yang kujalani ini entah sampai kapan berakhir bahagia. Kebencian dan dendam mereka padaku membuatku muak dan merasakan luka yang membekas dalam hatiku.
Tak berhenti sampai disitu saja, sang anak majikan pun terus membuat masalah denganku agar aku dikeluarkan dari sekolah karena telah mencoreng nama baik sekolah yang bahkan aku pun tak melakukan kesalahan yang telah ku perbuat. Keadaan ini membuatku pusing dan malu bila sampai kedua orang tuaku mengetahui hal tersebut.
Ditambah dengan adik sang majikan yang terus membuatku tak nyaman karena sikapnya yang selalu perhatian terhadapku membuat sang istri majikan semakin terus menyiksaku hingga aku dikurung di gudang beberapa kali. Bahkan, anaknya pun ikut menambah hukuman padaku juga beban pikiran, sampai akhirnya Tuan Besar membebaskanku karena merasa kasihan dan aku pun senang karena Tuan Besar peduli walau ada rasa takut menjalar di sekujur tubuhku.
Ibuku pun segera membawaku ke kamar untuk menenangkan diriku. Lalu, ibuku memberi air putih dan menemani tidur di kamar belakang agar aku bisa tidur dengan nyenyak dan bisa bekerja esok hari. Namun, tetap saja setiap hari selalu ada saja hukuman untukku dari sang istri majikan padaku karena telah merebut kebahagiaannya.
Kedua orang tuaku yang setiap hari harus bekerja keras demi membantu biaya hidupku dan kakak, sekarang mereka harus bekerja sampai tak mengenal lelah demi membebaskan sang kakak yang mereka yakini tak bersalah saat terjadi masalah dengan sang majikan.
Hari demi hari dan berganti bulan pun kujalani dengan suka duka. Bahkan orang tuaku pun belum mengetahui masalah yang kuhadapi sampai sekarang. Karena aku tak ingin menambah beban mereka untukku. Biarlah, kisah dan hidupku ini kujalani sampai suatu saat nanti akan ada yang membawaku pergi jauh dari masalah yang sedang kuhadapi saat ini.
Inilah kisahku…
"Selamat ulang tahun, anakku Aqila. Semoga jadi anak yang sholehah, pintar dan rejeki lancar," ucap kedua orangtua Aqila bersamaan dan diikuti Azka.
"Mas Azka, mana kadonya?" tanya Aqila yang menyodorkan kedua tangannya meminta hadiah ulang tahun.
"Astaga Mas Azka lupa! Sebentar, Mas ambil dulu di kamar." kata Azka seraya pergi dari hadapan adiknya menuju kamar belakang.
Aqila yang melihat hal itu hanya terdiam dan melongo akan kepergian kakaknya itu. Sedangkan, Pak Baron dan Ibu Dalia tersenyum bahagia melihat kebersamaan keluarga kecilnya walau hidup menumpang di rumah seorang teman masa sekolah Ayah Aqila yang sudah dianggap seperti saudara sejak lulus sekolah.
Tak berapa lama, Azka kembali dari kamar membawa sebuah kado sederhana yang telah dibelinya dari hasil menabung dan bekerja selama di kediaman Tuan Dimas Sunjoyo.
"Ini hadiah untuk adik tercinta." Azka menyerahkan bingkisan kotak sedang yang terbungkus rapi pada Aqila seraya mengusap rambut hitamnya yang lebat.
"Wah! Terima kasih, kadonya. Aqila sayang Mas Azka."
Aqila mengambil bingkisan tersebut dan disusul oleh kedua orang tuanya yang juga memberikan kado spesial pada anak bungsunya itu.
Aqila langsung membuka kado itu satu persatu dan senyum mengembang di kedua sudut bibirnya begitu indah terpancar dari wajahnya yang cantik seperti bidadari.
Dari kejauhan, ada seorang lelaki yang memandang kecantikan Aqila dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya tak lepas memandang wajah cantik jelita gadis itu serta tubuh yang indah hingga membuat lelaki itu menelan ludah berkali-kali.
"Gadis ini kenapa aku baru menyadari kalau dia sudah besar dan semakin cantik juga seksi. Membuatku tak berdaya menatapnya setiap hari." ucapnya dalam hati.
Kebersamaan keluarga Aqila harus terhenti karena kedatangan sang majikan yang tiba-tiba kembali dari kantor untuk mengambil berkas yang ketinggalan.
"Ada apa ini? Kenapa berhenti? Kenapa tidak buat acara yang besar saja? Kenapa hanya kalian yang merayakan ulang tahunnya?" tanya Dimas Sunjoyo sang majikan sekaligus teman masa sekolahnya.
"Tidak apa-apa, Pak! Dia tidak ingin membuat heboh acara ulang tahunnya. Bapak tahu sendiri, Aqila seperti apa?" jawab Baron dengan sedikit malu.
Saat mengobrol dengan ayahnya, tatapan mendamba Pak Dimas pada Aqila membuat sang empunya menundukkan kepala karena merasa risih dipandang seperti itu.
Seketika Aqila mengingat kejadian 2 tahun silam, dimana dirumah Pak Dimas mengadakan pesta ulang tahun anaknya bernama Clarissa Sunjoyo anak kedua buah cinta mereka dengan Davina Sunjoyo.
Saat itu, kediaman Pak Dimas mengadakan pesta yang sangat meriah. Yang datang adalah kalangan dari teman-teman sekolah Clarissa. Kedua orang tua Clarissa sangat memanjakan anaknya itu. Berbeda dengan Aqila, yang hanya memandang kemeriahan ini dari jauh.
Aqila hanya bertugas membantu melayani para tamu dan membereskan segala hal bersama ibunya. Sebab, dirinya tidak merasa nyaman berkumpul dengan orang-orang yang berbeda kasta tersebut. Oleh karena itu, Aqila ingin segera menyelesaikan tugasnya dengan cepat.
Setelah selesai membereskan segala pesta di rumah majikannya, Aqila segera melarikan diri dari suasana pesta itu dan duduk dekat kolam belakang untuk menghirup udara segar, lalu setengah jam duduk disana dia akan kembali ke kamarnya agar bisa tidur dengan nyenyak.
Untuk hal lainnya, biarlah dilanjutkan pembantu yang lain. Namun, dirinya bersyukur menjalani hidup ini dengan sederhana bersama keluarganya. Sebab, kekayaan tidak menjamin kebahagiaan bila semua sibuk bekerja.
Pikiran Aqila terbang entah kemana, disaat Pak Baron memanggilnya berkali-kali.
"Aqila…Aqila. Kenapa diam saja."
"Eh…Iya, Pak. Maaf, Aqila melamun." Aqila berusaha tersenyum kepada semua orang untuk mengalihkan rasa gugupnya.
Azka yang sejak tadi diam, memegang tangan adiknya dengan erat dan merasakan bahwa ada yang tidak beres dengan pria tua di depannya ini dengan menenangkan Aqila yang terus menunduk malu.
"Baiklah, kalau begitu kalian lanjutkan saja acaranya, saya harus mengambil berkas di kamar karena ada rapat penting setelah ini," terang Pak Dimas seraya berlalu pergi meninggalkan mereka menuju kamarnya.
"Silahkan, Pak."
Aqila merasa lega, sebab majikannya itu pergi dari hadapannya. Dia hanya merasa khawatir sebab pandangan orang tua itu seperti ada yang janggal. Tetapi, baik Aqila, Azka dan kedua orangtuanya tidak mempermasalahkannya hal tersebut.
Sebab, kebaikan orang itu yang telah menolong keluarganya dari kemiskinan dengan bekerja di rumah keluarga Sunjoyo.
Keesokan harinya, Pak Dimas memberitahu pada istrinya bahwa adiknya Bayu akan pulang dari luar negeri dan membuat acara penyambutan atas kepulangannya nanti.
Sedang Davina hanya mengangguk setuju akan permintaan suaminya itu. Dirinya kembali ke kamar untuk menghubungi kekasih hatinya yang telah dinantinya.
"Baron, nanti kamu bantu urusan dapur bersama yang lain untuk meyambut kepulangan Pak Bayu," pinta Dimas pada Baron kepala pelayan di rumahnya itu.
"Baik, Pak Dimas."
Aqila keluar kamar bertepatan dengan Azka yang juga keluar kamar lengkap dengan seragam sekolah mereka. Setiap hari, keduanya berangkat sekolah bersama.
Sedang Dimas yang sejak tadi menyimak langsung terpikirkan sebuah rencana untuk menjebak Aqila dengan pikiran liciknya.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu mau mengambil tas kantor," pamit Pak Dimas pada yang lainnya.
"Iya, Pak. Silahkan."
Baron dan istrinya, Aqila juga Azka tidak ada yang mengetahui bahwa sebuah kebahagiaan yang mereka jaga akan membalikkan keadaan mereka semua begitu saja tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Ayo, Aqila. Kita berangkat, takut terlambat nanti." Azka segera menarik tangan adiknya agar berangkat saat itu juga.
"Ayah, kami berdua berangkat sekolah dulu," pamit keduanya mencium tangan Baron.
"Hati-hati dijalan ya?"
Mereka berdua pun berjalan keluar rumah untuk mencari taksi yang biasanya lewat depan rumah. Tetapi, dihentikan oleh Clarissa yang kebetulan baru saja keluar setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya.
"Tunggu!" seru Clarissa pada keduanya.
Aqila dan Azka seketika berhenti setelah mendengar suara Nona Muda mereka.
"Kalian mau berangkat sekolah?" tanya Clarisa yang terus tersenyum memandang pada Azka.
"Iya. Kami mau berangkat sekolah naik taksi," ucap Azka.
"Nona Clarissa pasti ingin berdua bersama Mas Azka. Aku tahu, kalau dia menyukai kakakku sejak lama. Kalau begitu, Aqila pergi naik taksi sendiri saja." batin Aqila berucap.
"Bagaimana, kalau Azka bareng aku saja?" ajak Clarissa yang selalu menempel dekat Azka. "Adikmu Aqila biar naik taksi. Ini ongkos untukmu ke sekolah Qil." Clarissa menyerahkan uang itu, tetapi sengaja dijatuhkan saat Aqila berusaha menerima uang tersebut.
Azka pun tidak enak hati menolak ajakan Clarissa walaupun dalam hatinya, dia ingin berangkat bersama adiknya itu.
"Bagaimana Azka? Mau kan?" tanya Clarissa sekali lagi.
"Iya, Non Clarissa," jawab Azka dengan sedikit tertunduk malu.
"Kenapa memanggil Non, sih! Panggil saja Clarissa disaat kita seperti ini," pinta Clarissa menatap Azka seraya tersenyum.
Clarissa, akhirnya tersenyum bahagia dan langsung memeluk Azka begitu saja. Sedang yang dipeluk jantungnya berdetak dengan kencang karena gugup saat berdekatan dengan gadis cantik dan kaya seperti Clarissa.
Di ruang tamu, Dimas berpamitan kepada istrinya dan melangkah keluar rumah menuju mobil yang telah terparkir depan rumah mendengar obrolan ketiga anak muda itu.
"Bagaimana kalau Aqila bareng dengan saya saja. Kebetulan, kantor Om searah dengan sekolah Aqila." Pak Dimas menawarkan diri memberi tumpangan pada Aqila dengan tersenyum manis.
"Tidak, Pak. Aqila naik taksi saja. Takut merepotkan Pak Dimas," tolak Aqila secara halus.
Azka nampak memberi kode pada adiknya dengan menggelengkan kepalanya agar jangan menerima tawaran Pak Dimas. Akan tetapi, Pak Baron meneriaki Aqila dan memaksanya agar ikut dengan Pak Dimas.
Pada akhirnya, Aqila mengalah dan tak ingin membantah apa yang diperintahkan ayahnya itu.
Tentu saja, Dimas tersenyum senang dan berterima kasih pada Baron yang saat itu membantu menyelesaikan rencananya yang akan terwujud nanti tanpa ada yang menyadarinya sama sekali.
"Baiklah. Kalau begitu, ayo kita berangkat." Pak Dimas berlalu menuju mobil beserta Aqila.
Sedangkan, Clarissa dan Azka juga berangkat menuju mobil, dimana sopir telah menunggu sejak tadi.
Dalam perjalanan, Aqila hanya diam saja karena merasa malu dan tidak tahu harus berkata apa pada majikan yang telah menolongnya itu.
"Aqila. Om mau membeli kopi dulu ya di cafe tersebut. Aqila mau minum apa?" tanya Dimas dengan lemah lembut.
"Tidak, Pak. Terima kasih. Tidak usah repot-repot," jawab Aqila sedikit gugup.
"Baiklah. Aqila tunggu di mobil saja."
Beberapa menit berlalu, Dimas kembali dengan bersenandung ria menuju mobil seraya menyerahkan Jus Jeruk pada Aqila.
"Ini. Jus Jeruknya."
"Terimakasih, Pak." Aqila pun langsung menerima Jus itu dan meminumnya.
"Sama-sama."
Dimas pun melanjutkan melajukan kendaraannya menuju tempat yang telah disiapkannya sejak kemarin.
"Pak Dimas. Kok, Aqila tiba-tiba merasa pusing ya?" tanya Aqila yang merasakan kepalanya berat dan pusing.
"Kalau pusing, tidur saja dulu Aqila. Nanti, Om bangunkan setelah sampai di tempat." kata Dimas tersenyum senang.
Benar saja, tak berapa lama, Aqila mulai tertidur dan Dimas pun langsung memutar arah dan melajukan kendaraannya dengan kencang.
Rencana Dimas telah berhasil. Kini, saatnya membawa ke Villa yang telah dirancang sebelumnya.
"Akhirnya, kamu menjadi milikku sekarang Aqila."
Sudah sejak lama Dimas mengagumi Aqila. Tetapi, selalu tidak ada kesempatan. Selama 3 tahun menanti dan kini rencananya berhasil untuk memiliki gadis tersebut.
Jarak rumah ke Villa menempuh dua jam perjalanan. Beruntungnya, Villa itu jarang ditempati dan hanya saat lelah saja Dimas datang ke tempat itu untuk beristirahat bila memiliki masalah dengan istri atau rekan kerjanya.
Dua jam telah berlalu, Dimas sampai di Villa dimana penjaga membuka gerbang saat majikan datang. Villa milik keluarga Dimas sangatlah luas, banyak pohon berjajar rapi di halaman rumahnya.
Dimas turun dari mobil dan membuka pintu untuk menggendong Aqila yang tertidur pulas.
Ting tong
"Tuan Dimas!"
Mbok Darmi terkejut saat melihat majikannya datang ke Villa secara tiba-tiba. Biasanya, majikannya akan menghubungi bila mau datang.
"Mbok, jangan bilang siapapun bila saya datang kesini dengan wanita ini. Paham!" ancam Dimas pada pembantu yang telah melayaninya selama puluhan tahun.
"Baik Tuan."
Dimas pun melangkah pergi menuju lantai dua dengan hati riang gembira. Saat membuka kamar, Dimas berjalan menuju kasur king size dan meletakkan Aqila dengan perlahan.
Dirinya memandang wajah cantik Aqila dengan tatapan buas. Berkali-kali Dimas meneguk salivanya karena sudah tidak tahan ingin menodai gadis itu.
Kemudian, Dimas melepas semua pakaiannya dan juga milik Aqila yang sedang terpengaruh dalam obat tidur. Kini, Dimas menikmati tubuh Aqila dengan bebas dan berkali-kali memberi tanda cinta di tubuh polos gadis itu.
"Aaah, nikmat sekali dirimu Aqila. Om sampai sulit memasukkan senjata ke dalamnya. Tetapi, Om akan jadi orang pertama yang akan menikmati tubuh indahmu itu." kata Dimas setelah mencium bibir ranum Aqila dengan lembut dan kembali melanjutkan kegiatannya itu.
Tiga jam lamanya, barulah Dimas mencapai ******* beberapa kali. Belum pernah dirinya mengalami kepuasan seperti ini selama hidupnya. Dimas pun terlelap dalam tidurnya karena kelelahan melakukan aktivitas yang menguras tenaganya.
Beberapa jam telah terlewati, Aqila terbangun dari tidur panjangnya. Dia mengerjapkan matanya berulang kali dan menatap langit-langit kamar dengan bingung.
"Ini dimana?" gumam Aqila melihat sekeliling dan terkejut sedang berada dirumah yang sangat familiar baginya.
Sedang Dimas, pria paruh baya itu masih tertidur dengan nyenyak. Dirinya sangat mengantuk dan lelah setelah melakukan hubungan layaknya suami istri.
"Om Dimas, kenapa tega melakukannya pada Aqila? Apa salah Aqila Om? Hiks…hiks…hiks. Apa yang harus Aqila katakan pada kedua orang tuaku dan juga Mas Azka." Aqila terus menangis meratapi nasib yang sedang dialaminya ini.
Setelah, Aqila berkelana dengan pikirannya yang kalut, Aqila turun dari kasur tersebut seraya membawa pakaiannya ke kamar mandi.
Di kamar mandi, Aqila terduduk lemas. Dirinya merasa malu setelah apa yang terjadi hari ini. Dibawah guyuran air shower, gadis itu kembali menangis dalam diam dengan nasib yang harus menanggung malu keluarganya.
Lalu, Aqila berjalan menuju bathup untuk melakukan aksi bunuh dirinya dengan menenggelamkan tubuhnya ke dalam bak mandi itu.
Di kamar, Dimas yang sudah bangun mencari keberadaan Aqila. Saat mendengar suara air dalam kamar mandi, dirinya yakin bahwa gadis itu sedang mandi.
Menunggu setengah jam, gadis itu belum keluar. Dimas langsung memakai celananya dan berjalan menuju kamar mandi untuk melihat gadis itu.
"Aqila…Aqila…! Buka pintunya. Kamu sedang apa Aqila!" teriak Dimas berkali-kali.
Tak mendapat respon dari dalam, Dimas langsung mendobrak pintu berulang kali. Setelah pintu terbuka, dirinya melihat kamar mandi kosong.
"Aqila!"
"Kosong. Tetapi, air shower terus menyala. Dimana gadis itu?" tanya Dimas pada dirinya sendiri.
Dimas melangkah menuju bathup yang nampak sekali airnya keluar dari tempatnya.
"Aqila!" teriak Dimas langsung terkejut saat melihat tubuh gadis itu terendam dalam bak mandi yang besar itu.
Dimas mengangkat tubuh Aqila yang basah dan menggendongnya kembali ke kasur untuk melihat apakah masih hidup atau tidak.
Dengan cepat Dimas menekan dada Aqila agar air dalam tubuhnya keluar. Dia melakukan nafas buatan tiga kali untuk membuat gadis itu bernafas kembali.
"Uhuk…uhuk…uhuk."
Aqila terbatuk-batuk setelah diselamatkan oleh Dimas. "Untuk apa Om menyelamatkan Aqila."
"Untuk apa? Kamu bodoh ya? Kamu pikir dengan bunuh diri akan menyelesaikan masalah, hah!" bentak Dimas pada gadis itu.
"Kamu mau, orang tua dan kakakmu khawatir denganmu yang tidak kembali ke rumah nantinya," sambung Dimas mengatakan hal itu pada Aqila.
"Hiks…hiks…hiks." Aqila hanya menangis mendengar apa yang dikatakan oleh lelaki yang telah sangat dipercayainya terutama orang tua dan juga kakaknya
"Baiklah. Sekarang pakai seragam sekolahmu. Ingat, jangan katakan pada siapapun soal apa yang terjadi hari ini," ucap Dimas.
"Akan kusebarkan video perbuatan kita pada semua orang bila kamu berusaha memberitahu mereka." ancam Dimas pada Aqila yang terkejut bahwa orang yang merenggutnya telah merencanakan ini sebelumnya tanpa dia menyadarinya sama sekali.
Aqila tidak tahu harus mengatakan apa pada orang tua dan kakaknya nanti. Dirinya masih berusaha mencerna dan mengingat kembali kejadian pagi tadi hingga sekarang. Kejadian ini membuatnya terkejut, sampai akhirnya Dimas mengajaknya pulang ke rumah.
"Pakai bajumu. Kita makan dulu sebelum pulang kerumah," ucap Dimas yang keluar kamar lebih dulu memberitahu Mbok Darmi untuk menyiapkan makanan.
Aqila keluar kamar, berjalan pelan menuju meja makan dan telah tersedia makanan yang menggugah selera. Aqila tidak ingin duduk disamping dengan orang yang telah merenggut kesuciannya
Aqila tidak nafsu makan sama sekali setelah apa yang dialaminya. Dirinya hanya menatap lelaki itu menikmati makanan dengan lahap dan seolah tidak ada perasaan bersalah sama sekali.
Sedangkan Dimas tahu bahwa tatapan Aqila padanya seperti ingin membunuh. Tetapi, Dimas hanya diam saja dan menikmati makanan tersebut hingga habis.
Selesai makan, Dimas dan Aqila berjalan keluar rumah dimana mobil terparkir sejak tadi pagi.
"Mbok Darmi, Saya pulang dulu. Titip rumah dan satu hal lagi. Jangan bilang kepada siapapun soal hari ini." titah Dimas memberitahu pada pembantunya itu.
"Baik, Tuan."
Dimas kemudian bergegas ke mobil dan diikuti Aqila dari belakang.
Mobil melaju meninggalkan Villa yang akan membuat Aqila tak bisa melupakan seumur hidupnya. Dalam perjalanan, dia hanya diam saja tanpa banyak bicara.
Sampai pada akhirnya perjalanan yang awalnya bergerak lambat, kini terasa cepat sampai di rumah.
"Turun, kita sudah sampai," ucap Dimas yang turun lebih dulu dan Aqila ikut turun dari mobil.
Di teras rumah, telah berdiri seorang lelaki yang telah menunggu kepulangan majikannya dengan wajah datar dan penuh pertanyaan.
"Selamat sore Tuan," ucap Baron Ayah Aqila menyapa lebih dulu
"Selamat sore juga, Baron," balas Dimas.
"Tuan. Bagaimana, Aqila pulang bersama Tuan Dimas?" tanya Baron menatap wajah anaknya seperti pucat.
"Oh, jadi hari ini Aqila tidak masuk sekolah karena tiba-tiba perutnya sakit saat dalam perjalanan tadi. Makanya, kubawa ke Villa ku untuk istirahat sebentar di sana." terang Dimas menjelaskan pada Baron.
"Benarkah itu Aqila?" tanya Baron merasa curiga dengan kepulangan mereka yang bersama dan berada di Villa.
"Iya, Ayah. Benar, tadi Pak Dimas yang mengantar Aqila ke Villa karena sakit perut." Aqila pun melangkah masuk ke dalam setelah menyampaikan hal tersebut.
Sedang, Pak Dimas menatap punggung Aqila hanya tersenyum smirk. Berbeda dengan Dimas, Baron masih merasa curiga akan sikap anaknya barusan.
Kemudian, Dimas masuk ke dalam dan disambut dengan tatapan tak biasa dari anak dan istrinya yang memandang Aqila saat berjalan masuk ke rumah.
"Kenapa Aqila bisa pulang bareng Papa? Bukannya tadi pagi dia naik taksi?" tanya Davina karena curiga suaminya berselingkuh.
"Astaga, Mama. Kenapa curiga sama Papa. Papa beneran hanya menolong Aqila saat tadi pulang sekolah menunggu taksi kelamaan."
"Apa benar itu, Pa. Tetapi, kenapa wajahnya pucat pasi begitu?" tanya Ervin yang heran melihat wajah Aqila seperti mayat hidup.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!