NovelToon NovelToon

Survival Hati

Kakak Pembina

Zea Aqilla, adalah seorang gadis pecinta Alam yang begitu mencintai dunia kepanduan, atau biasa disebut dengan pramuka. Alasannya simpel, karena dia sangat menyukai alam. Zea adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakak laki-lakinya memiliki sifat yang berbeda. Zea selalu cocok dengan kakak sulungnya bernama Azzam dan selalu cekcok dengan kakak keduanya, bernama Ayub. Ayahnya bernama pak Bilal, seorang guru agama islam, yang begitu demokratis, humoris dan romantis, terutama kepada sang istri. Sedangkan ibunya bernama ibu Gina, seorang ibu rumah tangga, yang begitu menyayangi ketiga anaknya juga suaminya.

Zea sangat mencintai dunia pramuka, sejak dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Zea mengikuti ekskul Pramuka Siaga, dengan sangat aktif dan selalu semangat. Sejak kelas empat SD, Zea sudah menjadi anggota pramuka siaga, dan saat masuk di kelas enam, Zea diangkat menjadi ketua regu di setiap even pramuka.

Mari kita ikuti kisah Zea, hingga dia bertemu dengan seseorang yang berhasil mengisi hatinya.

💕💕💕

"Baik anak-anak, mulai hari ini, kalian akan berlatih pramuka dipandu oleh seorang kakak pembina yang baru, ibu akan kenalkan kalian kepadanya ya." kata bu Ira, guru Bahasa Indonesia, sekaligus guru yang diamanahi untuk mendampingi anak didiknya mengikuti kegiatan Ekstra Kurikuler Pramuka.

"Silakan kak Syamil." kata bu Ira kepada pemuda berperawakan tinggi, badan tegap, tidak terlalu gemuk, dan tidak terlalu kurus. Badannya suspek, dan berisi. Wajah yang putih bersih, dengan hidung mancung dan mata bulat dan bulu mata yang lentik, menambah aura ketampanannya bertambah.

"Terimakasih bu Ira." jawab Pria bernama Syamil. Kemudian Syamil berdiri di hadapan barisan anak-anak SMP dengan seragam coklat tua dan coklat muda serta topi baret yang dikenakan mereka. Begitupun dengan Syamil yang juga mengenakan seragam yang sama seperti teman-teman baru yang ada di hadapannya.

"Selamat sore adek-adek." sapa Syamil ramah, dengan wajah yang menyunggingkan senyuman teduhnya, membuat setiap gadis klepek-klepek dibuatnya.

Semua peserta yang berbaris, seketika melepaskan genggaman tangan di belakang, dan di luruskan disamping, dengan sikap siap, menjawab secara serempak.

"Selamat sore kak." jawab Mereka.

"Baik, syukur Alhamdulillah, di hari ini saya di pertemukan dengan adek-adek semua di sekolahan ini dengan keadaan sehat." kata Syamil mengawali.

"Ya, perkenalkan, seperti yang sudah di sampaikan bu Ira tadi, saya adalah pembina baru di sekolahan ini, di sini saya akan membantu bu Ira dan pak Hadi untuk mendampingi adik-adik semua belajar kepanduan. Nama saya Syamil Shalahuddin, atau biasa di panggil Syamil. Saya masih sekolah, sekolah saya di SMK Nusantara. Tempat tinggal saya tak jauh dari sini, tepatnya di komplek pasar Joho. Dulu, saya juga alumni SMP ini, itu sebabnya, saya diutus oleh bu Ira dan pak Hadi untuk bergabung kembali di sini. Seperti itu, perkenalan dari saya, ada yang ingin ditanyakan?" tanya Syamil ramah.

Selama perkenalan, kusak kusuk suara para peserta, terutama barisan putri, hingga akhirnya ada seorang gadis yang bertanya dengan mengangkat tangan kanannya.

"Saya kak."

"Ya, silakan." jawab Syamil.

"Saya Jeni kak, boleh minta nomernya ga kak?" tanya Jeni dengan wajah malu-malunya.

"Nomer? Nomer apa ya? Nomer sepatu? Atau baju?" tanya Syamil berkelakar, seketika wajah Jeni memerah menahan malu.

"Huuuu." seruan teman-teman yang ditujukan kepada Jeni yang memang suka bersikap genit.

"Heheh, maaf maaf. Bercanda ya Jeni. Maaf. Baik, untuk nomer HP ya, tetapi yang tau bu Ira dan pak Hadi, nanti kalian bisa minta kepada beliau berdua." jawab Syamil berusaha menenangkan suasana.

"Okey kak, makasih." jawab Jeni dengan centilnya.

"Ada lagi?" tanya Syamil.

"Saya kak."

"Ya silakan." jawab Syamil ramah.

"Maaf kak, saya mau tanya, kak Syamil nanti akan mengajar pramuka, atau hanya melatih kami selama akan mengikuti kegiatan Jambore? Lalu, kalau boleh tau, kak Syamil ini selain sekolah, apakah ada kegiatan kepanduan di luar sekolah?" tanya Zea.

"Luar biasa, pertanyaan yang luar biasa ya? Ehm, siapa namamu dek?" tanya Syamil.

"Zea, kak." jawab Zea.

"Okey, mungkin dek Zea masih ragu dengan saya ya? Saya ini pelatih abal-abal atau bukan... hehe. Baik, jadi gini, saya disini diminta pak Hadi dan bu Ira untuk mengajar pramuka setiap pekannya, terutama pada waktu menjelang mengikuti kegiatan jambore ini. Jadi, InshaaAllah saya akan lama di sini. Begitu, kemudian, untuk kegiatan kepanduan, kebetulan periode ini, saya diamanahi menjadi ketua kwartir cabang kecamatan Manjaya ini. Selain berkegiatan di kwartir cabang, saya juga mengikuti kegiatan saka Bhayangkara, yang saya ikuti di kantor polres. Dan tentunya, saya juga menjadi bagian dari Dewan Ambalan di sekolahan saya." jawab Syamil panjang kali lebar.

Tampak semua peserta pramuka manggut-manggut mendengar penjelasan Syamil, bahkan ada yang terkagum-kagum dengan aktivitasnya yang sangat banyak, termasuk Zea.

"Seperti itu, ada pertanyaan lagi?" tanya Syamil sambil melihat satu persatu wajah-wajah calon peserta jambore, yang menjadi pilihan sekolah dari ratusan siswa di SMP itu.

"Siap, cukup kak." jawab Zea.

Syamil melihat gadis cantik dan imut itu tampak tertib dengan sikapnya sebagai seorang pandu.

"Baik, jika tidak ada pertanyaan, saya akan melanjutkan pelatihan pada hari ini. Perhatian, pimpinan saya ambil alih, siap grak!" ucapnya tegas dengan sikap sempurna PBB. Semua peserta PBB secara otomatis mengikuti setiap perintah dari pembina barunya. Hingga jam perpulangan tiba.

"Ze, kamu pulang naik apa?" tanya Naya, sahabatnya.

"Biasalah, dijemput." jawab Zea.

"Oh, ya udah. Kalau gitu, aku duluan ya Ze." kata Naya.

"Ya, Nay, hati-hati ya." jawab Zea.

Naya pun melangkah gontai menuju parkiran sepedanya, sedangkan Zea berjalan menuju gerbang utama sekolahan, karena di sanalah dia akan menunggu kakaknya menjemput.

"Duh, selalu deh, pasti dia telat lagi jemput ya. Nyebelin banget sih." gerutu Zea saat melihat jam tangannya sudah hampir menunjukkan waktu maghrib. Namun sosok kakaknya belum juga muncul untuk menjemputnya.

"Assalamualaikum." sapa seorang laki-laki ramah kepadanya.

"Wa'alaikumussalam. Eh, kak Syamil." jawab Zea.

"Sendirian aja? Kok belum pulang, nunggu apa?" tanya Syamil.

"Hehe, iya kak. Nunggu jemputan kak." jawab Zea sambil nyengir kuda.

"Oh, dijemput ya? Emang rumahnya mana?" tanya Syamil.

"Di desa Manggis kak." jawab Zea.

"Manggis? Wah, lumayan juga ya?" tanya Syamil.

"Iya kak."

"Ehm, Zea biasanya juga begini? Dijemput gitu?" tanya Syamil.

"Cuma kalau pramuka aja kak. Karena kakak saya ga ngijinin saya pulang sendirian kalau sore." jawab Zea.

"Oh, gitu ya? Baik juga ya kakakmu?" puji Syamil.

"Ya, alhamdulillah." jawab Zea sambil melihat ke Utara, tampak kakaknya sudah menuju ke arahnya dengan motor vespa putihnya.

"Ehm, maaf kak, saya duluan ya kak." kata Zea berpamitan.

"Oh, ya. Sudah dijemput ya? Okey, hati-hati ya." jawab Syamil sambil melambaikan tangan dan mengangguk ramah memberikan isyarat penghormatan kepada kakaknya Zea.

Zea sudah duduk di jok belakang motor vespa milik kakaknya, sambil menoleh ke arah Syamil yang ternyata menatapnya, saat melihat itu, Zea segera memalingkan wajahnya dengan sebelumnya mengangguk sungkan kepada Syamil terlebih dahulu, dan kemudian melihat ke depan.

"Siapa laki-laki itu?" pertanyaan pertama yang pasti muncul dari kakaknya, setiap kalian sang kakak melihat Zea bersama laki-laki asing.

"Kakak pembina baru, di sekolahan ku." jawab Zea.

"Hati-hati sama orang baru, ga udah sok ramah kalau belum kenal." tegur Ayyub, kakak Zea yang masih sekolah di bangku putih abu-abu.

"Iya." jawaban Zea yang selalu sama ketika mendapat teguran dari sang kakak.

💕💕💕

Hai dear, Kembali ketemu dengan Dede di karya baru Dede berjudul Survival Hati. Dari bacaan bab pertama ini, semoga reader suka ya dengan karya baru Dede ini. Semoga bermanfaat😘

Abdi Negara

"Assalamualaikum." salam Syamil sesampainya di sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari SMP tempat dia mengajarkan pramuka tadi sore.

"Wa'alaikumussalam. Bang Syamil, kamu baru pulang? Sudah sholat belum?" tanya Mama Hastin.

"Sudah kok mah, tadi Syamil mampir di masjid." jawab Syamil sambil mencium punggung tangan mamanya dengan khidmad.

"Ya sudah, segera mandi gih, papa juga sudah pulang, kita makan malam bareng ya." kata mama Hastin mengusap punggung Syamil.

"Papa pulang jam berapa ma?" tanya Syamil.

"Tadi, jam lima. Udah sana, segera mandi, nanti papa menunggumu terlalu lama." titah mamanya.

"Siap ma." jawab Syamil sambil bergaya seperti pasukan dengan sikap hormat. Mama Hastin hanya tersenyum menanggapi sikap putranya yang terkadang konyol, tetapi memang seperti itulah sikap sang papa setiap bercanda dengan anak-anaknya.

Syamil adalah anak sulung dari dua bersaudara, dan kini mamanya sedang hamil besar anak kembar. Sehingga kemungkinan, Syamil akan memiliki tiga adik, di usia Syamil yang menginjak usia tujuhbelas tahun. Ayah Syamil adalah seorang abdi negara yang bertugas di bidang ketertiban dan keamanan masyarakat, yang tidak lain adalah seorang polisi yang saat ini sedang bertugas di kantor polsek. Dan tentunya, sudah jelas, bahwa mamanya Syamil adalah seorang ibu rumah tangga yang disebut dengan anggota Bhayangkari, karena dia adalah istri seorang polisi.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Syamil segera melaksanan perintah mamanya untuk ikut serta bergabung di meja makan bersama papa dan mamanya serta adiknya yang kini sudah menginjak remaja.

"Assalamualaikum papa." salam Syamil pada papanya dengan mencium punggung tangan papanya yang baru saja pulang dari tugas di luar kota.

"Wa'alaikumussalam nak. Kamu sehat?" tanya papanya yang bernama Heru.

"Alhamdulillah, sehat pa. Papa juga sehat kan?" tanya Syamil.

"Alhamdulillah." jawab Pak Heru.

"Mama, sini biar Syahla bantu." tawar Syahla sambil bergegas membantu mamanya yang membawakan sebuah teko berisi teh hangat.

"Ada yang bisa Syamil ambilkan lagi tidak ma?" tawar Syamil berjalan menuju dapur.

"Oh, ya itu. Mama mau ambil buah." jawab mama Hastin.

"Baik, mama duduk saja, biar Syamil sama Syahla yang siapin semuanya." kata Syamil sambil memegang pundak mamanya.

Dengan perlahan, Mama Hastin berjalan menuju kursi makan sambil memegang perutnya yang buncit.

"Hati-hati ma." kata pak Heru menarik kursi untuk istrinya duduk.

"Terimakasih pa." jawab mama Hastin.

Bu Hastin dan pak Heru melihat kedua anaknya yang sudah remaja, tampak cekatan menyiapkan makanan di atas meja makan dengan tersenyum.

"Mereka sudah remaja ya ma." kata pak Heru.

"Iya pa." jawab bu Hastin.

Kemudian setelah dirasa cukup, Syahla dan Syamil duduk di kursi mereka masing-masing.

"Sudah siap semua?" tanya pak Heru.

"Siap pa." jawab Syahla dan Syamil bersamaan.

"Bang Syamil, pimpin doa!" perintah pak Heru.

"Baik pa." jawab Syamil sigap.

"Sebelum kita makan, mari kita berdoa bersama, Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma Baariklana Fiima rozaqtana waqina 'adzabannar. Aamiin. berdoa selesai." kata Syamil.

"Mari kita makan." kata pak Heru.

Menjadi anak dari seorang polisi dari tingkat terbawah, membuat Syamil dan Syahla tumbuh menjadi anak yang mandiri, tegas, disiplin dan rajin. Mereka juga hidup sederhana, dengan tinggal di rumah dinas tempat papanya bertugas. Sudah dua kali Syamil merasakan pindah sekolah, karena mengikuti papanya pindah tugas, dan kini, Syamil berharap, mereka tidak akan pindah-pindah lagi.

Malam itu, Mereka makan bersama dengan tidak mengobrol, karena itu didikan pak Heru sejak anak-anaknya masih kecil. Setelah makan selesai, Syamil mengajak Syahla membereskan alat makan mereka, sedangkan Mama mereka diminta untuk istirahat.

"Ma, kemungkinan besar, tahun depan kita akan pindah mah." kata pak Heru membuka percakapan.

"Pindah ke mana pa?" tanya bu Hastin.

"InshaaAllah ke Jawa ma." jawab pak Heru.

"Oh...ya, sudah, kemanapun papa ajak kami pergi, kami siap pa." jawab bu Hastin.

"Dan, InshaaAllah, di sana nanti adalah tempat kita tua nanti ma. Karena kalau dihitung-hitung, tabungan papa sudah mencukupi untuk membeli rumah di sana." kata pak Heru.

Bu Hastin tampak terkejut.

"Papa serius?" tanya bu Hastin.

"InshaaAllah ma. Serius. Papa sudah mulai mencari-cari tempat tinggal yang pas di sana, semoga nanti anak-anak juga senang tinggal di sana." kata pak Heru.

"Iya pa. Semoga." jawab bu Hastin.

"Bagaimana keadaan kandunganmu ma? Kapan waktunya periksa lagi?" tanya pak Heru sambil mengelus perut buncit istrinya.

"InshaaAllah, lusa pa. Sama USG pa, karena sudah mendekati HPL." jawab bu Hastin.

"Semangat ya ma. Semoga mama sehat dan selamat nanti saat melahirkan si kembar." kata pak Heru.

"Aamiin pa." jawab bu Hastin.

💕💕💕

Sedangkan di sebuah rumah sederhana yang terletak di sebuah komplek perumahan Nasional (perumnas), tampak dua anak remaja baru turun dari motor vespanya.

"Assalamualaikum." salam Zea sambil mengetuk pintu setelah melepaskan sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu.

"Wa'alaikumussalam." jawab bu Gina, ibunda Zea yang tergopoh-gopoh dengan masih mengenakan mukena, membukakan pintu utama untuk kedua anaknya yang baru pulang.

"Kalian baru pulang?" tanya Bu Gina sambil menyalami anaknya dan tangan kiri mengelus kepala anak-anaknya.

"Iya bun, gara-gara bang Ayyub tuh jadi kemaleman kan pulangnya." gerutu Zea sambil cemberut dan masuk ke dalam kamarnya.

"Ye... gue udah bilang sorry juga, kenapa masih ngomel sih? Maaf bunda, tadi Ayyub ada acara gladi bersih di sekolahan buat acara besok bun. Jadi maaf, telat bun." kata Ayyub menjelaskan alasan terlambatnya.

"Ya sudah gih, sana sudah malam, segera mandi dan sholat. Kalian pasti belum sholat kan?" tebak bu Gina.

"Belum bunda." jawab Ayyub, yang meletakkan ranselnya di kamar. Sedangkan Zea sudah keluar dari kamarnya dengan membawa handuk untuk segera mandi.

"Dek, abang dulu lah, kamu kan mandinya lama. Abang keburu telat ini maghribnya." kata Ayyub dengan wajah protes.

"Biarin, salah siapa ngebiarin adiknya nunggu lama-lama di sekolahan." omel Zea dengan tidak mengindahkan kata-kata abangnya.

"Bang Ayyub ambil wudlu duluan aja, biar ga telat sholatnya. Nanti mandinya abis sholat gapapa." kata bu Gina menengahi supaya pertengkaran kedua anaknya tidak berlanjut.

"Hhh, dasar Zea! Ya udah bun, Ayyub sholat dulu aja." keluh Ayyub.

Setelah mandi dan Sholat, Zea segera keluar dari kamarnya, dan berjalan ke lantai satu menuju dapur, karena lantai dua sebagai kamar Zea dan ayah bunda nya, sedangkan satu kamar di lantai satu untuk kamar Azzam bersama Ayyub.

Didapatinya mamanya sedang menata makan malam untuk mereka.

"Bunda, Zea bantuin ya." tawar Zea.

"Makasih sayang." jawab bu Gina.

Bu Gina menyiapkan makan malam di karpet depan televisi. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu bersama di ruang itu ketika ba'da isya' setelah mereka mengaji dan menjalankan sholat isya'.

Rumah kecil dan sederhana itu, membuat rumah pak Bilal semakin sempit ketika mereka sedang berkumpul. Karena pak Bilal yang berprofesi sebagai seorang abdi negara di bidang pendidikan, membuatnya harus pandai-pandai mengatur keuangan dan berusaha memberikan tempat tinggal yang nyaman untuk anak dan istrinya, meski hanya sebuah rumah kecil dan sederhana.

"Assalamualaikum Zea, Ayyub." salam seorang laki-laki yang tak asing bagi Zea. Zea mendongak dan mendapati wajah cerah dan bening kakak sulungnya yang sudah beberapa bulan pergi untuk belajar di pondok pesantren.

"Bang Azzam." pekik Zea sambil menghambur ke dalam pelukan abangnya.

"Kamu sehat dek?" tanya Azzam lembut, sambil mengelus pucuk kepala Zea yang tak terbalut jilbab.

"Alhamdulillah bang, sehat. Bang Azzam kapan datang?" tanya Zea.

"Baru tadi sore, pas adzan Ashar." jawab Azzam.

"Hem...pantesan bunda masaknya lumayan banyak, ternyata bang Azzam di rumah ya?" kata Zea.

"Iya." jawab Azzam yang berjalan ke arah Ayyub, dan Ayyub dengan khidmad mencium punggung tangan abangnya.

"Sehat Yub?" tanya Azzam.

"Alhamdulillah bang, sehat." jawab Ayyub.

"Nah, karena sudah berkumpul, dan makanan juga sudah terhidang, bagaimana kalau kita mulai makan malamnya?" tanya pak Bilal yang tersenyum bahagia melihat ketiga anaknya tampak akur.

Pak Bilal melihat ketiga anaknya yang sudah menginjak dewasa, tersenyum bahagia, karena ternyata rumah mereka kini ramai lagi, meski tak akan lama, karena beberapa waktu lagi, mereka akan pergi untuk mencari ilmu di luar kota.

Tampak Zea bahagia makan bersama Azzam, dan sesekali disuapi Azzam, sedangkan Ayyub tak bergeming dengan tingkah kakak dan adiknya, karena bagi Ayyub, mereka terlalu berlebihan.

💕💕💕

Bab kedua di survival hati. Wah, buat para reader yang pernah merasakan hidup sederhana dan penuh kehangatan seperti mereka, semoga cerita ini bisa menjadi obat rindu untuk kalian... love you😘

Pesona Kakak Pembina

Siang itu Syamil masih berkutat dengan tugas-tugas sekolahnya di mata pelajaran jam terakhir. Jam sudah menunjukkan pukul 14.30, yang mana waktu belajar akan segera usai.

Kriiiing....kriiiing....kriiiing...

Bel jam perpulangan telah berbunyi, guru yang mengajar di kelas Syamil juga sudah bersiap merapikan barang bawaannya.

"Baik, itu tugasnya di lanjutkan di rumah, besok pertemuan selanjutnya langsung di kumpulkan ya. Sekian dulu pelajaran kita hari ini, Selamat siang." kata guru Matematika Syamil bernama pak Hendro.

"Ya pak..." jawab Syamil dan teman-teman sekelasnya secara serempak.

Saat sang guru sudah keluar, Syamil yang masih berusaha menyelesaikan tugasnya tak menghiraukan teman-temannya yang sudah keluar.

"Syamil nih, rajin bener..." kelakar teman perempuan Syamil yang supel.

"Hehe, iya Ra, nanggung ini, udah mau selesai, nanti malah kelupaan lagi." kata Syamil.

"Ya udah, gue duluan ya Mil." kata gadis itu.

"Iya." jawab Syamil.

Tak lama kemudian, datang sahabat Syamil yang berbeda kelas, dia datang ke kelas Syamil dan menyapanya.

"Mil, lo langsung pulang kan hari ini?" tanya sahabat Syamil yang bernama Rendi.

"Ehm, kenapa emangnya Ren?"tanya Syamil.

"Kebiasaan nih lo, kalau ditanya bukannya ngejawab malah balik nanya." sewot Rendi.

"Gue mau nebeng nih. Motor gue di sita bokap, gara-gara kemarin gue pake buat balapan, lupa ga ngisi bensin." kata Rendi.

"Hahaha, lagian elo tu kalau niat mau balapan, konsekuen juga dong isi bensin." jawab Syamil sambil terkekeh.

"Bisa kan gue nebeng?" tanya Rendi lagi.

"Lo keburu pulang ga? Kalau engga, nebeng gue gapapa. Tapi kalau keburu, nebeng yang lain aja." jawab Syamil.

"Ya engga lah. Gue malah mau main ke rumah lo aja Mil. Males di rumah, ga ada kegiatan. Mau gabung temen-temen, lagi bokek gue." kata Rendi lagi.

"Kok bisa?" tanya Syamil masih sambil merapikan bukunya yang sudah selesai dia kerjakan.

"Biasalah... kemarin abis buat nyervis motor." jawab Rendi.

Syamil geleng-geleng kepala menanggapi sikap sahabatnya satu ini. Karena dia sudah hapal betul dengan sahabatnya yang terkadang sok miliader, tapi mendadak jadi sok kere juga.

"Hari ini gue ada jadwal ngajar pramuka di SMP Nusantara, deket rumah itu. Kalau lo mau, lo ikut gue ke sana." kata Syamil.

"Ke sana? Wah, pasti ketemu cewek-cewek ABG dong? Okey lah, siap, gue mau ikut." jawab Rendi dengan semangat empat lima.

"Dasar buaya darat!" kata Syamil sambil mencangklong ranselnya.

Syamil dan Rendi berjalan menuju parkiran motor untuk mengambil motor Syamil yang terpakir di sana. Motor keluaran lama yang senantiasa di rawat Syamil dengan sepenuh hati, sehingga selalu tampak baru dan bersih. Mesinnya juga tidak kalah dengan moto-motor keluaran baru, sehingga Syamil sangat jarang mengeluhkan kondisi motornya.

"Keren ya lo Mil, motor butut begini masih keliatan kinclong aja Mil, pinter lo yang ngerawat." komentar Rendi saat menaiki motor Syamil.

"Hahaha, ya begitulah. Gue cuma berusaha menjaga barang milik gue dengan baik, karena gue sadar diri, bahwa orangtua ku bukan orang berada yang bisa langsung membelikan apa yang ku mau." jawab Syamil sambil memakai helmnya.

"Cakep... salut gue sama elo Mil. Eh, iya. gue lupa. Gue ga bawa helm Mil, soalnya tadi gue nebeng bokap naik mobil." kata Rendi sambil menepuk keningnya.

"Hahaha, lagu lama bro. Udah sering elo kaya gitu. Ya udah, ayo. Entar gampang, cari jalan tikus aja." kata Syamil.

"Wokey, siap. " jawab Rendi.

Motor Syamil melaju sampai di SMP Nusantara. Di sana sudah ada seorang pembina pramuka yang memang biasa mengajar ketika hari ekskul pramuka, yaitu hari jum'at. Dan Syamil hanya diminta untuk melatih para calon peserta jambore, di hari senin dan rabu. Selebihnya, Syamil sibuk dengan kegiatannya sendiri di Saka Bhayangkara, di kantor kwartir Cabang dan di Dewan Ambalan.

"Assalamualaikum pak Hadi." salam Syamil sambil menyalami guru mapel di SMP itu sekaligus guru yang di beri tanggung jawab sekolah untuk mendampingi ekskul pramuka.

"Wa'alaikumussalam, mas Syamil. Silakan masuk mas. Itu sementara di pegang sama pembina yang biasanya mas, namanya mas Bahtiar. Kebetulan dia hari ini free katanya, makannya dia ke sini dan melatih mereka, sambil menunggu mas Syamil." terang pak Hadi.

"Oh, ya pak, tidak masalah bagi saya." jawab Syamil.

Syamil melihat dari kejauhan, mendung tampak gelap dari arah barat, dan angin mulai terasa menerpa mereka dengan cukup kencang.

"Mil, kayaknya mau hujan ya." kata Rendi.

"Iya Ren. Lo gapapa kan di sini dulu?" tanya Syamil.

"Ya gapapa Mil. Itu barisan ga lo ambil alih dulu Mil?" tanya Rendi.

"Gue sungkan Ren. Gue ga kenal dia soalnya." jawab Syamil.

"Langkah tegap majuuuu, jalan!" titah pembina bernama Bahtiar pada pasukan PBB yang sedang di latih di tengah lapangan upacara itu.

Pasukan pun berjalan dengan menghentakkan kaki mereka dan tangan yang diayunkan dengan posisi tegap. Tampak seorang gadis berjilbab putih, yang fokus dengan aba-aba dan fokus dengan barisan nya, menjadi titik fokus Syamil.

'Gadis itu?' batin Syamil yang melihat sosok seorang Zea yang fokus dan dengan wajah serius mengikuti instruksi.

Tak lama kemudian, hujan turun dengan frekuensi yang mendadak cepat, dan titik hujan yang besar membuat tangan dan kepala terasa sakit ketika terkena terpaannya.

"Pasukan, siap grak!" teriak Bahtiar.

Syamil langsung berlari ke arah Bahtiar dengan meletakkan telapak tangannya di atas kepala untuk melindungi kepalanya dari hujan.

"Maaf kak, apa tidak sebaiknya istirahat dulu?" tanya Syamil.

"Baik." jawab Bahtiar.

"Pasukan, balik kanan, bubar jalan!" perintah Bahtiar kepada pasukan barisan.

Setelah balik kanan dan bubar jalan, mereka berlari berhamburan mencari tempat berteduh, pun begitu dengan Bahtiar yang langsung lari. Namun, saat semua berhamburan mencari tempat berteduh, seorang gadis tampak terjatuh dan memegang kakinya, seketika Syamil yang mendengar orang terjatuh langsung berbalik badan dan menghampiri orang itu.

"Maaf, saya bantu ya." tawar Syamil sambil berusaha membangunkan gadis itu, dengan tanpa melihat wajahnya.

Namun, gadis itu kesulitan untuk berdiri, saat akan dipapah Syamil, akhirnya gadis itu terjatuh lagi, sedangkan hujan sudah semakin deras, dan teman-teman yang lain sudah masuk ruangan karena angin besar dan hujan yang sudah semakin deras.

"Maaf, saya ijin menggendongmu ya, karena tidak memungkinkan jika hanya memapahmu." kata Syamil sambil bersiap membopong gadis itu, yang ternyata itu adalah Zea, gadis yang kemarin dia temani di gerbang depan saat dia menunggu jemputan.

Zea membenamkan wajahnya di dada bidang Syamil, sedangkan Syamil berusaha berjalan cepat mencari tempat berteduh, untuk meletakkan Zea yang kesakitan.

Setelah tiba di rumah kelas yang sudah disediakan oleh bu Ira, untuk berteduh para calon peserta jambore, Syamil segera meletakkan Zea di meja yang sudah disediakan bu Ira untuk Zea beristirahat.

"Zea kenapa Kak?" tanya Bu Ira cemas.

"Tadi jatuh bu, sepertinya terpeleset, dan kakinya terkilir mungkin, karena dia kesulitan untuk berdiri." jawab Syamil.

"Ya sudah, biar ibu coba obati lukanya. Dian, tolong kamu ambilkan obat-obatan di ruang UKS ya " perintah bu Ira kepada salah satu teman Zea yang berdiri mengerubungi Zea.

Namun, saat Syamil berusaha keluar dari lingkaran teman-teman Zea, dia berusaha untuk mencoba mengeringkan pakaiannya yang basah kuyup, tiba-tiba Dian dan teman-teman ceweknya melihat pesona Syamil yang rambutnya basah, baju seragam osisnya yang basah dan membuat pakaian dalamnya menerawang, serta wajah yang basah, membuat Syamil tampak lebih tampan dan menawan.

"Dian!" tegur bu Ira yang menyadari bahwa Dian juga terpesona pada sosok Syamil.

"Eh, i-iya bu?" jawab Dian gelagapan.

"Tolong ambilkan obat-obatan di ruang UKS, Sekarang!" titah bu Ira.

"Baik bu." jawab Dian yang kemudian mengajak seorang temannya untuk pergi menuju UKS.

Sedangkan Zea yang masih terbaring, menoleh ke arah Syamil yang berjalan keluar ruangan. Zea belum sempat mengucapkan terimakasih kepada Syamil, tetapi Syamil tampaknya tidak menghiraukan orang-orang disekitarnya, hingga dia menghilang dari ruangan itu.

'Terimakasih kak.' batin Zea.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!