"Tamaaa,"
Lengkingan suara terdengar dari kamar nona muda yang bernama Rose, meski tak terdengar sampai ke luar karna kamar itu kedap suara. Tapi cukup membuat Wiratama tersentak di balik gawainya.
Ya, nona mudanya menghubunginya entah karna hal penting apa, padahal hari masih pagi bahkan matahari belum juga muncul di peraduannya.
"Hemm."
Hanya gunaman malas yang pria itu lontarkan, bukannya tak salah Rose menamai Wiratama sebagai orang bisu? Pria itu sangat irit sekali berbicara saat bersamanya, padahal saat bersama Valery dan Jasmine, Wira terlihat normal dan ramah. Bukankah ini tak adil.
"Perutku sakit. sepertinya aku akan datang bulan, aku juga butuh pembalut." Tanpa sungkan Rose mengatakan keluhannya, biasanya Wiratama memang selalu bisa di andalkan para putri di rumah itu.
Rose memang memiliki keluhan sakit di perut bawahnya saat hari pertama datang bulan, dan hal itu lajim terjadi pada para wanita.
"Tunggu sebentar." Wiratama mengakhiri panggilannya, pria dewasa itu mengenakan pakaiannya terlebih dulu. Karna memang ia terbiasa tertidur tanpa atasan.
Wiratama membuka lemarinya dan mengambil satu pak pembalut yang biasa di pakai nona muda tak beradabnya.
Ya Tuhan, pembalut wanita disebuah lemari seorang pria bujang bukankah ini sangat menggelikan?
Wiratama normal bahkan sangat normal, hanya saja ia memang menyetok pembalut itu untuk seseorang yang paling tak bermoral itu, Rose memang melakukan segala sesuatu dalam hidupnya tak lepas dari campur tangan Wiratama.
Rose seorang wakil direktur di kantor ayahnya, seorang wanita muda yang cantik jelita dengan sejuta pesona yang tak luntur oleh hal apapun, tegas, anggun, juga menawan ada semua dalam diri wanita 23 tahun itu. Namun siapa sangka di balik kesempurnaan putri sulung dari Arjuna itu menyimpan ke bobrokan yang hakiki yang hanya di ketahui oleh Wiratama saja.
"Tamaaa, kau dimana?"
Rose kembali menelpon karna pengawalnya belum juga datang.
"Cepatlah, aku kesakitan."
"Tunggu saja."
Wiratama menyahut dari sebrang, pria itu tengah membuat minuman rempah untuk Nonanya, sebuah minuman yang ia racik untuk meredakan rasa sakit yang di derita nonanya, terbuat dari kunyit, serai, jahe, serta sedikit madu yang di campur olehnya sebagai perasa. Tidak hanya itu Wiratama juga memasukan beberapa mili air hangat kedalam sebuah botol kaca, untuk di jadikan kompres perut nonanya.
Dengan santai Wiratama berjalan menaiki anak tangga yang berada di rumah besar itu.
Ia berpapasan dengan Valery di anak tangga yang melingkar di sana.
"Om Wira mau kemana?" Valery sudah terbiasa memanggil Wiratama dengan sebutan Om, begitu juga dengan Jasmine. Hanya Rose saja yang memanggil pria itu dengan sebutan nama akhirnya yaitu Tama, benar benar tidak sopan.
"Aku mau ke kamar Rose."
"Dia datang bulan?" Valery melirik pria itu membawa pembalut juga botol kaca serta minuman di atas nampannya.
"Ya, dan sepertinya hari buruknya akan di mulai." Wiratama terkekeh renyah pada gadis 19 tahun itu. "Kau sendiri mau kemana?" Wiratama balik bertanya kepada putri ketiga Arjuna.
"Aku tengah menyukai seorang pria, dia tampan juga keren. jadi aku ingin membuatkannya sarapan supaya dirinya terkesan oleh perbuatanku."
"Wow, apa kau tengah berlakon menjadi calon istri yang baik?" Wiratama kini menggoda Nona ketiga itu, Valery bersemu, gadis itu tersenyum malu malu.
"Kau bisa saja. Apa kau juga ingin kubuatkan sarapan juga?" Valery menawarkan pengawalnya yang kebetulan tinggal di rumahnya juga.
"Tidak, tidak. Aku menyayangi lambungku." Wiratama tergelak sembari menaiki anak tangga saat melihat bibir Valery mengerucut lucu.
Valery pasti kesal akan ucapan meledek pria itu.
Wiratama memang sosok ramah kepada Jasmine dan Valery, hanya pada Rose saja pria itu menjaga emage.
Tarikan nafas lelah ia tarik dan hembuskan dengan enggan. Reaksi yang sering kali timbul di saat ia akan menghadapi nona arogantnya.
Tok ... Tok ...
Wiratama sadar diri ia hanya merupakan seorang pengawal di rumah itu, setidaknya di manapun ia berpijak ia harus tetap menyunjung tinggi adab karna hal itu tidak usah di beli.
"Masuk, pintunya tidak di kunci."Rose menyaut dari dalam.
Ceklak ...
Pria itu menyalahkan lampu tepat saat masuk ke kamar Rose yang temaram, hingga kamar itu menjadi terang benderang. Wiratama membawa pembalut serta beberapa benda itu memasuki kamar.
Wiratama mendekat Rose gadis itu terlihat tengah berada di atas ranjangnya, Rose meringkuk memegangi perutnya.
Rintihan kecil lolos dari mulut gadis itu.
Nampan yang berisi minuman rempah serta air hangat Wiratama letakan di atas nakas yang berada di samping tempat tidur.
"Eemm, sakit." Rose mmerintih pelan, kedua tangannya mendekap perutnya sendiri, wajahnya pucat dengan keringat yang mengembun di dahinya. Hampir setiap bulan di hari pertama ia haid Rose berada dalam keadaan seperti ini.
Wiratama mendekat kemudian duduk di belakang gadis itu, Wiratama dapat melihat noda merah celana gadis itu lebih tepatnya di bagian bokongnya.
Wiratama mengusap keringat yang mengembun di kening Rose, kemudian merapikan anak rambut gadis itu, tangannya terulur untuk mengambil ikat rambut yang tersedia di atas nakas.
Dirapikan dan di sisir rambut panjang Rose kemudian ia jadikan satu untuk ia ikat.
"Kenapa kau datang lama sekali? Aku lebih dari enam jam menunggu pagi, dan kau terlambat selama dua puluh menit." Rose berujar dengan mata terpejam, meskipun Wiratama tidak menyahut sama sekali.
Menunggu enam jam, itu artinya Rose sudah kesakitan sejak semalam. Tumben sekali gadis itu tidak langsung menghubunginya.
"Bangun dan ganti celanamu, jangan sampai noda darah mengotori seprai atau selimutmu." Wiratama membantu Rose untuk bangun.
Rose menurut saat Wiratama menuntunnya ke kamar mandi. "Bersihkan tubuhmu aku akan menyiapkan pembalut ganti."
Wiratama membuka lemari gadis itu, ia hapal di mana saja Rose meletakan barang barangnya termasuk **********, meski begitu di antara tiga nona muda hanya Rose yang paling di siplin dan tak menye-menye.
Entah belajar dari mana Wiratama sampai bisa memasangkan sebuah pembalut di dalaman yang akan di kenakan Rose, entah apa yang terjadi tiba tiba saja darah Wiratama berdesir, bahkan ia membawa dalaman itu ke hudungnya untuk ia hirup secara lamat lamat barang terlarang itu.
"Sial. Dasar pria cabul!" Wiratama bahkan mengutuk dirinya sendiri yang bertindak di luar batas sebagai seorang pengawal.
"Jika Tuan tau bisa bisa aku di penggal." Wiratama menggelengkan kepalanya beberapa kali berharap pikiran kotornya enyah dari kepalanya.
"Sebaiknya aku secepatnya mengatur kencan, sebelum kebengsekan ini semakin jauh." Wiratama bergunam sendiri.
"Ingan Steven, baik Rose, Jasmine dan Valery adalah nonamu!"
"Jaga batasanmu Steven."
"Steven?"
"Siapa Steven?" Rose sudah berdiri di belakangnya dengan seutas handuk yang menutup dada hingga kesebatas perpotongan pahanya.
Dasar wanita tidak waras, bisa bisanya dia berpenampilan semenggairahkan itu di hadapan seorang pria tulen.
Ayolah, meski dunia Wiratama hanya berseputar menjaga para gadis kecil, sekarang gadis itu sudah bertrans migasi sebagai seorang wanita yang sangat memesona. Siapa yang dapat berpaling dari kecantikannya yang paripurna? Dengan lekuk tubuh yang sesempurna itu, Wiratama berani bertaruh jika setiap pria akan bertekuk lutut di hadapan si sulung ini.
"Kenakan."
Wiratama memberikan dalaman yang sudah terpasang pembalut kemudian berpaling, ia cukup tau diri dengan tidak membuat Rose marah sekarang, karna apapun yang di lakukan Wiratama akan tetap salah di tengah Rose datang bulan.
Rose melupakan tentang nama Steven, ia mengenakan pakaiannya di belakang pengawal pribadinya yang menurutnya sangat aneh dan tidak normal.
"Tamaa, apa kau termasuk kaum pelangi? Maksudku, apa kau bagian dari pejantan bengkok?"
Rose berkata tanpa filter, sembari mengenakan pakaiannya.
Wiratama melotot di tempatnya berdiri, bisa bisanya gadis itu bertanya demikian dengan raut sesantai itu.
Haruskah Wiratama menyeret gadis itu dan membuktikan betapa normalnya dirinya?
Seperti biasa Wiratama selalu bungkam dari pada menjelaskan segala sesuatu yang menurutnya tak penting. Ia lebih mengabaikan pertanyaan Rose.
"Sudah."
"Sttt, sakit sekali."
Wiratama membalik tubuhnya kemudian meraih handuk bekas pakai dan menjemurnya meskipun matahari belum muncul.
Rose kembali meringkuk di atas ranjangnya.
"Minum dulu."
Wiratama dengan telaten membuat Rose terbangun dan meminumkan minuman rempah racikannya.
Rose menurut dan menghabiskan minuman yang di bawa pengawalnya.
"Kemari biar kukompres."
Wiratama mengompres perut nonanya menggunakan botol yang berisi air hangat.
"Tamaa, kau boleh pergi! Aku bisa melakukan ini sendiri. Jangan sampai Papaku menyaksikan kau berada di kamarku!" Rose mengusir pengawalnya tanpa mengucapkan terimakasih.
Wiratama sudah bisa memaklumi hal itu, gadis itu selalu mengatakan jika apa yang di lakukan Wiratama adalah tugasnya.
"Jika Tuan melihat memangnya kenapa?"
"Kau itu bodoh atau bagai mana? Tama, Papaku bisa saja menikahkan kita, pikirannya sangat kolot. Tak ada dalam rencanaku untuk menikahi seorang pengawal."
"Jika aku bukan seorang pengawal apa kau tertarik?"
"Kau tak cukup menawan untuk kujadikan priaku."
Wiratama sedikit tersinggung atas kesombongan wanita itu.
"Oh."
"Cepat pergi!"
"Tama. Apa yang kau tunggu? Cepat pergi!"
Rose terlihat kesal lantaran pengawal itu masih saja duduk di sampingnya dan terus menempelkan botol di perut nona cerewetnya.
"Kau sengaja ya? Terus berada di tempat ini agar Papaku mengetahui kau berada di kamar anak gadisnya. Kemudian kau ingin di nikahkan denganku. Apa begitu maksudmu?" Rose menuduh pengawalnya dengan sangat jelas, hidungnya bahkan kembang kempis saking kesalnya akan pria itu.
"Kau cukup pintar, aku tak ingin munafik siapa yang mampu menolak pesonamu Nona? Pria gilapun akan mendadak waras jika hendak di nikahkan denganmu. Tapi itu jika orang lain tidak berlalu untukku, seleraku tentu saja lebih tinggi darimu" Wiratama hanya mampu mengatakan itu di dalam hatinya, jika ia lancang mengatakan hal demikian bisa bisa Rose mencekik lehernya sekarang.
Tidak ingin membuat Rose semakin marah akhirnya Wiratama berdiri untuk keluar dari kamar itu.
Tak salah Ros menamai pria itu bisu dan tuli, karna pria itu kerap kali tak menanggapi ucapannya, tanpa mengatakan apapun Wiratama berjalan menuju kearah pintu.
Belum sempat Wiratama keluar kamar, pintu sudah terdorong dari luar dan sudah terbuka menampilkan Elis selaku Mama dari Rose.
"Wiraaaa! Apa yang kau lakukan di kamar putriku?" Elis berteriak, suaranya bahkan menggelegar memenuhi setiap sudut rumah itu.
"Mati aku!" Rose bedecak dengan malas, sedangkan Wiratama tak terpengaruh sama sekali pria itu justru dengan santai melipat tangan di atas perutnya. Wiratama berani bertaruh jika sebentar lagi Tuannya akan menghampiri mereka.
Elis mendekat ke arah ranjang putrinya, mencoba menelisik ranjang putrinya yang terlihat sedikit kusut di kedua sisi tempat tidur, karna memang sejak semalam Rose tidak nyenyak tertidur karna sakit, sehingga tubuhnya menciptakan sedikit kegaduhan di atas tempat tidurnya yang berwarna putih.
Elis bahkan membolakan matanya saat mendapatkan bercak darah di seprai putrinya, pikirannya mengudara mencoba menerka apa yang baru saja di lakukan seorang pria dan wanita dalam sebuah ruangan.
"Rose," tatapan Elis seakan menguliti hidup hidup gadisnya.
"Ma, ini tidak seperti yang Mama pikirkan. Aku tak melakukan apapun sungguh." Rose bahkan mengangkat jedua jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk hurup V.
"Iya kan Tama? Kita tak melakukan apa yang Mama pikirkan." Rose meminta persetujuan pengawalnya, karna ia tak ingin mamanya salah paham sayangnya pilihannya meminta persetujuan Tama adalah hal yang salah besar, karna pria itu justru bertingkah sok polos.
"Memangnya Nyonya berpikir apa?"
Sekarang tidak hanya Elis yang terlihat terkejut, Rose juga demikian. Ucapan Tama benar benar membagongkan, Rose tau Tama tidak sebodoh itu.
"Tama," Rose menggeram marah, diantara mulutnya yang mengatup, di sertai rahangnya yang mengeras.
Wiratama sangat menikmati ekspresi Rose yang tersudut, tertekan dan di salahkan. Tak gampang membuat gadis itu merasakan hal seperti ini, karna secepat kilat Rose selalu bisa memberbaiki situasi.
"Junaaa!" Elis memanggil suaminya dengan lantang hingga Arjuna dan ketiga anak lainnya mendekat kearah mereka termasuk Abimanyu, seorang anak laki laki yang baru berusia 12 tahun, putra mereka satu satunya yang menggeser gelar Valery sebagai anak bungsu.
"Aku hanya memanggil Papa kalian. Mine, Vale bawa Abi pergi dari sini. Mama perlu berbicara pada Papa dan Om Wira " Elis memerintahkan ketiga anaknya yang lain untuk segera meninggalkan tempat itu karna hal yang akan mereka bahas merupakan hal berbau dewasa.
"Ma, ini tidak seperti apa yang Mama pikirkan. Sungguh aku tak melakukan apapun dengannya." Rose bangun dari rebahannya dengan botol yang berisi air hangat yang ia tempelkan di perutnya.
"Kalian menginap dikamar yang sama?"
Arjuna menyipitkan matanya penuh selidik kepada putri sulungnya, jelas di usia Rose yang ke 23 tahun, anak gadisnya itu pasti tau maksud dari tidur bersama yang Arjuna tanyakan.
"Tidak Pa, sungguh aku tak seperti yang Papa tanyakan." Rose meletakan botol kaca yang sudah hampir mendingin itu di atas nakas.
"Lalu apa yang Wira lakukan di kamarmu di waktu yang sepagi ini?" Arjuna menatap penuh selidik putrinya, karna jujur saja setelah mengetahui secuil kemungkinan hidup tentang Wiratama nyali Arjuna merasa menciut, bagaimana tidak yang ia tugaskan untuk mengawal putri putrinya selama 12 tahun merupakan seorang pangeran mahkota negri Zurham.
"Apa yang kau lakukan di kamar putriku? Apa kau menaiki ranjangnya?" Elis justru bertanya pada Wira, padahal ia tau jika Wira kemungkinan besar merupakan pangeran Steven yang melarikan diri, tapi bukannya bertindak sopan kepada Wiratama Elis justru memanpaatkan hal tersebut. Lagipula orang tua mana yang tak menginginkan seorang menantu yang merupakan pangeran mahkota.
Bukankah ini merupakan kesempatan emas? Benar benar picik pikiran ibu yang satu ini, berharap jika putinya sudah menghabiskan malam dengan pengawalnya sendiri.
Wiratama tak terpengaruh, ia masih menikmati raut tegang di wajah Rose, raut yang sangat jarang di tampilkan Nonanya, jujur hal itu menjadi hiburan tersendiri untunya.
"Jawab aku Wira! Apa kau menaiki ranjang putriku?" Elis mengulang pertanyaannya, tapi sungguh Elis akan sangat senang jika pangeran mahkota ini menghabiskan waktu dengan putrinya. Benar benar licik.
"Ya."
"Ya?" Rose justru membeo ucapan Wiratama lalu sesaat kemudian Rose membolakan matanya merasa bodoh dengan ucapan pria itu, ia dapat menyadari jika Papanya memandangnya dengan tatapan lasernya.
"Kau benar benar menaiki ranjang putriku?" Elis bertanya sumringah, dan sungguh Arjuna ingin mengusap wajah istrinya itu.
"Ya." Wiratama tak bohong, tadi memang ia sempat menaiki ranjang Rose untuk menpelkan botol di perut nona mudanya.
"Juna kau dengar? Sepertinya kau harus menikahkan putrimu secepatnya!" memang ini yang Elis ingin ucapkan sejak tadi.
"Mama," Rose tak suka saat Mamanya bertingkah ceplas ceplos seperti ini.
"Rose, turunkan nada suaramu!" Arjuna menegur putrinya, saat Rose menampilkan nada suara sedikit tinggi.
"Tama katakan sesuatu! Atau kau memang sengaja ingin mrnikahi gadis sepertiku." Sarkas Ros, sedangkan Wiratama hanya melipat bibirnya rapat rapat, ia takut tawanya meledak saat menikmati wajah Rose yang terlihat panik.
"Apa yang harus kukatakan Nona? Aku memang menaiki ranjangmu, atas perintah Nona juga aku ada disini, juga mengambilkan pakaian ganti untukmu dan memasangkan-"
"Cukup Tama! Kau bukannya membantuku, kau justru marah mempertambah buruk keadaan." Rose terlihat semakin marah, bahkan deru nafas gadis itu terdengar oleh rungu semua orang.
"Tak ada yang akan menikah Ma. Aku hanya akan menikah dengan seorang bangsawan yang kaya raya yang datang melamarku secara resmi. Memangnya aku kerbau, harus di nikahkan dengan cara seperti ini." Rose memang tengah marah.
Baiklah kita lihat takdir macam apa yang menanti nona Arogant itu?
"Dan lagi, Tama ada di kamarku hanya mengantarkan pembalut dan minuman herbal. Bercak darah di sepraiku bukan berasal dari selaput daraku yang di rusak Tama, melainkan karna darah datang bulan yang membus celanaku!"
Seperti inilah sisi lain Nona mudanya.
"Uhuk ... Uhuk ..."
Wiratama sampai terbatuk batuk karna tersedak mendengar ucapan prontal Nona mudanya yang satu ini.
Wajah Elis juga Arjuna sudah memerah karna malu atas ucapan putrinya yang tengah marah.
"Ranjangmu kusut dan-" Mama Elis menuduh lagi.
"Tentu saja kusut karna semalaman aku kesakitan akan datang bulanku, aku tak tidur nyenyak sehingga kesana kemari mencari posisi nyaman, bukan kusut karna pertempuran panas antara sepasang kekasih. Aku tidak bercinta dengan tama."
Lebih tepatnya belum!
Entah hati siapa yang bersorak, sungguh othor tidak tau.
"Uhuk ... Uhuk ..."
Kali ini bukan hanya Tama yang terbatuk batuk, melainkan semua orsng termasuk Papa Juna dan Mama Elis, mereka tersedak masal.
"Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tolong tinggalkan kamarku! Terlebih kau!" Rose menatap marah kearah Tama yang sialnya bibir pria itu malah berkedut tipis, dan hal itu di saksikan oleh Rose.
"Kenapa bibirmu tersenyum Sialan! Apa kau ingin aku merobeknya?" Geram Rose.
"Aku tidak keberatan jika kau mengecupnya." Tama berbisik, entah hal itu sengaja ia ucapkan agar Rose bertambah marah atau ia memang bersungguh sungguh.
"Tamaaa!"
"Tamaaa!"
"Yes, Nona."
Ya Tuhan ingin rasanya Rose menyumpal mulut Wiratama dengan pembalut bekas pakai miliknya, pria menyebalkan itu kini tengah mengulum senyum seakan tampang kesal Rose merupan hal menyenangkan.
"Selain, bisu dan tuli apa kau juga menderita penyakit mental? Sialan! Bisa bisanya kau tidak menyangkal tuduhan kedua orang tuaku."
"Kata ayahku jika tuduhan seseorang tak merugikanku aku hanya perlu diam." Wiratama menyahutt datar, tak ia pungkiri ia juga mulai terpengaruh akan gadis itu yang tumbuh dengan sangat baik, cantik dan menggairahkan. Ck, menggairahkan Tuhan rasanya Tama sudah terlalu lama membujang dan menikmati prannya sebagai pengawal, ia bahkan lupa bersenang senang senang dengan wanita.
Rose menghentakan kakinya kemudian meninggalkan kedua orang tuanya juga Tama yang tidak segera pergi dari kamarnya, Rose sangat kesal sehingga ia tak ingin melihat ketiga orang itu.
Rose menuruni anak tangga dengan mulut komat kamit layaknya seseorang membaca mantra, hormon Pms menjadi pemicu amarahnya yang tak terkendali. "Dasar bujangan lapuk, kaum bengkok, si bisu, tak tau diri!" makian itu Rose tunjukan tanpa henti kepada Wiratama.
Selepas kepergian Rose, Wiratama bukannya pergi pria itu justru menuju lemari Rose dan mengambil seprai gadis itu, ia menggantinya dengan warna abu abu muda, meski Rose seorang gadis anggun jika di hadapan orang luar tapi ia lebih menyukai warna warna gentel.
Wiratama dengan cekatan mengganti seprai nona mudanya yang terkena noda darah, baik Arjuna juga Elis tak lepas memperhatikan pria dewasa itu. Pantas saja Rose menyebutnya bisu pria itu kerap kali tak berbicara jika tidak di tanya.
"Di banding seorang pengawal kau justru lebih layak di katakan sebagai seorang suami." sindir Arjuna, sedangkan Wiratama tak menanggapi ucapan Tuannya, sesuai apa yang ia katakan tadi, ketika seseirang mengatakan apapun dan tak berdampak merugikan maka biarkan saja itulah prinsifnya.
"Kenapa kau diam saja akan tuduhan tuduhan suamiku? Atau jangan jangan kau memberi kode ingin menjadi menantu kami?" Elis bersorak girang. Jujur saja Elis sangat berharap jika Wiratama jadi menantunya, mempunyai menantu seorang pangeran mahkota, Ya Tuhan siapa yang lancang menolak itu.
Arjuna meringis malu mendapati ucapan istrinya yang blak blakan.
"Saya rasa Tuan Juna bukan menuduh saya melainkan menyindir." Juna kini tengah sarung memasang bantal Nona muda arogantnya, jika saja tidak ada kedua orang tua Rose, ingin rasanya Wiratama membawa sarung bantai bekas pakai itu kearah hidungnya untuk ia hirup aromanya, Rose memang memiliki wangi yang menggairahkan. Astaga lagi lagi kata menggairahkan muncul di benar Wiratama, apa ia sudah ingin kawin?
Sepertinya Wiratama harus mengatur kencan secepatnya.
"Wira menurutmu apa Rose cantik?"
"Ya."
Sesederhana itu jawabannya,
"Apa kau menyukainya?"
"Ya,"
"Kau sungguh sungguh menyukainya? Apa kau ingin menikahi putriku?"
Ingin rasanya Arjuna menjahit rapat bibir istrinya, Arjuna bahkan bertanya tanya apa ratu hidupnya itu semakin cerewet karna bertambahnya usia, ataukah semua wanita juga seperti itu.
"Aku juga menyukai Hely?"
"Siapa Hely?" Elis sedikit terkejut, jangan jangan ia sudah kalah star dengan orang lain, mengingat tampang Wiratama memang sangatlah tampan meskipun di nalik seragam hitam hitam yang selalu ia kenakan, tapi siapa gadis yang bernama Hely itu? Padahal sepengetahuannya Wiratama belum pernah berkencan dengan seorang gadis karna setiap hari pria itu selalu di repotkan oleh ketiga putrinya.
"Tentu saja anak anjing." jawab Wiratama datar.
"Sial, putriku di setarakan dengan anak Anjing, dasar calon mantu durhaka" rutuk Elis dalam hati, karna ia tak berani merutuk Wiratama dj depannya langsung.
"Kau menyamakan putriku dengan seekor anak anjing?" kali ini Arjuna yang bertanya dengan raut wajah terusik.
"Tentu saja tidak Tuan." ralat Tama, "Nona Rose sangat seksi, ma-maksudku Nona sangat cantik dan memesona. Sedangkan aku menyukai anak anjing karna menggemaskan, sama sama suka tapi beda arti." Wiratama berpaling.
Semoga saja Arjuna tidak menyadari kata Seksi yang tercetus begitu saja dari mulutnya.
"Mulai hari ini kau tak usah mengawal Mine dan Vale, aku sudah menyiapkan dua orang untuk menjaga mereka. Kau fokuslah menjaga Rose, akhir akhir ini Rose tengah bertingkah. Aku juga khawatir terhadapnya, kau tau sendiri sudah berapa puluh lamaran pria yang di tolak olehnya, aku hanya sedikit khawatir terhadapnya." Arjuna mengemukakan kekawatirannya terhadap putri sulungnya, apa lagi gadisnya itu sangat pandai bermain bisnis.
"Baik Tuan." Wiratama tak bisa menjaga jarak lagi mulai sekarang, ia akan mengikuti kemana nona Arogantnya pergi, tanpa terbagi bagi dengan pengawalan Jasmine maupun Valery.
"Ya Tuhan, kuatkanlah imanku!" rintih Wiratama dalam hati, ia mempersiapkan diri dengan makian makian Rose selanjutnya.
Aroma Rose tercium oleh indra penciuman Tama yang memiliki indra penciuman cukup tajam, aroma wangi yang memabukan itu selalu tercium dalam jarak beberapa meter dari tempatnya berada, ia yakin jika Rose akan segera tiba di sana.
Entah parfume apa yang di gunakan Rose sehingga gadis itu memiliki aroma yang begitu menyenangkan.
"Kalian belum juga keluar? Apa kalian sekarang jadi hobi bergosip?" Rose muncul dari ambang pintu.
Wiratama kini menggulung seprai bekas pakai nonanya, kemudian melangkah mendekat ke arah Rose yang masih mematung di ambang pintu.
"Kau harus memberiku upah atas pekerjaan ini." Wiratama keluar begitu saja setelah berbisik tepat di samping Rose.
"Dasar pamrih!"
.
Wiratama menuruti apa kata Tuannya, ya itu mengawal Rose bahkan hingga ke depan pintu toilet sekalipun.
Menurut Tuannya ada seorang psycho yang begitu menggilai Rose, hingga pemuda itu melamar Rose selama 16 kali dan lamaran itu kembali di tolak gadis cantik yang berumur 23 tahun itu. Selain cantik dan seksi memang Rose memiliki daya tarik tersendiri, sehingga kaum Adam manapun akan dengan sukarela memberikan apa yang yang ia miliki untuk gadis itu.
Tidak hanya itu, saingan bisnis Arjuna sangat bejibun sehingga sangat wajar jika nereka hendak memanfaatkan Rose selaku anak Arjuna yang begitu psndai dalam berbisnis.
"Berhenti mengikutiku! Aku hanya mau ketoilet!" Rose kesal karnya Wiratama selalu membuntuti langkahnya kemanapun ia pergi.
"Kenapa kau selalu mengikutiku sih? Aku Risi Tama!" Ketus Rose, pria itu berada di dekatnya hampir 24 jam mengawasi gerak geriknya.
"Salahkan dirimu yang terlalu memesona Nona, sehingga Tuan sangat takut keselamatanmu tergores." jawab Tama dalam hati.
"Hem," Tama berdehem kaku.
"Sudah tugas saya Nona." jawabnya datar.
Karna kesal Rose kembali ke kursi kerjanya, ia tak jadi ketoilet, keinginan buang air kecil menguar begitu saja.
"Tok ... Tok ...
Seseorang mengetuk pintu dari luar.
"Masuk." Rose memerintahkan orang tersebut untuk masuk.
Di balik pintu munculah seorang pria bersetelan jas rapi berwarna hitam, dengan sebuket bunya lily putih di tangannya.
Rose mendengkus tak selera, gadis itu belum tertarik untuk menjalani hubungan ataupun berkencan, ia tengah fokus berkarier terlebih dahulu.
Rose juga tak ingin repot repit menjalin hubungan yang unjung unjungnya membuat repot dan menyita waktunya yang berharga.
Pria itu bernama Damian seorang pengusaha yang bergerak di pertambangan, perawakannya tinggi besar dengan hobi berkarate, ia bahkan seorang penyandang sabuk hitam.
"Bunga yang cantik untuk seseorang yang spesial." Pria itu menyodorkan sebuket bunga di hadapan Rose, Rose yang sudah bosan menolak ajakan kencan juga pemberian pria itu akhirnya lebih memilih menerima bunga itu untuk pertama kalinya dari Damian.
"Terima kasih!"
"Ck, kulitnya seperti batu bara. Apa dia juga turut menambang. Ya Tuhan wajahnya berminyak dan sepertinya banyak dakinya, tak lebih baik dari ketiakku ku rasa." Wiratama mengkritik penampilan Damian, sebenarnya ia kesal entah karna apa, mungkin karna Nonanya menerima pembarian pria buruk rupa itu.
Wiratama bukanlah seorang pembuli tapi entah mengapa ia ingin mengolok olok Damian sekarang.
"Mau makan siang denganku?" Damian bertanya penuh harap.
Bibir Wiratama berkedut tipis, jangankan si buruk rupa itu, Rose bahkan menolak ajakan makan malam oppa oppa korea yang merupakan personil boy band, entah pria seperti apa yang di cari nonanya.
"Boleh." Rose melirik kearah Wiratama dengan ujung ekornya, sebersit ide muncul di benaknya.
Wiratama hampir tersedak karna Nona mengiyakan ajakan pria bertampang sangar itu. Dasar gadis rabun!
"Boleh? Benarkah?"
"Ya, asal dengan satu syarat." Rose mengacungkan jari telunjuknya.
"Katakan saja syaratnya Nona cantik." ucap Damian penuh antusias.
"Buat pria itu terkapar di lantai, maka aku akan menerima ajakanmu." Rose menunjuk Wiratama yang sedari tadi berdiri de depannya.
"Sial. Itu sama saja kau menolak ajakannya Nona, atau kau ingin menguji ketangguhan pelindungmu?"
Satu alis Wirata menukik dengan smirk yang tercetak di bibirnya, senyuman yang luar biasa menyebalkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!