BSM Bab. 1
Tring
Bunyi pesan masuk itu menarik langkah Laura untuk mendekat. Ponselnya yang tergeletak di meja berdekatan dengan mixer itu menyala terang, menampilkan sebuah pesan masuk dari Theo sebagai pengirimnya.
Hanya sebuah pesan singkat, yang isinya bahkan terkesan datar. Namun mampu menerbitkan senyum di wajah Laura begitu ia membaca pesannya.
Menaruh kembali ponsel itu ke tempat semula, Laura lalu melepas apron yang dikenakannya. Kemudian bergegas mencuci tangannya. Memperbaiki riasannya sebentar di depan cermin, menyisir rambut panjangnya dengan jemari lentiknya, ia lantas mengambil ponsel dan tas kecilnya.
Bergegas ia mengayunkan langkahnya hendak keluar dari LaRisa Bakery, tempatnya mengisi hari-harinya selama ini, sekaligus tempatnya mengais rejeki.
“Baru saja aku mau menelepon kamu,” kata Laura ketika Rere datang. Gadis itu sedang menenteng kantong belanjaan yang berisi bahan-bahan kue.
Rere Reisa adalah sahabat Laura. Bersama Rere, berangkat dari hobi yang sama, mereka berdua akhirnya memutuskan bekerja sama membuka toko kue. Toko kue yang mereka beri nama LaRisa, yaitu gabungan antara nama Laura dan Reisa.
Hanya toko kue kecil-kecilan, namun soal kualitas dan rasa cukup bisa bersaing di pasaran. Sudah dua tahun ini mereka mengelola toko kue itu bersama-sama.
“Mau ke mana sih?” tanya Rere mengernyitkan dahinya.
Ditanya seperti itu, Laura malah mengulum senyuman.
“Aku tahu nih.” Rere ikut tersenyum melihat gelagat malu-malunya Laura sambil mengayunkan telunjuknya di udara. Ia sudah bisa menebak penyebab Laura terlihat senang seperti itu.
“Ya sudah. Hari ini biar aku yang jaga toko. Udah, sana, sambut dengan meriah pangeran kamu itu.” Mengibaskan tangan kanannya, Rere kemudian meninggalkan Laura. Melanjutkan pekerjaan Laura yang tidak diselesaikannya.
Sedangkan Laura, bergegas meninggalkan LaRisa Bakery. Dengan mengendarai sepeda motor matic kesayangannya, tujuan Laura adalah pusat perbelanjaan terdekat.
****
Laura Adriana, wanita 26 tahun dan berparas manis itu memarkirkan sepeda motornya di pelataran parkir sebuah pusat perbelanjaan. Ia berjalan penuh percaya diri memasuki sebuah gerai yang menjual pakaian khusus wanita.
Rencananya, malam nanti ia akan berdandan cantik untuk menyambut kepulangan Theo Bagaskara, suaminya. Theo adalah seorang reporter di salah satu stasiun televisi swasta di kotanya.
Beberapa hari lalu Theo berangkat ke luar kota untuk mewawancarai seorang pengusaha furniture ternama di kota tersebut, Antonio Gonzales.
Antonio Gonzales sangat susah untuk ditemui. Theo terpaksa harus menyusul Antonio ke luar kota, karena dari kabar yang terdengar, Antonio saat ini sedang berada di kota tersebut. Sudah beberapa bulan belakangan ini, Antonio menjadi incaran Theo untuk diwawancarai tentang bisnisnya yang sedang berkembang pesat saat ini.
Sudah hampir seminggu Theo berada di luar kota, membuat Laura merindukannya siang dan malam. Laura pun tak bisa menahan luapan bahagianya ketika ia mendapat kabar jika pria uang dirindukannya itu akan pulang malam ini.
Demi menyambut Theo, Laura ingin tampil cantik malam ini. Hal itulah yang kini membawa Laura kini berada di depan deretan lingerie-lingerie cantik di salah satu gerai khusus pakaian wanita.
Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian Laura tiba-tiba. Seorang perempuan familiar yang juga tengah memilih-milih lingerie di sebelahnya itu sudah tak asing lagi di matanya.
“Feli?” sapa Laura memberanikan diri. Walau sebetulnya ada sesuatu yang terasa ganjal baginya.
Perempuan muda dan cantik yang disapa Feli itu pun menoleh. Ia memperlihatkan ekspresi terkejut, seperti tak menyangka bertemu Laura di tempat itu.
“Laura?” Wajah Feli terlihat tegang. Tetapi kemudian ia bersikap biasa-biasa saja.
“Kamu sedang apa di tempat ini?” Sebetulnya tak perlu Laura tanyakan lagi. Akan tetapi bagi Laura hal itu terasa aneh saja. Pasalnya, Feli masih melajang sampai hari ini. Jadi, wajar saja jika ia merasa heran melihat Feli membeli lingerie.
Felina Andini, perempuan cantik berusia 25 tahun itu menyunggingkan senyum manisnya. Namun raut wajahnya tampak seolah dia sedang berpikir.
“Emm ... Aku sedang mencari hadiah anniversary pernikahan temanku,” kata Feli dengan ekspresi meyakinkan.
“Ooh ... Aku pikir ...” Laura tak melanjutkan ucapannya karena sungkan. Ia merasa tak enak enak hati jika menyinggung status Feli yang masih melajang di usianya saat ini. Ia hanya tak ingin membuat Feli tersinggung saja.
“Oh ya, kamu sendiri? Sedang apa di tempat ini? Oh maaf, aku lupa. Sudah pasti kamu mau membeli ...” Feli menunjuk deretan lingerie itu dengan wajah malu-malu.
Feli adalah rekan kerja Theo. Kata Theo, Feli juga merupakan adik tingkat Theo semasa kuliah. Laura sudah mengenal Feli, karena Feli baru beberapa bulan ini bekerja di tempat yang sama dengan Theo.
“Oh ya, ngomong-ngomong, kamu tidak ikut Theo ke luar kota?” tanya Laura mengalihkan topik tentang lingerie.
“Tidak. Kebetulan cuma Kak Theo yang mendapat tugas mewawancarai Tuan Antonio Gonzales. Aku sebagai pegawai baru masih harus banyak belajar.”
“Ooh ... Begitu ya.” Padahal usia Laura dan Feli hanya berselang satu tahun saja. Tapi terasa aneh di telinga Laura ketika mendengar Feli memanggil Theo dengan sebutan 'Kak'.
Dari pertemuannya tak sengaja dengan Feli, akhirnya Laura membeli sebuah lingerie berwarna merah seperti yang disarankan Feli. Yang kata Feli, warna merah terlihat lebih menggoda dan lebih seksi.
Hari sudah malam. Laura menunggu kepulangan Theo dengan hati riang gembira. Ia sudah menyiapkan makanan kesukaan Theo. Lengkap dengan lilin yang menyala terang di tengah-tengah meja makan.
Berdiri di depan cermin kamar, Laura mencoba lingerie berwarna merah itu. Ia berharap bisa merebut perhatian Theo dengan penampilannya malam ini. Ia akan berdandan cantik, memakai wangi-wangian, juga akan memberanikan diri merayu Theo lebih dulu.
Laura melakukan hal ini bukan tanpa alasan. Lima tahun pernikahannya dengan Theo, mereka belum diberi keturunan. Laura sudah jengah terus dituduh mandul oleh ibu mertuanya. Untuk itulah, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk merayu Theo, agar mereka lekas diberi momongan. Ia ingin membuktikan kepada mertuanya jika ia tidak mandul.
Theo sangat disibukkan dengan pekerjaannya belakangan ini. Sehingga mereka sangat jarang memiliki waktu untuk berdua. Dengan memanfaatkan kesempatan ini, Laura berharap akan membuahkan hasil. Sehingga ia bisa membungkam mulut pedas Lely, ibu mertuanya.
Namun, agaknya Laura harus kecewa malam ini. Baru saja wajahnya terlihat sumringah, membayangkan hal-hal indah dan romantis malam ini bersama Theo. Tetapi kini, wajah sumringah itu telah berganti dengan wajah suram, bermuram durja. Melalui pesan chat, Theo memberi kabar bahwa dia batal pulang malam ini. Karena sesuatu hal mendadak berkaitan dengan pekerjaannya.
Laura kecewa. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menerima saja alasan Theo. Kendati hatinya terasa perih. Karena lagi-lagi, ia tak memiliki kesempatan untuk bisa menghabiskan malam bersama Theo.
****
Di lain tempat. Berdiri di depan jendela kamar hotel, Theo meniupkan napasnya panjang usai mengirim sebuah pesan kepada Laura. Ia kemudian memijit kedua pelipisnya setelah melempar ponsel ke atas tempat tidur di sampingnya.
Theo hendak memutar tubuhnya saat sepasang lengan berkulit seputih susu tiba-tiba melingkari pinggangnya. Seorang gadis berambut panjang kecokelatan memeluk Theo erat dari belakang.
“Sayang, aku sangat merindukanmu,” ucap si gadis sembari mengeratkan pelukan.
Gadis mudah berparas cantik itu mengenakan lingerie berwarna lembut. Yang sangat kontras dengan kulitnya yang seputih susu. Warna yang disukai Theo.
Theo mengulum senyum, kemudian memutar tubuhnya begitu si gadis mulai melepas pelukan. Sudah beberapa jam lalu Theo kembali dari luar kota, tapi ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia memutuskan menginap semalam di hotel demi mengurai rindunya bersama gadis cantik yang tengah tersenyum di hadapannya saat ini. Gadis yang sudah beberapa bulan ini dekat dengannya.
“Aku juga sangat merindukanmu, sayang,” kata Theo sembari menyentil gemas hidung lancip si gadis.
“Oh ya, kamu cantik sekali malam ini,” sambungnya dengan sorot mata berbinar.
“Spesial untuk kamu malam ini.”
“Kamu selalu saja bisa menyenangkan aku. Berbeda dengan Laura.”
“Kamu mau berdiri saja atau ...” Gadis itu melirik ke arah tempat tidur dengan lirikan menggoda.
Baru saja Theo hendak menjawab, si gadis telah lebih dulu menarik Theo, mendorong tubuh Theo sampai terbaring di atas tempat tidur.
Lihai dan seperti sudah berpengalaman, si gadis lekas melakukan aksinya. Aksi yang tak terduga, yang membuat Theo sampai merem melek oleh kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan yang tak kuasa ditolak oleh Theo.
Sementara di lain tempat, masih di malam yang sama. Laura tengah dirundung pilu. Seminggu lamanya ia menanti momen ini. Momen yang ia harap akan membuat hubungannya dengan Theo kembali hangat seperti dulu. Namun nyatanya, hanya perih yang ia dapatkan.
★
Assalamu alaikum. Senang berjumpa kalian lagi di karya receh terbaru author abal² ini. Jika kalian suka silahkan tap ♥️, like, dan juga komennya ya☺️. Aku ucapkan terima kasih banyak buat kalian yang sudah mampir🙏🙏
So happy reading ya guys 😘
BSM Bab. 2
Beruntung stok kesabaran Laura belum menipis. Sehingga masih bisa memaafkan dan memaklumi kesibukan Theo, termasuk Theo batal pulang semalam. Hal seperti ini bukan baru sekali ini terjadi, tapi sudah berkali-kali. Sudah tak asing lagi bagi Laura, sehingga lagi dan lagi Laura harus bisa memakluminya.
Pagi-pagi sekali Laura sudah bangun. Ia merapikan meja makan yang ia biarkan masih tertata rapi sejak semalam. Makanan yang sudah susah payah ia masak spesial untuk Theo, ia simpan ke dalam lemari pendingin. Ia tak tahu kapan Theo pulang. Kalaupun Theo pulang, palingan Theo sudah makan dari luar. Karena kesibukan Theo, mereka jadi jarang makan bersama.
Theo lebih memilih sarapan di kantin kantor. Dengan alasan demi menghemat waktu. Bahkan tak jarang, Theo sering melewatkan makan malam bersama Laura. Selama alasan Theo adalah kesibukannya, Laura maklum-maklum saja.
Ting Tong
Bel pintu berbunyi kencang berulang kali. Si tamu seolah tak sabaran.
“Iya, sebentar.” Bergegas Laura mengayunkan langkahnya menuju ruang tamu, hendak membukakan pintu. Ia mengira yang datang adalah Theo. Hatinya yang semula dirundung pilu kini kembali riang gembira.
Namun, begitu pintu itu dibuka, yang tampak bukan wajah tampan Theo, melainkan seraut wajah masam seorang wanita paruh baya.
“Ibu?” sapa Laura.
“Kenapa lama sekali buka pintunya? Ngapain aja kamu di dalam?”
Bukannya balasan sapaan manis yang Laura terima, justru kalimat menohok yang membuat sesak dadanya. Bahkan ludah yang tertelan pun terasa seperti bongkahan batu. Yang berdiri di depan pintu itu adalah Lely, ibu mertuanya.
“Maaf, Bu. Aku sedang beres-beres. Soalnya semalam_”
“Sudah, sudah. Bawa ini ke dalam.” Lely menyela sembari menyodorkan rantang. Bahkan ia tak menyambut uluran tangan Laura yang ingin menyaliminya.
Sudah menjadi kebiasaan Lely, setiap kali datang berkunjung ia membawa makanan kesukaan Theo. Bisa dimaklumi, karena Theo adalah putra bungsu dan satu-satunya. Theo punya seorang kakak perempuan yang sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang anak.
Bukannya tidak senang mertuanya datang membawa makanan. Hanya saja, Laura merasa tak enak hati dan tertekan. Sebab setiap kali Lely datang, selalu saja yang menjadi topik pembahasannya adalah soal keturunan. Sesuatu yang masih belum bisa Laura penuhi sampai hari ini.
Menelan ludahnya kelat, Laura menerima rantang itu, membawanya ke dalam, dan menaruhnya di meja makan.
“Apa Theo memberitahu Ibu kapan dia pulang?” Laura memberanikan diri bertanya. Sebab Theo tak pernah lupa memberi kabar kepada Lely.
“Dia pulang pagi ini. Makanya Ibu datang kemari membawakan opor ayam kesukaan Theo. Theo sendiri yang minta Ibu buatkan. Katanya kangen masakan Ibu.” Dengan santainya Lely mendudukkan diri di sofa ruang tengah yang tak jauh dari ruang makan. Wanita paruh baya itu tak memedulikan seperti apa perasaan Laura saat ini, yang merasa telah dinomor duakan oleh Theo, suaminya.
“Kenapa Theo malah memberitahu Ibu? Seharusnya dia memberitahuku. Aku bahkan sudah memasak makanan kesukaannya.”
“Makanya jadi istri kamu itu harus lebih perhatian sama suami.”
Lagi-lagi Laura hanya bisa menelan ludahnya kelat. Kalimat itu membuat dadanya terasa sesak saja. Perkataan Lely tak seperti sewaktu ia dan Theo baru menikah lima tahun lalu. Bahkan perlakuan Lely teramat manis kepadanya dahulu. Tapi kini, sejak tiga tahun belakangan ini, baik perkataan maupun sikap Lely berubah drastis.
“Oh ya, gimana kabar kamu?” tanya Lely mengalihkan pandangan kepada Laura, memindai Laura dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Laura sudah tahu ke arah mana pertanyaan Lely. Ia mencoba bersikap biasa-biasa saja, seolah tak mengerti. Sikap yang diambilnya itu tak lebih hanya demi menjaga hati dan mentalnya saja.
“Kabarku baik-baik saja, Bu,” jawab Laura sembari menyendok nasi dari penanak nasi. Kemudian menaruhnya di meja makan. Karena kata Lely, Theo pulang pagi ini. Setidaknya ia sudah menyiapkan sarapan untuk Theo sebagai bentuk perhatiannya. Walaupun mungkin nanti Theo tidak akan memakannya.
“Iya, Ibu tahu kamu baik-baik saja. Yang mau Ibu tahu yaitu perkembangan hubungan kamu dan Theo. Setidaknya kabar yang ingin Ibu dengar adalah kabar yang akan membuat Ibu senang.”
Membuka satu persatu susunan rantang itu, Laura hanya bisa menghembuskan napasnya panjang. Jika ditanya, sebetulnya ia tersinggung dengan pertanyaan ibu mertuanya itu, tapi apalah daya dirinya. Membantah tak kuasa. Ia hanya bisa menguatkan hatinya untuk terus bersabar.
Bukannya Laura membiarkan saja keadaan rumah tangganya seperti ini. Ia sudah berusaha dengan segala daya upaya. Akan tetapi apa mau dikata, mungkin takdir belum berpihak kepadanya.
Seperti semalam, ia sudah menyiapkan segalanya demi Theo. Ia sudah membeli pakaian minim, ia bahkan sudah berdandan cantik hanya demi untuk menyenangkan Theo. Ia juga sudah mencari banyak referensi dari berbagai sumber tentang bagaimana caranya merayu suami. Tujuannya hanya satu, yaitu ingin mengajak Theo menggasak kasur berdua demi memiliki momongan.
Namun, untuk kesekian kali momen itu terlewatkan. Laura pun menyadari, beberapa bulan belakangan ini, selain mengecup kening dan memeluk, Theo sudah jarang lagi menyentuhnya.
Laura sebetulnya bertanya-tanya dengan perubahan pada diri Theo, tentang jarangnya mereka menghabiskan waktu berdua. Tetapi Laura tidak memiliki keberanian untuk mengutarakannya secara langsung. Ia takut Theo akan mengira jika ia menaruh curiga.
“Kalian sudah periksa ke dokter kan?” tanya Lely.
Laura menghela napasnya panjang, menghembuskannya perlahan demi meluruhkan sesak di dada. Ia hendak menjawab pertanyaan Lely saat tiba-tiba terdengar bel pintu berbunyi.
“Itu pasti Theo. Cepat buka pintunya,” titah Lely.
Laura pun membawa langkah tergesa-gesanya menuju pintu. Ia sudah tak sabar ingin bertemu Theo. Sejenak ia ingin melupakan kekecewaannya kepada Theo. Mungkin Theo mempunyai alasan mengapa dia batal pulang semalam. Sebagai istri yang baik, Laura tidak ingin berpikiran buruk kepada Theo.
“Sayang?” Dengan wajah menahan haru, Laura menyapa begitu pintu dibukanya.
Theo yang berdiri di depan pintu sambil tangan kanannya memegangi koper, mengulas senyumnya. Kemudian membuka lengan kirinya, meraih Laura ke dalam pelukannya.
“Maaf ya aku tidak mengabari kamu lagi kalau aku pulang pagi ini,” kata Theo setelah melabuhkan satu kecupan di ubun-ubun Laura.
Laura mengangguk. Kemudian melepaskan diri dari pelukan. Satu kecupan dan pelukan hangat Theo sudah cukup menenangkan hatinya.
“Oh ya, kamu sudah makan? Ada Ibu di dalam.”
Theo tak langsung menjawab. Matanya melirik ke dalam rumah. Dari raut wajahnya, pria itu tampak seperti sedang cemas.
“Ibu bawa opor ayam kesukaan kamu. Memangnya kamu yang minta?”
Theo hanya tersenyum. “Kamu sendiri sudah makan?”
Laura menggeleng. “Nungguin kamu.” Dengan manjanya ia berkata.
“Kalau gitu kita makan sama-sama yuk.”
Laura mengangguk mengiyakan. Dengan saling bergandengan mereka menuju ruang makan. Satu tangan Theo yang lainnya menggeret koper.
“Selamat pagi, Bu. Ibu sudah lama?” tanya Theo menghampiri Lely, mencium punggung tangannya.
“Lumayan. Oh ya, Ibu bawakan opor ayam kesukaan kamu. Ayo, cepetan dimakan.” Sembari menarik lengan Theo, mengajaknya ke meja makan. Genggaman tangan Theo pada pergelangan Laura pun otomatis terlepas. Ibu dan anak itu berjalan lebih dulu, menyusul Laura di belakangnya.
Padahal Laura adalah istri Theo, tapi Lely yang terlihat lebih antusias melayani Theo di meja makan begitu Theo mengambil duduk. Lely menyendokkan nasi ke piring makan Theo, menyusul lauk pauknya. Wajahnya terlihat sumringah.
“Ra, ambilkan minum untuk Theo,” titah Lely.
Laura baru saja mendudukkan dirinya. Ia hendak menyendok nasi saat Lely memerintahnya. Ia pun bergegas berdiri, hendak ke dapur.
“Oh ya, Ra. Tolong kamu buatkan Ibu teh hangat,” pinta Lely.
Laura mengiyakan. Tak baik menolak perintah mertua. Apalagi memang sudah kewajibannya untuk melayani suami.
Laura sudan selesai mengambil segelas air untuk Theo dan sudah membuat secangkir teh hangat untuk Lely. Ia hendak membawanya ke meja makan. Namun, ucapan Lely yang terdengar itu menghentikan langkahnya tiba-tiba.
“Kenapa tidak kamu ceraikan saja si Laura. Terus kamu cari saja perempuan lain yang lebih sehat, yang lebih subur maksud Ibu. Kamu itu tampan, mapan lagi. Ibu yakin, kamu masih bisa mendapatkan perempuan yang lebih dari Laura. Sudah lima tahun loh, Theo. Tapi Laura belum juga hamil. Ibu curiga, jangan-jangan Laura itu mandul.”
Memang Lely berkata dengan memelankan nada suaranya. Tapi kuping Laura belum tuli sehingga tak mampu menangkap gelombang frekuensi suara itu. Laura terkejut, sehingga baki ditangannya terlepas tanpa sadar. Menimbulkan suara gaduh yang mengagetkan Theo dan Lely.
“Laura?”
★
BSM Bab. 3
“Laura?” Theo terkejut melihat Laura sudah berdiri si seberang dengan baki dan pecahan gelas yang berserakan. Ia yakin jika Laura sudah mendengar perkataan ibunya.
Di detik yang bersamaan pula Lely ikut menoleh karena sama terkejutnya dengan Theo.
“Ya ampun, Laura. Kamu ini gimana sih? Ceroboh sekali kamu ini.” Namun bukannya menaruh cemas dengan keadaan Laura, Lely malah mengomel.
“Maaf, Bu. Entah kenapa kepalaku tiba-tiba pusing. Aku jadi tidak berhati-hati. Nanti aku buatin Ibu teh hangat lagi.” Cepat-cepat Laura berjongkok, memungut pecahan-pecahan gelas yang berserakan itu. Tangannya gemetaran. Kentara sekali jika keadaan Laura tidak baik-baik saja.
“Ya sudah. Cepat kamu bereskan itu. Terus kamu buatin Ibu teh hangat. Dan jangan tumpah lagi. Jadi istri kok ceroboh sekali. Gimana mau merhatiin suami kalo merhatiin diri sendiri saja masih tidak becus. Kalau kamu tahu kamu sakit, ya, minum obat dong.”
Laura menulikan pendengaran. Omongan Lely itu ia anggap seperti angin lalu saja. Angin lalu yang menyisakan perih. Aliran darahnya bahkan berdesir nyeri ketika kalimat pedas itu menerpa gendang telinganya.
Omongan seperti itu sudah sering kali ia dengar menyembur bebas dari mulut Lely. Sudah menjadi makanannya setiap kali Lely datang berkunjung. Jadi ia sudah cukup terbiasa dan menganggap omongan Lely seperti kentut. Cukup berbunyi dan meninggalkan bau yang tak sedap, dan akan hilang dibawa angin lalu. Hanya satu yang perlu ia lakukan, yaitu tidak menanggapinya walau sepedas apa pun omongan itu.
“Aw!” Akibat memungut pecahan gelas itu dengan tangan kosong, jemari Laura pun terluka. Darah segar menetes dari jari ujung jari telunjuknya.
Sebagai suami, Theo bergegas bangun dari tempat duduknya dan menghampiri Laura, berjongkok di depan Laura. Diraihnya jemari Laura yang berdarah. Raut wajahnya terlihat cemas.
“Sudah, biar aku saja yang bereskan ini. Kalau kamu sakit, sebaiknya kamu istirahat. Kamu tidak perlu mengerjakan apa pun. Ayo, ikut aku.” Theo bangun berdiri. Membantu Laura berdiri, kemudian mengajak Laura ke kamar. Meninggalkan beling yang berserakan serta wajah masam Lely yang menyaksikan pemandangan itu.
“Dasar mantu tidak becus,” umpat Lely, membuang muka sekaligus membuang napasnya kasar. Semenjak Laura belum bisa memberinya cucu penerus keluarga Bagaskara sampai hari ini, semenjak itu pula ia telah kehilangan simpatinya kepada Laura.
****
“Seharusnya kamu istirahat saja kalau memang kamu sakit. Tidak perlu melakukan apa pun, dan tidak perlu menyambutku,” kata Theo setelah mengobati luka di jari Laura. Mereka tengah duduk di tepian tempat tidur.
“Ibu benar, aku ini ceroboh. Istri yang tidak becus.” Lirih dan lesu Laura berkata demikian. Walau nyatanya sakit, namun ia pun tak memungkiri perkataan Lely. Bahwa dirinya tak becus. Selain tak becus, ada satu hal lagi yang membuat perasaannya pedih tersayat-sayat adalah kata 'mandul'. Lely memang tak pernah mengatakannya secara langsung. Tapi dari kalimat-kalimatnya, menyiratkan demikian.
Sejujurnya, terkadang pemikiran seperti itu sempat mampir di benak Laura. Perasaannya pun kadang hancur memikirkan mengapa sampai hari ini ia tak kunjung hamil. Hal itu seolah turut membenarkan ucapan Lely. Apakah memang benar dirinya mandul?
“Yang, apa kamu mencintaiku?” tanya Laura tiba-tiba. Membuat sorot mata Theo berubah seketika. Theo bahkan terlihat gugup ketika Laura menatapnya intens.
“Kamu ini bicara apa sih?” Theo salah tingkah ketika Laura menatapnya sendu. Sorot mata Laura tampak menghiba.
“Aku serius, Yang. Tolong jawab dengan jujur. Apa kamu masih mencintaiku?”
Theo menghela napasnya pelan.
“Kamu tadi sudah dengar apa yang dikatakan ibu kan?” Theo balik bertanya. Sebab ia yakin Laura sudah mendengar percakapannya dengan Lely. Dadanya pun terasa sesak, sebab ia tahu seperti apa perasaan Laura saat ini. Sudah pasti Laura tersinggung. Tapi Laura tak pernah menunjukkannya.
Laura tidak menjawab. Kepalanya menunduk lemah sembari ia menghela napasnya pelan.
“Yang, kamu tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku. Kalau memang kamu sudah tidak mencintaiku lagi, kamu boleh ninggalin aku. Kamu boleh cari perempuan lain yang--”
“Laura!” Dengan cepat Theo menyela ucapan Laura. Sedikit membentak dan menaikkan nada suaranya, membuat Laura terdiam seketika.
“Tolong jangan berkata seperti itu. Aku tidak mau mendengar kata-kata seperti itu keluar lagi dari mulut kamu,” ujarnya dengan wajah serius.
“Kamu tanya apa aku masih mencintai kamu? Apa kamu sudah mulai meragukan aku?” sambungnya bertanya.
“Aku tidak meragukan kamu, Yang. Tapi apa kata ibu itu mungkin saja benar, kalau aku mandul.”
“Laura, tolong jangan berkata seperti itu. Kamu tidak mandul. Hanya saja Tuhan belum memberi kita kepercayaan untuk menjadi orang tua. Jika sampai saat ini kamu belum hamil, itu bukan karena kamu mandul. Tapi waktunya mungkin belum tepat. Tuhan juga tahu kapan waktu terbaik.”
“Kamu sih enak, tinggal ngomong seperti itu. Sedangkan aku? Kamu tidak tahu seperti apa perasaan aku terus-terusan dikatai seperti itu. Memang ibu tidak pernah mengatakannya secara langsung. Tapi tetap saja, Yang, hatiku sakit.”
Theo diam sejenak. Dipandanginya wajah Laura lekat-lekat. Tak perlu Laura mengatakannya, ia juga tahu seperti apa perasaan Laura saat ini. Hanya saja, sama seperti Laura, ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah.
Namun, bukan berarti ia diam saja selama ini. Telah berbagai macam upaya mereka lakukan, termasuk memeriksakan diri ke dokter. Tetapi, sampai detik ini, tak jua membuahkan hasil.
Meraih Laura ke dalam rangkulannya, Theo mengelus lembut lengan Laura begitu Laura menyandarkan kepala di pundaknya.
“Yang, kamu boleh menikah lagi kalau memang benar aku mandul,” kata Laura memelankan nada suaranya. Jika ditanya, ia sungguh tak ingin melihat pria yang dicintainya bersanding dengan wanita lain. Tetapi apa mau dikata, keadaan masih tak berpihak kepadanya. Ia sungguh tak rela bila harus melepas Theo untuk wanita lain.
“Ra, aku mencintai kamu sepenuh hatiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Walau apa pun yang akan terjadi nanti, aku tidak ingin kita berpisah.”
“Kamu janji?”
Theo mengangguk mantap. “Kamu bisa pegang kata-kataku ini. Walau apa pun yang akan terjadi nanti, aku, Theo Bagaskara akan selalu setia kepada Laura Adriana,” ujarnya sambil mengangkat satu tangannya layaknya sedang bersumpah setia.
Laura pun tersenyum. Seperti itulah Theo, walau terkadang membuatnya kesal juga kecewa, namun paling bisa merebut kembali hatinya. Theo seolah tahu kapan waktu yang tepat untuk merayunya.
“Aku pegang janji kamu, Yang. Jangan sampai kamu ingkar. Karena, kalau sampai ingkar janji, aku tidak akan pernah memaafkan kamu,” kata Laura.
“Iya, iya. Kamu bisa pegang janjiku. Tapi sekarang, kamu istirahat saja. Aku temui ibu dulu.”
Laura mengangguk dengan senyuman. Yang mendapat balasan kecupan di dahinya.
****
Menjaga Laura sudah menjadi kewajiban Theo sebagai suami. Termasuk menjaga perasaan Laura. Seperti halnya yang terjadi beberapa saat lalu, ia harus menjauhkan sejenak Laura dari sang ibu. Sebab perbincangannya yang sempat terdengar oleh Laura itu sudah melenceng jauh. Bahkan sangat menyakiti perasaan Laura.
Meninggalkan Laura di kamarnya, Theo hendak menemui Lely di ruang makan. Namun dering ponselnya menghentikan sejenak langkahnya. Merogoh kantong, Theo mengambil ponsel dari dalam sana. Segera ia menjawab panggilan telepon dari seseorang.
“Halo sayang, i miss you so much. Padahal baru beberapa jam saja kamu pergi, tapi aku sudah sangat merindukan kamu. Kamu tuh ya, pake sihir apa sih sampe aku susah sekali melupakan kamu.”
Kalimat itu terdengar di ujung telepon. Suara manja seorang wanita terdengar merayu mendayu-mendayu. Membuat kedua sudut bibir Theo melengkung manis membentuk segaris senyuman.
“Kamu tuh ya, emang paling bisa merayu,” balas Theo dengan memelankan nada suaranya sembari matanya melirik-lirik waspada ke arah pintu kamarnya.
“Oh ya, tolong untuk sementara ini kamu jangan menghubungi aku dulu. Aku hanya tidak ingin membuat Laura curiga. Saat ini perasaan Laura sangat sensitif. Kamu paham kan apa yang aku maksud?” Sangat pelang Theo berkata, sembari menjauh menuju menuju teras samping. Agar pembicaraannya via telepon dengan seseorang itu tidak terdengar oleh sang ibu yang masih berada di ruang makan.
“I miss you too.” menutut teleponnya, Theo hendak kembali ke ruang makan untuk menemui Lely. Namun ia terkejut begitu memutar tubuhnya, seseorang telah berdiri di depannya, menatapnya penuh kecurigaan.
“Kamu teleponan dengan siapa?”
★
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!