Malam merayap dalam dinginnya udara, diperdengarkan sorakan jauh suara anjing yang menggonggong. Ruangan tengah terbenam dalam gelap, tetapi di tengah keheningan, sebuah pertunjukan seni sedang membangun intriknya di balai pertunjukan. Di tengah-tengah panggung, Manik, dengan penuh konsentrasi, menarikan Kayon dengan ahli, menjalankan tarian begitu indah. Sebuah melodi misterius dari gamelan gender wayang perlahan bergema, merentangkan kedamaian yang sakral sebelum terhanyut ke dalam irama yang lebih hidup. Sorotan cahaya merayap dan menapaki Manik, memancarkan pesonanya sebagai penari utama. Setiap gerakan tubuhnya terpahat dengan karisma yang tak terbantahkan.
Suara Manik menyatu dengan iringan gamelan gender wayang, menciptakan simfoni yang menjerat dan memukau. Dalam teater yang gelap, mata semua terpaku pada sosok Manik yang menawan, sebuah magnetisme yang tak terelakkan. Permainannya menghasilkan getaran dalam jiwa penonton, menyulut sensasi mendalam di tengah dada. Rasa kagum melampaui kata-kata, membiarkan kulit merinding dan memancarkan aura kagum. Saat penampilan Manik berlangsung, seisi balai pertunjukan tertangkap dalam pesona seni yang menggetarkan, mengalami momen yang mengesankan dan mewakili puncak dari ekspresi manusia.
Malam ini, suasana di balai pertunjukan desa begitu meriah. Lampu-lampu sorot yang tergantung di atas panggung menyinari setiap sudut ruangan. Penonton yang memadati bangku-bangku kayu yang kerasan berdesir dan bersorak riuh ketika pengumuman pemenang perlombaan pentas seni antar sekolah akhirnya dibacakan.
"Dan pemenang dari kategori seni tari adalah… Sekolah Amanta!" Teriakan riuh penonton pecah begitu nama Sekolah Amanta diumumkan. Para siswa dari Sekolah Manik pun berdiri dan bergandengan tangan dengan gembira, terutama Manik, yang baru pertama kali ikut serta dalam pementasan seni tari.
Manik tidak dapat menahan senyuman bahagianya. Ia merasa seperti melayang di atas awan-awan. Sebelumnya, ia hanya mencoba ikut audisi karena dorongan teman-temannya. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia bisa menjadi bagian dari tim tari sekolahnya, apalagi memenangkan perlombaan ini. Aura kebahagiaan yang memancar dari wajahnya memikat semua yang melihatnya. Tidak hanya teman-temannya, bahkan orang-orang di luar sekolah yang datang untuk menyaksikan pementasan ini terpesona.
Setelah menerima piala dan hadiah lainnya, Manik dikelilingi oleh teman-teman sekolahnya. Mereka berpelukan, tertawa, dan merayakan kemenangan mereka dengan semangat yang tinggi. Namun, Manik tetap merasa rendah hati. Ia tahu bahwa ini bukan hanya hasil dari keberuntungan semata. Ia telah bekerja keras bersama tim tari sekolahnya, berlatih hingga larut malam, dan mengatasi berbagai kesulitan selama persiapan.
Ketika acara berakhir, beberapa penonton dari desa tetangga mendekat ke panggung. Salah satu dari mereka, seorang wanita tua dengan rambut abu-abu panjang yang diikat dengan simpul di bagian belakang kepalanya, menghampiri Manik dengan senyuman hangat.
"Anak muda, siapakah namamu?" tanya wanita itu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Namaku Manik, Bu," jawab Manik dengan sopan.
Wanita itu mengangguk. "Manik, aku harus mengatakan sesuatu padamu. Ketika kamu menari di atas panggung tadi, aku merasa ada aura yang sangat kuat dan sakral dalam penampilanmu. Kau membawa keindahan dan kekuatan yang luar biasa. Ini lebih dari sekadar penampilan biasa."
Manik merasa terharu mendengar kata-kata wanita itu. Ia tidak tahu bagaimana meresponsnya, jadi ia hanya tersenyum malu-malu. Wanita itu melanjutkan, "Ingatlah, Manik, bakatmu adalah anugerah yang sangat istimewa. Jangan sia-siakan kekuatan ini. Teruslah mengejar impianmu, dan kamu akan mencapai hal-hal luar biasa."
Manik mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. Kata-kata wanita itu memberinya semangat baru untuk terus berusaha dan berlatih. Ia tahu bahwa meskipun ini adalah keisengan dari teman-temannya dan Manik hanya mencoba melakukan suatu hal baru.
Pementasan di balai pertunjukan desa tersebut tidak hanya membawa kemenangan bagi Sekolah Manik, tetapi juga membawa sebuah pengalaman berharga dan inspirasi bagi Manik. Ia belajar bahwa keberhasilan bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi juga tentang perjalanan, kerja keras, dan semangat yang dibawanya dalam apa yang dicintainya.
Minat dan Bakat
Sekolah Amanta adalah tempat Manik menempuh pendidikan sebagai murid menengah pertama. Sebagai murid biasa, Manik memiliki minat dalam berbagai hal, seperti menulis, menyanyi, menari, berolahraga, dan kegiatan lainnya. Prestasi akademik Manik tidak selalu mencapai peringkat tertinggi, karena Manik mengakui bahwa ia tidak terlalu pandai dalam pelajaran. Oleh karena itu, ia mencoba beberapa kegiatan non-akademik untuk mendapatkan pengalaman baru.
"Apakah ini pelajaran matematika lagi?" Manik bertanya kepada teman sebangkunya.
"Iya, benar," jawab teman sebangkunya.
Pelajaran matematika sering kali membuat Manik merasa kelelahan. Maka, Manik mengajak temannya, Candra, untuk pergi ke toilet dan menyegarkan diri.
"Candra, apakah kamu juga merasa mengantuk?" tanya Manik sambil membasuh wajahnya.
"Agak, sebenarnya," jawab Candra sambil tersenyum. "Ini sesi pembelajaran terakhir, tetapi kita sudah cukup lelah, terutama setelah olahraga pagi tadi."
Pelajaran matematika berlanjut, namun tiba-tiba terdengar teriakan dari kelas sebelah yang membuat guru dan murid di kelas 2B terkejut. Suasana menjadi hening sejenak.
Hembusan angin kencang dengan cuaca panas siang tiba-tiba membuat semua orang bingung. Manik, Candra, dan yang lainnya segera menuju kelas 2C. Di sana, mereka melihat bahwa Omar, Sarah, dan Jesika mengalami kerasukan dan pingsan, sementara murid-murid lainnya tampak syok dan lemas.
"Tenang, semua orang, mari kita tenang," kata Ibu Umi, mencoba menenangkan murid-murid kelas 2C. Mereka semua diminta keluar dari kelas dan duduk di taman baca depan perpustakaan.
"Apa yang sedang terjadi?" tanya seorang murid kepada Manik yang sedang duduk bersama teman-temannya. Hampir semua murid di Sekolah Amanta berkumpul di depan kelas 2C, ingin tahu apa penyebab kejadian ini.
Aldo memberi tahu Manik, "Sarah merasa tidak enak badan, awalnya dia tampak melamun. Saya sempat mengatakan padanya untuk pergi ke UKS, tetapi tiba-tiba dia berteriak."
"Jesika dan Omar juga ikut berteriak," tambah Aldo.
Para murid yang berkumpul di taman baca mulai berbicara tentang kejadian aneh di kelas 2C. Kejadian ini merupakan pertama kalinya terjadi di Sekolah Amanta selama Manik bersekolah di sana.
Bel sekolah berbunyi tiga kali, menandakan waktunya pulang. Sore nanti, Manik dan Candra berencana untuk belajar kelompok dan menyelesaikan beberapa tugas yang harus dikumpulkan besok. Manik merasa beruntung memiliki Candra sebagai teman sebangku, karena Candra adalah murid juara umum di Sekolah Amanta dalam hal prestasi akademiknya, sementara Manik memiliki minat di berbagai bidang lainnya. Mereka adalah teman yang saling melengkapi.
Dalam perjalanan pulang, Manik berjalan kaki bersama teman-temannya. Moment ini sangat istimewa karena kebersamaan mereka begitu erat, mereka saling berkelakar dan tertawa sebelum akhirnya beristirahat di teras rumah dengan angin sejuk yang menghembus. "Ussh! Hari ini benar-benar melelahkan," gumam Manik dalam hati. Mereka akan bersiap untuk belajar kelompok bersama Candra sebentar lagi. Sementara menunggu Candra, Manik menyempatkan diri membersihkan diri, makan siang, dan beristirahat sejenak.
Tiba-tiba, telepon Manik berbunyi dengan dering yang khas. "Dringg!"
"Manik, apakah kamu membawa buku paket berlapis coklat yang aku tinggalkan di atas meja?" tanya Candra.
Manik menjawab, "Tunggu sebentar, aku akan cek." Ia mulai mencari buku paket yang dimaksud di dalam tasnya. "Maaf, Candra, ternyata buku itu tidak ada di sini. Apakah mungkin kamu lupa membawanya?"
Candra merespons, "Aku akan periksa sekali lagi."
Manik menggelengkan kepala dengan sedikit keheranan melihat kelakuan Candra. Sambil menunggu jawaban dari Candra, Manik mencoba mengingat-ingat buku paket tersebut. Ia tahu itu adalah buku milik Candra yang ia lihat di atas meja Candra. "Aku pikir tadi Candra sudah membawanya," gumam Manik dalam hati.
Candra melaporkan lewat telepon, "Tidak, Manik, buku itu tidak ada di sini. Bisa kamu ambilkan dari kelas kita? Aku khawatir bukunya akan hilang, dan kita juga harus berbagi kelas dengan orang lain."
Manik menyetujui, "Tentu saja, Candra." Ia tidak terlalu terkejut dengan permintaan bantuan Candra, karena ini bukan kali pertama Candra melupakan sesuatu atau kurang berhati-hati, meskipun ia sangat pintar dalam pelajaran. Manik menganggap ini hanya salah satu kelemahan yang dimiliki oleh semua orang.
Rumah Manik cukup dekat dengan sekolah, sehingga Candra sering meminta bantuannya. Terkadang, saat Candra memiliki latihan tambahan di sekolah hingga sore, ia akan singgah ke rumah Manik sebentar untuk makan siang dan menunggu jemputan dari ibunya. Demikian juga ketika Manik terlibat dalam kegiatan tambahan di sekolah, ia tidak perlu khawatir tentang jarak pulang yang jauh, karena hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di rumah.
Di tengah teriknya matahari pada siang hari, Manik berjalan seorang diri melewati perempatan di depan rumah menuju sekolah. Panasnya udara membuat kulit Manik terasa terbakar. Ia melewati perempatan jalan dua kali sebelum melanjutkan perjalanannya menuju sekolah.
Tiba di sekolah, Manik meminta izin kepada ketua kelas 1B untuk mengambil sebuah buku paket yang terletak di meja Candra. Kelas 1B adalah kelas adik kelas yang mendapatkan kelas di sore hari setelah kelas 2B pagi hari. Manik mengucapkan terima kasih kepada ketua kelas 1B atas bantuannya dan kemudian segera pulang.
Saat melintasi perempatan pertama menuju rumah, Manik merasakan sesuatu yang aneh, seolah-olah ada yang mengikuti. Terkadang, perasaan ini membuat Manik mempercepat langkahnya. Mungkin ini hanya perasaan yang datang setelah dua hari terakhir Manik menonton film horor bersama Candra, yang membuatnya terus membayangkan wajah hantu dalam film tersebut.
"Seperti ada yang mengikuti tadi, tapi kok tidak ada ya..." gumam Manik dalam hatinya.
Ketika tiba di Gang Jingga, Ibu Nurisah bertanya, "Baru pulang sekolah, Manik?"
Manik menjawab, "Iya, Ibu. Tadi saya ambil buku yang tertinggal di kelas, hehehe..."
Ibu Nurisah bertanya lagi, "Kelas berapa sekarang, Manik?"
Manik menjawab sambil menundukkan kepala dan tersenyum, "Sudah kelas dua, Ibu."
Ibu Nurisah tersenyum dan membawa sebuah daun pisang di tangannya.
Setelah itu, Candra tiba di rumah Manik. Manik bertanya, "Candra, sudah lama kamu sampai di sini?"
Candra menjawab sambil memberikan senyum, "Maaf ya, Manik, sudah merepotkanmu. Aku baru saja tiba. Ayahku yang mengantarku tadi."
"Oh iya, tadi di sekolah, apakah kamu bertemu dengan Sri, Wulan, Diah, dan Yuli?" tanya Candra. "Aku lupa bahwa hari ini sebenarnya ada pertemuan siswa berprestasi di laboratorium fisika."
Manik menghela nafas dalam-dalam sambil tertawa, "Astaga, Candra. Kenapa kamu selalu sedikit ceroboh, hahaha... Tadi aku tidak melihat mereka, karena semua siswa kelas satu sudah masuk ke dalam kelas."
Candra berkata, "Ooh... Ayo kita mulai belajar."
Manik menyarankan, "Baiklah, mari kita mulai dengan tugas matematika dulu, Candra. Ada beberapa bagian yang masih membuatku bingung."
Candra mengatakan dengan candaan, "Sepertinya, semuanya bikin bingung, Manik, hahaha..."
Manik ikut tertawa, "Hahaha... Ya, memang begitu. Entah kenapa pelajaran matematika selalu membuatku merasa seperti anak kecil yang tidak bisa mengerti angka."
Candra memberi saran, "Mungkin kamu perlu mengulangi rumus-rumusnya lagi, Manik, mungkin itu yang membuatmu paham."
Manik menjawab, "Aku sudah mengulangi rumusnya, Candra. Tetapi aku seringkali bingung dengan perkalian dan pembagiannya..."
Candra tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Manik, "Bukankah aku sudah sering memberimu contoh soal dan pembahasannya seperti ini, Manik?"
Manik tersenyum, "Tapi ketika ujian tiba, semuanya tiba-tiba terasa berbeda, Candra."
Mereka lalu fokus pada latihan soal matematika. Dalam hati, Manik bergumam, "Aku sudah berusaha yang terbaik, tapi nanti mungkin aku akan lupa lagi, hahaha..."
"Manik, nanti kamu akan berlatih pidato di rumah Ibu Ana, bukan?" tanya Candra.
Manik menjawab, "Hm... sebenarnya aku belum pasti, Candra. Aku belum menghafal naskah pidatonya."
Candra mengingatkan, "Sepertinya kamu selalu berlatih di sekolah, Manik. Masih belum hafal juga?"
Manik menjelaskan, "Naskah ini masih perlu beberapa perubahan, jadi aku hanya berlatih untuk memahami konteks pidato ini, Candra."
Pertemanan antara Manik dan Candra, yang saling mendukung dalam berbagai bidang, membuat mereka dikenal di Sekolah Amanta sebagai "Duo jenius." Manik memiliki prestasi gemilang dalam bulu tangkis, pidato, tarik suara, dan tarian. Di sisi lain, Candra memiliki prestasi luar biasa dalam olimpiade fisika, matematika, dan sains. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kalah Lomba
Setelah menghadapi beberapa perlombaan, Manik dan Candra tidak langsung meraih julukan "Duo Jenius." Pada perlombaan pidato pertamanya di Balai Pertunjukan Seni dan Kebudayaan yang bertajuk "Karana Arti," Manik mengalami kekalahan yang mendalam. Kegagalan ini membuatnya merasa malu dan bahkan menangis selama seminggu. Kepedihan Manik atas kegagalan tersebut sangat besar, menghancurkan harapannya untuk meraih kemenangan.
Namun, setelah beberapa kali mengalami kekalahan, Manik memutuskan untuk mengubah perspektifnya. Ia mulai berprinsip untuk melakukan yang terbaik tanpa terlalu memikirkan apakah ia akan menang atau kalah. Candra juga mengadopsi sikap yang serupa. Meskipun ia sering meraih gelar juara umum di Sekolah Amanta, ia menyadari bahwa prestasi itu belum menjamin kesuksesan dalam olimpiade fisika pertamanya. Bahkan, dalam tiga percobaan pertamanya, Candra juga mengalami kekalahan.
Manik dan Candra kemudian saling berbagi cerita dan saling mendukung satu sama lain. Mereka pernah mengalami perundungan karena kekalahan mereka. Seorang siswa pernah mengolok-olok Candra sambil berjalan bersebelahan dengannya, mengatakan, "Aku kira juara di Sekolah Amanta bisa menang melawan sekolah lain, hahaha..."
Manik segera merespons dengan sinis, menarik tangan Candra, dan membawanya masuk ke dalam kelas. "Candra, jangan pedulikan mereka, mereka hanya menaruh harapan besar padamu. Cara mereka mengungkapkannya memang salah," kata Manik, memberikan dukungan kepada Candra dengan tulus. Candra tersenyum, merasa bahagia memiliki seorang teman seperti Manik yang selalu ada untuknya dalam saat-saat sulit.
~Catatan~
Tanpa ada rasa ketakutan, bagaimana mungkin seseorang akan dapat melangkah sukses?
Mengenal diri sendiri akan memudahkan dirimu mengenali karakter orang lain.
“Jika sebuah ketakutan menjadi penghambat, maka keberanian hadir menyelamatkan.”
Manik sangat fokus pada ujian matematika yang diadakan oleh Ibu Umi dan belajar dengan sungguh-sungguh untuk menjawab soal-soal ujian tersebut. Dalam hatinya, ia berkata, “Saya harus bisa menjawab ini nanti, agar tidak membuat Candra merasa dirinya payah.” Candra sering kali merasa tidak cukup pintar karena Manik selalu mendapatkan nilai rendah dalam pelajaran matematika, meskipun Candra selalu berusaha memberikan berbagai cara alternatif untuk membantu Manik. Ini menjadi motivasi bagi Manik untuk berhasil dalam ujian matematika kali ini.
Ibu Umi menjelaskan, “Siswa yang absennya genap akan menunggu di luar kelas, sedangkan yang absennya ganjil akan duduk di dalam kelas. Posisi duduk kalian di sebelah kiri...” Ibu Umi juga menekankan bahwa tidak diperbolehkan ada benda apa pun di atas meja karena lembar kerja sudah disiapkan.
Ketika ujian dimulai, suasana begitu tegang. Manik mulai mengerjakan soal matematika dengan cermat, sementara Candra menunggu di luar kelas. Durasi satu jam untuk menjawab 20 pertanyaan matematika terasa sangat mencekam, ditambah lagi dengan keheningan yang mengisi kelas 2B. Dalam hati, Manik berbicara, “Mengerjakan soal matematika lebih menegangkan daripada menonton film horor, hahaha...”
Setelah ujian matematika berakhir, Manik dan Candra berkumpul di perpustakaan sambil menelusuri koleksi buku terbaru. Seorang murid kelas satu yang menunggu pergantian kelas sore berkata, “Lebih nyaman di sini, kan? Daripada berdiri di luar panas.”
Manik duduk bersebelahan dengan Candra yang tengah asyik membaca buku. Mereka menghadap lorong-lorong rak buku. Tiba-tiba, Manik melihat bayangan hitam. “Apa itu ya? Mungkin dari tirai jendela?” gumam Manik sambil mencari sumber bayangan hitam tersebut.
Rasa penasaran Manik tentang bayangan hitam itu mendorongnya untuk mendekat dan memeriksanya lebih lanjut. Namun, entah mengapa, Manik merasa ada ketakutan yang tidak beralasan, seolah-olah ada yang aneh dan tidak wajar. Ketika ia hampir mencapai ujung lorong, ia tiba-tiba menghentikan langkahnya karena perasaan ketakutan yang tidak dapat dijelaskan.
Kemudian, terjadi sesuatu yang tak terduga. Teriakan keras dan melengking terdengar dari taman baca di depan perpustakaan. Salah satu siswa tampak mengalami kerasukan, dan teriakan itu begitu memekakkan telinga. Manik, yang berada di perpustakaan, segera menuju sumber suara yang mengejutkan banyak orang.
Tapi tidak hanya itu, teriakan serupa juga terdengar dari kelas 2H yang sangat dekat dengan perpustakaan. Kejadian kerasukan ini semakin menakutkan, dan situasinya semakin parah, meluas ke beberapa titik. Candra memberitahu Manik bahwa Sarah mengalami kerasukan lagi, sambil menunjuk ke arah Sarah yang ditolong oleh beberapa guru.
Manik, dalam kebingungannya, berpikir, “Bagaimana mungkin Sarah mengalami kerasukan berkali-kali?” Sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya. Di tengah kepanikan dan ketakutan yang menjalar di antara siswa lainnya, Manik merasa keringat dingin mengalir saat menghadapi situasi yang belum pernah ia alami sebelumnya. Hal yang sama dirasakan oleh siswa-siswa lainnya, dan kejadian ini membuat Sekolah Amanta menjadi bahan perbincangan di masyarakat, termasuk orang tua Manik.
Hampir satu per satu siswa mengalami kerasukan dan mereka dikumpulkan di lapangan untuk menerima pertolongan dari para guru. Wakil kepala sekolah kemudian mengumumkan melalui pengeras suara bahwa seluruh aktivitas belajar mengajar hari ini dibatalkan, dan para siswa diharapkan untuk segera pulang.
Aldo mengatakan, “Ini sungguh aneh, aku tidak tahu apa yang terjadi.”
Candra merespon, “Sama, melihat orang-orang berteriak tadi membuat bulu kudukku merinding.”
Manik menambahkan, “Ayo kita pulang cepat, Candra.”
Manik dan Candra kemudian pulang bersama. Meskipun Candra sebenarnya pulang lebih awal dari biasanya, orang tua Candra tidak menjemputnya ke sekolah. Akhirnya, Candra memutuskan untuk berdiam diri di rumah Manik.
Bayangan Hitam
Manik terus merasa merinding sepanjang waktu, seolah-olah ada yang mengikutiinya dari belakang. Terkadang, ia refleks menoleh untuk memeriksa apakah ada yang mengikutinya.
Candra yang melihat tingkah laku Manik yang agak gelisah dan terlihat ketakutan bertanya, “Kenapa kamu terus-terusan menoleh ke belakang, Manik?”
Manik merasa kesulitan menjelaskan apa yang dirasakannya saat itu, jadi ia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala sebagai respons.
Setibanya di rumah, Manik meletakkan tasnya di sofa dan langsung menanyakan kepada Candra, “Candra, apakah kamu merasa ada yang aneh ketika kita di perpustakaan tadi?”
Candra menjawab, “Hm... tidak, Manik. Hanya saja, aku merasa merinding ketika melihat Sarah ditandu oleh para guru ke lapangan.”
Manik mengungkapkan, “Saat perjalanan pulang tadi, aku juga merasa ada yang aneh.”
Candra bertanya, “Apa yang terjadi?”
Manik menjawab, “Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.”
Mereka mulai berbincang-bincang tentang kejadian di sekolah yang membuat mereka merasa cemas. Candra kemudian memberitahu ibunya bahwa ia berada di rumah Manik untuk belajar kelompok. “Mama, kamu jangan khawatir, aku akan makan di sini dulu,” kata Candra kepada ibunya. Manik dan Candra melanjutkan pembicaraan mereka tentang perlombaan dan peristiwa di Sekolah Amanta.
Ketika orang tua Manik tiba di rumah, mereka segera menanyakan tentang apa yang terjadi di Sekolah Amanta. “Tadi di sekolahmu ada yang aneh,” kata Pak Ida.
Manik bertanya, “Ada apa sebenarnya, Pak?”
Pak Ida menjawab, “Nanti Bapak akan menceritakannya, mari kita makan dulu sebentar.”
Suara telepon berdering saat mereka tengah makan siang, dan Manik menjawabnya, ternyata panggilan dari adiknya, Ade. “Kak, nanti aku selesai latihan sekitar pukul delapan malam,” ucap Ade. Manik segera memberitahukan hal ini kepada ibu dan bapaknya.
Pak Ida mengungkapkan, “Sekolah kalian seharusnya menjalani pembersihan secara spiritual. Pihak sekolah sampai kewalahan dan bahkan harus meminta bantuan ketua adat untuk datang ke sekolah.”
Candra berkomentar, “Itu benar-benar peristiwa yang mengerikan, menurutku.”
Manik menambahkan dengan nada ketakutan, “Terlebih lagi, ini sudah beberapa kali terjadi kerasukan. Aku seperti menunggu di mana suara teriakan akan datang lagi.”
Pak Ida menanggapi, “Sungguh mencekam, betul sekali.”
Manik bertanya, “Tapi, Pak, apa sebenarnya yang terjadi? Apakah masih ada orang kerasukan tadi?”
Pak Ida menjawab, “Semua siswa sudah pulang tadi. Sekolah Amanta sekarang sudah sepi, tidak ada kegiatan lagi. Ini adalah kejadian yang biasa terjadi di banyak sekolah, jadi jangan lupa untuk selalu berdoa.”
Setelah makan siang, Manik dan Candra melanjutkan dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh Ibu Lastri. Mereka sedang mengerjakan tugas esai budi pekerti dan ilmu pengetahuan sosial. Candra berkomentar, “Kita bisa mengarang dengan baik tanpa buku, bukan?”
Manik tertawa mendengar ini dan menjawab, “Tapi untungnya, aku mendapatkan nilai 90/100 dalam ujian matematika. Jadi kalau mengarang ini bisalah dapat 100 hehehe…”
Candra menjawab, “Syukurlah, jadi ngajarinmu tidak sia-sia.”
Namun, Candra tiba-tiba menyadari sesuatu, “Eh, ada yang ketinggalan, Manik—”
Manik bertanya, “Apa, Candra?”
Candra menjawab, “Aku lupa mengambil lembar kerja kita yang ada di bawah meja. Kita sebentar saja ke sekolah untuk mengambilnya.”
Tanpa berpikir panjang, Manik dan Candra memutuskan untuk pergi ke sekolah dan mengambil lembar kerja. “Untung gerbangnya tidak terkunci, Candra,” kata Manik sambil membuka pintu gerbang sekolah. Sekolah sangat sepi, jadi mereka menuju kelas 2B dengan cepat, meskipun panas matahari masih cukup menyengat, membuat mereka berkeringat.
Ketika sampai di depan kelas, Manik mencoba membuka pintu yang, untungnya, tidak terkunci. Mereka masuk dan segera mengambil lembar kerja. Manik berjaga-jaga di depan pintu kelas, sementara Candra mencari lembar kerja. Manik merasa tubuhnya merinding dan berkeringat dingin. Di jendela perpustakaan, dia melihat bayangan hitam, meskipun ada gorden, bayangan tersebut sangat jelas. Dari jauh, Manik merasa itu adalah petugas perpustakaan sekolah yang sedang merapikan rak buku. “Oh mungkin itu Pak Astra sedang merapikan buku-buku,” gumam Manik dalam hati.
Candra juga merasakan hal yang sama seperti Manik, tetapi dia memilih untuk tidak menceritakan kepada Manik. Mereka berdua memendam perasaan mereka dan melanjutkan mengambil lembar kerja. Manik, yang masih menunggu Candra, melihat seseorang duduk di taman baca sekolah. “Candra, cepatlah, mengapa begitu lama?” seru Manik saat memanggil Candra untuk segera mengambil lembar kerjanya.
Candra yang masih fokus mencari lembar kerja berkata, “Tunggu sebentar, bagaimana bisa lenyap begitu saja, padahal aku menyimpannya di sini.” Candra masih mencari di meja teman-temannya. Manik merasa ada yang aneh dan mencoba mengalihkan perhatiannya. Perasaan Manik semakin merinding, sehingga dia memutuskan untuk masuk ke dalam kelas.
“Kenapa tangga sebelah jadi terasa aneh begitu, biasanya biasa saja,” gumam Manik sambil mendekati Candra. Candra masih fokus mencari lembar kerja di semua meja.
“Bagaimana bisa tidak ada, Manik?” kata Candra.
“Baiklah, aku akan mencari di laci guru,” kata Manik sambil mencari di laci meja guru dan akhirnya menemukan lembar kerja. “Akhirnya, ketemu juga. Sepertinya Barsa yang mengambil dan meletakkannya di laci ini,” kata Manik.
“Cepatlah, kita pergi,” kata Manik, mengajak Candra keluar dari kelas. Candra masih menyimpan perasaannya sendiri, dan Manik juga tidak membahas perasaannya. Mereka mendengar langkah kaki dari arah tangga sebelah kelas 2B. “Lari!” seru Manik. Tanpa berpikir panjang, Manik dan Candra berlari, tidak bisa lagi menahan rasa takut meskipun mereka tidak berbicara satu sama lain tentang perasaan yang mereka alami.
Saat berlari, Manik melihat bayangan hitam yang ternyata sebuah rambut panjang hitam yang terjatuh dari plafon laboratorium fisika. Manik berlari dengan cepat, jantungnya berdebar kencang. Manik menarik tangan Candra untuk cepat keluar dari sekolah.
Setelah keluar dari pintu gerbang sekolah, jantung mereka masih berdebar kencang. Manik melihat seorang wanita berambut panjang hitam berdiri di dekat tiang bendera. Tubuh Manik merinding, dan dia tidak bisa berkata-kata.
Candra melihat keadaan Manik yang ketakutan dan menepuk punggungnya. “Manik, tenanglah, kita sudah di luar sekarang,” kata Candra, yang kemudian disapa oleh satpam sekolah yang menanyakan apakah mereka akan ke dalam sekolah atau tidak.
Manik menjawab, “Hehehe... tidak, Pak, kami hanya lewat saja.” Satpam sekolah melarang mereka masuk lagi.
“Kalian jangan masuk dulu ya, mungkin besok saja,” kata Pak Emon.
“Baiklah, Pak,” kata Manik.
“Pulanglah dengan hati-hati, Manik, maaf kami belum bisa memperbolehkan masuk, karena sekolah sedang sepi,” kata Pak Emon. Sontak saja, Manik dan Candra merasa ketakutan dan bergegas pulang bersama-sama.
Hawa Panas
Setibanya di rumah, Manik segera mengambil air minum. Perasaan ketakutannya muncul saat ia melihat bayangan hitam yang mengejutkannya. Candra segera berbicara kepada Manik, “Manik, tadi aku melihat tangan yang berwarna ungu, sungguh aku tidak bohong.” Nafas Candra masih tersengal-sengal ketika ia menceritakan pengalaman yang dialaminya dengan mata kepala sendiri. Manik berusaha untuk meredakan ketakutannya, dan Candra pun demikian.
“Kalian kenapa?” tanya ayah Manik. “Mengapa mukamu terlihat sangat pucat? Darimana kalian tadi?”
(Manik dan Candra masih menatap satu sama lain dengan napas terengah-engah)
“Bapak dan ibu akan pergi sebentar, kalian tinggal saja di sini dengan tenang,” kata ayah Manik.
“Ibu akan kembali sebentar, Nak,” kata ibu Manik. “Candra, tinggal di sini saja dan tunggu ibumu datang. Jangan berlarian, nanti kamu akan berkeringat,” tambah ibu Manik.
Manik dan Candra berusaha meredakan diri mereka sendiri, mereka tidak pernah menyangka akan mengalami peristiwa seperti ini dalam hidup mereka. “Beruntung tidak terjadi apa-apa,” gumam Manik dalam hatinya. Manik meremas tangannya dan mencoba menenangkan diri, begitu juga Candra yang masih bernapas panjang dan dalam.
Mereka kemudian melanjutkan pekerjaan rumah yang diberikan oleh Ibu Lastri hingga pukul 17:30, kemudian ibu Candra datang menjemput. Candra mengucapkan selamat tinggal kepada Manik dan orang tuanya.
Keesokan harinya di sekolah, ibu Nita, ibunya Candra, datang ke sekolah. “Eh, ada Manik, ibu mau memberikan surat sakit. Ke mana ibu membawa suratnya?” tanya ibu Nita.
Mendengar ucapan Ibu Nita, tentu saja Manik kaget dan heran, dan berkata, “Candra sakit apa ya, Bu?”
“Demam, Manik,” jawab Ibu Nita. Manik pun mengarahkan ke ruang guru untuk diberikan kepada wali kelas. Dalam batin Manik berkata, “Tumben nih si Candra sakit demam sampai tidak sekolah, ntar jenguk saja deh.”
Pelajaran berlangsung seperti biasanya. Barsa bertanya kepada Manik, “Candra sakit apa, Manik?”
“Hm… ibunya tadi datang dan mengatakan Candra demam. Aku berencana menjenguknya, ada yang ingin ikut?” tanya Manik.
“Aku ingin menitipkan buah-buahan. Ini dari uang kas kelas, Manik,” kata Barsa sambil memberikan sejumlah uang.
“Oh, tentu saja, nanti aku akan membeli buah-buahannya untuk diberikan kepada Candra,” jawab Manik.
“Mungkin lebih baik jika hanya kamu yang pergi dulu, agar tidak mengganggu istirahatnya Candra,” kata Barsa sambil tersenyum.
“Tidak masalah, nanti aku akan menyampaikan salam dari teman-teman,” kata Manik.
Setelah pulang sekolah, Manik merasa bahwa ada yang mengikuti dirinya, tetapi berbeda dengan sebelumnya, ia tidak merasa takut. Meskipun begitu, perasaan aneh masih menghantuinya.
“Apakah ini ada hubungannya dengan sosok yang kemarin?” gumam Manik dalam hati. Ia kemudian melanjutkan perjalanan pulang.
Setibanya di rumah, Manik menceritakan kepada orang tuanya dan meminta izin untuk pergi ke rumah Candra. Tentu saja, orang tuanya mengizinkan dan mengantarkannya ke rumah Candra.
Candra sedang demam tinggi, jadi Manik hanya bisa menitipkan salamnya melalui ibu Candra. Karena Candra sedang beristirahat, Manik dan orang tua Candra hanya duduk di ruang tamu sebentar.
Hari berlalu…
Manik menceritakan kejadian yang mereka alami kepada bapak dan ibunya. Sontak saja, Pak Ida terkejut mendengarnya. “Beruntung Manik masih dilindungi oleh leluhur sehingga tidak terjadi apa-apa,” ucap Pak Ida.
Malam harinya, Manik pergi bersama bapaknya ke tempat fotokopi untuk mencetak tugas sekolah. Di sana, Manik tak sengaja mendengar suara ramai bayi. “Kok ada suara bayi ya,” gumam Manik dalam hati. Ia pun langsung bertanya kepada bapaknya, “Pak, apakah bapak juga mendengarnya?” Namun, bapaknya hanya menjawab, “Biarkan saja, abaikan.”
Setibanya di rumah, Manik diberitahu bahwa mereka tadi melewati kuburan bayi. “Suara yang kamu dengar itu wajar, terutama karena hari ini adalah peringatan hari keagamaan. Jadi, tidak perlu khawatir.”
“Tapi, Pak, saya yakin saya mendengar suara bayinya,” kata Manik.
“Tidak apa-apa, mungkin saja kamu memang mendengarnya. Tapi ingat, itu adalah hal yang wajar ketika melewati kuburan bayi,” jawab Pak Ida.
Kata-kata bapaknya Manik tampaknya tidak terlalu heran dengan apa yang diceritakan oleh Manik. Hal ini mungkin karena bapak Manik memiliki kemampuan serupa yang telah ia warisi, dan tidak semua anak pertama dalam keluarga mewarisi kemampuan tersebut. Hal ini masih menjadi misteri, karena tidak semua keturunan mewarisi kemampuan batin ini.
Mendengar perkataan bapaknya, Manik merasa bahwa selama peristiwa di Sekolah Amanta minggu lalu, leluhur Manik ikut menjaganya sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Bapaknya juga sempat menceritakan bahwa “Sekolah Amanta harus menjalani pembersihan melalui upacara keagamaan, ini adalah tindakan yang wajar dilakukan, terutama karena Sekolah Amanta sudah berdiri sejak lama dan selalu diupacarai setiap ada pembangunan baru.”
Selama satu minggu, Candra masih belum pulih sepenuhnya. Manik juga terus merasakan panas ketika sampai di Sekolah Amanta. Hari ini, seluruh siswa di Sekolah Amanta ikut serta dalam mempersiapkan prosesi upacara pembersihan yang diadakan oleh pihak sekolah. Terdengar kabar bahwa penyebab dari kejadian kerasukan massal tersebut adalah karena seorang siswa yang berkata kasar di bagian barat laut sekolah. “Dion saat itu mengucapkan kata-kata kasar dan meludah sembarangan di kantin,” ucap Barsa, yang menceritakan perbuatan buruk siswa kelas 3H di sekitar Dieng, sebuah tempat yang sangat suci.
Ternyata, tidak hanya Candra yang mengalami demam, hampir beberapa siswa juga mengalami hal yang serupa. Manik mulai menyadari sesuatu yang aneh selama prosesi upacara pembersihan. “Mengapa aku melihat hampir semua orang memiliki bayangan hitam di belakang tubuhnya?” gumam Manik dalam hatinya. Tak lama setelahnya, Manik merasa kepala sangat pusing.
Brak! Manik pingsan dan segera dibawa ke ruang perawatan medis di sekolah. Meskipun Manik merasa dirinya baik-baik saja dan tidak ingin pulang, dia memutuskan untuk beristirahat sebentar. “Aneh, tiba-tiba tubuhku terasa panas,” gumam Manik dalam hati ketika temannya Padma menemaninya di samping tempat tidur di ruang perawatan medis sekolah.
Sosok Misterius dan Fenomena Aneh
Manik berbaring di ruang perawatan medis sekolah, mencoba merenungkan perasaannya yang semakin aneh akhir-akhir ini. Setiap kali dia sampai di Sekolah Amanta, ada perasaan tidak nyaman yang mengikutinya, dan seolah-olah ada sosok wanita hitam berambut panjang yang selalu mengejarnya dalam bayangannya. Sosok ini, meskipun awalnya hanya muncul dalam bayangan, kini mulai berani menampakkan dirinya di hadapan Manik.
Pada awalnya, sosok tersebut hanya muncul sebagai bayangan samar yang mengintai dari sudut mata Manik. Namun, semakin lama, sosok itu menjadi semakin nyata. Manik bisa melihat rambut panjang hitamnya menjuntai ke depan wajahnya. Tatapan matanya penuh dengan rasa sakit dan kegelapan yang menghantui.
Ketika Manik mencoba mendekati sosok itu untuk berbicara atau mencari tahu siapa dia, sosok tersebut selalu menghilang dengan cepat, seolah-olah hanya ada untuk menghantui Manik. Perasaan ketidaknyamanan dan ketakutan yang mengiringi kehadiran sosok ini membuat Manik merasa terganggu dan terbebani.
Tidak hanya itu, Manik juga mengalami fenomena aneh lainnya. Saat berjalan pulang dari sekolah sendirian, dia sering merasakan hal-hal yang tidak biasa. Terkadang, dia mendengar suara babi mengerikan yang membuat bulu kuduknya berdiri tegak. Suara monyet juga kadang-kadang terdengar dalam keheningan Gang Jingga yang biasanya tenang.
Lebih mengejutkan lagi, kadang-kadang ada ular yang tiba-tiba melintas di depan jalannya, meskipun Gang Jingga bukanlah tempat yang biasa dihuni oleh ular. Semua ini membuat Manik merasa semakin bingung dan takut. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan dia belum tahu apa yang sedang terjadi.
Manik masih belum mengenal apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana semua ini terkait dengan dirinya. Namun, dia tahu bahwa dia harus mencari tahu lebih banyak tentang misteri yang mengelilinginya dan tentang sosok wanita hitam yang selalu menghantuinya.
~ Catatan ~
“Kekuatan untuk mengenal diri sendiri kadang-kadang harus ditempuh melalui ketakutan dan permasalahan. Proses ini adalah perjalanan yang tak berkesudahan dalam menjawab tujuan kita di dunia, hingga akhir hayat. Di dalamnya terkandung hikmah dan pertumbuhan yang tiada tara.”
Manik begitu fokus pada persiapan lomba pidato yang akan berlangsung dalam sebulan, sehingga dia tidak memperhatikan gejala aneh yang terjadi pada dirinya sendiri. Dia menyadari bahwa mungkin semua orang di Sekolah Amanta mengalami hal serupa, tetapi mereka tetap merahasiakannya. Manik masih berpikir bahwa pengalaman yang dialaminya juga bisa dialami oleh siapa saja.
Sementara Candra sibuk dengan perlombaan olimpiade, Manik sibuk dengan perlombaan pidato. Dia menuangkan semua emosi yang ada dalam dirinya ke dalam karya syair yang indah dan memukau.
Manik memiliki sepupu laki-laki yang menjadi mitranya dalam berlatih untuk menjadi penakluk panggung lomba. “Intinya, aku sudah menghadapi kekalahan dan kelelahan sebelumnya. Aku akan mencoba yang terbaik,” gumam Manik dalam hati.
Ketika berlatih dengan sepupunya di malam hari, Manik selalu mengambil waktu untuk mengatasi ketegangan, kegelisahan, dan ketakutannya sebelum dan sesudah tampil di panggung. Baginya, “Perasaan sebelum naik ke panggung lebih mengguncang jiwa karena ketakutan akan hal-hal yang tak seharusnya terjadi karena pikiran yang tidak terkendali.”
Di kelas, Manik rajin melatih dirinya untuk menghafal materi pidato yang akan dia tampilkan di lomba. Candra khawatir karena semangatnya yang begitu tinggi, dan mengingatkan, “Manik, kamu pasti bisa. Lombanya masih jauh, jangan terlalu memaksakan diri dalam latihan, nanti bisa membuatmu sakit.”
Manik berusaha memberikan penampilan terbaiknya agar sekolahnya dapat memenangkan perlombaan. Keinginan ini memberikan semangat padanya untuk menjadi lebih berani. Namun, setiap kali ia akan mengikuti perlombaan, Manik selalu mengalami sakit, meskipun bukan disengaja. Jika ia memahami dirinya sendiri, ia menyadari bahwa rasa tegang dan grogi bukan penyebab utamanya.
Manik tidak terlalu memikirkan kondisi fisiknya saat ia sakit karena melihatnya sebagai kesempatan yang baik. Memang benar tubuhnya demam, batuk, dan pilek, tetapi ia merasa sehat. “Kalau Ibu melihatmu, wajahmu tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit, hanya saja tubuhmu sedang demam,” kata Ibu Ida saat memeriksa Manik sambil membawakan bubur ayam di pagi hari. Kemudian, Ibu Ida sibuk mempersiapkan barang-barang jualan. Saat Manik sendirian di kamar, ia merasa ada bisikan di telinganya yang memanggil-manggil namanya. Sontak saja, Manik terbangun lagi karena mengira itu ibunya.
Ternyata, tidak ada siapa pun di sana.
“Aku kira tadi ibu yang memanggilku,” gumam Manik dalam hatinya sambil memandang ke arah pintu.
Manik pun memutuskan kembali beristirahat.
Sosok Api Merah
Selama beberapa hari, Manik pergi ke sekolah dalam kondisi yang belum sepenuhnya pulih, namun semangat belajarnya mendorongnya untuk tetap kuat. Ketika sampai di rumah, ia langsung beristirahat dan mengurangi aktivitas yang tidak perlu. Di malam hari, Manik diantarkan ibunya ke rumah sepupunya untuk melanjutkan latihan pidato kembali untuk kedua kalinya.
Dalam latihan, Manik sudah mampu mengontrol intonasinya dengan baik dan mengartikulasikan kata-kata dengan jelas. Sepupunya juga memberikan saran untuk selalu minum air jahe hangat agar kondisi suaranya semakin membaik dan terjaga hingga hari perlombaan.
Setelah pulang dari rumah sepupunya, Manik memutuskan untuk pulang sendiri dengan berjalan kaki. Rutenya cukup dekat, melewati gang tengah, kemudian gang jingga, dan terakhir gang utara. Meskipun kondisi jalanan cukup menyeramkan, Manik tidak terpengaruh dan melanjutkan perjalanan kaki.
Namun, sebelum berbelok menuju Gang Jingga, ayahnya Manik sudah tiba dan berkata, “Kamu seharusnya tidak berjalan kaki, ibu bilang bahwa bapak yang akan menjemputmu, kan?”
Manik menjawab, “Tidak apa-apa, Pak. Manik tidak ingin merepotkan mereka (sepupu) jika sudah terlalu malam.”
Saat bapaknya Manik mulai mengendarai motor, Manik melihat selembar kain putih terbang di perempatan jalan dari arah barat gang tengah. Tanpa ragu, Manik menunjuk ke arah barat dan memberitahukan kepada bapaknya. Sontak saja, Pak Ida berkata, “Eh! Jika Anda mengganggu orang yang salah, Anda akan berhadapan dengan Tuhan kelak.” Pak Ida kemudian mengucapkan sebuah mantra dan pergi ke rumah.
Manik yang ketakutan bertanya, “Pak, apa yang tadi itu?”
Pak Ida menjawab, “Tenang, Manik, itu hanya ulah orang iseng.”
Setibanya di rumah, Pak Ida segera memerintahkan kepada istrinya untuk membuatkan sarana aji. “Ibu, buatkan, segera...” ujarnya dengan suara lantang. Sang istri terkejut mendengar permintaan suaminya, “Ada apa tadi, Pak?”
Pak Ida menjelaskan apa yang baru saja ia lihat, membuat sang istri kaget dan ketakutan. Dengan gemetaran, sang istri segera mempersiapkan sarana aji untuk diletakkan di depan rumah.
Sarana aji adalah alat terbuat dari daun pohon kelapa yang dibentuk menyerupai tameng. Pak Ida memberitahu Manik untuk berdoa di halaman rumah sebelum masuk ke ruang tamu. “Pak, tadi bapak juga melihat, kan?” tanya Manik untuk memastikan bahwa ia tidak sendiri yang melihat. Pak Ida mengiyakan.
Saat ini, Pak Ida menyadari bahwa Manik memiliki mata batin. Namun, ia juga menyadari bahwa kekuatan ini dapat menjadi masalah jika tidak digunakan dengan bijaksana. Ia memberi tahu Manik untuk tidak sembarangan menoleh atau berbicara dengan makhluk yang tidak dapat dilihat oleh orang lain.
Sambil menunggu sang istri menyelesaikan sarana aji, Pak Ida meminta Manik untuk pergi ke dapur dan mengambil arang dari tungku tempat ibu memasak. Ia menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari pengenalan jati diri Manik dan untuk kebaikannya.
Setelah persiapan selesai, Pak Ida memasang sarana aji di depan rumah. Malam itu, ia menjaga rumah hingga dini hari. Manik bertanya tentang kejadian tadi, tetapi Pak Ida hanya bisa terdiam dan meminta Manik untuk tidur karena sekolah menanti.
Namun, tiba-tiba terdengar suara mengerikan dari depan rumah Manik, tetapi hanya Manik dan Pak Ida yang mendengarnya. Pak Ida mengucapkan mantra untuk melindungi rumah mereka dari gangguan tersebut, tetapi Manik tidak bisa tidur. Suara tersebut mengganggunya.
Sosok hitam besar muncul sekitar sepuluh meter dari depan rumah Manik. Ia mengancam dan mengolok-olok, tetapi Pak Ida tidak gentar. Dengan sebuah daun kelapa yang dibakar, Pak Ida melangkah maju. Sosok tersebut kemudian menghilang.
Manik, yang ketakutan, mengalami demam panas yang tinggi. Ibu Ida membangunkannya untuk mengganti baju yang basah oleh keringat. Nafas Manik terengah-engah seperti seseorang yang baru saja berlari mengelilingi lapangan. “Ternyata tadi itu hanya mimpi,” gumam Manik dalam hatinya.
Babi Hitam
Masih menjadi misteri apa yang dialami oleh Manik akhir-akhir ini sehingga orang tua Manik bertanya kepada Sesor, seorang ketua adat yang memiliki kekuatan batin yang sangat kuat. Pertanyaan orang tua Manik dijawab oleh Sesor dengan bijak, “Seperti bunga yang baru saja mekar, indahnya akan selalu memikat lebah...” Sesor berbicara kepada orang tua Manik.
Kemarin malam, Manik menyadari bahwa ia memiliki kekuatan batin yang memungkinkannya melihat makhluk dari dimensi lain. Penemuan ini sangat mengejutkan bagi Manik, awalnya ia mengira semuanya hanyalah ilusi. Namun, dalam mimpi, Pak Ida, orang tua Manik, memberitahu Manik bahwa kejadian yang dialaminya itu nyata. Pak Ida menjelaskan bahwa ia sendiri berhadapan dengan api merah, sementara Manik yang mampu melihat sosok besar hitam, sebenarnya adalah wujud aslinya.
Manik melanjutkan ceritanya kepada Sesor tentang pengalamannya dengan makhluk dari dimensi Peteng. Dia bercerita bahwa dia pernah melihat seekor babi hutan berwarna hitam di salah satu rumah di Gang Jingga. Yang mengejutkan, Manik sama sekali tidak merasa takut dan bahkan mendekati hewan tersebut dengan tenang. Hanya saja, ketika dia berkedip sebentar, babi hitam itu tiba-tiba menghilang, meninggalkan Manik dalam keheranan.
Sesor mendengarkan cerita Manik dengan penuh perhatian. Setelah Manik selesai bercerita, Sesor tersenyum bijaksana. “Manik, apa yang kamu alami adalah sebuah tanda. Kamu memiliki aura yang langka dan ini disebut dengan Magnesa,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
“Magnesa?” Manik bertanya heran.
Sesor menjelaskan lebih lanjut, “Magnesa adalah ikatan batin yang memungkinkan seseorang untuk merasakan, melihat, bahkan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk dari dimensi Peteng. Ini adalah kemampuan yang sangat langka, Manik, dan hanya sedikit orang yang dimilikinya.”
Manik mencoba mencerna informasi tersebut. Ini semua terasa begitu aneh dan misterius, tetapi juga menarik. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi dalam hidupnya.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan dengan kemampuan ini, Sesor?” tanya Manik, penuh antusiasme.
Sesor tersenyum lembut. “Pertama, kamu perlu belajar mengendalikan dan memahami kemampuan ini dengan baik. Ini adalah anugerah yang besar, tetapi juga memerlukan tanggung jawab. Kedua, kamu harus belajar menghormati dunia makhluk dari dimensi Peteng dan berkomunikasi dengan mereka dengan bijaksana. Dan yang terakhir, kamu harus menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia Peteng.”
Manik mengangguk paham. Ini adalah awal dari petualangan barunya, dan dia merasa bahwa dengan bimbingan Sesor, dia akan belajar lebih banyak tentang Magnesa dan bagaimana menggunakannya untuk kebaikan.
Sesor dan Manik terus berbicara hingga larut malam, membahas tentang dunia yang lebih luas di luar pemahaman manusia biasa. Manik merasa bahwa hidupnya telah mengalami perubahan besar, dan dia siap untuk menjalani peran barunya dalam menjaga keseimbangan antara dua dunia yang berbeda.
~ Catatan ~
Kebaikan adalah cahaya yang kita bawa ke dalam dunia yang penuh kematian. Saat ajal menjemput, hanya kebaikan yang akan membimbing kita melalui gelapnya malam. Jangan sia-siakan setiap momen hidup, sebab kematian tak kenal waktu. Bersiaplah, jangan lalai, dan gunakan waktu ini dengan bijaksana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!