"Cepat katakan di mana Mirelle, Mar!" Rafael menarik kerah kemeja sahabatnya sejak kecil itu.
"Untuk apa aku memberitahumu? Apa kamu ingin menyakiti adikku dengan segala penolakanmu?" tanya Marco.
Rafael menatap mata Marco dengan nyalang dan Marco juga menatap sama pada Rafael. Yasa yang berada di dekat mereka, langsung masuk di antara keduanya.
"Hei, hei, hei! Ayo berhenti! Kita ini sahabat, semua bisa dibicarakan baik baik," ujar Yasa.
"Baik baik?" tanya Rafael menoleh ke arah Yasa, "Aku tidak akan menggunakan kekerasan kalau ia mau memberitahukan padaku secara baik baik."
Yasa menghela nafasnya panjang. Ia menggelengkan kepalanya karena kedua sahabatnya itu sama sama keras kepala. Mungkin dua duanya terbuat dari batu kali yang bahkan tak akan bisa terkikis meski dilalui air sungai setiap hari.
Yasa mendekat lagi ke arah keduanya lalu langsung menjepit leher Rafael maupun Marco. Satu dengan tangan kanannya dan satu lagi dengan tangan kirinya. Ia membawa kedua sahabatnya itu ke sebuah cafe yang terletak tak jauh dari sana.
Kini, Rafael dan Marco duduk berhadapan, sementara Yasa berada di samping, untuk menengahi mereka.
"Kalian berdua harus tenang. Kita sahabat dan sebaiknya kita menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin," ucap Yasa.
Rafael dan Marco sama sama menghela nafasnya dalam. Mereka saling menatap tajam, kemudian juga memalingkan wajahnya secara bersamaan. Yasa hanya bisa berdecak kesal melihat kelakuan keduanya yang seperti anak kecil.
Marco menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memalingkan wajahnya. Ia tak ingin melihat ke arah Rafael. Sebenarnya Marco tak pernah menyalahkan Rafael jika memang sahabatnya itu tak menyukai adiknya, tapi untuk apa mencari Mirelle lagi.
"Di mana Mirelle, Mar?" tanya Rafael kini dengan suara yang tidak setinggi tadi.
Marco menoleh dan melihat ke arah Rafael, "Aku tak tahu."
Jawaban Marco membuat Rafael yang sudah berusaha bertanya baik baik, kembali meradang. Ia bangkit dan ingin menarik kembali kerah kemeja Marco. Namun Yasa menahan Rafael.
"Mar, katakan saja di mana Mirelle. Mereka berdua akan menyelesaikan masalah mereka," nasihat Yasa.
"Mirelle tak ingin bertemu dengannya lagi. Ia ingin melupakan Rafael dan tak ingin ada yang mengganggunya. Mungkin saat ini ia sedang berjemur di pantai untuk memikat hati pria lain yang mungkin lebih menghargai perasaannya," ucap Marco.
"Marco Kyler!" teriakan Rafael membuat seluruh pengunjung cafe itu melihat ke arah mereka.
Jujur saja, Rafael tak suka dengan ucapan Marco. Ia tak mau gadis kecil yang sejak dulu selalu ingin menempel padanya itu, kini akan berpaling pada pria lain.
"Apa?! Ia tak mau bertemu denganmu dan aku juga tak akan mengijinkannya lagi. Sebaiknya kamu mencari wanita lain karena aku tak akan membiarkan adikku terluka karena dirimu," Marco bangkit kemudian melangkah menjauh untuk meninggalkan cafe.
Kini, hanya tinggal Rafael dan Yasa di sana. Yasa menghela nafasnya pelan karena melihat Rafael yang masih saja menampakkan wajah yang muram.
"Ku rasa apa yang dikatakan Marco ada benarnya, Raf. Sejak dulu kamu selalu menolak dan menghindari Mirelle. Mengapa tiba tiba kamu mencarinya? Jangan mempermainkannya, ia gadis yang baik," ucap Yasa.
"Kamu tak akan mengerti, Yas," ucap Rafael.
*****
Tiga tahun yang lalu,
"Mirelle!" teriak Rafael tak suka.
Gadis itu masih saja suka mengikutinya ke mana pun ia pergi, "Menjauh dariku!"
"Aku hanya ingin memberikan bekal khusus yang kubuat sendiri untukmu," ujar Mirelle.
Dengan kasar, Rafael mengambil kotak bekal itu dari tangan Mirelle kemudian langsung berlalu pergi. Mirelle tersenyum karena pada akhirnya Rafael mau menerima bekal yang ia buat.
"Kamu masih belum kapok juga, Elle?" tanya seorang gadis yang tak lain adalah sahabat Mirelle, Marsha.
"Aku tak akan berhenti sebelum Rafael menjadi milikku, Mar. Aku menyukainya dan menyayanginya," jawab Mirelle.
Marsha menggelengkan kepalanya karena melihat sahabatnya itu yang benar benar bucin akut pada seorang pria bernama Rafael. Namun, Marsha mengakui jika Rafael sangat tampan, hanya saja minus akhlak.
"Kita masuk sekarang, Elle. Nanti Ms. York keburu datang," ujar Marsha yang bergidik ngeri setiap mengingat guru mereka yang super duper killer itu.
"Baiklah, ayo!" ucap Mirelle yang mengikuti langkah Marsha menuju ke kelas.
Dua jam berlalu dan bel pun berbunyi. Mirelle langsung merapikan barang barang miliknya lalu beranjak keluar.
"Aku duluan ya, Mar," pamit Mirelle.
"Tuh anak pasti mau ketemu Rafael lagi," gumam Marsha sambil menghembuskan nafasnya kasar. Ia bahkan ingin menoyor kepala Mirelle agar segera sadar bahwa apa yang saat ini sahabatnya itu lakukan, hanyalah sia sia.
Mirelle berlari menuju kelas Rafael, di mana kakaknya Marco juga berada. Namun, baru saja Mirelle mau sampai, ia melihat Rafael membuang bekal makanan yang tadi Mirelle berikan. Semua masuk ke dalam tong sampah, bahkan hingga tempat bekal kesayangannya pun dibuang begitu saja.
"Jahat," gumam Mirelle.
Ia pun memutar tubuhnya dan berniat menunggu kakaknya di area parkir saja. Mirelle menyandarkan tubuhnya di mobil milik Marco. Ia menunggu kedatangan kakaknya itu.
Tak lama, terlihat Marco keluar bersama dengan Rafael dan juga Yasa. Yasa langsung melambaikan tangan pada Mirelle ketika ia melihat gadis cantik, adik sahabatnya itu.
"Elle!" panggil Yasa.
"Kak Yasa," Mirelle balas melambaikan tangan, dengan senyum di wajahnya.
"Tumben kamu menunggu di sini, Elle. Biasanya nunggu di depan kelas," ucap Marco.
"Aku sedang malas jalan ke belakang, Kak," ucap Mirelle yang menatap ke arah Rafael.
Marco membuka pintu mobilnya, dan diikuti oleh kedua sahabatnya dan juga Mirelle. Rafael terbiasa duduk di belakang bersama dengan Mirelle dan Yasa di depan. Namun kali ini terlihat berbeda.
"Aku duduk di depan dengan Kak Marco," ujar Mirelle.
"Silakan, Nona manis," ucap Yasa.
Mirelle yang biasanya tak terlalu peduli dengan perlakuan Rafael, ntah mengapa merasa sakit ketika bekal pemberiannya dibuang begitu saja. Ia sudah berusaha bangun pagi pagi sekali, tapi ternyata tak dihargai.
"Elle, Marsha ke mana?" tanya Yasa.
"Marsha? Sudah pulang duluan tadi, Kak," jawab Mirelle. Ia sebenarnya tak tahu di mana Marsha karena ia keluar lebih dulu dari kelas.
"Yaaa ....," gerutu Yasa, "Ada yang mau aku omongin tadinya sama dia.
"Kak Yasa suka sama Marsha ya?" goda Mirelle.
"Suka? Suka lha. Apalagi kalau hutangku ke dia dihapuskan, tambah suka aku," ujar Yasa yang membuat Marco tertawa, sementara Mirelle hanya berdecak.
Sementara itu, Rafael hanya diam dan menatap ke jendela. Ia seperti tak mau menoleh ke arah Mirelle. Mirelle hanya bisa menghela nafasnya pelan.
"Apa aku sudah harus menyerah sekarang?" batin Mirelle sambil mencuri pandang ke arah Rafael.
🧡 🧡 🧡
Keesokan harinya, Mirelle bangun dengan senyum di wajahnya. Ia seakan telah melupakan kejadian kemarin yang menyakiti hatinya.
"Semangat, Elle! Kamu pasti bisa menaklukkannya!" ucap Mirelle pada dirinya sendiri.
Ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah menggunakan seragam sekolahnya, Mirelle pun turun ke bawah. Hari ini ia tak memasak lagi karena takut makanannya akan kembali dibuang. Selain itu, ia takut jika tempat bekalnya kembali dibuang, bisa bisa Mom Lea akan memarahinya.
"Pagi Daddy, pagi Mommy, Pagi Kak Marco!" sapa Mirelle. Ia berlari kemudian mencium ketiga pipi anggota keluarganya.
"Pagi, Mirelle sayang," ketiganya selalu membalas seperti itu hingga membuat Mirelle tersenyum dengan gigi putihnya yang berderet rapi terlihat.
"Elle, mana kotak bekal yang warna biru?" tanya Lea.
"Mati aku!" batin Mirelle.
Miles dan Marco hanya bisa menundukkan kepalanya saat Lea mulai mengeluarkan ocehannya.
"Hilang, Mom. Aku lupa di mana meletakkannya. Rasanya sudah kumasukkan ke dalam tas, tapi kok tidak ada," jawab Mirelle. Tak mungkin ia mengatakan kalau kotak bekalnya telah dibuang oleh Rafael.
Lea menghela nafasnya pelan, "Kalau seperti ini terus, bisa habis kontainer kontainer kesayangan Mommy."
"Nanti aku akan menggantinya, Mom," ucap Mirelle.
Akhirnya Mom Lea pun diam ketika Mirelle mengatakan akan mengganti kontainer koleksinya yang dihilangkan oleh Mirelle.
*****
"Rafaelll!!!" teriak Mirelle ketika melihat Rafael masuk ke dalam kompleks sekolah. Hanya dengan Rafael saja Mirelle tak menggunakan embel embel kakak, berbeda dengan Marco dan Yasa.
Rafael menghela nafasnya kasar saat mendengar suara adik dari sahabatnya itu.
"Bisakah kamu diam sehari saja?!" ucap Rafael dengan nada tinggi.
"Jangan meneriaki adikku, Raf," ucap Marco tak senang.
"Kalau begitu bawa adikmu menjauh dariku," ucap Rafael dengan wajah tak suka.
Marco mencoba menjauhkan Mirelle dari Rafael, tapi memang dasar adiknya itu mengidap bucin akut, ia langsung melepaskan pegangan Marco dan kembali bergelayut di lengan Rafael.
"Kak, kita jalan jalan berdua bagaimana? Sekali saja, sebelum kakak lulus," pinta Mirelle.
Mata Rafael langsung membulat. Berdekatan saja ia malas, apalagi harus jalan berdua. Apa gadis itu pikir dia gila?
"Dalam mimpimu! Jangan pernah mendekatiku lagi karena aku tak menyukaimu. Menjauh dan kalau perlu menghilanglah dari hadapanku," ucap Rafael dengan tatapan nyalang.
Deggg
"Raf!" Marco tak suka jika Rafael meneriaki adik kesayangannya.
"Tidak apa apa, Kak. Mungkin Rafael sedang tidak mood. Aku akan membujuknya lagi nanti. Aku masuk kelas dulu ya, Kak. See you, Rafael sayang!" ucap Mirelle tersenyum sambil melambaikan tangan dan pergi.
Da da Rafael masih naik turun karena merasa emosi. Sejak dulu, ia selalu meminta kedua orang tuanya agar menyekolahkannya di tempat yang jauh dari Mirelle. Namun karena Mirelle setahun lebih muda darinya, jadi dengan mudahnya ia mengikuti jejak Rafael.
Ujian kelulusan sudah di depan mata dan Rafael tak mau gagal. Ia harus lulus dengan nilai minimal terbaik agar Dad Ethan mengizinkannya masuk ke jurusan Kedokteran yang ia impikan.
"Aku masuk dulu, Raf," ujar Marco, meninggalkan Rafael sendiri di pelataran parkir.
Rafael menghela nafasnya. Hubungannya dengan Marco sedikit merenggang karena Mirelle dan ia benci itu. Bagi Rafael, Marco adalah sahabat rasa saudara.
"Hei, apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu memikirkan Elle?" Yasa yang baru saja datang langsung merangkul bahu sahabatnya, Rafael.
"Ishhh, kenapa sih kalian itu. Bisa tidak jangan menyebut namanya lagi," Rafael yang emosi pun pergi meninggalkan Yasa yang menautkan kedua alisnya. Ia mengendikkam bahunya ke atas, kemudian mengikuti langkah Rafael ke kelas mereka.
*****
"Elle, kakak mohon kamu jangan mengganggu Rafael lagi," pinta Marco.
"Tapi Kak, aku menyukainya. Aku harus terus mendekatinya agar ia luluh padaku," ucap Mirelle penuh harap.
"Kakak mohon Elle. Jangan menyakiti dirimu sendiri lagi, masih banyak pria di luar sana yang pasti akan menyayangi dan mencintaimu. Sekarang yang kamu perlu lakukan hanya fokus untuk belajar," ujar Marco.
"Aku tahu, Rafael pasti tak ingin aku di dekatnya karena sibuk belajar untuk ujian ya kak? Sama seperti Kak Marco."
"Elle ....," Marco tak tahu bagaimana lagi harus bicara dengan adiknya itu. Ntah mengapa adiknya itu selalu saha menempel pada Rafael, bahkan sejak mereka masih kecil.
"Kakak jangan khawatir, aku tak akan mengganggu Rafael," ucap Mirelle.
"Syukurlah akhirnya kamu mengerti."
"Sampai ujian selesai. Setelah itu aku akan melanjutkan misiku untuk mendapatkan cinta Rafael," lanjut Mirelle.
"Elle ....," Marco menghela nafasnya kasar saat mendengar lanjutan dari ucapan adiknya.
Marco akhirnya keluar dari kamar tidur Mirelle dan kembali ke kamar tidurnya sendiri. Ia duduk di depan meja belajarnya dengan buku yang sudah terbuka dan siap untuk dipelajari, namun ia terus memikirkan Mirelle.
*****
Ujian sekolah selesai dan pengumuman kelulusan pun telah tiba. Rafael berdiri di depan papan pengumuman. Ia tak sabar untuk melihat hasil ujiannya yang tentu saja berhubungan dengan masa depannya.
"Yess!!" terdengar teriakan Rafael saat melihat namanya tertera di urutan kedua, di bawah nama Marco. Ya, sahabatnya yang satu itu memang cerdas luar biasa.
"Bagaimana, Raf?" tanta Yasa yang menghampirinya.
"Aku berhasil, Yas! Daddy tak bisa menolak permintaanku kali ini. Aku berhasil!" tampak kebahagiaan terpancar di wajah Rafael.
Selang tiga hari dari pengumuman kelulusan, diadakan pesta perpisahan untuk siswa siswi tingkat akhir. Mereka boleh membawa pasangan mereka.
"Aku ikut ya, Raf. Aku jadi pasangan kamu," pinta Mirelle yang kembali bergelayut di lengan Rafael.
"Lepaskan aku! Aku tak mau datang bersamamu,seperti tidak ada gadis lain saja," ucap Rafael.
"Memangnya kamu punya kekasih?" tanya Mirelle sambil menatap mata Rafael.
"Ya, aku sudah punya kekasih! Oleh karena itu jangan pernah mendekati atau menggangguku lagi. Aku tak mau kekasihku cemburu karena dirimu," ucap Rafael.
"Bohong! Kamu pasti bohong! Aku tak pernah melihatmu dengan gadis mana pun."
"Terserah kalau kamu tidak percaya padaku. Aku akan membawanya saat acara perpisahan nanti, ucap Rafael.
Kini, da da Mirelle terasa sesak ketika melihat Rafael bergandengan dengan seorang gadis yang tak lain adalah sahabatnya sendiri, Marsha.
Rafael bahkan menghampirinya dan memandangnya dengan tatapan mengejek, "Kamu bisa lihat siapa yang aku bawa? Kenalkan, dia adalah Marsha, kekasihku."
Sakit, itulah yang dirasakan oleh Mirelle saat ini. Jika yang dibawa oleh Rafael adalah gadis lain, mungkin ia tak terlalu peduli. Namun ketika melihat Marsha, ia merasa ditusuk dari belakang oleh sahabatnya sendiri.
"Sejak kapan kalian berhubungan?" tanya Mirelle.
"Setahun yang lalu," jawab Rafael.
Deggg
"Setahun? Mengapa kalian tak mengatakannya padaku?" tanya Mirelle.
"Maaf, Elle. Aku takut kamu akan memutus hubungan pertemanan kita jika mengetahui hal ini. Namun, aku rasa sekarang saatnya aku membuka semuanya."
🧡 🧡 🧡
"Selamat!" ucap Mirelle pada Marsha, sahabatnya.
"Selamat karena kamu sudah berhasil mengelabuiku selama ini. Aku berharap yang terbaik untukmu dan Rafael," lanjut Mirelle.
Meskipun awalnya ia kaget dengan kenyataan yang ada di hadapannya, tapi ia menarik nafas lalu menghembuskannya pelan. Mirelle tersenyum dan hal itu sama sekali tak disangka oleh Rafael. Ia mengira Mirelle akan marah padanya atau setidaknya mengajukan protes atas apa yang terjadi.
"Aku pergi dulu kalau begitu. Kalian berdua juga silakan menikmati pestanya," ucap Mirelle.
Mirelle menghela nafasnya pelan setelah sebelumnya memutar tubuhnya. Ia tak ingin Rafael melihat kekecewaan yang begitu besar di dalam dirinya.
Sementara itu, Rafael justru melihat kepergian Mirelle dengan perasaan yang aneh. Ntah mengapa ia merasa kecewa dengan respon yang diberikan oleh Mirelle.
"Ayo kita ke sana, Raf. Ingat bahwa malam ini kamu hanya milikku," ucap Marsha. Rafael menghela nafasnya pelan saat mendengar ucapan Marsha. Ya, sebenarnya ia hanya membayar Marsha untuk menjadi kekasih pura puranya.
Menurut Rafael, berpasangan dengan Marsha akan membuat Mirelle sakit hati dan menjauh. Gadis itu juga pasti akan menangis, marah padanya di acara tersebut, yang pastinya akan membuatnya Mirelle malu sendiri. Awalnya Rafael kira Marsha akan menolak permintaannya. Tapi ternyata Marsha malah menyetujuinya, bahkan terlihat tabpa berpikir.
Selama acara berlangsung, Mirelle tampak sangat menikmati. Meskipun ada rasa sesak di dalam hatinya, tapi ia akhirnya mengerti satu hal. Mencintai seseorang seorang diri itu menyakitkan, apalagi percaya pada seseorang yang sudah kita anggap sebagai sahabat, tapi ternyata menusuk kita tepat di jantung.
"Sepertinya apa yang kulakukan tak mempengaruhinya. Apa rasa sukanya padaku hanya pura pura? Apa dia hanya berniat menggangguku dan membuatku tak nyaman?" ntah mengapa Rafael merasa kesal dengan pemikirannya itu.
*****
Satu minggu kemudian,
"Dad, aku mendapatkan beasiswa!" teriak Mirelle pada Miles, Ayahnya.
"Beasiswa? Bagaimana mungkin?" Miles seakan tak percaya karena putrinya itu bukan siswa terbaik di sekolah. Bahkan untuk belajar saja perlu diingatkan, tak seperti Marco.
"Lihat ini kalau tidak percaya," Mirelle memperlihatkan e-mail di ponselnya.
Miles memperhatikan e-mail yang diperlihatkan oleh Mirelle, "Tapi kamu masih di tingkat dua, sayang. Tunggu satu tahun lagi, bahkan kalau kamu mau kuliah di luar negeri pun akan Dad izinkan"
"Ini kesempatanku, Dad. Tawaran seperti ini tak akan datang dua kali," ujar Mirelle.
"Tapi sayang ...," Miles seakan tak rela jika ia harus melepaskan putrinya saat ini. Mirelle merajuk dan akhirnya pergi dari hadapan Ayahnya.
Hingga malam tiba, Mirelle tak keluar dari kamar tidurnya. Putrinya itu tak makan malam.
"Mar, kamu lihat adikmu," ujar Miles.
"Okay, Dad."
Marco bangkit dan menuju ke kamar tidur Mirelle. Ia mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan dari dalam. Pada akhirnya Marco membuka pintu dan masuk. Ia melihat adiknya sedang duduk di atas karpet bulu sambil bersandar di tepi tempat tidur.
"Elle ...," panggil Marco.
"Kak ... Bantu aku merayu Daddy. Maukah?" pinta Mirelle.
Marco melangkah hingga kini berada di hadapan Mirelle. Ia duduk dan mensejajarkan tubuhnya dengan adiknya itu.
"Elle," Marco memegang dagu Mirelle dan mengangkatnya hingga terlihat wajah Mirelle yang sudah basah dengan air mata.
Tanpa menunggu penjelasan Mirelle, Marco langsung memeluk Mirelle dengan erat. Ia tahu apa yang dirasakan oleh Mirelle saat ini.
"Kakak akan membantumu, tenang saja. Aku tak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi, meskipun itu sahabat kakak sendiri."
Mirelle membalas pelukan Marco dengan erat. Tubuhnya bergetar dan kembali terdengar isakan kecil. Marco mengelus rambut adiknya itu, mencoba untuk menenangkannya.
"Kakak akan membantu tapi kamu harus berjanji satu hal," ucap Marco.
"Hmm ...," Mirelle menatap Marco.
"Lupakan dia dan berbahagialah. Kakak tak ingin hanya karena seorang pria, kamu mengacaukan hidupmu sendiri. Kamu berhak bahagia. Bagaimana?"
Mirelle terdiam, tapi ketika ia kembali mengingat malam acara perpisahan dengan siswa siswi tingkat akhir, Mirelle pun menganggukkan kepalanya.
"Aku berjanji, Kak. Aku tak akan mengecewakanmu lagi."
Marco tersenyum kemudian mengacak rambut adiknya itu.
"Kalau begitu sekarang cucilah wajahmu, kita makan malam bersama. Kakak akan membantu sampai apa yang kamu inginkan tercapai," ucap Marco sambil tersenyum.
Mirelle bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Ia mencuci wajahnya di wastafel dan menggunakan sedikit bedak untuk menutupi sembab di wajahnya.
*****
Setelah merayu Dad Miles dan Mom Lea, akhirnya Mirelle kini berdiri di bandara. Marco menemaninya dengan sebuah koper besar.
"Hubungi kakak saat kamu sampai di sana."
"Baiklah, Kak."
"Dan ... Ingat dengan janjimu," ucap Marco.
Mirelle tersenyum, "Aku tak akan mengecewakanmu, Kak. Tapi aku juga ingin kakak berjanji satu hal."
"Katakan."
"Jangan pernah katakan di mana aku berada, meski aku yakin ia tak akan mencariku dan tak akan peduli apa yang terjadi padaku," ucap Mirelle.
"Ingatlah bahwa akan selalu ada kakak untukmu. Kakak menyayangimu," ucap Marco.
"Terima kasih, Kak."
"Kakak akan mengunjungimu nanti," Mirelle pun menganggukkan kepalanya.
Dad Miles dan Mom Lea tidak ikut mengantarkan Mirelle karena memang Mirelle yang tak ingin. Ia takut akan menjadi sedih dan gagal pergi.
Setelah melewati proses pemeriksaan, Marco pun melepas kepergian Mirelle. Tak lupa ia mencium kening adiknya serta memeluknya erat.
Di tempat lain,
"Kamu mau ke mana, Raf?" tanya Mom Queen.
"Mencari Marco, Mom," jawab Rafael.
"Bisakah kamu menemani Mom ke supermarket? Mommy ingin memasak sesuatu untuk Daddy," pinta Queen.
Rafael menghela nafasnya pelan. Ia tak bisa menolak karena jarang jarang juga Mom Queen memintanya menemani. Sebenarnya ia ingin bertemu dengan Marco karena sudah dua minggu sejak acara perpisahan waktu itu, ia tak bertemu dengan sahabatnya itu. Ia hanya bertemu dengan Yasa yang akan kuliah di jurusan yang tak jauh berbeda dengannya.
"Bisa, Mom. Ayo!"
"Mommy ambil tas Mommy sebentar ya," Queen beranjak pergi ke kamar tidurnya untuk mengambil tas. Setelahnya mereka langsung berangkat ke supermarket.
Keesokan harinya, Rafael menghubungi Marco dan memintanya bertemu, tapi Marco beralasan bahwa ia sedang mengurus kuliahnya. Marco akan mengambil jurusan hukum, di mana lokasinya berbeda beberapa gedung dengan Rafael, meski masih di area yang sama.
"Aku akan menunggumu di tempat biasa, Mar," ucap Rafael.
"Kamu tak sibuk dengan kekasihmu, hmm?" tanya Marco seakan menyindir sahabatnya itu.
Dari ujung ponsel, terdengar Rafael yang menghembuskan nafasnya kasar.
"Kamu marah padaku, Mar?" tanya Rafael.
"Menurutmu?"
"Menurutku kamu marah."
"Kalau begitu tak usah bertanya sesuatu yang kamu sudah tahu apa jawabannya."
"Aku minta maaf, tapi aku melakukannya agar adikmu tak menggangguku lagi."
"Tak apa, mulai sekarang tak akan ada yang mengganggumu. Aku jamin itu."
Deggg
🧡🧡🧡
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!