Tak pernah muncul dalam benak Notoma bahwa ia sekarang berada di depan pintu Ruang Rapat Dewan. Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi kepalanya. Hembusan napas yang penuh keluh kesah adalah alasan utamanya merasa tak nyaman. Berulang kali ia mengibaskan blazer hitamnya dari debu yang menempel. Bola matanya yang cokelat pekat dengan rambut hitam yang ikal membuat jantungnya sedikit berdebar karena khawatir akan penampilannya walau kulit putih pucat nya lah yang seharusnya ia khawatirkan . Sementara itu, wanita berambut pendek kecokelatan yang berdiri menemaninya di samping memperhatikan seluruh penampilannya dari atas sampai kaki. Petra menatap Notoma dengan sorot matanya yang penuh dengan pertanyaan.
“Kau akan tahu setelah aku bukakan pintu ini. Sudah siap?” Tanya Petra sambil memegang gerendel pintu bulat di hadapannya.
Notoma melirik Petra. Menghela napas sejenak kemudian memantapkan mentalnya.
“Huuufft.... Ya, aku siap. Cuma menjawab pertanyaan kan?” Tanya Notoma, menaikkan alis matanya tinggi-tinggi.
Tanpa jawaban, Petra membuka pintu itu. Di hadapan mereka berdua, terdapat sebuah meja panjang dengan lekukan bundar yang ditemani dua pasang kursi dan meja pada sisinya. Seorang pria tua berambut dan brewok putih sedang bertopang dagu di tengah meja panjang itu. Di sebelah kiri pria tua itu, seorang pria paruh baya dengan gaya rambut dan brewok yang sama dengan pria tua tadi, sedang menatap tamunya dengan mata yang tajam. Sedangkan di sisi kanan pria tua, seorang wanita berkacamata dengan rambut hitam panjang dengan ponytail yang tinggi, sedang memeriksa dokumen yang ia pegang di kedua tangannya.
“Nah, tiba juga.” Syukur pria tua, memecah suasana. Tubuh yang berisi dengan tinggi badan dua meter, cukup menjadi bukti bahwa di masa mudanya pria tua ini adalah orang yang sangat kuat. Sorot matanya yang lemah lembut mengindikasikan pengalamannya sejak dulu sebagai orang yang pandai dalam bernegosiasi. Wajahnya yang tegas menandakan bahwa dirinyalah orang yang memimpin jalannya rapat ini.
“Dia kah si Murid Khusus itu?” Tanya Pria paruh baya, mengangkat alis kanannya. Wajah, gaya rambut dan brewoknya mengindikasikan bahwa pria paruh baya ini tak lain dan tak bukan adalah anak dari pria tua yang duduk di tengah.
“Ya, kau benar, Kak Roll. Kami sudah memeriksa latar belakang dan keadaan keluarganya. Anak ini sangat cocok untuk mengisi slot yang kosong.” Jawab Petra dengan cekatan.
Di sisi kanan meja rapat yang besar, seorang pria dengan rambut hitam yang acak-acakan, berdiri dan memakai kacamata bundarnya. Dia membaca dokumen yang tergeletak di meja yang berbentuk kotak di hadapannya dengan memegangnya menggunakan tangan kanannya sambil menggaruk kepala belakangnya dengan tangan kiri.
“Ehhm, namanya Notoma Kahnwald. Umur 17 tahun, berelemen Dasar dengan tipe Pengubah.” Ujar pria berkacamata bundar itu dengan tenang.
Notoma menatap Pria berkacamata bundar itu dengan dingin. Pria itu membalasnya dengan tatapan yang ramah. Notoma membuka mulutnya, namun sebelum sempat berkata-kata, pria itu membuka mulutnya lebih dulu, melanjutkan kembali perkataannya yang belum selesai.
“Ah, sebelumnya mohon maaf. Seharusnya aku memperkenalkan diri dulu kepadamu.” Potong pria itu. “Namaku Rudger van Touwen. Pengajar di kelas satu sekolah ini. Senang bertemu denganmu, Notoma Kahnwald.” Sapa Rudger, melepas kacamata bundarnya dengan tangan kanannya sambil menganggukkan kepalanya.
Notoma mengangguk. Dalam benaknya, ia menganggap bahwa Rudger adalah orang yang sopan. Meski ia tak mau meruntuhkan sikap curiganya pada orang-orang yang ada di hadapannya ini.
Dengan inisiatifnya sendiri, Petra mengambilkan sebuah kursi untuk Notoma. Notoma berterima kasih dan duduk dengan tenang.
Semua mata tertuju kepada Notoma. Hanya Petra yang menutup mata sambil berdiri di samping Notoma. Petra menyadari bahwa dirinya sedang dilirik oleh Notoma namun Petra tak memperdulikan hal itu.
“Notoma Kahnwald?” Pria tua mencoba mengalihkan pandangan Notoma padanya.
“Iya, Pak?” Jawab Notoma kepada pria tua itu.
“Aku Rudy Rochefort. Kepala Sekolah ini. Di samping kananku ini namanya Roll Rochefort, anak sulungku sekaligus Dewan Pengajar di sekolah ini. Roll bertugas sebagai pengurus kurikulum materi pembelajaran di sekolah ini. Kemajuan pendidikan di sekolah ini berada di tangannya kelak dan ku yakin reputasi serta kualitas sekolah ini akan terus meningkat dengan baik.”
“Senang bertemu denganmu, Murid Khusus.” Sapa Roll, memejamkan kedua matanya yang cokelat sambil menganggukkan kepalanya sekali.
Notoma mengangguk.
“Sementara di samping kiri ini namanya Loraine Rochefort, Anak keduaku yang merangkap sebagai Wakil Dewan Pengajar dan Sekretarisku. Loraine sering membantuku dan kakaknya, dia orang yang sangat rajin di sekolah ini.” Jelas Pria tua, mengarahkan telapak tangan kirinya ke Loraine
“Halo.” Loraine mengangguk.
Notoma mengangguk.
“Orang yang berada di samping kananmu itu Petra Rochefort, anak bungsu dan seorang Dewan Sekretaris di sekolah ini. Aku menyuruhnya untuk datang menjemputmu langsung dengan alasan yang akan kamu dengar nanti.”
“Terima kasih sudah memandu.” Ucap Notoma kepada Petra sambil mengangguk.
“Sama-sama, Notoma Kahnwald..” Petra mengangguk.
“Dan orang yang berkacamata ini adalah Rudger, Pengajar di kelas satu sekolah ini. Dia orang yang sangat serius namun tidak perlu diragukan lagi mengenai kejujuran yang ada pada dirinya. Jika kau ingin mencari orang yang paling jujur di sekolah ini, dialah orangnya!” pria tua itu melirik dan menunjuk Rudger dengan ibu jarinya sambil menutup mata kirinya.
“Pak, kurasa anda tak perlu repot-repot menambahkan penilaian personal anda di akhir kalimat tadi.” Rudger menggelengkan kepalanya sambil menghela napas.
Rudy memegangi dadanya sambil tertawa terbahak-bahak sehingga suara tawanya menggema di ruangan itu.
Notoma tidak bisa menahan perasaannya untuk segera mengakhiri percakapan ini. Ia tak nyaman dengan perkenalan basa-basi, terlebih lagi perkenalannya bersama dengan orang yang jauh lebih tua darinya.
“Anda membawa saya ke sini untuk mengisi slot kosong sebagai Murid Khusus bukan, Pak Rudy?” Notoma langsung menanyakan inti pembahasan rapat ini. Pandangannya menatap mata Rudy dengan tenang.
Rudger memahami perasaan Notoma yang tidak betah dengan suasana di ruangan itu karena kehadiran Rudy dan kedua anaknya.
“Ah, ya! Kamu benar. Kurasa sekarang kita bisa melewatkan basa-basi perkenalan ini kepadamu.”
Notoma menutup mata, menghela napasnya dengan panjang. Dan membuka kembali kedua matanya yang cokelat.
“Sejujurnya saya sangat senang mendengar kabar berita ini. Sebuah kehormatan dan pengalaman berharga bagi saya untuk bisa bertemu langsung dengan Anda, Rudy Rochefort, Sang Elementalist Terkuat di dunia.” Kata Notoma tanpa berbasa-basi. Pandangan semua orang tertuju padanya karena ia menyinggung julukan terkenal Rudy, orang yang paling berpengaruh di sekolah ini. Notoma pun menelan ludahnya sebelum melanjutkan kalimatnya. “Namun, terus terang saja, saya menolak undangan Anda.” Ujarnya.
Setelah menampung begitu banyak kesabaran dalam benak Notoma, ia akhirnya mengatakan kalimat itu juga. Kelegaan mengarungi perasaannya saat ini. Tetapi, ia tak menyangka bahwa penolakan yang ia berikan menimbulkan suasana yang tak mengenakan di Ruang Rapat Dewan.
Semua orang sangat terkejut mendengar penolakan yang Notoma nyatakan. Petra yang sejak awal mengikuti percakapan ini dengan tenang, mengubah raut wajahnya. Raut wajah marah yang memuncak ia pasang pada Notoma. Tentunya, Notoma merasakan hal ini. Dengan kekesalan yang memuncak, Petra membuka mulutnya.
“Sebelumnya, izinkan aku untuk bergabung ke dalam pembicaraan ini. Kau sendiri sudah mendengarnya dari Ayahku apa posisiku di sekolah ini. Jadi, bolehkah aku bertanya satu hal padamu?” Tanya Petra, marah.
“Tentu. Silakan.” Notoma pun menoleh ke arah Petra.
“Perjalananku dalam mencari Murid Khusus untuk mengisi slot yang kosong tidaklah mudah. Hal pertama yang kulakukan adalah pergi ke Kantor Kependudukan Navari untuk meminta data-data penduduk berusia 17-18 tahun. Beruntungnya kami, Alumni sekolah ini bekerja di sana, hal ini mempercepat perizinan yang seharusnya membutuhkan waktu berhari-hari. Kemudian, kami menyeleksi status tiap-tiap remaja berdasarkan hasil penyeleksian data tadi. Untuk menyeleksinya, kami mengerahkan satu persatu orang kami—bawahanku—untuk pergi dan menyelidiki apakah hasil penyeleksian data tadi masih sesuai atau tidak. Hal ini kami lakukan sebagai tindakan preventif kalau saja salah satu data remaja berubah tanpa sepengetahuan kami. Contohnya adalah, remaja A berstatus tidak cacat fisik, akan tetapi hal ini tidak bisa diterima begitu saja karena data itu tidak bersifat permanen meskipun datanya sudah direvisi sehari yang lalu. Kita tidak akan tahu kejadian apa yang akan menimpa remaja-remaja yang ada di data itu di kemudian hari. Oleh karena itu, survei—terjun ke lapangan—dengan melihat langsung dengan mata kepala sendiri. Dan begitulah kami berakhir mengirimkan surat undangan di kotak surat yang ada di sebelah kanan pintu rumahmu itu.” Jelas Petra, berceloteh seperti burung beo.
Semua orang di ruangan itu berkeringat.
“Dia mulai lagi...” Komentar Rudy dalam hati, menggelengkan kepalanya.
“Perlu kau ketahui, orang-orang yang sedang duduk di depanmu inilah yang meminta permintaan menyusahkan itu demi membawamu ke sini! Sementara mereka hanya terima jadi di balik permintaan mereka dan membuat kami, orang-orang administrasi kalang kabut!” Petra melampiaskan kekesalannya pada Ayah dan kakak-kakaknya.
Rudy, Roll dan Loraine memalingkan wajah mereka ke samping setelah mendengarkan keluh kesah Petra. Notoma memasang enggan dan merasa bersalahnya. Sementara Rudger tersenyum kecil mendengar keluhan Petra.
Petra mendekatkan wajahnya dan bertanya pada Notoma, “sekarang pertanyaannya adalah, kau tahu sekolah apa ini?” sambil menatapnya dengan sorot mata yang serius.
“Tentu saja saya tahu. Justru karena tahu itulah saya menolaknya.” Jawab Notoma, mencoba meyakinkan Petra dan semua orang yang berada di ruangan itu.
“Ketika saya mendengar Pak Rudger membacakan identitas saya, membuat saya sangat yakin bahwa pembicaraan di ruangan ini sangat penting. Sekolah ini sendiri adalah sekolah yang mempelopori keseimbangan kekuatan di dunia karena menghasilkan para Elementalist kuat yang menjanjikan, sebut saja Tedd Yonan sang Elementalist Biologi, Edwin Khwarezmi sang Elementalist Arkeolog, Theresa Christina sang Elementalist Sastra, Tornn Toyl sang Elementalist biomedik, Tina Rosetta sang Elementalist Penjelajah, dan Porlock Malvis sang Elementalist Intelijen. Menyadari betapa elitnya sekolah ini membuat saya semakin tidak yakin akan kemampuan saya sebagai calon Elementalist berpengaruh demi nama baik sekolah ini.”
“Walau alasan utamaku yang sebenarnya karena tak mau menanggung beban yang berat sih,” tambah Notoma dalam hati. Tetesan keringatnya yang kecil di pipi yang tak bisa ia sembunyikan.
Notoma menundukkan pandangannya dan menatap lantai ruangan tanpa ia sadari dengan wajah suram dengan tatapan mata yang kosong. Hanya Rudy yang menyadari hal itu.
“Ibumu, Nova Kahnwald.” Ucap si pria tua, mengalihkan kembali topik pembicaraan.
Seketika Notoma bereaksi mendengar nama itu. Ia mengangkat kepalanya dari ketertundukan dan menatap Rudy dengan pandangan terkejut.
“Bagaimana dia bisa meninggal? Apa kau sudah menemukan siapa pembunuhnya?” Tanya Rudy, menyipitkan mata.
Pipipipip. Pipipipip. Pipipi—
Clek!
“Hoahhm....Ck. Hah! Sudah jam segini rupanya.” Ujar Nina, menatap jam wekernya yang menunjukkan pukul enam pagi.
Dengan tank top biru dan celana ketat abu-abu yang pendek, gadis berambut hitam yang pendek sebahu ini pun terbangun dari tidurnya yang kacau. Kantung matanya yang hitam memperjelas hal itu. Gadis itu terduduk sepuluh detik tanpa berpikir apa-apa, menjatuhkan punggungnya tanpa merasa bersalah sedikitpun kepada alarm yang telah membangunkannya tepat waktu. Ia pun memejamkan matanya kembali.
Tok tok tok
“Kak Nina, kau sudah bangun? Ibu menyuruhku untuk membangunkan mu! Kalau sudah, cepatlah turun dan sarapan!” Teriak seseorang yang memanggil dari balik pintu kamar Nina yang berwarna biru, tepat berada di kanan kasurnya.
“Ck. Berisiknya orang ini,” keluh Nina dalam hati, memiringkan tubuhnya ke kiri.
“Iya, iya, aku sudah bangun! Tak perlu berteriak di pagi buta begini dong.” Dengan melawan rasa kantuk yang luar biasa, mau tak mau Nina mendaratkan kedua kakinya di lantai dan segera berdiri dengan gagah. Namun, yang ia rasakan malah kepala yang berkunang-kunang disertai rasa kesemutan yang menjulur dari ubun-ubun kepalanya. Nina pun roboh sambil memegang kasur dan kepalanya.
“Sialan.., karena tidak sabar menunggu datangnya hari ini, aku hanya tidur tiga jam saja.” Geramnya, menggeretakan giginya kuat-kuat.
Nina bangkit dengan perlahan, kemudian segera merapikan seprai dan selimut putih pada kasurnya yang berantakan. Setelah selesai, ia berjalan ke tangga dan menuju ke lantai bawah, kemudian berdiri di westafel dan membilas wajahnya yang putih agar segar kembali. Ia menatap matanya yang berwarna biru dengan seksama. Sorot matanya menandakan bahwa kondisi mental dan semangatnya tidak pudar sejak semalam.
Setelah mengambil handuk, ia berjalan menuju kamar mandi. Mandi menggunakan air hangat di pagi buta, rasa kantuk dan lelahnya perlahan lenyap. Selesai mandi, ia menjemur handuknya di halaman rumah dan berjalan menuju ruang makan.
“Kenapa kantung matamu hitam begitu? Kamu tidak tidur?” Sang Ibu bertanya kepada anak sulungnya itu dengan heran. Ia meletakkan segelas air hangat di meja di hadapan Nina.
“Tidur dua atau tiga jam saja cukup kok Bu.” Jawab Nina dengan tenang, sambil menyeret kursi di meja makan dan menjatuhkan dirinya pada kursi itu.
“Bodoh! Sudah Ibu bilang untuk tidur yang cukup! Kamu memang sangat mirip dengan Ayahmu yang tidak pernah mendengarkan nasihat orang lain! Karena itulah sebenarnya Ibu menentang mu untuk ikut Ujian Seleksi yang sedang heboh dibicarakan itu. Menjadi Elementalist itu tak semudah yang kamu pikirkan! Terlebih lagi sekolah yang kamu pilih adalah sekolah yang terbaik. Ingat! Jangan sampai le—“
“Iya Bu, aku tahu. Tak boleh lengah, kan? Aku tahu kok. Ibu tak perlu sekhawatir itu. Aku tahu kewajiban serta apa yang harus kulakukan. Anakmu ini sudah dewasa, jadi jangan terlalu khawatir. Percaya saja padaku!” Nina menatap mata Ibunya dengan sorot mata yang membara. Mengingatkan sang Ibu dengan sorot mata sang Ayah.
“Ingat Nina. Kamu adalah anak pertama. Bukannya Ibu membenci keputusan yang kamu pilih ini, justru malah sebaliknya. Ibu tahu kamu mewarisi kecerdasan dan bakat dari Ayahmu, tapi Ibu tidak pernah memintamu untuk melakukannya. Kamu bisa menjalani hidup normal seperti masuk ke sekolah yang biasa dan melanjutkan studimu, kuliah, bekerja, menyukai seorang pria dan menikah, lalu memiliki seorang anak sehi—“
“Aku tak menginginkan kehidupan yang biasa seperti itu, Bu. Tenang saja dan serahkan padaku. Aku akan menemukan dan membawa Ayah pulang suatu hari nanti!” Nina mendongakkan wajahnya dan menatap mata Ibunya dengan serius. “Setahun berlatih dengan Paman Mark takkan sia-sia. Aku sudah sangat siap untuk hal ini.” Lanjutnya, meminum air hangat dengan tangan kanannya.
“Kalau begitu, jangan lupa satu hal ini.” Sang Ibu memegang pundak Nina dengan lembut. “Doa Ibu akan selalu berada di sisimu. Berjuanglah!” Lanjut sang Ibu sambil tersenyum.
Nina menatap wajah Ibunya. Perasaannya sedikit terguncang ketika Ibunya memancarkan senyuman yang ditujukan kepada anak sulungnya itu.
“Ah, sial. Seperti biasa. Ibu selalu seperti ini. Tak pernah berubah dari dulu. Padahal aku berusaha agar hal seperti ini tidak terjadi.” Dengan pemberian senyuman dari sang Ibu, mata Nina berlinang air mata. Air mata Nina pun tumpah karena tak kuasa menahan haru.
“Terima kasih....Bu.” Nina memeluk Ibunya dan menangis.
...****************...
“Tak ada yang tertinggal kan?” Tanya sang Ibu, melirik-lirik.
“Tidak ada, semua yang penting sudah kubawa kok.” Jawab Nina dengan siap.
“Sudah mau pergi? Hati-hati ya kak.” Sang adik memberi salam perpisahan.
Nina menatap wajah Gilbert, kemudian memegang bahunya dengan lembut.
“Gil, ku titipkan Ibu padamu, karena kau lah satu-satunya laki-laki di keluarga kita sekarang ini. Kabari aku kalau terjadi hal—“
“Iya, iya, jangan khawatir. Aku bukan Gil kecil seperti dulu. Lebih baik kau fokus dengan sekolahmu, kak.” Tenang Gil. Memejamkan kedua matanya sambil memasang wajah risih.
Nina menatap wajah adiknya itu dengan seksama, membandingkannya dengan Gil kecil yang pendek, pemalu, dan penakut, yang sejak kecil selalu ia usap kepalanya. Tetapi, sekarang dirinya kalah tinggi dengan adiknya yang tersayang itu. Nina pun mengangkat tangan kanannya. Mengusap kepala adiknya itu dengan kasar.
“Kak! Sudah kubilang jangan mengusap kepalaku lagi!” Lantang Gil, mencoba menyingkirkan usapan tangan kakaknya dari kepalanya.
“Waktu berlalu begitu cepat ya, dalam setahun saja tinggi badanmu sudah melebihi ku, hahaha!” Balas Nina, terus mengusapkan kepala adiknya sambil memasang wajah yang riang dengan gelak tawa yang sedih.
Nina menurunkan tangan kanannya. “Gil, walaupun kamu laki-laki, tapi kau sangat mirip dengan Ibu. Aku sangat bahagia memiliki adik sepertimu, karena kau memiliki sifat dan wajah yang mirip seperti Ibu, aku yakin kau pasti akan populer di kalangan cewek!” Puji Nina pada adik tersayangnya.
“Berhenti menggodaku!” Wajah Gil merah padam. Ia merasa kesal karena digoda kakaknya.
Sang Ibu hanya bisa tergelak, menyimak percakapan kedua anaknya itu.
Tiba-tiba, sebuah mobil berwarna biru berhenti di depan mereka.
“Perpisahannya sudah!?” Tanya seorang pria dari dalam mobil biru dengan jendela yang terbuka. Pria itu mengenakan topi fedora hitam bergaris biru.
“Paman Mark!” Seru Gilbert.
Mark mematikan mesin mobilnya, menarik pengunci dan membuka pintu mobil kemudian berjalan menghampiri Nina sambil melepas dan membawa topi fedora di tangannya.
“Semua barang-barang mu sudah kumasukkan ke bagasi mobil di belakang. Ayo cepat masuk ke dalam mobil, Nina. Kau tak ingin menjadi peserta ujian yang telat, bukan?” Tanya Mark, menunjuk mobil birunya dengan ibu jari.
Sang Ibu menatap adiknya, dan membuka mulutnya sambil berkata, “Mark, kumohon padamu tolong awasi Nina di sana. Hanya kau lah orang yang paling kuandalkan dalam hal ini.” Menggenggam tangan adiknya dengan perasaan dan khawatir.
Nina mendahului Mark, membuka pintu mobil dan mengambil tempat duduk di sebelah pengemudi. Sang Ibu dan Mark memperhatikan anak serta keponakan mereka.
“Seperti biasa, kak. Kau selalu seperti ini sejak kita kecil. Sikap lembut mu itu sangat mirip dengan Ibu. Kau jadi seperti dirinya lho sekarang ini.” Komentar Mark, menghela napas. Menyadari rambut kakaknya yang mulai memutih.
“Sebenarnya aku tak menginginkannya untuk mengikuti jejak Ayahnya. Hei, Mark. Jawab aku. Apakah aku gagal sebagai seorang istri dan seorang ibu?” Tanya sang Ibu. Sorot matanya yang penuh kekhawatiran, tangan yang mengepal dan bibir yang bergetar, membuatnya merasakan kembali ketiga hal tersebut sejak 10 tahun yang lalu. Ia takut hal yang sama akan terulang, menimpa anak sulungnya itu.
“Kau bodoh kak Marie.” Kata Mark. Marie pun menoleh. “Tentu saja sebaliknya. Hilangnya Kak Trent bukanlah tanggung jawabmu. Kalau kau setakut itu, seharusnya sejak awal kau tak menikahinya. Kau menikahinya karena kau mencintai, menaruh harapanmu dan percaya padanya. Tapi kau juga membayangkan hal buruk yang menanti anakmu seakan-akan kau mengharapkan hal yang sama akan terjadi padanya? Bukankah itu bertentangan dengan harapan yang kau percayakan pada Kak Trent? Lagipula, keputusan Nina untuk menjadi seorang Elementalist dan mencari ayahnya yang menghilang adalah bukti bahwa dia bukanlah perempuan biasa! Hanya perempuan hebat dan kuat lah yang mau memilih pekerjaan seberbahaya itu. Untuk itulah dia menjalani latihan yang keras selama setahun penuh denganku.” Mark mengenakan topi Fedora hitamnya dan melangkahkan kakinya.
“Hei, Paman Mark. Cepatlah!” Nina meneriakinya dari dalam mobil.
“Iya!” Jawab Mark. “Kak Marie, kau harus tahu hal ini. Saat kutanya kepada Nina alasan kenapa dia ingin menjadi seorang Elementalist. Nina mengatakan hal yang sama yang sering diucapkan Kak Trent.”
Marie bergeming.
“Nina menjawabnya dan mengatakan, ‘Aku sama sekali tidak terpaksa untuk menjadi seorang Elementalist. Tetapi, hati kecilku lah yang menginginkannya.’”
Marie seketika teringat masa lalunya dengan Trent, ketika dirinya mencegah kepergian
Trent dari tanggung jawab pekerjaannya yang sangat beresiko.
“Aku sama sekali tidak terpaksa. Hanya saja, hati kecilku lah yang menginginkannya. Terdengar aneh dan tak beralasan. Tapi aku tak membenci atau menentangnya. Biarkan saja mengalir alami, karena yang alami adalah bagian penting dari kehidupan.” Senyum Trent.
Marie memejamkan matanya, menatap Mark kemudian ia tersenyum. Kedua kalinya dirinya merasakan kelegaan di hati karena melepas kepergian orang yang berharga baginya. Memang tidak mudah, namun kali ini dia ingin percaya pada anaknya.
“Baiklah, aku paham.” Kata Marie dengan tenang.
Gil ikut tersenyum melihat rasa kekhawatiran Ibunya yang telah menghilang.
“Hei, Gil. Jaga Ibumu baik-baik. Dia sudah mulai tua. Kau lihat sendiri keriput di pipinya itu kan?” Komentar Mark, tertawa kecil sambil menepuk pundak Gilbert dengan pelan.
“Hahaha! Kau benar Paman Mark.” Ledek Gilbert, tertawa terbahak-bahak.
“Hei, kau juga sudah menua, Mark!” Marie mencubit pinggang adiknya.
...****************...
Mark merogoh celananya untuk mengambil korek api yang ia simpan namun rokok batangan yang menggelantung di bibirnya baru saja diambil oleh Nina dengan cekatan.
“Selagi aku duduk di sampingmu, tidak boleh ada rokok yang menyala.” Peringat Nina, melempar rokok itu ke dashboard mobil.
“Andai kau tahu, menyetir sambil merokok itu salah satu dari cara manusia untuk merasakan nikmatnya hidup tahu!” balas Mark sambil melepas Fedora dan memberikannya ke Nina. Nina memakainya tanpa ragu.
Sambil menyetir, Mark melirik keponakannya.
“Bagaimana kesiapan mental dan fisikmu?” Tanya Mark. Terlihat jelas bahwa Mark mengkhawatirkan sesuatu dari nada bicaranya.
Nina menyadari maksud Mark yang sebenarnya. Karena itulah dia memberikan jawaban yang pasti untuk meyakinkan Mark bahwa keponakannya tetap seperti keponakannya yang dahulu, tak pernah berubah. Tapi Mark menyadari bahwa kebiasaan seperti itu adalah kelemahan terbesar yang ada pada diri keponakannya itu. Karena itu Mark berusaha memberi tahu Nina bahwa kelengahan yang ada pada dirinya adalah kelemahan terbesar dirinya.
“Aku tahu maksudmu, Paman.” Nina melirik Mark. “Tenang saja, keadaan mentalku saat ini sedang membara dan itu tak bisa padam atau berubah dalam sekejap.” Lanjutnya, melongok ke Fedora yang ia kenakan sambil memeganginya.
“Berarti masalahnya ada pada kondisi fisikmu. Aku tahu kau kurang tidur karena kantung matamu yang mengatakannya. Kau yakin kondisi fisikmu tidak akan mempengaruhi performa dirimu? Mau tipe Penguat sekalipun, yang namanya pertarungan antar sesama Elementalist kalau kondisi badan tidak fit, akan memberikan peluang yang besar untuk lawan dan memberikan kesempatan yang tak boleh mereka lewatkan karena celah seperti itu akan mereka manfaatkan sebaik mungkin.” Jelas Mark dengan wajah yang sangat serius.
“Kelengahan mu adalah kebiasaan yang mengakar dari alam bawah sadar milikmu. Karena sudah menjadi kebiasaan, musuh akan dengan mudah memanfaatkan kesempatan itu. Walau tipe Pengubah sepertimu stabil dari segi fisik, tidak mengubah fakta bahwa kurang tidur akan menurunkan kewaspadaan dari seorang Elementalist. Dalam pertarungan sebenarnya, kau bisa dengan mudah kehilangan nyawamu.” Lanjut Mark. Penjelasan yang ia berikan berasal dari pengalamannya di masa lalu, saat ia masih menjadi seorang Elementalist.
Nina memejamkan kedua matanya, kemudian menatap Mark. Mark melirik Nina dan mereka bertemu pandang.
“Kalau kita memberikan segala yang kita punya di tiap waktu, energi pada jiwa kita akan cepat lelah dan jika kita tidak tahu pada saat kapan dan di mana saja kita memaksimalkannya, maka keseimbangan energi elemental milik kita akan kacau. Bukankah kau yang mengajariku tentang hal itu, Paman Mark? Ketidakefisiensian adalah hal yang tak berguna. Tentu aku akan memaksimalkan segala yang ku punya tapi tergantung pada situasinya terlebih dahulu. Hanya sekedar Ujian Seleksi kok, bukan masalah bagiku. Aku percaya dan yakin pada intuisi dan kemampuan yang ku punya untuk lolos dan menjadi murid di sana. Tenang saja, jangan khawatir.” Jawab Nina, menatap Paman sekaligus Gurunya itu dengan mata birunya yang membara.
Sekilas, Mark memalingkan wajahnya dari Nina. Ia tersenyum kecil ketika melihat wajah serius Nina. Mengingatkannya pada kakak iparnya dulu. Mark pun kembali menghadap ke depan, menatap jalan.
“Meski ada satu orang yang menjadi Murid Khusus?” Tanya Mark, melirik Nina karena penasaran seperti apa reaksi Nina ketika mendengar berita mengejutkan ini.
Nina memalingkan pandangannya ke Mark. Ia melepas Fedora milik Mark dari kepalanya dan meletakkannya secara perlahan ke dashboard mobil karena masih mencerna informasi di luar dugaan yang dilontarkan oleh Mark.
“Posisimu saat ini adalah sebagai peserta Ujian Seleksi yang memperebutkan 7 dari 8 kursi yang ada, bukan 8 dari 8 kursi. Malah, bisa jadi sebenarnya kau memperebutkan 4 dari 8 kursi yang ada. Perjalananmu untuk menjadi seorang siswa di Elementary Academy tidak semulus yang kau kira, Nina.” Ujar Mark sambil mengubah perseneling mobilnya.
“Mengatakan 4 dari 8 kursi sepertinya berlebihan, tapi Paman, 7 dari 8 kursi inilah yang kutanya-tanyakan. Dari mana kau tahu hal itu?” Nina memasang wajah yang penasaran. Mata birunya menatap Mark dengan tajam.
“Memiliki banyak kenalan di masa lalu adalah salah satu keuntungan terbesar dalam hidupku selama ini. Baru baru ini aku menyadari betapa nikmatnya mendengar keluh kesah dari orang-orang yang kukenal.” Mark memasang wajah bangga dan menepuk dadanya. “Aku mendengar teman lamaku bercerita. Namanya Kane. Dia salah satu dari 3 Penjaga Gerbang Elementary Academy. Sejak masih ingusan, bocah itu memang terkenal karena tidak bisa menjaga rahasia, hahaha!” Mark tertawa keras.
Nina tak mendapat jawaban yang ia inginkan. Ia mengecap lidahnya dengan keras. Mark sudah pasti mendengarnya.
“Dan, siapa Murid Khusus itu?” tanya Nina, penasaran. Matanya berbinar-binar namun ada sedikit kekesalan pada sorot matanya.
“Namanya Notoma Kahnwald. Kurasa, cuma kita berdua yang mengetahui hal ini. Dengar, Nina! Meski si bocah ingusan Kane itu sangat polos, setidaknya aku menganggapnya sebagai seorang teman! Umur kami memang terpaut jauh, tapi itu bukanlah halangan bagi kami untuk menjalin pertemanan. Jadi, rahasiakan hal ini dari siapa pun dan jika kau bertemu dengannya suatu saat nanti, kau harus bersikap ramah padanya!” Mark mengacungkan jari telunjuknya, mencoba memperingatkan Nina. ”Yah, itu pun kalau kau sudah resmi menjadi murid di sana sih,” komentar Mark, kembali menghadapkan pandangannya ke jalan.
“Ya, aku tahu!” Seru Nina dengan nada kesal. “Tapi, kau belum menjawab hal yang kuinginkan. Siapa sebenarnya orang ini? Apa dia anak dari orang berpengaruh? Dia anak orang kaya, politikus atau orang penting dari kerajaan negara lain? Ah, tapi namanya bukan nama orang asing sih.” Gerutu Nina, sambil bertopang dagu dan berpikir.
“Entahlah. Aku tak tahu siapa dia. Yah, selagi dia tidak menjadi batu yang menghalangi jalanmu untuk menjadi seorang Elementalist, kurasa bukan masalah. Yang jelas, dia menolak tawaran Murid Khusus itu dan bersedia menjadi peserta Ujian Seleksi biasa sepertimu.” Kata Mark dengan pelan.
“APA!?” Teriak Nina dengan sangat keras. Nina melongok, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mark.
Mark kaget setengah mati mendengar teriakan keras yang keluar dari mulut Nina. Ia tak menyangka bahwa keponakannya yang tidak pernah teriak sekencang itu, akhirnya melakukannya. Setir mobil yang dipegang Mark melenceng jauh ke kanan, hal ini membuat mereka hampir menabrak Truk yang melintas di samping mereka. Decitan ban mobil yang kehilangan kendali sempat membuat panik Mark dan Nina. Untungnya, Supir Truk punya refleks yang bagus dalam berkendara, mobil truk yang berada di samping mereka dengan cepat melakukan pengereman mendadak sehingga mereka terhindar dari kecelakaan.
Ketika keadaan sudah membaik, truk tadi berusaha menghampiri mobil biru yang dikendarai Mark. Supir truk membuka jendela mobilnya dan menyumpahi mobil yang ada di sampingnya. Mark membuka sedikit jendela mobilnya dan berteriak sambil meminta maaf kepada supir truk itu. Ia pun melotot ke arah Nina, namun Nina memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak tahu.
Nina mencoba mengalihkan suasana, dan menemukan topik yang bagus.
“Ini aneh, kenapa Elementary Academy yang sangat terkenal dalam memperlakukan semua murid di sana dengan setara, secara tiba-tiba melakukan hal seperti ini? Bukankah menjadikan seseorang sebagai Murid Khusus itu akan mengakibatkan kesenjangan sosial pada murid lainnya? Apa yang sebenarnya terjadi di sekolah itu?” Tanya Nina. Keringat di pipinya menandakan betapa keras dirinya berpikir.
“Demi mengendalikan suasana yang baik, mereka merahasiakannya dari publik. Mereka punya maksud tertentu dalam hal itu. Yang jelas, si Notoma Kahnwald ini kelihatannya sangat berbakat dan kuat.” Jelas Mark, memegangi dagunya. “Yah, pihak sekolah sendiri pasti dengan senang hati menerima orang kuat. Kuat di usia yang muda akan membuat dunia berputar dengan mudah di sekeliling kita, begitulah cara kerja dunia ini.” Komentar Mark, mengenakan Fedoranya.
“Kuat ya? Aku tak terlalu yakin dengan itu. Notoma Kahnwald. Aku penasaran orang seperti apa dia?”tanya Nina dalam hati. Rasa penasaran dan ketidaksabaran dirinya sedang memuncak. Nina masih membayangkan orang seperti apa Notoma Kahnwald, orang yang yang diberikan status sebagai Murid Khusus namun lebih memilih sebagai peserta Ujian Seleksi. Sambil memikirkan dan membayangkannya, Nina menatap ke jendela mobil.
...****************...
“Baiklah, aku mengantar sampai sini saja. Pihak sekolah seharusnya menjemputmu dari sini. Maafkan Pamanmu ini yang tak bisa menemanimu lebih lama lagi, karena aku juga disibukkan dengan pekerjaan. Untuk barang-barang yang ada di bagasi mobil, nanti akan kubereskan begitu sampai di rumah. Ingat, jangan lengah dan semoga berhasil di ujiannya, Nina!” Tegas Mark dari dalam mobil, memberi semangat pada keponakan sekaligus murid pertamanya itu.
“Terima kasih atas segalanya, Paman Mark!” Nina menundukkan kepalanya.
Mark memutari mobilnya dan melaju pergi dari hadapan Nina.
Nina menolehkan pandangannya pada seseorang yang menghampirinya dari samping. Seorang wanita
dengan rambut pendek berwarna cokelat dengan kemeja putih dan celana jeans hitam. Poninya ia kesampingkan dengan mengenakan jepit rambut berwarna hitam agar serasi dengan warna celananya. Badannya yang ramping seperti model membuat semua pria yang meliriknya terpana saat melewati mereka.
“Nina Rose, benar?” Tanya wanita itu. Wajahnya yang tenang, menatap Nina dengan tajam.
“Iya, benar.” Jawab Nina dengan jujur.
Wanita itu mengeluarkan telepon genggamnya dengan tangan kanan dan menelepon seseorang. Ia menganggukkan kepalanya dan mengakhiri percakapan, kemudian menatap Nina dengan pandangan curiga.
“Maaf, bolehkah aku menyentuh dadamu sebentar?” Tanya wanita itu, menyimpan kembali telepon genggamnya.
“Eh? Untuk apa?” Tanya Nina, terheran.
Wanita itu menyentuh dada Nina tanpa ragu dengan sangat cepat tanpa bisa disadari langsung oleh Nina. Sesaat kemudian, Nina merasakan kesemutan di dadanya. Nina melompat ke belakang dengan kuda-kuda bertarung. Pandangan matanya hanya fokus kepada wanita di hadapannya. Wanita itu menatap mata biru Nina yang menggelora karena terbakar emosi. Wanita itu pun tersenyum kecil.
“Kau! Apa yang kau lakukan padaku barusan!?” Kesal Nina, diambang kemarahan yang membara dan kebingungan yang mendadak sekaligus.
“Saya menggunakan Skill saya pada Anda untuk mengetahui apakah anda benar-benar peserta ujian kami atau orang lain yang sedang menyamar menggunakan identitas anda. Saya benar-benar meminta maaf yang sebesar-besarnya.” Wanita itu menundukkan kepalanya dengan anggun.
“Skill? Apa maksudmu?” Tanya Nina yang tengah kebingungan. Alis mata kanannya terangkat tinggi.
“Benar.” Jawab sang wanita, mengkonfirmasi.
“Apa Skill yang kau maksud itu, adalah kemampuan tingkat lanjut dari penggunaan Energi Elemental!?”
Mata biru Nina terus melotot kepada Petra dengan serius.
“Anak ini...”Komentar sang wanita asing dalam hati. Wanita itu merasakan hal yang aneh ketika berhadapan dengan Nina. Ia merasakan sesuatu yang aneh namun juga menakutkan secara bersamaan begitu merasakan energi jiwa dari Nina. Intuisinya mengatakan bahwa Nina sangat mirip dengan ayahnya, tenang namun juga menakutkan saat berada dalam pertarungan.
Wanita itu pun merapatkan kedua kakinya, dan membungkuk sambil menempelkan tangan kanannya di dada. Ia pun membuka mulutnya.
“Perkenalkan, saya Petra Rochefort. Dewan Sekretaris Elementary Academy.” Petra memperkenalkan dirinya dengan suara yang lembut. Nampak jelas bahwa Petra menghormati Nina.
Nina bergeming mendengar nama keluarga Petra. Ia menyadari bahwa Petra adalah bagian dari keluarga Rudy Rochefort yang terkenal sebagai Elementalist terkuat di dunia dan juga Kepala Sekolah dari Elementary Academy, sekolah yang ia tuju.
“Salam kenal, saya Nina Rose, peserta ujian dengan nomor urut 15. Mohon arahannya.” Nina menundukkan kepalanya.
Tanpa membuang waktu, Petra menuntun Nina untuk mengarahkannya menuju mobil pengantar.
Titik temu antara penjemput dan peserta sebenarnya ditentukan secara acak. Dengan kata lain, titik temunya selalu berbeda tiap tahun. Tentunya, tiap peserta menerima titik temu yang berbeda. Nina mengetahui hal ini, karena itu ia tak kebingungan. Tiap peserta dikirimi surat instruksi yang berbeda. Rudy Rochefort mengatur skema ini demi mencegah intervensi orang luar yang berusaha mengacaukan Ujian Seleksi.
Setelah Peserta bertemu dengan Pengantar, Pengantar diwajibkan untuk mengawal peserta dengan aman. Hal ini dikarenakan Ujian Seleksi tahun lalu mengalami serangan dari orang asing, hanya petinggi sekolah saja yang mengetahui hal itu. Peristiwa itu sengaja ditutupi dan tak diketahui publik karena Kepala Sekolah meminta pemerintah untuk merahasiakan serangan tersebut.
Kembali pada Nina dan Petra yang berjalan menuju mobil. Dari kejauhan, Nina melihat sebuah mobil berwarna hitam. Tiba-tiba Petra berdiri di depan Nina. Pupil matanya yang semula berwarna cokelat berubah menjadi kebiruan. Seketika Nina bergeming, merasakan energi elemental yang terkonsentrasi sangat pekat yang dipancarkan oleh bola mata milik Petra, namun seketika itu juga energi elemental itu lenyap, pupil mata Petra pun kembali seperti semula. Mobil hitam itu berhenti tepat di hadapan mereka. Petra berjalan mendekati mobil hitam itu, kemudian membuka pintu belakang mobil untuk Nina. Meski dilanda kebingungan yang menghiasi
wajahnya, mau tak mau Nina masuk ke dalam mobil itu dan mengambil tempat duduk tepat di belakang supir. Petra mengambil tempat duduk di sebelahnya.
Nina memalingkan wajahnya ke Petra, raut wajahnya yang kebingungan membuat Petra menyadari apa yang ingin ia tanyakan.
“Kita akan pergi ke Hutan Kota.” Jawab Petra sambil melipat kedua tangannya dengan tenang. Pandangannya terus menatap ke depan.
“Ah, begitu.” Komentar Nina, dengan keringat kecil yang menetes di pipi kirinya.
Sang supir pun langsung melajukan mobilnya menuju Hutan Kota Navari, yang sangat terkenal karena keluasan kawasannya.
...****************...
Petra dan Nina memasuki kedalaman Hutan Kota. Semakin mereka berjalan, semakin dalam pula mereka memasuki area tengah hutan. Mereka berjalan cukup lama. Suasana yang canggung membuat Nina merasa tidak nyaman. Perasaannya menggebu-gebu untuk mengalihkan suasana yang canggung itu. Ia ingin mengubahnya menjadi sebuah topik pembicaraan. Hanya saja, ketika melihat sekaku apa Petra di hadapannya, Nina mengurungkan niatnya untuk melakukan itu.
Dengan tiba-tiba, Petra menghentikan langkahnya, Nina pun juga berhenti. Petra berdiri tepat di depan Nina yang mengikutinya dari belakang. Petra mengangkat tangan kanan dan mengarahkannya ke depan. Untuk yang kedua kalinya, Nina merasakan energi elemental yang sama, yang dipancarkan oleh Petra.
Telapak tangan Petra memancarkan energi elemental, udara di sekitar mereka berdua tiba-tiba suhunya berubah menjadi dingin. Tanah di mana mereka berdua berpijak, perlahan-lahan menjadi lembab. Tak hanya itu, angin yang berhembus juga menari-nari di sekitar mereka berdua, membuat dedaunan dan rerantingan berterbangan mengelilingi mereka. Nina memperhatikan Petra dengan seksama. Ia tahu bahwa Petra bisa melakukan tahap lanjut dari penggunaan energi elemental yang pernah disinggung oleh Mark, yaitu Skill. Petra adalah Elementalist kedua yang Nina tahu, yang bisa melakukan Skill. Orang pertama tentunya Mark, paman sekaligus gurunya.
“Lepas!” Ucap Petra, masih mengangkat tangan kanannya.
Rambut Petra yang bergerak-gerak perlahan berhenti. Kemudian, mata Nina terbelalak menatap bangunan megah yang secara perlahan muncul dengan samar-samar di depan mereka. Nina benar-benar terkejut ketika melihat bangunan itu muncul di hadapannya.
Bangunan yang berwarna putih itu sangat bersih, meski dua lantai, interior pada bangunan itu terawat dengan sangat baik walau terlihat tidak ada yang menempatinya belakangan ini karena terlihat sangat sepi dari luar.
“Apakah ini Skill yang anda punya, Nona Petra?” Tanya Nina, memasang wajah yang serius dengan setetes keringat di pipi.
Petra memalingkan wajahnya.
“Benar. Skill yang ku punya memungkinkan diriku dapat mengubah komposisi dari zat yang berterbangan di udara
menjadi hidrogen.” Jawab Petra. “Aku mengendalikan hidrogen ini dan mengaturnya bergerak dengan pola spiral agar tidak mudah disadari oleh siapapun yang mendekat. Dan beruntungnya diriku, semuanya berjalan dengan aman.” Jelas Petra, memandang Nina dengan wajah yang tenang.
Nina sangat takjub begitu mendengarnya.
“Sial, itu Skill yang sangat keren! Apakah kau bisa mengajariku bagaimana caranya untuk menggunakan Skill!? Ah, maafkan aku!” Nina memerah, lupa bahwa dirinya adalah seorang peserta ujian.
Petra tersenyum kecil, kemudian memejamkan kedua matanya dan mengingat sejenak bahwa ia pernah berada di posisi yang sama dengan Nina. Petra mengingat momen disaat dirinya pertama kali melihat Ayahnya memperkenalkan Skillnya. Petra membuka kedua matanya dan membuka mulutnya.
“Aku tak keberatan dengan hal itu. Tapi, karena aku adalah orang yang sibuk, sebagian besar waktuku dihabiskan untuk pekerjaanku di Elementary Academy. Kau tahu maksudnya bukan?” Tanya Petra.
“Benarkah!? Terima kasih, aku akan berusaha semampuku untuk lolos ujian seleksi dan menjadi murid di sini, agar aku bisa mempelajari Skill darimu!” Mata Nina berbinar-binar ketika menyerukannya.
Petra tersenyum kecil lagi. Ia mengajak Nina untuk berjalan mengikutinya, memasuki bangunan yang berada di hadapan mereka. Sambil berjalan, Nina melontarkan pertanyaan yang sedari tadi ingin ia lontarkan kepada Petra.
“Apa tahun lalu Ujian Seleksi tidak berjalan mulus?”
Petra memasang wajah yang datar ketika Nina menanyakannya.
“Begitulah. Setidaknya, kau sudah tahu alasanku untuk memeriksa mu dua kali. Ah, maaf. Gaya bicara saya berubah. Tapi kurasa kau tak keberatan, kan?”
“Ah, tidak masalah sih.” Jawab Nina, merasa aneh dengan Petra yang terlalu mempermasalahkan gaya bicaranya. Namun, Nina tidak tahu bahwa Petra hanya berbicara informal kepada orang yang dia percayai dan dianggap dekat dengannya saja.
Sesosok pria dengan rambut yang acak-acakan kehitaman membuka pintu putih bangunan itu. Ia berjalan perlahan menghampiri Petra dan Nina yang telah menyadari dirinya yang berjalan menghampiri mereka. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan dasi putih yang dilonggarkan. Sepatu dan celananya yang hitam sudah menjadi bukti bahwa dirinya orang yang penting dalam ujian seleksi kali ini. Pria menghentikan langkahnya.
“Nina Rose, kan? Saya Rudger van Touwen, panitia ujian. Peserta lain sudah berada di dalam. Masuk dan berkumpul lah di Aula.” Ucap Rudger dengan tenang.
“Ah, baik!” Nina berlari meninggalkan mereka berdua.
Rudger berdiri di samping Petra yang sedang memperhatikan Nina yang perlahan menjauh dari pandangannya.
“Berapa orang lagi?” Tanya Petra, melipat kedua tangannya di dada.
“Dua orang lagi.” Rudger menggaruk kepalanya.
“Masukkan saja keempat peserta yang terakhir ini dalam satu tim! Mereka terlalu banyak membuang waktu dan membuat kita, para panitia menunggu!” Seru Petra, mencurahkan kekesalannya.
“Lho, bukankah kau sedikit tertarik dengan gadis barusan? Kau bahkan mengubah gaya bicaramu padanya kan?” Komentar Rudger dengan heran.
Petra menatap Rudger dengan sorot mata yang kesal. Ia tak menyangka bahwa Rudger mengetahui hal itu.
“Justru karena aku menyukai gadis itulah makanya aku menyarankan mereka untuk satu tim agar hanya dia saja yang lolos dari keempat peserta ujian yang datang terakhir.”
Rudger memejamkan kedua matanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mengangkat kedua tangannya sebahu, tidak menyangka bahwa orang seserius Petra bisa mengatakan hal yang konyol seperti itu.
“Tidak bisa begitu. Sebagai orang dewasa, kau tidak boleh seenaknya menyalahgunakan kuasamu. Kau pasti lupa ya? Ujian kali ini penilaiannya berdasarkan Tim. Yah, tapi itu ide yang bagus juga apabila orang yang terlambat tergabung dalam satu tim.” Komentar Rudger tersenyum kecil.
“Hah!? Penilaian Ujian Seleksi tahun ini berdasarkan penilaian tim!?” Petra sangat terkejut mendengar berita itu.
...****************...
Nina terlihat kebingungan menyusuri lorong di dalam bangunan. Namun, Nina melihat seseorang di hadapannya dari kejauhan. Ia berusaha mengejar orang itu dan mendekatinya dengan berlari menghampiri dan mendapati bahwa seseorang itu sebenarnya adalah laki-laki seusianya. Begitu mendengar derap langkah kaki Nina yang terkesan terburu-buru, laki-laki itu menoleh ke belakang. Sorot matanya yang tenang dengan bola mata cokelat membuat hati Nina sedikit berdebar karena baru saja menyadari bahwa laki-laki yang ada di hadapannya memiliki tatapan yang tenang dan indah. Laki-laki itu menatap Nina.
“Wow, meski berlari seperti itu cewek ini tidak kelelahan.” Komentar laki-laki itu dalam hati. “Ada apa?” Tanya laki-laki itu dengan memasang wajah yang keheranan.
“Ah, tidak! Aku hanya kebingungan mencari Ruang Aula, hahaha!” Seru Nina, tertawa kecil dengan spontan untuk memberikan kesan yang ramah pada laki-laki itu.
Tatapan mata Nina tak berhenti menyorot mata laki-laki yang ada di hadapannya itu. Laki-laki berambut hitam ini pun menyadari bahwa Nina adalah peserta ujian yang sama dengannya.
“Aku juga mau ke Ruang Aula dan aku tahu di mana Ruangan itu berada. Jika kau mau, kita bisa berjalan bersama. Kau peserta ujian seleksi, kan?” Tanya laki-laki itu, menyarankan solusi terbaik yang dia punya.
“Benar.” Nina terkejut bahwa laki-laki itu peka dengan apa yang terjadi. “Kau juga?” tanya Nina.
“Yah, begitulah.” Jawabnya.
Nina menyodorkan tangan kanannya.
“Meski kau membantuku, aku tak akan segan-segan padamu lho! Aku Nina Rose, peserta ujian seleksi dengan nomor urut 15!” Seru Nina, memandang lawan bicaranya itu dengan tatapan mata yang membara.
“Wuah, sangat kompetitif sekali cewek ini.” Komentar laki-laki itu dalam hati sambil memasang wajah ramah yang tidak nyaman.
Laki-laki itu membalas jabatan tangan Nina.
“Aku Notoma Kahnwald, peserta ujian juga dengan nomor urut 16. Salam kenal!” Seru Notoma pada Nina.
Nina sangat terkejut mendengar nama laki-laki itu.
“Ayah! Ibu! Kakak! Kalian di mana? Huuuhuuu...” Isak tangis seorang bocah berambut coklat dengan tersedu-sedu.
Bocah itu menangisi rumahnya yang terbakar. Tak ada siapapun di dalam kamar yang membara itu. Ia memeluk erat sebuah tas kecil berwarna merah dengan hati-hati. Pandangannya yang terhalang genangan air mata, dada yang perlahan semakin berat disertai pandangan yang menari-nari, memperburuk kondisi bocah berumur 7 tahun itu. Bocah itu pun roboh dan tergeletak di lantai, namun pandangannya masih terjaga meskipun mulai memudar perlahan-lahan. Sorot matanya yang lemas menandakan seberapa buruk kondisi tubuhnya. Yang ia bisa hanya memeluk benda kesayangannya itu, karena ia sudah berjanji kepada kakaknya bahwa ia akan menjaga baik-baik benda itu. Pada akhirnya, bocah itu pun menutup matanya. Tergeletak di kamar tidur rumahnya, yang sedang dilahap oleh kobaran api.
Seketika, Nael membuka kedua matanya. Ia mengangkat badannya dan terduduk. Pandangannya yang kosong, menatap cermin dinding yang lebar dengan tinggi yang sama dengannya. Yang ia lihat adalah pantulan dirinya yang mengenakan tank top hitam dengan wajah yang penuh keringat. Rambut runcingnya yang kecokelatan menjadi lurus ke bawah karena cucuran dari keringatnya yang menetes tanpa ia sadari. Ia menghembuskan helaan napas yang panjang sambil melihat ke bawah, betapa basahnya sekujur tubuhnya. Nael menatap telapak tangan kirinya.
“Lagi-lagi mimpi buruk itu. Tapi kali ini tidak berteriak, ya..?” komentarnya, dalam hati. Ia menggaruk belakang kepalanya dan menapakkan kedua kakinya ke lantai. Meregangkan kedua lengannya ke atas dan ke samping sebanyak dua kali dan memutarnya secara perlahan, bergantian dengan kedua sendi tumit kakinya.
“Ah, benar. Seprai dan selimutnya basah karena keringat. Kupikir aku harus menggantinya, agar tidak merepotkan Ibu nantinya.” Nael pun melepaskan seprai serta selimut dari kasurnya yang berwarna biru tua.
Nael berjalan perlahan, mengambil handuk di beranda kamarnya. “Seharusnya aku meregangkan tubuhku di sini,” komentarnya dalam hati, begitu melihat cahaya matahari pagi yang bersinar dengan hangat. Ia berdiri sebentar selama 10 menit di sana, berpegangan pada dinding pembatas beranda kamarnya dan menatap ke bawah di mana orang-orang sedang berlalu lalang menjalankan aktivitas sehari-hari mereka.
Pandangan Nael fokus ke arah orang yang berlari kecil. Orang itu adalah cewek berambut panjang kecokelatan dengan ikatan ekor kuda yang mencolok. Tapi tidak se mencolok ukuran dadanya yang besar. Dada cewek itu memantul-mantul ke atas dan ke bawah. Menyadari ada seseorang yang memperhatikannya, cewek itu menatap
Nael yang sedang memperhatikannya dari balkon kamar tidur di lantai dua. Mereka bertemu pandang, Nael memerah.
“Oh! Kau sudah bangun, Nael!” Teriak cewek itu. Menyapa cowok berambut acak-acakan itu dengan senyuman.
Nael mencoba memandangnya dengan tenang. Ia pun membuka mulutnya.
“Seperti biasa, Gorilla sepertimu bangunnya pagi sekali.” Komentarnya, menanggapi sapaan hangat dengan balasan yang sinis.
“APA KAU BILANG!?” Lantang cewek itu, mengepalkan kedua tangannya dan memasang kuda-kuda bertarung. Ia memposisikan kaki kanannya ke belakang dan tinju tangan kanannya berada di pinggang sementara tinju tangan kirinya berada tepat di depan dadanya. “KALI INI AKAN KU DOBRAK PINTU KAMARMU!” Teriaknya. Cewek itu berlari ke pintu masuk depan dengan cepat.
Dengan perasaan panik yang melanda, Nael segera berlari ke arah pintu kamarnya yang terbuat dari kayu jati dengan warna biru tua. Sialnya, ia terpeleset dan tersungkur ke bawah karena jari kakinya tidak sengaja menyentuh penyangga pintu kaca geser di berandanya. Tapi ia tak menyerah semudah itu. Meski sakit, kakinya dengan segera bangkit dan melangkah ke depan, di hadapan pintu kamarnya. Tangannya berhasil meraih kunci kamarnya yang masih menggantung pada lubang kunci.
Tapi itu semua terlambat.
DRUAK!
Dobrakan pintu dari luar yang menghantam dirinya dengan sangat keras, datang tanpa permisi. Membuat Nael terbentur pintu kamarnya. Nael terpental beberapa langkah ke belakang, terkapar menahan sakitnya dobrakan barusan. Ia menutupi wajahnya yang perih dengan kedua telapak tangannya.
“Ugh! Gorilla itu benar-benar gila! Brengsek, sakit sekali!” Kesalnya dalam hati.
Cewek itu memasuki kamarnya tanpa diundang, mendapati dirinya yang sedang terkapar kesakitan.
“HAHAHA! ITU AKIBATNYA JIKA KAU BERANI MENGEJEKKU!” Teriaknya, dengan semangat membara. Badannya ia condongkan ke depan sementara kedua tangannya berada di pinggang.
Sayangnya, cewek ini tak menyadari keberadaan pria paruh baya yang menatapnya dengan tajam. Badannya yang tiga kali lipat lebih besar darinya membuatnya merasakan nafsu membunuh yang besar dari belakang, ibarat anak kucing yang dipelototi oleh harimau besar.
DUAK!
Nael melepas kedua tangannya dari wajahnya dan melihat cewek itu jongkok karena kesakitan. Cewek itu merintih sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.
“APA YANG KALIAN RIBUTKAN PAGI-PAGI BEGINI! CEPAT MANDI DAN SEGERA SARAPAN KE BAWAH!” Teriak pria paruh baya itu dengan keras.
“Baik...” Jawab mereka berdua, serentak sambil menahan rasa sakit di wajah dan di kepala.
...****************...
Nael masih memegangi hidungnya yang terasa nyeri. Terlihat hidungnya sedikit membengkak berwarna kebiruan, namun rasa sakit di hidungnya itu tidak sebanding dengan nyeri pada hidungnya. Sementara cewek yang berselisih dengannya tadi, masih memegangi kepalanya. Nael meliriknya diam-diam, namun ibunya yang sedang berdiri di hadapannya menyadari lirikan Nael. Sang ibu memeras handuk kecil berwarna putih dengan air dingin pada baskom yang ia letakan di meja.
“Di hari yang sibuk seperti ini pun kalian masih sering berkelahi?” Tanya sang ibu, memandang anak angkatnya dengan heran dan menempeli handuk putih yang ia pegang ke hidung Nael.
“Dia yang memulai Bu. Aku hanya memberinya pelajaran seperti biasa.” Cewek berambut cokelat berponi tail itu membela dirinya. Ia menghentakkan tangannya ke meja. “Dia memanggilku Gorilla!” Protesnya, memandang Nael dengan wajah yang geram.
Pria besar tadi memasuki ruang keluarga dengan gagah.
“HAHAHA! Kalau Rei itu Gorilla, berarti aku adalah Ayah Gorilla! HUAHAHA!” Ayah Gorilla memproklamasikan dirinya sendiri.
“Ugh, dia malah bangga dengan ejekan itu?” Nerei menggerutu.
“Baiklah, Ayah Gorilla bukannya harus berangkat sekarang?” Wanita yang dipanggil Ibu menyela dengan tawa kecil yang menghiasi wajahnya.
Dengan perasaan yang tertahan dan tak bisa ditampung lagi, Nael tiba-tiba berdiri dengan memasang wajahnya yang serius. Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut.
“Paman Neva, Bibi Marei, ada sesuatu yang ingin ku bicarakan serius dengan kalian!” Ujar Nael, mengepalkan tangan kirinya.
“Kenapa tidak nanti saja, Nael? Ayah sebentar lagi mau berangkat ker—“
“Tidak apa. Kantorku tidak seketat itu kalau berurusan dengan waktu. Mari kita dengar anak kita yang satu ini.” Ucap Nevaria dengan tenang. Ia mengambil kursi di sebelah Nael dan menjatuhkan badannya di sana. Sementara Nerei memalingkan wajahnya dari meja sambil bertopang dagu. Sorot matanya mengindikasikan bahwa ia tidak suka pembicaraan yang akan dimulai Nael.
Sebelum mengatakan sesuatu, Nael mengingat sosok pemadam kebakaran yang menggendongnya keluar dari
kobaran api dari kamarnya, 10 tahun yang lalu. Pria itu menerobos semua api dan menerima puing kayu yang berjatuhan di punggungnya. Tak terkecuali pipinya.
Nael menatap bekas luka bakar di pipi kanan Ayah angkatnya itu dengan serius. Ayah angkatnya itu masih memasang wajah yang serius dan penasaran, dirinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin anak angkatnya itu bicarakan.
“Sudah 10 tahun, aku berada di sini. Begitu banyak hal yang terjadi di antara kita berempat.” Nael menatap ke meja. Mendengar hal itu, Nerei memasang keseriusan di wajahnya dan menatap Nael. Ia mulai memahami ke arah mana pembicaraan ini berakhir. Raut wajahnya mengatakan bahwa ia tidak ingin membahas pembicaraan ini. Bibirnya ingin mengungkapkan sesuatu.
“Pertama-tama, izinkan aku mengucapkan TERIMA KASIH kepada kalian bertiga, telah memperlakukanku dengan baik dan menganggap ku sebagai keluarga sendiri!” Air mata Nael hampir tumpah ketika mengucapkan terima kasih, namun berhasil ia tahan dengan baik, meski semua orang di ruang itu menyadarinya.
“Hidup 10 tahun bersama kalian memang sangat menyenangkan, tapi ada hal yang harus kulakukan.
Aku harus menemukan keluargaku. Untuk itu, aku akan menjadi seorang Elementalist! Aku harus pergi dari sini, berkelana mencari mereka dan menanyakan kenapa mereka meninggalkanku bersamaan dengan rumah kami yang terbakar!” Nael menatap Ayah angkatnya itu dengan wajah yang serius.
Neva dan Marei memejamkan mata mereka seolah-olah mereka tahu bahwa kalimat ini akan muncul. Neva dan Marei sudah siap akan hal itu. Sementara Nerei, menggeretakkan giginya, ia tak tahan menahan perasaannya karena sangat menentang hal itu.
Mendengar pernyataan anak angkatnya, Nevaria berdiri dari kursi. Ia memutar badannya dan berjalan memasuki kamarnya. Nael yang memperhatikannya hanya bisa terdiam. Sementara Marei memegang kedua tangan Nael dengan lembut. Sorot matanya mengatakan bahwa ia sangat khawatir pada anak angkatnya. Ia telah benar-benar menganggap Nael sebagai anaknya sendiri, namun tak menyangka bahwa rasa sayangnya pada anak itu
tak bisa membuat anaknya lupa dengan keluarga aslinya. Marei harus bisa menerima kenyataan bahwa mereka tidak ada hubungan darah dan suatu saat nanti akan meninggalkannya. Nael sebenarnya menyadari hal ini, tetapi ia merasakan sesuatu dari lubuk hatinya terdalam. Ia harus menemukan keluarganya dan menanyakan sesuatu pada mereka, mengapa mereka meninggalkannya di dalam rumah yang terbakar itu.
“Tak peduli kau menganggap ku sebagai ibu atau bukan, yang jelas aku akan mendukung keputusanmu, Nael.” Ujar Marei kepada Nael. Memegang erat kedua tangan anak angkatnya itu dengan lembut.
“Apa yang kau katakan, Bu. Ibu akan selalu menjadi Ibu, yang merawat ku selama ini.” Balas Nael. Mencoba menenangkan wanita paruh baya di hadapannya itu.
Marei tersenyum tipis, mendengar ucapan anak angkatnya. Ia pun membawa baskom berisi air dingin yang perlahan mulai hangat beserta handuk kecil dari meja menuju dapur.
Nevaria kembali dari kamarnya. Ia berjalan ke arah Nael sambil membawa sebuah tas kecil berwarna merah pada tangannya. Ia meletakkannya di atas meja secara perlahan, menunjukkan betapa ia sangat menghargai masa lalu anak angkatnya itu. Ia pun duduk di tempatnya semula, sambil melipat kedua tangannya di dadanya.
Nael sangat kaget melihat benda itu. Ia tak menyangka bahwa tas merah pemberian kakaknya masih terjaga dengan sangat baik. Tak mengira bahwa benda ini masih selamat, bersama dengannya pada hari itu.
“Ini.., kukira sudah terbakar saat aku pingsan waktu itu!” seru Nael, kaget melihat tas kecil itu.
“10 tahun yang lalu, di malam hari ketika aku bertugas di Kantor Pemadam Kebakaran Pusat, Kota Navari, aku dan anggota unit ku mendapat panggilan dari seorang gadis yang melaporkan bahwa rumahnya kebakaran. Ia mengatakan bahwa adiknya masih di dalam.” Nevaria mulai bercerita tentang masa lalu Nael.
Nael tertegun, ingin memotong. Tapi ia tahu bahwa cerita ayah angkatnya itu belum selesai.
“Suaranya teriakannya yang nyaring dan panik melalui telepon, membuat kami harus sampai di sana secepat mungkin.” Neva memejamkan kedua matanya. Mencoba mengingat kembali kejadian yang ia alami pada hari itu. Ia kembali membuka mata dan bibirnya, melanjutkan ceritanya.
“Setelah tiba sampai di TKP, tim pemadam berusaha dengan maksimal untuk memadamkan api dari bangunan
yang kami duga adalah rumah si gadis itu. Kami juga mencari-cari adik dari wanita itu ke seluruh ruangan. Aku, Carl, dan James, kami bertiga mencari anak kecil yang dimaksud dan aku menemukanmu di lantai dua yang sepertinya ruangan itu adalah kamar tidurmu, karena aku melihat dirimu yang terbaring tak sadarkan diri dengan mengenakan pakaian tidur sambil memegang erat tas merah yang kecil ini.” Lanjut Neva, melirik tas kecil berwarna merah itu.
“Aku berhasil membawamu keluar meski harus menahan puing-puing kayu yang terbakar sedang menimpa wajah atau badan belakangku. Tapi itu semua tak penting. Keselamatan nyawa korban adalah yang utama, terlebih lagi korbannya adalah anak kecil berumur 7 tahun.” Neva menatap mata Nael. Nael masih memasang sorot mata yang penasaran. Neva pun kembali menatap meja.
“Begitu kami sampai di luar, unit pemadam yang seharusnya sedang menjalankan tugas mereka, menghilang entah ke mana!” Neva melotot, mengisyaratkan bahwa ia benar-benar tak percaya dengan kejadian yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Nael dan Nerei terkejut, membelalakkan kedua mata mereka bersamaan.
“Kemudian, aku melihat seseorang yang mengenakan jubah bertudung dengan warna hitam yang sedang menggendong seorang gadis berkacamata. Wajahnya yang pucat dipenuhi abu dengan rambut yang panjang kecokelatan sudah membuatku yakin bahwa gadis itu adalah kakak dari anak yang sedang ku gendong, karena rambut mereka berwarna sama.” Neva menelan ludahnya sambil mengatakan kalimat yang terakhir.
Nael menatap meja dengan tatapan kosong. Dirinya sependapat dengan Neva, karena deskripsi kakaknya sesuai dengan cerita Neva. Sekilas, ia mengingat senyuman kakaknya, dengan buku yang ia bawa dan kacamata bundarnya. Ia mengalihkan pandangannya kembali pada Neva.
“Orang itu menggendong kakakmu, dan bertanya padaku.” Ujar Neva, menatap Nael dengan sorot mata yang tajam.
‘”Apa kau melihat buku berwarna hitam di dalam rumah itu?’ Tanyanya, seolah-olah rumah yang terbakar itu tak menarik perhatiannya.” Neva mengubah raut wajahnya dengan penuh kekesalan.
“‘Buku? Daripada membahas itu, aku ingin kau melepaskan gadis itu sekarang juga!’ Kataku, menantangnya bertarung. Aku merasakan niat membunuh yang dingin dari sorot matanya yang tajam. Bola matanya yang berwarna merah takkan pernah ku lupakan. Wajahnya tertutupi oleh gelapnya malam sedangkan rambutnya tertutupi mantelnya yang berwarna hitam. Namun, mendengar suaranya yang begitu feminin langsung membuatku sadar bahwa orang bermantel itu adalah seorang wanita tulen. Mungkin sebaya denganku, karena aku bisa membedakan suara dengan cukup jelas karena latar belakangku yang bekerja sebagai pemadam kebakaran. Teriak demi teriakan orang yang sering kudengar di tengah-tengah kobaran api, membuatku bisa mendeskripsikan jenis kelamin, usia, dan keadaan orang hanya dari suara saja.”
“Tapi, ia menghilang secara tiba-tiba beserta gadis yang ia gendong dari pandanganku. Aku sangat panik saat itu. Meski badanku dua kali lebih besar darinya, tak bisa dipungkiri bahwa hanya seorang elementalist yang bisa membuatku ketakutan seperti itu. Yang kutakutkan bukanlah nyawaku yang terancam, tetapi yang kutakutkan adalah nyawa anak kecil yang berada di pangkuanku serta gadis yang ia gendong sedang dalam bahaya. Terlebih lagi, Carl, James dan tiga orang temanku yang seharusnya memadamkan api menghilang entah ke mana, membuatku semakin khawatir.”
“Tanpa sadar dan tak kusangka sama sekali, kepala belakangku dipukul oleh entah siapa. Mungkin orang bermantel itu yang melakukannya. Aku pun roboh. Namun, semangatku yang membara untuk bertahan hidup, lebih besar daripada rasa takutku saat itu. Bagaimanapun caranya aku tak boleh pingsan begitu saja, aku pun berhasil menyeimbangkan kesadaranku kembali. Dengan refleks yang belum tumpul, aku meloncat ke depan dan memutar badanku tepat ke hadapan di mana arah serangan itu berasal.”
“Beberapa saat setelah itu, di hadapanku muncul sebuah cahaya yang sangat terang disertai dengan suara berfrekuensi yang sangat tinggi. Kelihatannya wanita itu ingin membuatku menutup kedua telingaku dan mengalihkan pandangan darinya agar melepaskan dirimu yang sedang ku gendong erat. Aku tahu dia mengincar mu, namun aku berhasil menahan itu semua sampai suatu ketika seorang anak muda berambut acak-acakan kehitaman berdiri di depanku.” Neva mengernyitkan dahinya seolah-olah tak bisa melupakan momen itu menimpa dirinya.
“‘Refleks yang sangat bagus, Pak Tua. Tetaplah lindungi anak itu!’ Teriaknya, sambil membentangkan kedua tangannya seolah-olah melindungi ku dari serangan yang akan diarahkan padaku.”
“’Anak muda! Apa yang kau lakukan!? Cepat menjauh dari sana!’ Teriakku padanya. Tapi sepertinya sia-sia saja. Karena setelah itu sebuah ledakan yang hebat menimpa tepat di hadapan kami. Ledakan yang hebat menghujani anak muda itu. Ajaibnya, kami tidak terluka segores pun.”
“‘Orang biasa tak ada hubungannya dengan ini, kau tahu?’ Komentar anak muda itu. Baru saja kusadari, anak muda itu ternyata memakai kacamata bundar yang sama dengan kakakmu.”
“Kemudian seorang gadis berambut putih berkepang dua dengan mata hijau yang menyala terang, menghampiri kami dari arah mobil pemadam kami. Mata hijaunya yang menatap kami dengan tenang dan menyala terang di malam hari, sangat indah dan membuatku terpukau akan keindahan bola matanya bagaikan batu zamrud.”
“Seperti biasa, selalu gegabah saat dalam mode bertarung. Andai kata pelindungku tidak tepat waktu, bagaimana nasib bapak ini yang menggendong adiknya Julie? Kamu mau bertanggung jawab atas hal itu, idiot?’ tanya gadis bermata hijau itu.”
“Pak tua ini adalah pemadam kebakaran terbaik di kota ini, bodoh! Tidak mungkin dia akan mati semudah itu, apalagi dengan kondisi fisiknya yang luar biasa ini.’Balas pemuda berkacamata bundar.”
“Apa!? Kamu yakin hanya dari penilaian itu saja? Dasar otak udang! Dia bukan Elementalist, dasar idiot!’ Marah gadis bermata hijau itu.”
“Setelah itu, muncul seorang gadis berambut pendek berwarna hitam di belakang gadis berambut putih itu. Bola matanya sangat merah. Kurasa warnanya sama dengan warna batu delima. Mereka bertiga mengenakan baju yang sama. Sepertinya mereka satu sekolah. Dan kurasa, kau sudah tahu seragam sekolah berwarna hitam di kota ini milik sekolah mana. Karena, hanya sekolah itu saja yang mengenakannya di kota ini.”
“Seragam sekolah Elementary Academy!” Seru Nael dengan serius.
Neva menganggukkan kepalanya.
“Kelihatannya anak-anak itu bertarung menghadapinya, singgungan mereka yang mengatakan bahwa aku orang biasa menunjukkan bahwa mereka seorang Elementalist. Dengan berat hati, aku mengikuti saran dari mereka untuk menjauh. Ketika dua gadis itu menghampiri kami, gadis berambut putih itu mengarahkan ku ke tempat yang lebih aman. Dengan berat hati aku mengikuti saran dari mereka untuk menjauh dari wanita bermantel hitam yang berbahaya itu. Dan cerita ini berakhir dengan dirimu bersamaku di Rumah Sakit Navari. Setelah kutahu bahwa keluargamu menghilang tanpa kabar termasuk kakakmu yang bernama Julie, dan satu-satunya petunjuk yang tersisa hanya bertanya pada ketiga anak muda dari Elementary Academy yang menyelamatkanku, aku dengan senang hati mengadopsi mu bersama kami. Lagipula anak kecil seumuran Nerei di sini pada saat itu tidak memiliki teman dan tak ada yang mau berteman dengannya jadi kupikir akan sangat bagus apabila menjagamu di rumah kami.” Neva tertawa kecil sambil menatap anak perempuannya itu. Nerei mengangkat alis kanannya seakan-akan tidak mengakui itu.
“Lalu, ke mana mereka bertiga setelah rumahku terbakar? Mereka teman-temannya Kak Julie, kan?” Tanpa ragu, Nael menanyakan hal itu dengan gamblang.
“Mereka menyembunyikan informasi itu dariku dan sepakat untuk menjauhkan mu dari masalah ini. Sepertinya mereka bertiga masih mengajar di sana. Karena tahun lalu kulihat mereka muncul di TV.” Ujar Neva, memegangi dagunya.
“Itu artinya, aku tak boleh gagal dalam Ujian Seleksi untuk bisa menemukan kebenarannya dengan bertanya langsung pada mereka! Untuk itulah aku berlatih selama ini!” Nael menatap tangan kirinya dan mengepalkannya. Nerei memperhatikannya dengan seksama.
Marei berjalan menghampiri mereka, memberikan dua pucuk surat kepada Nael dan Nerei.
“Karena itu kalian memutuskan untuk mengikuti Ujian Seleksi ini, ya?” Tanyanya sambil memberikan dua amplop surat berwarna putih dengan cap bulat berwarna hitam kepada Nael dan Nerei.
“Rei, jangan bilang kau juga mau ikut!?” Nael membelalakkan matanya setelah tahu Nerei mengikuti langkahnya.
Nerei menghiraukan pertanyaan Nael dan membuka isi surat itu, ia membaca isinya dalam hati. Kemudian dia bertanya kepada Nael.
“Punyaku dinyatakan lolos seleksi administrasi dan masuk ke tahap Ujian Seleksi. Bagaimana denganmu?” Tanya Nerei, menatap amplop milik Nael.
“Punyaku juga lolos. Tapi, kenapa kau ikut juga?” Tanya Nael, heran. Ia tak menyangka, bahwa selama ini Nerei juga mengincar sekolah yang sama dengannya. Tentu ia tahu bahwa Nerei juga ingin menjadi seorang Elementalist dan mendapat dukungan penuh dari Neva dan Marei, hanya saja ia tak tahu bahwa tujuan sekolah mereka sama, padahal dirinya tak pernah memberitahu Nerei bahwa dia akan mengincar Elementary Academy.
Dengan wajah yang tenang, Nerei mengacuhkan Nael dengan berjalan melewatinya. Ia berjalan menuju tangga dengan perasaan yang mengganjal di hatinya. Tak ada yang tahu dari mereka yang berada di ruangan itu, bahwa sebenarnya dirinya tidak ingin hal ini terjadi. Usia adalah musuh terbesarnya, yang mengacaukan kesenangan hari-harinya yang ingin ia jalani selamanya. Hal ini terjadi karena ia sangat membenci perpisahan.
...****************...
Sebulan telah berlalu, Nael masih mempertanyakan keadaan Nerei yang membisu sejak hari di mana ia menyatakan ingin menjadi seorang Elementalist dan mencari keluarganya yang menghilang. Ia mengenakan tank top berwarna cokelat pada malam hari ini. Kebiasaannya yang tidur dengan mengenakan tank top adalah karena untuk membuat dirinya terhindar dari mimpi buruk yang melandanya tiap malam. Nael terduduk di kasur, menapakkan kedua kakinya di lantai dan membungkukkan badannya. Dagunya menempel pada kedua punggung tangannya yang terlipat.
“Keluarga, ya?” Tanya Nael dalam hati. Merebahkan punggungnya ke kasur yang ber seprai putih. Pandangannya menatap langit-langit kamar. Ia meletakan lengan kirinya ke dahi. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah, Ibu dan Kakak? Kenapa mereka tak memberitahu kabar mereka kepadaku? Apa yang sebenarnya mereka coba rahasiakan dariku?” Lanjutnya, terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri dan menenangkan pikirannya dengan mencoba mencari teori kenapa keluarganya meninggalkannya.
Tok tok!
Nael mendengar seseorang mengetok pintu kamarnya.
“Nael, kau masih bangun?” Tanya Nerei dengan pelan dari balik pintu.
“Ya, masih. Ada apa Rei?”
“Boleh kubuka pintunya?”
“Masuklah.”
Nerei membuka pintu kamar Nael yang kokoh itu. Hanya keluarga Skia lah yang menjadi saksi bisu, bahwa Nerei menjadikan pintu itu sebagai benda pelampiasan karena menjadi gerbang penghalang baginya untuk meninju Nael jika Nael membuatnya kesal, dan hal ini bisa terjadi 10 kali dalam sehari. Pintu yang kokoh itu adalah salah satu kenangan menyebalkan namun berharga baginya. Nerei mengusap pintu kamar Nael dengan wajah sedih.
“Ada apa?” Nael membangunkan badannya dari kasur, dan terduduk seperti sebelumnya.
Nerei mengambil kursi belajar Nael yang ada di sebelah kasurnya, dan duduk di sana dengan menghadapkan pandangannya ke Nael. Nerei menghela napasnya dengan panjang. Nael memerah karena area dada pada tank top merah yang dipakai Nerei membesar begitu dia menghela napasnya.
“Cewek ini, benar-benar punya dada yang besar!” Komentar Nael, sambil memalingkan wajahnya ke samping dengan segera.
“Apa kau mau bertarung denganku sekali sebelum kita berpisah?” Tanya Nerei dengan sorot mata yang serius.
“Hah?”
Nael membelalakkan kedua matanya dan memasang wajah herannya tanpa ragu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!