"Kita menikah hanya untuk formalitas dan untuk menjaga nama baik keluarga ku. Aku sama sekali tidak mencintai bahkan sedikitpun tak ada rasa untukmu." Aku tidak perduli jikalau kata-kataku sampai melukainya.
*
*
*
"Sayangggggggg." Sebuah teriakan melengking disetiap sudut rumah membuat siapa saja yang mendengarkan akan cepat-cepat menutup telinga.
"Kenapa kamu berteriak hm." Aku menghampiri asal suara yang terus saja meneriakan kata-kata 'sayang'.
"Reyhan Abimana, kenapa pesan ku tidak dibalas dan telpon ku tidak diangkat? apa kamu sengaja." Cemberut wajah cantik tersebut tampak menunjukan kalau dia sedang marah.
Yah, perkenalkan aku adalah Reyhan Abimana aku adalah salah satu orang terkaya di kota Jakarta, aku memiliki banyak sekali pabrik kain dan beberapa mall di berbagai penjuru Jakarta dan wanita yang baru saja berteriak itu ialah Rebecca Amora, dia adalah kekasih ku yang amat sangat ku cintai sejak lima tahun lalu saat kami masih sama-sama menduduki bangku perkuliahan.
"Kamu tau kan? kalau aku tidak suka nama lengkap ku disebutkan." Aku mengingatkan kepada Rebecca tentang hal ini berkali-kali.
"Ya, ya, ya aku tau tapi rasanya sangat menyebalkan karena kamu tidak membalas maupun menerima telpon dariku." Bibir wanita berusia dua puluh dua tahun itu mengerut. Ah, rasanya aku ingin sekali mencumbu bibir manis nan molek itu.
"Maaf sayang, kamu tau kan aku sekarang sedang sibuk mengurus beberapa pabrik yang lumayan bermasalah." Terang ku mencoba membuat wanita pujaan hati ku ini mengerti.
"Ahh itu hanya alasan mu saja, bilang saja kalau kamu sibuk dengan istri jelek mu itu." Ketus Rebecca sembari menunjuk pada seorang wanita yang tengah sibuk menggeluti perdapuran.
Memang, dirumah sebesar ini aku tidak menyewa ART. Bukan tanpa alasan, karena Ariaang aku mempunyai seorang istri yang ku nikahi empat bulan lalu dengan terpaksa yang bisa mengurusi semua yang berkaitan dengan rumah tangga.
Oleh karena itu, ku rasa jasa ART tidak akan ada gunanya. Betulkan?
"Sayang, kamu tau kan disini dia hanya ku anggap sebagai." Aku menggantungkan kata-kataku agar Rebecca merasa penasaran.
Dan tepat sasaran, akhirnya Rebecca berhenti merajuk lalu mulai mendengarkan dirinya padaku.
"Sebagai apa." Nadanya sedikit berbisik namun masih dapat ku dengar dengan baik.
Aku pun mendekati telinganya. Ada bau harum vanilla yang kurasakan setiap saat berdekatan dengannya, berbeda sekali dengan Sekar yang berbau asap dan bumbu-bumbu layaknya menyatu dengan dapur.
"Hanya ku anggap sebagai pembantu." Setelah mendengarkan perkataan ku yang tentunya pada ujung kalimat sangat ku tekankan. Wajah sumringah dan berbinar Rebecca nampak sangat cantik memanjakan mata.
"Benar yah." Ucapnya setelah mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya.
"Tentu saja benar sayang. Lagi pula aku sudah membuat perjanjian dengan orang tuaku, jika dalam waktu satu tahun Sekar tidak kunjung hamil maka aku boleh menceraikanya dan membuangnya." Aku membelai lembut pucuk kepala Rebecca dengan pandangan tak ingin lepaa dari wajah cantiknya.
"Itu sangat brilian, kalau begitu yang harus kamu lakukan hanya jangan menyentuhnya. Karena dia tidak pantas mengandung anakmu." Tekan Rebecca yang terus melirik benci pada Sekar.
*
*
*
POV SEKAR.
Rasanya hatiku sakit sekali mendengarkan hinaan dan cacian dari mulut sampah kedua makhluk berkelamin berbeda tersebut. Andai saja ada uji coba untuk pergi ke pluto atau merkurius mungkin sudah ku daftarkan nama kedua alien berwujud manusia ini. Aku terus melamun dan memikirkan sesuatu yang tak akan pernah terjadi, sampai dering ponselku membuyarkan lamunan gila ku.
["Selamat pagi pak."] Sapa ku dengan nada lembut.
["Selamat pagi cah ayu, sedang apa sekarang."] Terdengar suara lirih seorang pria paruh baya dari seberang telpon.
["Baru selesai masak pak, ada apa tumben nelpon pagi-pagi."]
["Begini ndok, apa boleh bapak pinjam dulu uang kamu seratus ribu."] Tutur bapak dengan nada sedikit melemah.
["Seratus ribu? untuk apa pak?"] Tanya ku keheranan karena baru kali ini bapak ingin meminjam uang yang nilainya tak seberapa itu.
["Anu... begini ndok, beras sama lauk di dapur sudah habis. Adek-adek mu juga kekeh mau minta dibeliin baju sekolah yang baru. Jadi apa boleh bapak pinjem."] Jelasnya kemudian.
["Ya Allah pak kok pinjemnya sedikit banget? seratus ribu itu gak akan cukup buat beli beras sama lauk apalagi buat beli pakaian sekolah baru buat Mika sama Adam."] Aku tak habis pikir kenapa bapak sangat sungkan padaku.
Padahal dulu aku sering merepotkannya, dan karena aku juga bapak kecelakaan tertabrak oleh sebuah mobil yang tak lain milik pak Fajar-mertuaku.
Setelah kejadian itu untuk menebus rasa bersalah pak Fajar pada keluarga ku terutama bapak, akhirnya aku dipaksa menikahi alien berwujud manusia itu.
Memang ku akui Reyhan sangat tampan dan berkharisma namun sifatnya yang seperti opet itu membuat ku enggan untuk memujinya.
["Ya sudah pak nanti Sekar transfer."] Aku menghela nafas ketika selesai mengingat kejadian memilukan yang dialami oleh orang yang paling ku cintai itu.
Kalian pasti bertanya-bertanya dimana ibuku? yah, saat aku menduduki bangku sekolah menengah pertama atau yang sering di singkat SMP ibuku meninggal karena harus berjuang melahirkan adik bungsu ku-Adam Sedayu Pratama.
Sejak kepergian ibu, aku harus rela mengurangi waktu bermain ku untuk menjaga dan merawat Adam dikarenakan bapak harus bekerja di ladang tetangga untuk mendapatkan rupiah.
["Bapak ambilnya gimana ndok."] Suara bapak terdengar seperti orang kebingungan.
["Nanti bapak ke rumah om Arya saja terus bilang saya om Arya bapak mau ngambil uang."] Jelas ku pada bapak.
["Nanti jadi hutang loh ndok."] Suara bapak berganti panik.
["Enggak kok pak, nanti Sekar telpon om Arya buat ngambil uang yang Sekar transfer. Sekar trasfernya ke ATM om Arya."] Jelasku lagi agar bapak tidak merasa kalau nantinya uang yang akan bapak ambil menjadi hutang.
Sebenarnya aku ingin tertawa karena tingkah laku bapak yang bisa dikatakan kuper (kurang pergaulan) karena bapak tinggal dikampung bersama kedua adikku yang bisa dimatakan pendudukan disana masih melestarikan berbagai budaya tradisional seperti rumah dari kayu atau anyaman bambu bahkan lampu obor yang diletakan ditiang pada teras saat malam hari.
Aku jadi rindu kampung halamanku. Kampung yang sederhana dengan penduduk yang ramah serta baik. Tidak seperti di Jakarta, mentang-mentang orang berpunya lantas orang sederhana direndahkan begitu saja.
Dikampung ku hanya om Arya yang terbilang orang berpunya meskipun rumah om Arya menggunakan kayu namun kayu yang dijamin kualiatasnya dan tidak gampang rapuh. Om Arya juga mempunyai beberapa ladang sawae serta sebuah usaha peternakan sapi dan kambing.
Meskipun om Arya tergolong orang kaya di kampung tapi om Arya mempunyai hati yang baik dan berbudi pekerti luhur.
-
["Ya sudah ndok, terimakasih yah. Nanti bapak coba ke rumah pak Aryo."] Balas bapak ku dengan nada mulai tenang.
["Pak."] Aku menjeda kata-kataku, rasanya tidak ingin cepat-cepat memutuskan panggilan telpon ini. Tanpa kusadari air mataku meluncur dengan derasnya membuat mata dan pipiku basah.[" Sekar kangen pak." Lanjutku.]
["Owalah, nanti kalau bapak ada rezeki bapak pasti mampir kok kerumah kamu sama nak Reyhan ndok."] Suara bapak juga terdengar bergetar seperti orang sedang menahan isak tangis karena sangat merindukan putrinya yang sudah empat bulan tidak kunjung pulang hanya sekedar untuk menengok rupa tuanya.
......_Selamat Membaca_......
..._Tinggalkan jejak dengan memberikan komentar dan kristik _...
..._Jalan lupa ikuti akun mimin juga_...
Setelah berbincang sekitar dua puluh menitan akhirnya panggilan telpon pun harus ku akhiri karena pulsaku ternyata habis. Maklumlah bapak hanya menggunakan hp jadul yang bernama Nokia untuk akses komunikasinya.
Dan aku perlu banyak pulsa kala ingin menghubungi bapak dalam durasi panggilan yang lama.
Baru kusadari dua alien berwujud manusia yang sedari tadi mengumbar kemesraan tengah melangkah kearahku.
"Sudah siap makanannya." Satu pertanyaan terlontar dari mulut mas Reyhan kala dia bersama ulat bulu kesayangannya sampai dimeja makan.
Sepertinya aku punya julukan baru untuk wanita yang mas Rey sebut-sebut sebagai pujaan hatinya itu. Prett rasanya aku ingin buang angin di depan wajah mereka.
"Punya matakan? bisa liat sendiri." Jawab ku dengan nada cuek. Rasanya malas sekali meladeni kedua curut ini.
"Idihh, pembantu kok belagu banget sih sok cuek pula." Ketus Rebecca dengan nada tak suka.
"Terus gue harus bilang wow gitu." Balasku dengan membuat mimik wajah sekonyol mungkin agar ulat bulu ini emosi hingga ke ubun-ubun.
Aneh bukan mendengarkanku berbicara dengan kalimat gaul Gue-Lo. Ya, meskipun aku berasal dari kampung tapi aku tidak pernah ketinggalan trend yang ada di kota.
"Jaga nada bicaramu pada kekasihku." Reyhan maju memasang badan untuk melindungi Rebecca. Benar-benar pasangan yang sangat konyol.
"Harusnya mas Rey yang jaga nada bicara kepadaku, ohh atau mau ku adukan pada papa Fajar dan Bunda Melly kalau anaknya masih berhubungan dengan wanita yang hanya suka dan tergila-gila pada uang dan kekayaan?" Aku tak segan-segan mengatakan hal tersebut secara blak-blakan.
Setelah mendengarkan perkataan ku, mas Rey dan Rebecca seketika mati kutu atau kecoa? ahh sudahlah itu tidak penting.
Rasanya puas sekali melihat reaksi dan ekspersi dari alien dan ulat bulu yang gatal ini.
"Sudahlah tidak perlu berdebat lagi, sebaiknya kita makan saja." Putus mas Rey dengan helaan nafas panjangnya.
Semoga dia tidak kehabisan nafas lalu sekarat kemudian meninggalkan karena tingkah konyolnya yang dia buat sendiri.
*
*
*
POV REBECCA.
Rasanya ingin sekali ku robek mulut Sekar yang terlalu lancang untuk menyahuti perkataanku.
"Sayang mau makan apa biar aku ambilin." Aku berujar manis semanis madu saat bersiap menghidangkan makanan kedalam piring milik Reyhan.
"Aku mau nasi dan ikan gurame pedas saja. Jangan lupa sambel terasi nya." Reyhan mengabsenkan tiga makanan yang akan dia santap.
Dengan cekatan aku menyajikan apa yang Rey mau kedalam piring miliknya.
"Ini sayang makanlah. Suatu hari kamu akan makan masakanku." Aku melirik pada Sekar yang tengah mengikat rambutnya dengan sebuah gelang karet pengikat sayur.
"Kalau begitu jangan makan masakan gue dan apa yang lo bilang tadi? suatu hari? masakan lo? kalau begitu kenapa enggak lo masak sekarang saja? bahan-bahan ada di kulkas jadi silahkan masak makanan yang menurut lo akan terasa enak di lidah suami gue." Sekar menekan kalimat terakhirnya sembari mengambil semua makanan termasuk makanan yang tengah di santap oleh Rey.
Seperti seorang saudagar yang pelit, Sekar dengan cekatan membawa semua masakan yang sudah dia masak kedalam kamar dan mungkin saya menikmati makanan tersebut sendiri atau justru membuangnya kedalam toilet.
"S!alan Sekar cepat kembalikan makananya, aku sama Rebecca mau makan apa kalau kamu bawa semua makananya." Reyhan tampak berteriak dan tak tanggung-tanggung, teriakan Reyhan menggelegar diseluruh penjuru ruangan.
Setelah meneriaki Sekar, tiba-tiba saja wanita aneh itu keluar dari dalam lalu bersandar pada tembok sembari menyilakan tangannya didada.
"Bukannya kekasihmu bilang ingin memasak untukmu suatu hari nanti? ku rasa kata suatu hari itu terlalu lama, kenapa tidak sekarang saja tunjukan keahliannya." Sekar menyindirku dengan kata-kata menohoknya.
"Cihh liat saja gue bakalan masak makanan yang jauh lebih enak dari pada masakan sampah lo itu." Desis ku bak ular yang baru saya kenyang setelah melahap satu elor kerbau. Yakin muat?
Dengan cepat aku mengingat rambutku dan mulai menunjukan kebolehanku dalam urusan dapur. Aku membuka kulkas lalu mengambil beberapa potong ikan gurame berukuran besar dan beberapa sayuran.
Tapi ada sebuah rahasia yang perlu kalian tau, bahwa aku sedari kecil tidak pernah menyentuh peralatan dapur maupun memasak. Aku bahkan tidak bisa membedakan bumbu-bumbu.
"Akhh apa yang harus ku lakukan." Aku membatin dengan perasaan berkecamuk ketika melihat beberapa remah-remah yang tak ku tau apa namanya.
Tanpa pikir panjang aku membaluri ikan gurame dengan gula bukannya garam.
Kemudian saat aku memasukan beberapa bumbu pada sup ku, aku malah menambahkan bubuk kayu manis yang ku kira itu adalah bubuk kaldu ayam atau yang biasa umat Indonesia bilang (Rayco).
Setelah selesai memasak, aku menyajikan masakan mu di meja makan tanpa ku coba. Dengan wajah penuh percaya diri aku menatap remeh kearah Sekara yang sedari tadi memantau kinerja ku dengan wajahnya yang memerah mungkin menahan buang air besar.
"Ayo sayang silahkan dinikmati, rasanya pasti jauh lebih enak dari pada makanan yang dimasak oleh istri miskin mu itu." Sindirku tak kala aku menyajikan makanan pada Reyhan.
Tanpa pikir panjang setelah kusajikan, Reyhan menyantap masakan ku. Namu dengan raut wajah yang seketika tak ku mengerti tentunya.
"Rebecca kamu masak apa ini? kenapa rasanya aneh semua. Ikan ini kenapa napa rasanya menjadi manis? dan juga sup buatan mu kenapa rasanya lebih aneh dari pada kaus kaki yang tidak di cuci seminggu?" Protes Reyhan setelah mencicipi ikan goreng dan sayur sup buatanku.
Apakan Reyhan pernah mencicipi rasa kaus kaki yang tidak di cuci seminggu? ahh hanya dia yang tau jawabannya.
"A-apa sayang." Mata ku membulat sempurna mendengarkan protes Reyhan tentang masakanmu, padahal kata mami kalau memasak dengan penuh rasa cinta mau bagaimana pun kesalahan pada makananya akan tetap terasa enak dan lezat.
Aku segera mencicipi masakan ku dan benar saja rasanya sangat buruk dan membuat mual.
*
*
*
Aku terus mengawasi pergerakan Rebecca ketika dia memasak. Rasanya aku sangat ingin tertawa terbahak-bahak ketika melihat bumbu yang dia tambahkan kedalam masakannya adalah gula dan bubuk kayu manis.
Wajah ku memerah karena aku terus menahan tawaku, hingga saat Rebecca mual-mual karena masakannya sendiri tawa ku pecah bak kuntilanak yang sedang senang setelah mendapatkan paket bantuan sosial berupa daster baru.
"Bagaimana mas Rey? enakkan masakan kekasih tercintamu." Ledek ku dengan nada terpingkal-pingkal.
"S!-s!alan lo Sekar. Pasti ini semua ulah lo kan." Pekik Rebecca memekakan telinga.
"Ulah gue? perasaan gue diem aja dari tadi.
Gerak pun enggak." Aku mengangkat bahu ku sekilas untuk selebihnya menanggapi mulut nyinyir Rebecca.
"Kalian berdua sudah, tidak usah berdebat lagi. Rebecca kita makan diluar saja. Dan kamu Sekar, bereskan makanan ini terserah mau kamu apakan." Reyhan bangkit dari kursi tempatnya bertengger ups maksudnya duduk, dengan cepat Reyhan menarik tangan Rebecca untuk segera keluar dari rumah ini.
"Cih sok-sok'an belagu pake bilang bisa masak tau-taunya diluar ekspetasi." Gumam ku ketika sedang membersihkan meja makan dari makanan yang lebih cocok disajikan untuk alien dari pada dimakan manusia.
..._SELAMAT MEMBACA_...
..._LESTARIKAN MEMBERIKAN KOMENTAR DAN KRITIK, JANGAN JADI PEMBACA GELAP_...
*
*
*
Aku tengah fokus pada jalan yang ku tempuh sampai sebuah tangan melingkar dilengan kekarku.
"Sayang kita mau makan dimana?" Rebecca bergelayut manja di lenganku dengan nada dibuat selembut mungkin.
"Kita makan di resto dekat sini saja. Kalau terlalu jauh bisa-bisa ketemu sama papi mami." Aku menurunkan kecepatan mobil karena aku tidak bisa fokus menyetir ketika sedang diajak bicara.
"Emm boleh gak nanti aku pesan makanan yang ada toping emas-emasnya itu loh terus yanv harganya fantastis. Aku mau pamer ke grub sosialita kalau aku ini masih jadi kesayangannya tuan muda Reyhan Abimana." Lagi-lagi Rebecca merayuku dengan mencium dagu ku yang sudah mulai ditumbuhi jambang halus.
"Iya sayang boleh kok, beli saja apa yang kamu mau. Aku yang tanggung semua kebutuhan kamu." Aku berujar lembut agar wanita tercinta ku ini tetap lengket bak lem gajah bersamaku.
"Asyik, makasih sayang." Sekali lagi Rebecca mengecup sekilas bibirku tanpa permisi. Dan jujur saja akupun tak berniat untuk menghindar atau menolak.
Dua puluh menit kemudian, mobil ferrari yang ku kendarai sendiri telah sampai pada sebuah restoran dengan tema China. Tentunya harga makanan disini sangat mahal dan kualitas makananya dijamin mampu memanjakan lidah.
Tapi, aku masih terpikirkan pada makanan yang selalu Sekar masak. Jujur saja makanan mana pun tak akan bisa seenak masakan Sekar.
Cita rasanya yang mampu membuatku terbuai dan aromanya makanan yang dia masak selalu mampu membuat perut keroncongan.
Namun anehnya, rasa masakan yang sempurna tak sebanding dengan orang yang mengolahnya malah sangat berbeda jauh.
Sekar adalah seorang wanita yang pekerjaannya hanya sibuk bergumul dengan peralatan dan bumbu-bumbu dapur, Sekar tidak bisa merawat dirinya sendiri.
Tampangnya yang kucel, kumal, bau dan selalu berantakan selalu berhasil membuatku muak berada di dekatnya.
Lamunanku buyar ketika sebuah jari lentik menjentik didepan wajahku.
"Sayang kamu mikirin apa sih? aku dari tadi ngomong gak di gubrisin." Alamat celaka dua belas. Tampaknya Rebecca mulai menunjukan wajah merajunya.
"Eghh maaf sayang, tadi aku sedang melihat toko bunga di sebelah sana. Aku rasa akan ada bunga yang cocok untuk gadis cantik sepertimu." Aku berasalah agar tak kena amuk. Untung saja disebelag resto tersebut terdapat sebuah toko bunga dengan nama 'Sofia Flowers'.
"Ihh kamu romantis banget sih sayang, aaa jadi makin cinta deh sama kamu." Gol, satu kalimat gombalan maut keluar dengan lancar dari bibir sexy tersebut.
"Aku juga sayang kamu, nanti setelah makan kita beli bunga." Karena sudah memberikan alasan mau tak mau aku juga harus membelikannya bunga.
"Oke sayang, ayo turun." Dia mengangkat dagunya sekilas lalu menunjuk pada pintu mobil.
"Ah iya aku sampai lupa." Bergegas aku keluar kemudian membukakan pintu mobil untuknya.
Aku mengulurkan tangan sembari dan uluran tanganku disambut oleh uluran tangan milik Rebecca.
Halus dan sangat lembut. Itulah yang aku rasakan ketika tanganku bersentuhan dengan tangannya.
Tanpa basa basi aku pun melakukan resevasi meja bertema romantis kemudian mengajak Rebecca untuk segera duduk. Aku tidak mau kaki jenjang dan mulus miliknya sampai sakit atau kesemutan.
"Ayo duduk sayang, so kamu pesan saja apa yang kamu mau. Aku yang bayar semuanya." Aku berujar sembari mengeluarkan sebuah kartu elit berwarna hitam kebanggaanku.
Aku tidak pernah membawa uang cash karena menurutku itu sangat merepotkan.
*
*
*
["Hallo om Arya." ]Aku melakukan panggilan telpon dengan juragan dikampungku. Yah baru saja aku membahasnya bersama bapak tadi.
["Hallo nak Sekar kenapa kok? tumben nelpon?"] Suara bariton dari seberang telpon.
["Begini om, Sekar mau transfer uang buat bapak sama adek-adek Sekar. Kira-kira boleh gak Sekar kirim ke nomer rekening om Arya. Soalnya bapak kan gak punya kartu ATM atau rekening."] Aku memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya pada om Arya.
["Owalah, boleh ndok." ]Tuturnya kemudian setelah mendengarkan penjelasaku.
["Jadi nanti Sekar kirim dua juta yah om."] Aku merasa senang atas kebaikan om Arya.
["Ngeh ndok kirim saja. Nanti sewaktu ke ladang om mampir ke rumah bapakmu."] Terdengar suara berisik dari seberang telpon. Seperti suara sebuah pin brangkas sedang di otak atik.
["Loh enggak perlu om, tadi Sekar sudah bilang sama bapak buat pergi langsung ke rumah om Arya saja."] Jelas ku kemudian.
["Sudah tidak apa-apa ndok, lagi pula jarak dari rumah bapakmu kemari cukup jauh. Kasian bapakmu kalau harus berjalan kaki sejauh itu. Jadi lebih baik om langsung antar saja lagi pula kan sekalian saja om keladang."] Ya Tuhan terbuat dari pada hati om Arya ini, kenapa sangat baik dan pengertian bahkan pada keluarga sederhana seperti keluarga ku.
["Ngeh kalau begitu om, Sekar ucapkan terimakasih. Sekar minta maaf kalau ngerepotin."] Rasanya aku ingin menangis tapi ku tahan. Malu kalau sudah besar tapi menangis.
["Iya sama-sama ndok. Om mau makan dulu setelah itu baru om berangkat. Telponnya om sudahi dulu yah. Kamu di sana jaga kesehatan jangan lupa untuk mengabari bapak dan kedua adikmu."]Begitulah pesan yang om Arya katakan sesaat sebelum panggilan telpon di akhiri.
*
*
*
POV KAMPUNG
"Pak, mbak Sekar belum kirim uang?" Pertanyaan seperti itu sudah beberapa kali ku dengar dilontarkan oleh anak bungsuku.
"Belum, nanti bapak coba ke rumah den Aryo semoga sudah di kirimkan." Aku memberikan penjelasan pada putra ku.
Yah semenjak kecelakaan itu terjadi, aku hanya bisa mengandalkan Sekar untuk membiayai kehidupanku dan kedua adiknya.
Meskipun dengan kondisi ku yang kekurangan satu anggota tubuhku yaitu kaki kiriku, aku masih bisa bekerja sebagai pemetik sayur di kebun tetangga.
Namun hasil dari pekerjaan ku hanya cukup untuk membeli tiga kilo beras yang hanya cukup untuk dikonsumsi selama empat hari dan dua potong tahu yang diiris tipis-tipis agar lebih hemat.
Saat sedang merenungi nasib keluarga kecilku, tanpa sadar sebuah delman sudah terparkir di halaman rumahku. Aku segera tau siapa pemilik dari delman tersebut. Tentu saja dia adalah Raden Arya Wijaya salah satu juragan dikampung sini.
"Walah den kok malah kemari." Ucapku sembari mengambil sebuah sapu ijuk kemudian menyapu tikar yang terbuat dari anyaman bambu yang biasa ku gelar jikalau ada tamu.
"Selamat siang pagi menjelang siang pak Budiman. Iya ini tadi Sekar bilang mau kirim uang buat bapak sama adek-adeknya." Den Arya duduk ditikar yang baru saja ku gelar tanpa merasa risih jikalau celana mahalnya akan kotor terkena debu.
"Ngeh den, tadi Sekar sudah bilang. Padahal tadinya saya mau ke rumah den Arya." Aku ikut serta duduk sembari menyandarkan punggung tuaku pada dinding yang terbuat dari anyaman bambu juga.
"Tidak perlu sampai kerumah pak. Kasian kalau bapak jalan kerumah saya dengan kondisi seperti ini. Apa lagi jarak rumah kita lumayan jauh." Den Arya berujar sembari mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna yang sudah dikareti dengan karet gelang sayur.
"Seratus ribu saja den." Aku berujar kemudian karena melihat den Arya tengah fokus menghitung uang tersebut.
..._SELAMAT MEMBACA_...
..._LESTARIKAN MEMBERIKAN KOMENTAR, JANGAN JADI PEMBACA GELAP_...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!