Hari ini aku sibuk membereskan rumah usai acara tahlilan 40 hari meninggalnya kakak iparku.
Dok.. Dok.. Dok..
“Assalamualaikum.”
Terdengar seseorang datang bertamu. Aku menyambut mereka.
“Waalaikumsalam. Mari masuk Bu,Pak.” Kataku mempersilakan.
Netraku tertuju pada gadis yang duduk menunduk sejak tiba di sini. Tak ada seutas senyum di bibirnya.
Tak berselang lama, keluarga kami telah berkumpul termasuk Hafizh, suamiku. Aku mengambil posisi duduk di sebelah Ashana. Wanita yang murung sejak kepergian calon suaminya, kakak iparku.
Aku mengusap punggungnya, memberikan sedikit ketabahan untuknya.
“Kedatangan kami kesini selain memberikan penghormatan terakhir kepada Ridwan. Kami bermaksud menanyakan pertanggung jawaban atas janin yang dikandung Ashana.”
Tak ingin basa-basi Om Amar langsung menuju pada inti pembicaraan. Semua terdiam. Ada perasaan tidak enak di benakku.
“Kami pasti akan memberikan nafkah untuk anak itu. Tapi, Ridwan sudah tidak bersama kami.” Sahut bapak mertuaku.
Om Amar menundukkan kepalanya, kemudian menggeleng. Jelas bukan itu yang diharapkan Om Amar untuk putrinya.
“Mungkin mudah saja memberikan nafkah bagi keluarga kalian kepada calon cucu kami. Tapi kami juga bisa menafkahi putri kami dan cucu kami sendiri.”
Mertuaku memberikan tatapan bingung. “Lalu maksudnya, apa yang harus kami lakukan?”
“Apa?! Anda bertanya apa?” Ada rasa tidak senang terdengar dari nada bicara Om Amar.
“Apa anda tidak memikirkan bagaimana putri kami menahan malu dengan semua ini? Cucu kami tidak memiliki ayah, putri kami bahkan tidak bersuami. Bagaimana orang-orang akan mencibir kami?” Lanjutnya.
Benar, keluarga Om Amar memang terkenal berwibawa dan disegani. Mereka tidak mungkin membiarkan putri semata wayangnya dicap sebagai wanita murahan karena semua kecelakaan ini.
“Saya paham. Tapi kami tidak bisa berbuat apapun saat ini. Kami juga berduka.” Tegas bapak mertuaku.
“Pak sudah pak. Kita pulang saja.” Ashana meraih tangan sang Ayah. Mencoba meredam perdebatan ini untuk tidak berlanjut.
“Kalian tidak tahu, tidak memikirkan bagaimana Ashana hampir kehilangan harapan hidup.” Ibunya menambahkan sembari mengusap tangan dan pipi Ashana. Aku melirik, terdapat beberapa lebam di sana. Tentu saja ini akibat luapan kekesalan Om Amar pada Ashana.
“Kami minta anak kami tetap dinikahi.” Tegas Om Amar membuat seisi rumah terdiam untuk beberapa detik.
“Menikah?!” Kali ini Ibu mertuaku angkat bicara.
“Bapak sudah pak, ayo pulang. Maafkan kami om tante. Kami pamit.” Ashana bangkit dari tempat duduk, menarik tangan Om Amar. Namun usahanya gagal, tangan Asahana justru ditepis oleh Ayahnya.
“Kamu ini malah tidak bisa membela diri kamu ya!” Om Amar naik pitam, tangannya mulai di ayunkan ke wajah Ashana sebelum akhirnya ku gagalkan.
“Om sudah om.” Aku menahan tangannya. Mencoba meredam keributan ini.
“Ashana tahu, Asha salah pak. Asha tidak punya pilihan selain menjalani karma Asha.” Ucap Ashana dengan suara bergetar mencoba menahan tangis.
“Hentikan omong kosongmu! Kami tidak akan membiarkanmu melahirkan anak ini tanpa Ayah! Bapak malu!”
Kini Om Amar menatap tajam kepada kami. Sejenak dia berpikir, membuat kami terdiam menunggu dengan perasaan berselimut penasaran bercampur gelisah.
“Kami tidak ada pilihan lain selain memohon putra ke-duamu menggantikan posisi mendiang Ridwan.”
Aku tersentak. Sebuah kalimat yang tidak ingin kudengar benar-benar terucap.
Ibu mertuaku bangkit dari tempat duduk.
“Mana mungkin itu terjadi!” Katanya tak terima. Sementara Bapak mertuaku mengusap punggungnya memintanya untuk duduk dengan tenang.
“Bagaimanapun juga, ini adalah perbuatan anak kalian juga. Bagaimana bisa kalian membiarkan putriku menanggungnya seorang diri? Mendapatkan cacian tetangga, buah hati yang akan kesepian tanpa Ayah? Kami harap kalian akan memikirkan ini baik-baik.” Terang Om Amar.
Aku melirik ke arah Hafizh yang kini tampak gelisah dan tidak senang. Begitu juga dengan yang aku rasakan.
“Fiz.” Ayah mertua memanggil suamiku. Aku mengalihkan pandanganku.
“Maaf pak, Hafizh tidak mungkin melakukan ini. Hafizh sudah ada Isaura dan Leila.” Aku sedikit bernafas lega kala suamiku menolaknya dengan halus.
Tapi tidak dengan bapak mertuaku. Ia menghela nafas. Tampak bingung harus mengambil keputusan apa.
“Isaura?”
Deg! Aku terhenyak tidak enak mendengarnya memanggil namaku. Aku terdiam. Enggan menjawab.
“Sa.” Panggil bapak mertuaku lagi.
“Isa, Isaura nurut mas Hafizh saja pak.” Kataku dengan tertunduk lesu.
Bodoh! Aku mengatakan itu saking aku bingung. Mulutku membohongi hatiku.
Jauh dalam hatiku saat ini berharap Hafizh akan menolak. Mana mungkin aku bisa berbagi cinta dengannya.
Hafizh meraih tanganku, menarikku berdiri disampingnya. “Hafiz tidak bisa pak.” Tegasnya.
“Benar-benar tidak berhati nurani. Sudah nak percuma kita kemari. Tuhan tidak menutup mata, mereka akan menerima balasannya!” Om Amar tampak geram, ia kemudian melangkah menuju pintu keluar. Namun urung saat sang istri tiba-tiba mendekatiku.
“Tidak bisakah kami memohon kebesaran hati kalian?”
Sial! Kini ibu Ashana bersimpuh dihadapanku.
“Katakan nak, katakan kau ikhlas. Aku yakin jika kau izinkan, Hafizh akan bersedia menyelamatkan putri dan cucu kami.” Pintanya seraya menggenggam erat kedua tanganku. Memohon secuil belas kasihku.
Aku mengangkat bahu ibu Ashana, tidak membiarkannya seperti ini. Menuntunnya untuk berdiri sejajar denganku. Hatiku terlalu lemah, tidak bisa melihatnya seperti ini. Ini mengingatkanku pada mendiang ibu.
“Isa, akan berusaha ikhlas jika mas Hafizh juga bersedia menikahi Ashana.” Dengan terbata dan berat hati, pada akhirnya aku mengatakan hal yang sejujurnya ingin aku hindari.
Semua mata tertuju padaku.
“Isa!” Hafizh menegur.
Aku menoleh ke arahnya. Menatapnya dengan pandangan berkaca. Mencoba menahan air mataku. Berdiri setegar semampuku.
“Isa, tidak ingin anak Ashana seperti Isa waktu kecil. Isa tidak ingin Ashana merasakan apa yang ibu Isa pernah lalui. Tanpa suami dan seorang diri. Itu bukan perkara mudah.” Jelasku pada Hafizh, berharap ia akan mengerti.
“Sa, pikirkan yang matang sa. Aku tidak mungkin lakukan ini.” Hafizh meraih bahuku. Mengguncangku agar aku sadar dan menarik semua yang aku katakan.
“Isaura benar Fizh. Bagaimanapun ini adalah tanggung jawab kedua keluarga.”
“Bu! Tapi bukan Hafizh yang melakukan, kenapa Hafizh yang harus menanggung semuanya?!” Protes Hafizh diluar kendali.
“Hafizh!! Siapa yang mengajarkanmu berbicara angkuh di depan orang tua seperti ini?!” Sentak Bapak tidak terima dengan sikap putranya.
Hafizh terdiam.
Aku yakin dia marah padaku. Andai aku bisa mengatakan, aku juga tidak mau ini terjadi.
Wanita mana yang rela berbagi belahan jiwanya dengan wanita lain?
Hafizh adalah orang yang selama ini aku perjuangkan. Cinta pertama yang aku perjuangkan selama hidupku.
Aku pikir pernikahan kami adalah akhir dari kisah cinta kami yang indah.
Aku pikir kisah hidupku akan berakhir bahagia seperti dalam dongeng cinta.
Aku pikir hanya aku seorang belahan jiwanya.
Nyatanya salah, Allah menyiapkan dua belahan jiwa untuk Hafizh.
Dear Allah,
Mereka bilang setiap jiwa yang terlahir di dunia ini Engkau ciptakan dengan jodoh masing-masing.
Aku penasaran, dengan siapa Engkau menyandingkan namaku dalam Lauhul Mahfudz?
Bolehkah aku meminta dirinya?
Karena, hati yang engkau titipkan padaku memilih dirinya untuk selalu ku sebut dalam tiap bait doaku.
Dia, Hafizh.
BRAK!
"Hayoo menulis apa itu?" Hafizh mengejutkanku dengan menggebrak meja. Kemudian duduk di bangku meletakkan tasnya.
"Kepo deh." Sahutku kesal. Kami memang duduk bersama selama hampir 3 tahun ini. Dari sekian banyak bangku dan murid, hanya kami berdua yang duduk sebangku dengan lawan jenis.
Tidak ada pilihan lain, jumlah laki-laki dan perempuan di kelas kami memang ganjil.
"Kenapa sih kau tidak cari tempat duduk lain." Gerutuku kesal sebab Hafizh selalu saja iseng denganku.
Hafizh terkekeh, "Aku janji tidak iseng lagi deh."
Aku melengos, malas mendengar janjinya.
“Aduh! Tuh kan!” Refleks, aku menjambak rambut Hafizh. Kesal, sebab dia baru saja berulah menarik pucuk kerudungku.
Baru saja beberapa detik lalu janji sudah diingkari.
"Hehe. Tahu tidak alasanku iseng?” Tanyanya nyengir.
“Tidak.” Sahutku singkat.
“Emm.. supaya suatu saat nanti aku bisa ceritakan pada anakku, kau adalah sahabat yang paling aku sayangi karena sudah membantuku. Jadi, aku ingin jaga kamu meski kita hanya teman."
Aku tercenung, bingung harus senang atau sedih.
Senang sebab, dia akan mengingatku hingga memiliki anak kelak, namun sedih sebab dia menganggapku sebatas sebagai sahabat.
Sementara aku selalu berharap, kelak aku dapat menceritakan tentangmu pada anak kita berdua.
Ya, memang selama ini Hafizh mempercayaiku untuk membantunya dalam belajar. Aku memang dikenal sebagai siswa ambisius dan rajin. Sosok ketua kelas yang pintar.
Meski begitu, Hafizh juga banyak membantuku dalam beberapa hal.
Terkadang aku berharap, segala pencapaianku ini akan menjadi salah satu hal yang membuatnya terkesan padaku.
Berharap ada namaku dalam tiap hal yang membuatnya bahagia.
"Emm... Selama di kelas ini, ada tidak sosok yang membuatmu jatuh cinta?"
Deg!
Pertanyaan ke-dua-nya tidak kalah membuatku berdebar.
"Apa sih tiba-tiba begitu. Baru juga masuk sekolah pertanyaannya sudah berat." Aku buang muka, tidak sanggup menatap matanya.
"Ada tidak?" Hafizh menyikut lenganku.
"Tidak ada tuh." Dustaku. Malu untuk mengakui.
"Sedikit saja tidak ada? Siapa begitu?" Tanyanya begitu penasaran.
Aku mengalihkan perhatianku padanya.
"Kau sendiri?" Spontan aku tergelitik untuk memancing. Ada debar dalam dadaku. Berharap namaku akan disebut.
Aku menangkap senyum tersipu dari wajah Hafizh. Tampak dia ingin mengatakan sesuatu namun ada sedikit keraguan di sana.
"Emmm.. sejujurnya, aku suka dengan.."
PLETAK!
Sebuah buku terlempar mengenai wajah Hafizh.
Serentak, kami menoleh ke arah asal buku itu dilemparkan.
"Maaf-maaf Fiz. Aku tidak sengaja. Tadi sebenarnya mau lempar Andre. "
Hafizh mengurungkan emosinya. Menatap dengan gugup, lidahnya seperti kelu untuk memaki gadis berkulit coklat di hadapannya.
Gadis manis dengan lesung pipi, gigi gingsul, rambut panjang terurai dan tubuh semampai.
Dia...
Ashana.
Sudah jelas aku kalah jika dibandingkan dirinya. Selain dari keluarga terpandang, Ashana memiliki kecantikan alami tanpa harus berusaha.
Golongan siswi pintar tanpa harus belajar mati-matian. Berbanding terbalik denganku yang harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai A+. Jika tidak, beasiswa berprestasiku bisa saja dicabut. Maklum, aku bukan dari keluarga berada. Ibuku hanya janda miskin yang harus banting tulang untukku, putri semata wayangnya.
Ada rasa tidak senang bila aku melihat mereka berdua berinteraksi seperti ini. Cara Hafizh memandang Ashana berhasil membuatku cemburu.
Boleh dikata mereka memang serasi. Hafizh adalah siswa tampan, dari keluarga berkecukupan, meski tidak seberapa cerdas, tapi cara bergaulnya yang apik membuat dia cukup dikenal banyak warga sekolah. Begitu juga dengan Ashana.
Sementara aku hanyalah ketua kelas ambisius yang kaku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku memasang sepatuku usai melakukan sholat Duha di Mushola sekolah. Baru saja beranjak, aku nyaris terjungkal saat seseorang menabrakku.
Beruntung tanganku masih sempat diraihnya.
“Hafizh!” Kataku agak kesal. Sementara dia hanya nyengir menatapku tak bersalah.
“Untung saja sudah selesai sholat. Wudhu-ku sudah batal deh.”
“Heheh Maaf-maaf.” Katanya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Lagi pula kenapa sih lari-lari, sholat sana.”
“Hehehe.. Eh ini buat kamu.” Hafizh tak menggubris. Dia lebih memilih berpura-pura tak mendengar dan mengalihkan perhatianku pada dua koin seratus rupiah di genggaman.
Aku bingung. “Apa ini?”
Hafizh mengangkat kedua bahunya. “Tidak tahu, nemu saja di sini. Aku tidak pakai, jadi buat kamu saja.”
“Hmm.” Gumamku heran dengan sikapnya. Ada-ada saja bocah ini, begitulah pikirku.
“Jangan dibuang, itu penting lo. Tahu kan manfaat sholat Duha membuka pintu rizki. Nah ini sudah langsung diijabah, ya meskipun ada sedikit.” Terangnya dengan gaya sok paham yang membuatku ingin tertawa namun berakhir aku tahan.
”Iya deh iya. Ya sudah, Ayo ke kelas.”
Hafizh mengangguk. Baru saja beberapa meter melangkah, seseorang memanggilku.
“Sa! Di panggil bu Eka tuh, bawakan buku.”
Aku menoleh, tidak bisa menolak.
Bagaimanapun juga, aku adalah ketua kelas. Harus bertanggung jawab.
Aku memasuki ruang guru diikuti Hafizh. Dia menawarkan diri untuk membantuku membawa beberapa tumpukan buku. Tentu saja aku tidak menolak.
Setelah keluar dari ruang guru, kami berjalan beriringan. Rasanya begitu senang bisa seperti ini.
Di kepalaku masih dipenuhi pertanyaan tentang percakapan kami pagi tadi. Ingin rasanya aku menanyakan lebih lanjut siapa yang berhasil mencuri hatinya.
Sayangnya aku masih belum memiliki nyali untuk kembali mengulik. Tanpa aku sadari, aku hanya memandanginya. Hafizh menghentikan langkahnya dan berbalik memandangku.
Apa mungkin dia menyukai ku?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat ini kelas belum juga di mulai.
“Sa, bantu aku.”
Aku melirik Hafizh yang duduk bersamaku di bangku. Wajahnya tampak serius. Sementara tangannya sibuk mencabut sesuatu di dagunya.
“Bantu apa?”
“Ini nih, susah sekali mencabut satu jenggot. Sepertinya ketinggalan.”
“Sudah biarkan saja.”
“Aduh, tidak nyaman nih. Nanti aku tidak fokus belajar lo.” Hafizh berusaha membujukku.
Aku menghela nafas. Dengan agak canggung, aku mulai mendekatkan wajahku di dagunya. Memfokuskan perhatianku di sana, sembari tanganku bergerak mencabut sehelai jenggot dengan kuku sebisa mungkin.
Aku berusaha mengontrol debaran di dadaku. Berharap dia tidak mendengarnya. Tanganku terasa agak dingin. Begitu gugup.
“Susah Fizh.” Kataku menyerah, siapa yang sanggup berada di posisi seperti ini dengan seseorang yang ditaksir?
Hafizh memundurkan kepalanya. Tampak dia mengingat sesuatu.
“Mana recehannya tadi? Berikan padaku.”
“Ada. Ini.” Kataku setelah merogoh saku seragamku, kemudian menyodorkan pada Hafizh.
“Pakai ini. Cepat bantu cabut.”
Agak ragu, mau tidak mau aku tetap melakukannya. Hingga usahaku kali ini membuahkan hasil.
“Tuh kan recehan seperti ini sangat berarti.” Kata Hafizh, puas dan lega bisa mencabut sisa jenggot yang tertinggal di dagunya.
“Oh jadi niatmu memberiku itu untuk ini.”
“Tidak juga sih. Kalau tidak mau ya sudah sini.” Hafizh merebut recehan itu dari tanganku.
“Eh eh tidak bisa. Sudah jadi milikku.” Aku menepis tangannya, sebelum kemudian sebuah deham seseorang mengalihkan perhatian kami.
Tanpa kami sadari suasana kelas sudah hening sejak beberapa menit lalu.
“Waduh romantis sekali.” Ledek Bu Eka yang rupanya sudah sejak tadi memasuki ruang kelas.
Aku tak kuasa menahan rasa malu kala seisi kelas menggoda kami berdua. Hafizh tampak tertunduk tak mampu mengatakan apapun. Hafizh tak kalah tersipu.
Sementara aku berusaha menyembunyikan wajahku, aku menangkap Ashana yang menatap kami berdua dengan senyuman tipis.
Aku berdiri di depan meja kayu yang tampak usang. Meja di mana biasanya aku menghabiskan waktu untuk belajar.
Sebuah senyum merekah di bibirku saat menatap 2 keping uang 100 rupiah yang kini aku letakkan di dalam sebuah kotak.
“Sa! Astaghfirullah. Dari tadi Ibu panggil-panggil tidak jawab, malah senyum-senyum sendiri.” Tegur Ibu padaku. Aku menoleh, lalu cepat-cepat menyimpan kotak itu dari pandangan ibu.
“Jaga warung sebentar!” Titahnya dengan wajah jengkel.
“Iya bu.”
Ibu melirik dengan penuh selidik. “Sudah punya pacar ya?”
“T-Tidak kok bu.” Jawabku gugup.
“Lalu kenapa senyum-senyum sendiri lihat isi kotak itu?”
“Isa hanya sedang senang saja Bu. Memangnya tidak boleh kalau suatu saat Isa menikah?”
“Tidak!” Singkat dan tegas. Ibu menolak keinginanku untuk memiliki keluarga suatu saat nanti.
“Ibu tidak mau kalau kau menikah. Cinta itu bukan perkara indah. Kalau suatu saat nanti kau seperti Ibu bagaimana? Pokonya, Isa harus jadi anak perempuan mandiri dan sukses. Tidak ada pacar-pacaran! Titik.” Terangnya kemudian keluar kamar meninggalkanku.
Penjelasan Ibu jelas tidak dapat aku bantah. Aku mengerti kenapa Ibu seperti itu. Dengan wajah lesu, aku keluar kamar menuju area warung yang berada di teras rumah.
“Kenapa manyun neng?” Tanya seorang pembeli yang baru saja datang. Pertanyaannya ku balas dengan senyum kecut. Enggan menjawab.
“Cari apa pak?” Aku mengalihkan topik yang kemudian di jawabnya dengan menunjuk etalase yang terpajang dengan deretan rokok.
Aku mengambil rokok yang dimaksud kemudian menerima selembar lima puluh ribuan.
“Sudah tidak usah pikirkan laki-laki. Kalau si eneng sudah sukses pintar, neng tidak perlu khawatir tentang menikah. Laki-laki sendiri yang datang ke eneng.”
Tampaknya pembeli itu masih belum puas membahas topik itu. Ia kembali melanjutkan dengan memberikan sedikit nasihat saat aku memberikan kembalian padanya.
Sepertinya dia mendengar percakapanku dan Ibu beberapa menit lalu. Aku tak mengatakan apapun, hanya membalas dengan sebuah senyum tipis. Bapak itu benar, aku tidak perlu memikirkan semua ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tidak terasa hari sudah berganti Senin lagi. Pagi ini kami melaksanakan Upacara seperti biasa. Cuaca pagi ini cukup terik. Ada beberapa murid yang tumbang, tak terkecuali Hafizh.
Kebiasaan tidak bisa sarapan pagi memberikan pengaruh besar pada tubuhnya hari ini. Dia nyaris limbung. Aku sebagai ketua kelas sigap membantunya.
“Hafizh, kau tidak apa-apa?” Aku meraih kedua lengannya bermaksud membantunya berdiri di posisi yang benar. Keringat dingin tampak bercucuran di keningnya. Bibirnya terlihat memucat.
“Tidak apa-apa. Hanya pusing sedikit.” Begitu katanya.
“Eh-eh!” Beberapa murid lagi berteriak saat seseorang dari barisan kelasku kembali limbung.
Ashana.
“Ashana!” Hafizh seketika melepaskan tubuhnya dariku. Sekuat tenaga bergegas ke tempat di mana Ashana jatuh tak sadarkan diri.
Rasa sakit tiba-tiba menyelimuti batinku saat menyadari Hafizh begitu mencemaskan sosok itu.
Aku berjalan dengan cepat mendekati mereka. Mencoba menepis segala keegoisanku dan memprioritaskan warga kelasku.
“Pergi beristirahatlah. Aku akan urus Ashana.”
“Tidak. Biar aku yang bawa. Aku laki-laki.” Aku paham Hafizh bermaksud untuk tidak membiarkan aku membopong Ashana karena aku perempuan. Namun keras kepalanya di saat yang seperti ini berhasil membuatku naik pitam.
“Fizh! Kau sakit. Tim PMR juga akan bantu!” Beberapa murid menoleh ke arahku yang baru saja berbicara dengan nada tinggi. Namun atensi itu berakhir saat tim PMR datang dan seorang guru menghampiri kami.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Usai kejadian itu, aku hanya menghabiskan waktu di dalam kelas seorang diri. Tak berselang lama, Hafizh datang usai di rawat beberapa saat di UKS.
Dia kini tampak sibuk memerhatikan Ashana dari kejauhan.
Benar kata ibu cinta bukanlah hal yang indah.
Selama pelajaran berlangsung hingga selesai, aku tidak mengatakan apapun. Sengaja, berusaha menjauh karena tanpa terucap, aku pikir aku tahu betul siapa yang mencuri hatinya.
“Sa, aku pinjam catatannya tadi ya.” Hafizh membuka pembicaraan kami. Santai dan sepertinya dia tidak merasa janggal dengan sikapku yang sejak tadi tidak menanyakan keadaannya usai dirawat di UKS.
Aku terdiam untuk beberapa waktu.
Menyadari aku berpikir agak lama, Hafizh lantas menjelaskan. “Aku kan telat tadi masuk kelas.”
Dasar aku tidak tegaan, aku menyerah mendengar penjelasannya.
“Oh, pinjam saja. Ini tugas PR besok.” Kataku berusaha bersikap seperti tidak terjadi apapun.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Usai sholat Isya, aku menggeledah rak buku dan isi tasku. Namun tak juga aku jumpai buku catatan yang aku maksud.
“Aduh, kemana ya bukuku?” Aku panik.
Belum lagi tugasnya harus dikumpulkan besok. Aku tidak mau usahaku menjadi anak pintar dan rajin selama ini jadi sia-sia hanya karena tugas Matematika esok ini tidak aku kerjakan. Mana mungkin seorang Ketua kelas teladan tidak mengerjakan tugas.
TOK ! TOK! TOK!
Seseorang mengetuk pintu rumah kami yang sudah reyot ini.
“Sa! Ada tamu! Bantu buka pintu!” Panggil Ibu dari dalam kamar.
“Iya bu!” Seruku. Agak kesal aku keluar kamar, menggerutu karena ada saja yang mengganggu saat aku sedang sibuk mencari keperluan sekolahku.
Aku membuka pintu dan mendapati seorang pria muda bertubuh 180cm berdiri mengenakan Hoodie abu dan sebuah sepeda yang terparkir di halamanku.
Hafizh?
“Bagaimana kau tahu rumahku?” Tanyaku spontan.
“Bukannya kita sudah beberapa kali kelompok.” Hafizh mendekat ke arahku. Kemudian memberikan buku tulis yang sedari tadi aku cari.
Ah yang benar saja, aku lupa jika aku sempat meminjamkan padanya.
“Bisa kau bawa saja kok.” Dustaku, mendadak tidak membutuhkan buku itu.
“Tidak bisa. Aku tahu kau seperti apa. Kau kan perlu membuat tugas juga.”
Dia benar. Dia cukup paham karakterku dalam hal belajar. Aku mengambil alih buku dari tangannya.
“Eh ada gitar.” Sedetik kemudian perhatian Hafizh tertuju pada gitar yang di sandarkan pada kursi kayu di terasku.
Ya, gitar ini milik salah satu pembeli langganan yang biasa nongkrong di warungku. Tapi kadang-kadang aku juga memainkannya.
Melangkah meraih gitar itu, Hafizh kemudian memosisikan duduk di atas kursi panjang. Tangannya bergerak mantap memangku gitar itu kemudian meletakkan jemarinya pada barisan senar.
Aku mengangkat salah satu alisku. Aku tidak pernah mengetahui dia bisa bermain gitar. Begitu pikirku.
Pada momen dan gaya berpakaiannya yang seperti ini, dia terlihat memukau di mataku. Mengapa Tuhan membawanya kemari di saat aku berusaha melupakannya?
Jreng!
Anganku buyar saat ia mulai memetik senar.
“Huu~" Serunya mengambil nada.
"Ah. Suaraku. Ehem-Ehem.” Hafizh berdeham beberapa kali saat menyadari suaranya begitu fals.
Aku terkejut, suaranya sangat parah. Meski mengacaukan khayalanku, aku cukup terhibur dengan tingkahnya. Ini membuatku sadar, bahwa Hafizh, sosok yang aku kagumi tetaplah manusia biasa, karena dia memiliki kekurangan.
Tak mampu menahan senyum geli, aku lantas mengusirnya pulang. Tidak ingin ibuku memaki jika melihatnya di sini membuat keributan dengan suara dan petikan gitarnya yang merusak gendang telinga.
“Sudah-sudah pulang sana.” Pintaku.
Sayangnya dia tidak peduli. Dia bersikukuh memetik senar gitar, sementara aku khawatir jika Ibu datang menegur.
Panjang umur, baru saja aki membatin, Ibu benar-benar datang.
“Eh, ada Hafizh ya.” Separuh nyawaku seperti melayang saat mendengar suara Ibuku yang kini berdiri tepat di belakangku.
“Assalamualaikum Tante.” Sapa Hafizh langsung berdiri saat menyadari Ibuku menghampiri kami.
“Oh, ya sudah. Tante masuk ya Fizh.”
“Iya silakan Te.” Hafizh tersenyum mempersilakan Ibuku meninggalkan kami.
Aku menaikkan satu alisku sebelum kemudian bernafas lega. Heran, kenapa Ibu tidak bersikap seperti dugaanku?
Tampak tenang dan tidak terganggu dengan kedatangan Hafizh ke rumah kami di jam seperti ini. Entah apa ibu akan melakukan hal yang sama jika yang datang bukanlah Hafizh?
“Aku kan ingin belajar, belajar cara bernyanyi.” Imbuhnya setelah Ibuku pergi.
Aku tercenung. Selama ini aku tidak pernah melihatnya tertarik dengan musik.
“Tiba-tiba?”
Hafizh tersenyum tersipu.
“Karena ingin berkolaborasi di pensi dengan Ashana ya?” Celetukku iseng menggodanya.
“Tidak kok.” Katanya singkat.
"Emm... Supaya seperti Eko." Lanjutnya.
Aku mengernyit. "Eko?"
"Iya, yang sedang disukai gadis-gadis itu."
Aku masih belum menangkap siapa sosok Eko itu. Siapa lagi dia?
"Yang Ashana suka itu loh. Boyband."
Aku menepuk jidat setelah mendengar penjelasannya.
"Yaelah! Exo!"
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Ciee... Perjuangan sekali supaya Ashana kesengsem ya? Hahaha..."
"Sstt.. apaan sih. Tidak kok." Hafizh tampak malu-malu. Aku yakin Hafizh sedang berlagak lain di mulut lain pula di hati.
Aku masih berusaha mempertahankan tawaku, sama sepertinya. Lain di mulut lain pula di hatiku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!