NovelToon NovelToon

WANITA MILIK SANG PELUKIS

Bab 1

"Lepaskan, lepaskan Saya Tuan Muda Kedua!"ringis Indri, menahan rasa sakitnya pada area pergelangan tangan yang dicengkeram kuat oleh Mark.

Sementara si pria yang mendapat pekikan itu justru acuh dan terus menyeret Indri memasuki rumah yang sudah beberapa tahun ini ia tempati bersama Indri.

"Ah,"pekik Indri, kala tubuhnya dengan kasar dihempaskan oleh Mark di atas sofa.

Tatapan pria itu merah padam, banyak kemarahan di dalam sana. Indri yang sudah terdesak karena himpitan pria itu pun mencoba memberikan perlawanan.

"Sial! Kenapa dia bisa menahan serangan Aku,"batin Indri, menatap kaki yang hendak ia gunakan untuk menendang Mark, justru dengan mudahnya pria itu tekan dengan kakinya.

"Mau menendangku lagi? Mau memukul dada bidang ini? Saya sudah hafal dengan setiap tingkah bar-barmu itu, Indri Maharani,"ucap Mark penuh penekanan.

Indri semakin terpojok, netra gadis itu menelisik setiap sisi area sofa berharap ada yang bisa ia gunakan untuk melumpuhkan Mark. Namun seakan nasib tengah berpihak pada Mark, atau memang karena mereka yang baru saja pulang dari Indonesia. Sehingga keadaan rumah bergaya klasik itu kosong.

"Tuan Muda Kedua, Anda tidak bisa memperlakukan Saya seperti ini,"geram Indri.

Seringai bak iblis muncul pada sudut bibir Mark yang membuat Indri kesulitan menelan ludahnya sendiri.

"Tidak bisa? Kamu adalah istri Saya, jadi..."

Indri menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin bayangan itu terjadi. Meskipun dirinya sudah dinikahi Mark dua tahun yang lalu. Tapi, selama ini Indri berhasil menjaga keperawanannya.

Karena memang Mark yang menikahinya hanya sebagai aksi pembalasannya akibat ia yang tidak bisa mendapatkan Kanaya serta akibat ulah orang tua Indri. Sehingga selama pernikahan Mark hanya tahu bagaimana membuat Indri sengsara.

Malang sekali nasib gadis itu, dibawah kungkungan badan tegap Mark. Indri terus berusaha menolak sentuhan yang Mark lakukan.

Bibir sucinya telah hilang dan direbut paksa oleh Mark. Tidak, bukan maksud Indri ingin menolak Mark yang tak lain adalah suaminya. Hanya saja Indri tidak menginginkan keadaan ini.

Dia juga ingin diperlakukan dengan lembut, bukan kasar. Cukup kedua orang tuanya yang memperlakukan ia kasar dan menganggapnya sebagai mesin penghasil uang. Indri juga ingin diperlakukan lembut dan penuh cinta.

Lelehan air mata tak terasa keluar dari kedua sudut mata Indri. Itu adalah air mata yang selama ini ia tahan agar tidak keluar karena kemalangan yang ia alami selama ini.

"Ck, jangan cengeng,"maki Mark.

Decapan kesal keluar dari bibir Mark. Pria itu tampak tidak menyesali dengan apa yang sudah ia lakukan pada Indri. Rasa marahnya justru semakin menjadi saat melihat Indri menangis karena Mark yang menciumnya.

Pria itu melepaskan tautan bibirnya lalu beranjak dari atas tubuh Indri. Setelah itu Mark berlalu meninggalkan Indri menuju galeri pribadinya.

Indri menangis tersedu-sedu dengan tangan menutupi wajahnya. Dia juga wanita yang mempunyai rasa lelah. Sekuat tenaga ia menahan air matanya, pada akhirnya Indri menangis juga.

Sementara Mark yang berada di galeri kecil yang terletak di area rumah tersebut, hanya saja jika ingin ke galeri maka harus ke samping rumah bergaya eropa klasik itu.

Seperti biasa, disaat emosinya tengah meledak-ledak, maka Mark akan melampiaskannya pada kuas dan cat air miliknya.

Kali ini pria itu melukis Abstrak Ekspresionisme. Mark ingin mengekspresikan segala emosinya.

Cat-cat air Mark lempar dengan keras pada kanvas besar di depannya. Setiap ia melempar maka teriakan keluar dari bibir pria itu.

"Aahhhh..."

Benar-benar emosi yang sangat menggebu. Berbagai jenis kuas ia gunakan untuk memadukan cat-cat yang telah ia lempar sebelumnya.

Tidak hanya itu, Mark juga menggunakan tangannya langsung. Rambut pria itu sudah bercampur dengan cairan cat serta wajahnya juga telah terciprat cat.

Mark tengah bingung dengan dirinya, dia marah saat melihat Adam melamar Indri di depan matanya. Tapi, dia benar-benar menampik rasa suka pada wanita yang telah ia nikahi itu.

Mark hanya menganggap Indri sebagai alat dalam pemuas kekesalannya. Serta hasil keuntungannya setelah ia mengambil kesempatan dari kesempitan keluarga Indri.

"Hah, lepaskan Mark! Lepaskan!"teriaknya dengan mengakhiri hasil lukisannya dengan warna hitam pekat menggaris miring dari ujung lalu berkelok hingga ke bawah kanvas itu.

"Sialan, sebenarnya ada apa?"rutuk Mark.

Dia tahu bahwa dihatinya masih dimiliki oleh seorang wanita yang tak lain adalah kakak iparnya. Mark juga sudah mengikhlaskan akan nasib itu, namun Mark sadar dia juga tidak memiliki rasa pada Indri.

Lalu untuk apa dia menikahi Indri dan mengekang gadis itu disisinya dengan sebuah ikatan pernikahan? Dia memang pria yang gila, dan sulit dimengerti.

Disisi lain, ia belum memiliki perasaan pada Indri, namun perasaan marah acap kali datang setiap ia melihat ada pria yang ingin mendekati Indri, terutama sosok pria bernama Adam.

"****, kamu adalah mainanku Indri. Mainanku,"pekiknya frustasi. Lalu seperti biasa setelah ia lelah melukis, Mark akan luruh dengan bersandar pada dinding galeri pribadi itu.

Satu kakinya terangkat untuk menopang tangan yang masih memegang kuas itu. Sedangkan satu kaki yang lainnya ia tekuk.

Mark menenggelamkan kepalanya di atas lengannya. Dan lambat laun, rasa lelah karena jet lag serta ia yang telah mengeluarkan amarahnya pun akhirnya terpejam dengan posisi tadi.

Kota Paris tengah mengalami musim salju, di malam hari udara semakin dingin saja. Indri menghidupkan penghangat ruangan di rumah bergaya klasik itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam setempat. Indri bahkan sudah mengerjakan sholat Isyanya. Ya, meskipun dia tidak memakai hijab, setidaknya Indri masih tahu akan kewajiban sholat lima waktu.

Apa Indri tidak ingin menutup auratnya? Tentu dalam hati kecil gadis itu ada keinginan tersebut, tapi untuk saat ini Indri masih belum memiliki keberanian tersebut.

"Sudah jam segini, apa dia masih disana?"gumam Indri menatap galeri pribadi Mark dari jendela.

Galeri itu tampak gelap, tapi Indri yakin suami yang senang sekali menyiksanya itu masih ada disana.

"Baiklah Indri, kamu juga pelayan pribadinya kan...Sekarang lakukan tugas seorang pelayan pada Tuannya. Karena lakon istri sedang marah pada suami,"monolog gadis itu.

Cuaca diluar sana masih sangat dingin, Indri berlalu mengambil mantelnya lebih dulu lalu sebuah payung karena tengah hujan salju diluar.

Tidak jauh, hanya beberapa langkah saja letak galeri milik Mark, namun tetap saja salju yang turun tidak nyaman bagi seorang Indri.

Setelah tubuhnya merasa cukup hangat serta keyakinannya untuk menghadapi Mark sudah cukup kuat, barulah Indri melangkah menuju galeri pribadi tersebut.

"Ya Allah, hujan salju malam ini cukup deras,"gumamnya, usai ia sampai di depan galeri tersebut.

Indri mengetuk pintu itu beberapa kali, berharap sosok Mark mau membukakannya. Namun hingga ia berulang kali melakukannya serta memanggil nama Mark, Indri tidak kunjung mendapat balasan dari dalam sana.

"Tuan Muda Kedua, Saya masuk ya..."

***

Bab 2

Kaki Indri terus menepaki ruangan gelap itu. Tangannya menyusuri dinding mencari keberadaan saklar untuk menghidupkan lampu.

Ruang gelap itu akhirnya terang benderang karena Indri berhasil menghidupkan lampunya.

"Ya Allah, Tuan Muda Kedua,"pekik Anindya kaget.

Di ujung ruang, tepat di depan lukisan seorang wanita cantik yang merupakan Kanaya. Sosok Mark terkapar tak berdaya di atas lantai. Tubuh Mark mengigil dengan wajah yang masih dipenuhi cat air.

Dengan wajah paniknya, Indri berlari menghampiri pria itu lalu mengangkat kepala Mark dan meletakannya di atas paha Indri.

"Tuan Muda Kedua, sadar Tuan!"

Indri terus menyerukan nama pria itu dengan tangan yang juga menepuk kedua pipinya agar Mark sadar. Tubuh Mark terasa sangat dingin dan pria itu juga mengigil.

"Euuungh,"lenguh Mark dengan kelopak mata sedikit terbuka.

"Kita pindah ke rumah ya...Anda masih sanggup berdiri kan,"ujar Indri.

Indri mengubah posisi tubuhnya, lalu tangan gadis itu meraih tubuh Mark berniat membantu pria itu bangkit.

Tapi belum juga Indri membuat Mark bangkit, kini gadis itu justru harus oleng dan jatuh tepat di atas tubuh Mark.

Tidak hanya itu, Mark juga membalik posisi sehingga kini pria itu yang berada di atas tubuh Indri.

"Dingin, ini sangat dingin,"gumamnya seraya membenamkan kepalanya pada ceruk leher Indri.

Rasa geli yang menggelitik hati Indri membuat ia diam tak berkutik. Terpaan nafas panas Mark memompa jantung Indri untuk berdetak sangat cepat.

Ini adalah kali pertama keduanya dalam posisi yang sangat intim.

"T-Tuan Muda Kedua, kita pindah saja ke rumah ya. Disana lebih hangat,"ujar Indri mendorong bahu Mark.

Sayang sekali, tubuh tegap Mark terlalu berat untuk Indri singkirkan.

Selama beberapa saat Indri membiarkan dirinya berada di bawah tubuh Mark serta membiarkan tangan kekar Mark membelit pinggangnya.

"Cepatlah sadar, Tuan Muda Kedua! Kamu sangat berat,"gumam Indri.

Lama-kelamaan dadanya juga merasa sesak karena tubuh Mark. Hawa tubuhnya juga mulai terasa tidak nyaman karena Mark yang terus mengendus area leher Indri mencari kehangatan disana.

"Jangan sampai disini Aku yang melecehkannya,"batin Indri berteriak.

"I-ini?"

Tubuh Indri menegang saat tangan kasar menggeranyangi tubuhnya, menyingkap mantelnya lalu menyeruak masuk ke dalam.

"Tuan, hentikan tangan Anda!"seru Indri, merasa gelenyar aneh pada tubuhnya.

"Dingin, dingin...ini sangat hangat,"racau Mark, dengan tangan dan hidung yang mengendus area perut Indri.

Indri kelabakan. Tangan Mark semakin menjadi dan mulai menyusuri pahanya. Dia yang tidak ingin Mark berbuat lebih jauh pun memukul tengkuk Mark dengan lehernya.

"Maafkan Saya Tuan Muda Kedua,"ujar Indri, menarik nafas lega.

Tidak ada lagi tangan yang nakal dan hidung yang membaui tubuhnya. Karena si pelaku telah terkapar tak sadarkan diri di atas tubuh Indri.

Setelah menormalkan pernafasannya, Indri menyingkirkan tubuh Mark dari atas tubuhnya.

"Maafkan Saya untuk yang ini juga Tuan Muda Kedua,"ucap Indri, lalu menyeret tubuh Mark dan mendudukannya pada kursi yang ada disana.

Indri berkacak pinggang menatap sebal pria yang tak sadarkan diri itu. Dia tengah kesal akan kelakuan Mark seharian ini yang terus menerus menguji kesabarannya.

Mulai saat di Indonesia, di dalam pesawat, saat menginjakkan kaki di rumah mereka, bahkan sampai malam hari pun Mark masih membuatnya kesal.

"Jika saja tidak ingat nasib Ayra yang bakal ditinggal bapak, mana mau Saya menikah dan memiliki suami kejam dan menyebalkan seperti Anda,"ucap Indri dengan rasa amarahnya.

Kini yang terakhir harus Indri lakukan adalah memapah tubuh Mark dan membawanya menuju kamar pria itu. Ya, kamar Mark. Karena mereka tidur terpisah sesuai titah pria itu.

"Tubuh Anda ini berat, lihat Aku yang kecil ini harus memapah tubuh Anda yang segede gaban ini,"oceh Indri.

Kapan lagi Indri bisa memarahi Mark jika tidak saat pria itu tak sadarkan diri seperti saat ini.

Dengan susah payah Indri memapah tubuh Mark, akhirnya bisa sampai ke kamar ala maskulin itu. Sedikit kasar, Indri membaringkan tubuh Mark. Sepertinya Indri tengah membalaskan dendamnya pada Mark.

"Hidup Anda benar-benar suka sekali merepotkan Saya,"rutuknya, tetapi tangan Indri masih tetap melakukan tugasnya dengan mengganti pakaian Mark yang telah bercampur dengan cat itu.

Dan untuk rambutnya, Indri membiarkan itu. Dia pikir itu buat urusan Mark dipagi hari saat pria itu sadar.

"Selamat malam, Tuan Muda Kedua,"ucap Indri dengan kekehannya. Lalu gadis itu beranjak meninggalkan kamar Mark menuju kamarnya sendiri yang terletak di lantai pertama itu.

Keesokan harinya, seperti biasa Indri sudah bangun dan kini gadis itu tengah membersihkan halaman rumah dari sisa-sisa hujan salju semalam.

Dengan memakai sekop ditangannya, Indri menyingkirkan salju-salju yang menumpuk pada ruas jalan di depan rumah tersebut. Hari masih pukul tujuh, sehingga para tetangga masih belum ada yang keluar rumah. Mungkin karena hawa salju yang sangat dingin membuat mereka memilih menghabiskan waktu di dalam rumah.

Sedangkan Indri yang memang memiliki pola pikir ala pelayan, tentu saja tidak bisa berdiam diri.

Uap es keluar dari mulut gadis itu setiap kali ia menghembuskan nafasnya.Tangan-tangan kuatnya dengan gesit menyekop salju. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaan tersebut. Mengingat Indri belum membuat sarapan pagi.

Jika sampai Mark terbangun dan belum ada sarapan untuknya, bisa-bisa gadis itu akan kena omel dan hukuman dari Mark.

"Seharusnya hari ini terakhir musim salju, dan besok sudah berganti musim,"gumamnya.

Ruas jalan depan rumah itu telah bersih dari sisa-sisa salju. Indri yang merasa suhu tubuhnya turun dan rasa dingin mulai menembus mantelnya, memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah tersebut.

"Sssht, dingin sekali,"gumamnya, dengan telapak tangan saling bergesekan.

Indri melepaskan mantel dan sepatu yang melindungi tubuhnya dari hawa dingin. Lalu dengan tangan gemetar ia mendekati alat penghangat yang ada disana.

Selama beberapa menit Indri berdiam diri di depan alat penghangat itu agar hawa hangat lekas membalut tubuhnya.

"Dia masih belum bangun? Apa semalam Aku terlalu keras memukulnya ya? Ini sudah pukul delapan pagi,"gumam Anindya menatap pintu kamar Mark yang masih tertutup rapat itu.

"Aish, sudahlah. Lebih baik Kamu buat menu makan pagi sederhana saja. Jadi saat dia bangun, kamu bisa menyuapnya dengan hidangan lezat,"ucapnya.

Indri beranjak dari posisi duduknya, lalu melangkah menuju dapur.

Ia membuka lemari es disana, mencari bahan-bahan yang bisa ia gunakan untuk menu sarapan di pagi hari ini.

"Cuma ada spagetti, sepertinya siang ini Saya harus meminta uang belanja padanya (Mark)."

Sebelum memasak, Indri memakai apron terlebih dahulu. Lalu menyalakan kompor sebagai awal dari kegiatan memasak dipagi hari ini.

Saat gadis itu tengah asik dengan segala peralatan dapurnya, suara Mark yang memekakan telinga memanggil namanya.

"INDRI!"

***

Bab 3

"Apa telingamu tuli hah! Cepat bantu Saya!"sentak Mark.

Dengan mengelus dadanya, Indri berjalan mendekati Mark yang tengah duduk di atas kasue membelakanginya.

Pria itu tengah bertelanjang dada, dan hanya memakai celana yang semalam tidak Indri ganti. Ya, karena kan Indri hanya mengganti pakaian atasannya saja.

"Anda tidak mandi Tuan Muda Kedua?"tanya Indri saat melihat rambut Mark yang seperti sapu ijuk itu karena rekatan cat air disana.

Mark menoleh, lalu menatap tajam Indri. Lehernya tengah kesakitan. Entah apa yang terjadi padanya semalam, yang jelas saat ia bangun seluruh tubuhnya kesakitan terutama pada area tengkuknya.

"Apa kamu sudah berani mebantah Saya hah!"sentaknya, yang kali ini sukses membuat Indri menundukkan kepalanya.

"Tuan Muda Kedua, Anda ini kenapa suka sekali marah-marah sih. Setiap pagi, telinga Saya selalu saja berdenging karena teriakanmu,"batin Indri merutuki pria di depannya.

Mark yang melihat Indri masih bergeming di ambang pintu itupu semakin kesal. Tapi, tunggu sebentar. Hidung Mark juga mulai mengendus bu cat yang menyengat.

Kemudian pria itu bangkit dari kasurnya dan berdiri di depan cermin besar yang ada di kamarnya.

"Berapa banyak cat yang mengenai rambut Saya? Kenapa sampai seperti ini,"gumamnya menyentuh rambut yang sudah kaku, sekaku sapu ijuk itu.

Indri yamh melihat tingkah suami galaknya pun terkikik pelan. Sepertinya Mark belum menyadari akan penampilan menyeramkan dirinya. Dan lihatlah wajah mengenaskan Mark justru terlihat menyenangkan bagi Indri.

"Kamu menertawakan Saya,"sentak Mark lagi, menatap tajam Indri dari balik cermin besar tersebut.

Tidak ingin Mark terus memarahinya, Indri segera menyumpal mulutnya dengan tangannya. Sebisa mungkin ia menahan tawanya.

"Tidak Tuan Muda Kedua,"bantah Indri.

"Ck."

Mark berdecak kesal, sudah jelas tadi ia melihat Indri tengah menertawakan dirinya namun dengan percaya diri dan keberaniannya Indri mengatakan tidak melakukan hal itu.

"Sudahlah, Saya mau mandi. Kamu tunggu disini dan ingat tetap berdiri disana jangan kemana-mana,"titahnya tegas pada Indri.

Mark berjalan menuju kamar mandi, dan saat pintu itu tertutup Indri langsung luruh dan bersandar pada tembok.

"Saya bilang jangan duduk,"ucap Mark yang memunculkan kepalanya saja, Indri yang ketahuan segera berdiri lagi.

"Iya Tuan Muda Kedua,"balasnya yang terlihat patuh itu.

Mark masih menatap Indri selama beberapa saat, baru setelah itu ia benar-benar masuk ke dalam kamar mandi dan mulai membersihkan tubuh terutama rambutnya.

Suara gemercik air dari dalam kamar mandi membuat Indri bisa bernafas lega.

Masa peduli dengan titah Mark, toh saat ini Mark tengah mandi bukan. Indri kembali meluruhkan tubuhnya dan bersandar pada tembok kamar lagi.

"Sebentar saja Tuan, sebentar kok. Anda mandinya yang santai saja jangan buru-buru,"ucap Indri menatap pintu kamar mandi.

Indri terus duduk bersandar sampai suara germercik air berhenti barulah gadis itu berdiri diposisi semula.

Tatapn Mark saat keluar kamar mandi langsung tertuju pada posisi Indri. Senyum kecil muncul pada sudut bibirnya saat ia melihat Indri yang masih diposisi yang sama.

Pria itu mengusap rambutnya dengan handuk lalu kembali berdiri di depan cermin hendak menggunakan pengering rambut.

"Hey kamu!"panggil Mark.

"Saya?"tanya balik Indri, membalas tatapan Mark pada cermin itu.

"Dasar tidak peka. Siapa lagi disini selain kamu, sudah kesini cepat!"

Batin Indri kembali mendumel akan kelakuan pria berstatus sebagai suaminya itu. Meskipun hatinya kesal, tetapi Indri tetap mendekati Mark sampai berada di belakang pria itu.

"Ini,"ucap Mark menyerahkan pengering rambut pada Indri.

Kening Indri mengernyit dan tanpa ada niatan untuk mengambil alih pengering rambut tersebut.

"Memanglah b*doh, ini ambil lalu keringkan rambut Saya!"titahnya yang hanya disambut bulatan bibir Indri.

Indri mengambil alih pengering rambut itu lalu mulai menyalakannya dan mengarahkannya pada rambut Mark.

Tubuh Mark yang jangkung berbanding terbalik dengan tubuh kecil Indri yang hanya sebatas dagu pria itu. Membuat Indri kesulitan menjalankan tugasnya.

"Tuan Muda Kedua, tundukkan kepala Anda. Saya sulit mengeringkan rambut Anda,"pinta Indri.

"Kamu menyuruh Saya?"sinis Mark.

Ludah Indri terasa kering saat mendengar kalimat sinis Mark. Tapi dia benar-benar kesulitan melakukan hal itu. Sedangkan si suami galak dan suka memerintah itu justru enggan menurutinya meski hanya sekedar menundukkan kepalanya.

Indri yang banyak akal dan tidak ingin kehabisan cara pun mengedarkan pandangannya. Senyuman kecil terpatri pada bibir kecil Indri saat melihat kursi kecil yang ada di dekat jendela.

Entah untuk apa kursi itu yang terpenting saat ini bisa membantu Indri.

Mark terus memandang Indri yang meninggalkan dirinya dan meraih kursi kecil miliknya. Mark sengaja tidak menghardik gadis itu dan membiarkan Indri bertingkah.

Indri yang sudah membawa kursi kecil itu di dekat Mark, lalu menaikinya dan berdiri disana. Sehingga kini posisi tubuhnya jauh lebih tinggi dari Mark.

"Nah, ini baru nyaman,"gumam Indri lalu kembali melanjutkan tugasnya mengeringkan rambut Mark.

Mark masih bergeming, dia tidak banyak komentar dan menunggu Mba Yuni menyelesaikan tugasnya.

"Sudah Tuan Muda Kedua,"ucap Indri lalu turun dari kursi tersebut.

Gadis itu tersenyum lebar seakan dia telah berhasil menyelesaikan tugas terberatnya. Tapi bukankah itu memang benar adanya. Hal berat bagi Indri adalah melayani setiap kemauan Mark.

Indri kembali mengangkat kursi itu untuk ia kembalikan pada posisi semula.

"Kamu tahu berapa harga kursi itu?"ucap Mark.

Langkah Indri terhenti, lalu menatap Mark menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.

"Itu adalah bukan kursi sembarangan. Kursi itu adalah karya dari seorang pengrajin terkenal di dunia. Terbuat dari kayu yang usianya diperkirakan sudah seratus tahun serta pada setiap kakinya juga diukir oleh pengrajin itu dengan nilai seni tinggi,"jelas Mark.

Tubuh Indri menegang. Dia tidak paham akan seni, tapi jika Mark sudah menjelaskan secara detail sepeti tadi maka kemungkinan kursi itu sangat mahal.

"B-berapa harganya Tuan Muda Kedua?"gagap Indri.

Dalam hati Mark tertawa keras saat melihat bagaimana wajah ketakutan yang Indri tunjukan padanya.

"Dua ratus juta untuk kursi yang kamu pegang,"ucap Mark, hampir membuat Indri hilang kesadarannya.

"D-dua ratus juta,"lirih Indri.

Indri memeluk kursi kayu itu karena takut lecet. Kepalanya terasa mendadak migran karena penjelasan yang Mark berikan.

"Hem, dan sepertinya Kamu harus mengganti rugi karena sudah berdiri di atasnya. Jadi totalnya lima ratus juta."

Tubuh Indri melemas, tangannya terasa dingin, buliran keringat mendadak membasahi keningnya. Wajah gadis itu juga pucat pasi saat suami galak dan perhitungannya mengatakan nominal ganti ruginya.

"L-lima ratus juta...Ya Allah..."

Indri luruh tak sadarkan diri dengan tangan masih memeluk erat kursi kayu itu. Sementara Mark justru terbengong akan reaksi yang Indri berikan.

"Dia beneran pingsan?"

***

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!