NovelToon NovelToon

Tumbal Ujian

Perkenalan

Kala itu mereka semua masuk ke Taman Kanak-kanak yang sama dan menjadi teman sekelas. Namun mereka masih terlalu kecil dengan semua kepekaannya.

***

"Siapa yang nangis?! Mamaaa!" Ia menangis di dalam kelas.

Jovan Altiwes, seorang anak laki-laki dengan telinga yang istimewa. Tidak, teman-temannya menyebut 'telinga yang cacat'. Peka yang berlebihan pada telinga itu membuat ia dipenuhi rasa ketakutan yang berlebihan pula. Ia mampu mendengar suara tabrakan hingga jarak sejauh 25 km. Hal itu sangat mengganggunya.

Namun kali ini ia terganggu dengan suara seorang wanita yang menangis di sebelahnya.

***

Seorang anak laki-laki lain tengah terdiam menatap semua orang yang berada di kelasnya. Ia didampingi oleh sang ibu, namun tidak merasa aman sama sekali.

Bocah itu menatap seorang wanita tua yang berada di sebelah Jovan. Ia tak melihat raut wajah wanita tersebut, matanya seketika memburam bila memfokuskan pandangan ke arah wajah wanita itu. Namun ia tahu pasti, Jovan menangis karena wanita itu menakutkan. Perlahan kepala wanita tua tersebut menoleh ke arahnya. Ia pun mulai merasa takut.

"Mmmaaammaaa! Hegh!" Ia mencoba untuk tak menceritakan apa yang baru saja muncul di indera penglihatannya.

"Kenapa?" tanya sang ibu.

"Mau minum!" jawab bocah itu.

Arian Dwi Putra, namanya. Mata anak itu dipenuhi cahaya. Ini bukan sebuah anugerah, melainkan kutukan dari katak buta. Karena ayahnya pernah menabrak salah satu anak katak buta di saat sang ibu tengah mengandung Arian. Sebagai gantinya, Arian tidak dibutakan. Namun ia menambah kepekaan pada mata Arian.

Arian duduk di hadapan Jovan. Dengan 3 bangku di sebelah mereka masih kosong. Meja bundar yang mereka gunakan jaraknya dengan Jovan lumayan jauh.

***

"Ini jangan dibuka ya! Sampai pulang sekolah!" Perintah seorang Ibu sambil memasangkan filter penciuman pada hidung anaknya.

Itu adalah ibu dari Rafa Gedash. Hidung anak tersebut tidak bisa mengontrol bebauan, setelah melakukan operasi pembersihan sinusitis. Terkadang ia mencium aroma yang sangat teramat pekat memenuhi seluruh hidung dan otaknya. Namun terkadang ia tak bisa mencium aroma apapun.

Rafa duduk di sebelah Arian. Ia menatap bingung kedua temannya yang memegangi tangan ibu masing-masing.

***

"Bima! Ini tasnya!" teriak seorang Ayah sambil berlari mengejar anaknya yang telah berjalan terlebih dahulu memasuki kelas.

Bima termasuk anak yang sudah bisa mengontrol inderanya yang lebih dari lima itu. Ia sudah mulai akrab hampir dengan semua jenis setan. Terlebih lagi aura positif Bima membuat segala jenis jin bersembunyi bila melihatnya. Seakan energi mereka terserap oleh energi positif anak tersebut.

Setelah mengetahui bahwa ada sosok makhluk tak kasat mata yang mengganggu Jovan, ia memilih untuk duduk sebangku dengannya.

Bima adalah sosok pelindung untuk teman-teman semasa sekolah. Ia bahkan dianggap sebagai seorang ayah bagi mereka. Mereka akan merasa aman jika bersama Bima.

Seketika sosok wanita tua itu lenyap saat Bima tersenyum lebar menatap teman-temannya.

Arian dan Jovan mulai memperbaiki perasaan mereka. Arian menatap Bima yang tersenyum sambil menghapus air matanya.

***

"Halo semuanya! Namaku Jini!" teriak anak perempuan di depan pintu dengan tangan yang dipegangi oleh sang ibu.

Itu dia! Jini Pearl. Ia mempunyai kepercayaan diri yang berlebihan. Batinnya kuat, ia sama seperti Bima yang di penuhi aura positif. Tak heran jika dia dan Bima sering bertengkar hanya karna merasa tersaingi. Jini tak sepenuhnya sama dengan Bima. Ia tak bisa melihat makhluk astral. Ia hanya mengandalkan batin dan instingnya untuk melakukan sesuatu.

Jini duduk di antara Jovan dan Arian. Ia menatap jijik sosok Bima yang terus tersenyum.

Namun itu hanya bagian dari kisah masa lalu sekaligus awal mula mereka mengenal satu sama lain. Bertahun-tahun tumbuh bersama membuat mereka telah memiliki gaya dan karakter untuk mereka masing-masing.

***

Hari ini mereka tengah menjalani MOS (Masa Orientasi Siswa) di SMA RENGGANI. Di sinilah perperangan mereka dimulai.

Semua siswa dan siswi baru memasuki ruangan MOS mereka. Ada begitu banyak murid baru di sekolah itu. Namun Jini menjadi siswi yang paling populer di hari pertamanya di SMA.

Insting Jini yang kuat membuatnya banyak di sukai oleh kakak-kakak OSIS di sekolahnya. Hingga dengan mudah menemukan Jini karna semua OSIS di sekolah tengah membahas Jini. Mereka tak menyebut Jini memiliki Indera ke enam, tetapi mereka memandang Jini dikelilingi keberuntungan di sekujur tubuhnya.

Jini yang berada di Ruang Mawar, membuat OSIS yang membimbing ruangan itu merasa bangga memiliki Jini di ruangannya.

***

Namun, yang terjadi di Ruang Melati.

"KENAPA LO TELAT?!" teriak Kela (anggota OSIS) kepada Jovan yang berdiri di depan papan tulis. Hal itu disaksikan oleh Bima dan Rafa yang duduk sebangku di pojok paling kanan.

"Ada masalah, Kak!" jawab Jovan tertunduk.

"MASALAH BAPAK LO JANGAN DIBAWA KE SEKOLAH!" balas Kela sambil mendekatkan wajahnya.

"Busnya telat!" jelas Jovan lai.

"URUSAN LU! BUKAN URUSAN GUA!"

Jovan berusaha menahan emosi.

"Duduk lu!" Perintah Kela. Jovan berjalan menuju tempatnya yang ada di depan Bima.

"Masalah bis apa iblis?" bisik Bima sambil cekikikan bersama Rafa.

"Gua lupa bawa headset." Jovan merapikan seragamnya.

Tentunya headset adalah alat terpenting untuk Jovan mengalihkan pendengarannya yang semakin dewasa, semakin peka.

***

"Yan! Lu bawa minyak kayu putih ga?" tanya Jini tengah duduk di samping Arian sambil memegangi leher yang terasa penat. Arian memberikan minyak kayu putih untuk Jini. Namun saat Jini akan mengusapkannya, Arian menahan tangan gadis tersebut. "Kenapa?" tanya Jini tak mengerti.

"Abis digigit apaan lu?!" ucap Arian yang melihat bekas gigitan tiga gigi membuat leher Jini memerah.

"Ah?! Kenapa?!" Jini mengambil kaca dari kotak pensil dan mencoba melihatnya. Namun lehernya terlalu ke arah belakang, ia tak bisa melihat apapun.

"Mana sih?! Ga keliatan!" ucap Jini yang mencoba memutar lehernya.

Ckkreeekk!

Arian memfoto leher Jini menggunakan ponsel. Ia menunjukan foto itu kepada Jini.

"Mana?! Boongin gua lu?!" teriak gadis itu begitu mendapati foto lehernya baik-baik saja.

Namun Arian merasa heran, bekas gigitan itu tak terlihat di kamera. "Ga Jin! Beneran! Ini gua liat ada bekas gigitan! Tapi gua foto ga ada!" jelasnya.

"Maksud lu?!" Jini terkejut, ia baru sadar. Sedari tadi ia merasa salah satu kakak osisnya diikuti oleh makhluk tak kasat mata.

"Gua ga boong!" Arian mencoba untuk meyakinkan.

"Coba lu liat di sini ada yang aneh ga?!"

"Ga ada!"

"Kakak osis?"

"Kayaknya bukan! Itu bawaan mereka semua! Ga ada yang serem!" jelas Arian sambil menatap makhluk serta beberapa gumpalan asap dan cahaya di sekeliling kakak osis di ruangan mereka.

"Tapi feeling gua ke sana!" Jini menunjuk salah seorang di depan palan tulis samb memegangi lehernya yang terasa sakit.

Awal Masuk SMA

"Yaudah lah, biarin! Pura-pura ga tau aja!" Arian lebih menyukai hal semacam itu. Apapun yang terjadi pada dirinya, ia akan mencoba bersikap normal.

"Gua bales!" ucap Jini berjalan mendekati kakak-kakak osis di depan papan tulis.

Arian dengan segera membuka mata dengan lebar. Ia ingin melihat reaksi para jin yang dihampiri oleh sobat karibnya tersebut.

"Kenapa Jin?" tanya Pras, salah satu kakak osis di hadapan Jini.

"Kak! Mau salaman boleh ga?" Alih-alih menjawab, Jini malah balik bertanya dan membuat semua orang yang ada di ruangan itu merasa heran, termasuk Arian.

"Salaman kenapa?" Kini Indah yang menghampiri Jini.

"Makasih, Kak, udah baik sama aku!" Jini langsung mengambil tangan mereka satu persatu dan menyalaminya sambil menepuk pundak mereka.

Tiba saat ia menepuk pundak Pras. Pras merasa berat dan terduduk.

"Pras!" teriak Indah.

"Ga aku pukul lohh!" ucap Jini menutup mulutnya dengan kedua tangan sebagai ekspresi rasa terkejutnya.

Arian melebarkan mata lebih lebar dari sebelumnya. Ia melihat makhluk asap bertaring merasuki tubuh Pras. Pras menggeram dan berteriak tak karuan.

Jini terkejut melihat hal itu. Tentunya ia tak tahu apa yang terjadi dan hanya mengikuti perasaannya. Jini berpikir jika makhluk itu menggigit lehernya, bearti ia bersembunyi di pundak seseorang agar lebih mudah untuk mencapai lehernya.

Ruangan Mawar seketika menjadi ricuh. Pras mengamuk, ia mematahkan dua kaki meja di hadapannya hanya dengan sekali sundulan menggunakan kepala.

Semua murid keluar dari ruangan itu, termasuk kakak osis. Jini merasa Pras memanggilnya dan meminta Jini untuk mendekati. Jini berjalan mendekati Pras yang sedang menggeram hingga air liurnya menetes ke lantai dengan pandangan buas. Namun, Arian terlebih dahulu menarik Jini untuk keluar dari ruangan itu.

"Pura-pura ga tau aja!" bisik pria itu.

Kakak osis yang lain segera mengunci pintu ruangan itu dan sebagian lagi memanggil guru.

Kehebohan itu terdengar hingga ke Ruangan Melati.

"Kenapa sih tuh?! Berisik amat kayak setan!" bentak Kela sembari berjalan keluar ruangan. Ia mendekati kerumunan murid Ruangan Mawar.

"WOEE! KENAPA LU SEMUA KAYAK SETAN?!" teriak Kela.

"Kak Pras kesurupan!" jawab Jini pelan.

Kela menerobos kerumunan dan berdiri di atas kursi panjang di depan ruangan. Ia melihat Pras yang tengah menggeram di depan papan tulis.

***

Sementara yang terjadi di Ruangan Melati ....

"Kak Pras kesurupan!" bisik Jovan kepada Bima dan Rafa.

"Tau dari mana lu?!" Rafa menepis pernyataan Jovan.

"Jini yang bilang! Gua denger tadi!"

"Paling bentar lagi sadar!" ucap Bima dengan santai.

"Tau darimana lu?!" Rafa juga menepis pernyataan Bima.

"Pras? Cowo lemah, ga bakal tahan lama!" Bima mengucapkannya sambil menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya.

Rafa dan Jovan saling menatap. Otak mereka berjalan 180° dengan otak milik Bima.

Bima membuka matanya dan mendapati kedua temannya saling menatap dengan ekspresi bodoh. Ia menyadari kesalahan lidahnya.

"Woeee! Maksud gua tuh energinya anjir!" tepis Bima menarik kembali temannya agar sejalan dengannya.

***

"TERANCAM!" Suara bergema dari atap ruang guru.

Jovan mendengar suara itu namun tertutupi oleh suara hingar bingar di luar Ruang Mawar.

***

Masa MOS telah berlalu. Jini, Jovan, Bima, Arian dan Rafa masuk ke kelas yang sama dan mereka duduk di tempat yang berdekatan. Bima dan Rafa duduk paling belakang, di depannya terdapat Jini dan Arian. Sedangkan Jovan duduk di hadapan Jini bersama seorang wanita bernama Gita.

Bima menyukai posisi bangkunya, ia bisa melihat seisi kelas dari tempatnya. Rafa duduk bersama Bima karena penciumannya yang sering terganggu denggan aroma-aroma lain, namun saat ia bersama Bima. Penciumannya kembali normal.

Jini dan Arian memang sudah menjadi teman yang paling dekat, karna sudah sedari SMP Arian dan Jini sering menggabungkan indera kepekaan mereka bersama untuk memecahkan suatu masalah.

Sedangkan Jovan, ia sering menjadi orang yang banyak bicara untuk mengontrol pendengarannya. Sangat cocok untuk duduk bersama Gita yang memiliki miliaran suku kata di benaknya. Mereka berdua sering mengobrol bersama bahkan mereka bisa mengucapkan kata-kata dengan cepat.

"Zzzrrzztttzzrrrka?" Jovan memulai obrolannya bersama Gita.

"Zrzrzrzwkwkwk." Gita pun ikut berbicara cepat sepertinya.

"Zjzjzjswa?"

"Zwzwzyetztztzrrrrzzzznnnseka!"

"Hahahah!" Gita tertawa.

Jini mulai mengernyitkan dahi melihat dua orang aneh di hadapannya. Jovan memiliki pendengaran yang istimewa, sedangkan Gita sudah terbiasa dengan ungkapan cepat. Walau ia tidak terlalu jelas mendengarkan, tetapi otaknya menangkap dengan cepat suku kata yang Jovan ajukan.

Plokk! Plokk!

Jini menepuk meja Bima tanpa melepaskan pandangan.

"Bim! Bim! Adek lu Bim!" ucap Jini. Rafa, Arian dan Bima segera menoleh ke arah Jovan dan mereka saling menatap.

"Zrzzzzrrrrse!" Jovan mengucapkannya sambil terkekeh.

Bima menarik ujung bibirnya.

"Zzzzrrrzzstan." Gita pun seakan mengerti bahasa yang Jovan ungkapkan.

"Zzzzrzzz."

"Bbizzrr."

Rafa, Arian, Bima dan Jini melongo lalu menyatukan pandangan mereka.

"Njirr! Kenapa adek lu jadi autis gitu Bim?!" Rafa cekikikan sambil menepuk pundak Bima.

"Mereka lagi ngobrol," ucap Bima.

"Maksud lu Gita juga autis?!" Jini membesarkan bola matanya.

"Ga ngerti gua!"

"Bukan cuma kuping yang cacat, lidahnya Jo juga cacat," ucap Rafa.

"Eh! Hidung lu juga cacat permanen!" bentak Jini.

"Ini istimewa!"

"Lu bedua cacat!" ucap Bima menyandarkan tubuhnya.

"Arian?" tanya Jini. Arian yang semulanya membaca novel, langsung memutar pandangannya ke arah Bima.

"Arian, mata kutukan!" bentak Bima. Jini dan Rafa cekikikan.

"Lu anak setan!" ucap Arian.

"Jangan bawa-bawa orang tua lu!" teriak Bima.

"Lu anak setan! Makanya setan ga berani sama lu, berasa nyakitin anak sendiri," ucap Arian lagi dan melanjutkan membaca novel.

"Udah, udah! Kita semua produk gagal! Jadi jangan berantem! Paling banyak kecacatannya. Yah siapa lagi kalo bukan Bima!" ejek Jini cekikikan bersama Rafa.

***

Hari berlalu seperti biasanya. Mereka tidak merasa terganggu dengan makhluk-makhluk yang ada di sekolah.

Hingga tiba saatnya seluruh kelas 3 mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional.

Arian mulai melihat hal yang tak masuk akal lagi di matanya. Jovan pun sering terganggu dengan suara-suara aneh yang ia dengar. Bahkan, Rafa pun sering mencium bebauan aneh saat tengah duduk di bangkunya. Lain halnya dengan Jini dan Bima. Mereka tak merasakan apapun, Bima pun tak mengalami apa yang Arian alami. Saat Arian melihat gedung tinggi di belakang sekolah. Seharusnya jika itu benar-benar gedung yang nyata, teman-temannya pasti juga melihat gedung itu. Tetapi, jika gedung tersebut tak kasat mata. Seharusnya Bima juga bisa melihatnya. Namun, saat Bima melihat lapangan di belakang sekolah itu, masih tetaplah sebuah lapangan.

***

"Iya! Gedung! Tinggi!" ucap Arian, ia mengingat lagi penampakan gedung yang ada di belakang sekolah.

"Kira-kira berapa lantai?" tanya Jini, ia mulai menggunakan intuisinya.

"Tinggi! Nembus awan! Gua yakin itu goib! Masa Bima ga liat?" tanya Arian.

"Ga ada apa-apa woee! Suer dah! Lapangan kosong!" Bima berpikir bahwa Arian hanya mengarang saja.

"Mungkin ada hubungannya sama bau ikan asin yang sering lewat di hidung gua?!" tanya Rafa.

"Itu mah lu laper!"

Sekolah Lain

"Tapi bener! Gua sering denger bunyi murid lain tapi kadang gua denger bunyi orang teriak!" teriak Jovan.

"Parnoan lu semua!" ucap Bima dengan santai.

"Bukan perno Bim! Gua serius liat gedung tinggi ampe nembus awan!" ucap Arian.

"Apa dulunya ada gedung di lapangan? Trus diratain buat dijadiin lapangan! Bisa aja kan?" ucap Jini.

"Kalo itu emang goib! Gua bisa liat!" Bima masih tetap membantah pernyataan Arian. "Kalo pun itu emang ada, kenapa lu baru liat sekarang?" sambungnya.

"Gua juga ga ngerti Bim!" ucap Arian.

"Waktu lu liat, ada orang ga di gedungnya?" tanya Jini.

"Ada! Rame! Tapi ga terlalu jelas!"

***

"Perlu diketahui! Sekolah kita memiliki perjanjian tidak tertulis, yang mengakibatkan siswa-siswi sekolah yang akan menjalani ujian nasional mengalami musibah hingga berakibatkan meninggal dunia"

"Untuk meminimalisir kemungkinan terburuk, seluruh Kelas 1 dan 2 mulai besok akan diliburkan hingga kelas 3 selesai Ujian Nasional, Kelas 3 tetap masuk seperti biasanya untuk pembekalan menghadapi Ujian Nasional! Terima kasih!" Pengumuman itu disampaikan oleh Kepala Sekolah dan tersebar di sepanjang koridor, membuat hingar bingar anak-anak kelas 1 yang baru mengetahui hal tersebut.

"Masih berlaku aja mitos kayak gitu!" ucap Bima.

"Positif thinking aja, mungkin biar anak-anak kelas 1 sama kelas 2 ga ngeganggu kelas 3. Kan mau fokus ujian!" balas Jini.

***

Jini dan Bima bersiap untuk pulang, namun berbeda dengan Arian, Rafa dan Jovan. Rafa termenung menikmati aromaterapi yang ada di hidungnya. Jovan terdiam fokus pada suara lonceng yang ia dengar. Sedangkan Arian terdiam memandangi penampakan gedung itu lagi dari balik jendela.

Jini dan Bima tak mengerti, mengapa ketiga temannya bertingkah aneh.

"Woee balik!" teriak Bima, membuat Jovan merasa terganggu dengan teriakan tersebut.

"Berisik lu!" bentak Jovan.

"Kenapa sih? Suara kuntilanak?!" tanya Jovan.

"Kayaknya ada sekolah lain di sekolah ini," ucap Jovan.

Arian menoleh ke arah pria itu dan menarik nafasnya. Tentu saja, ia baru menyadari bahwa Jovan mendengar apa yang ada di gedung itu. Setelah beberapa hari ini Arian hanya bisa melihat saja tanpa mengetahui aktivitas apa yang ada di gedung itu.

"Maksud lu?" tanya Jini.

"Gua denger suara lonceng! Bunyi tapak kaki! Rame! Berisik!" Jovan memfokuskan pendengarannya.

"Gua ngecium bau aromaterapi! Kayak minyak gosok nenek-nenek!" ucap Rafa sambil terkekeh.

"Itu dari gedung yang ada di lapangan!" teriak Arian.

"Gedung apaan sih anjirr?!" Bima terus saja menepis pernyataan Arian.

"Gini aja deh! Lu tunjukin gedungnya Yan! Kalo lu emang liat tuh gedung!" ucap Jini.

Dengan penuh percaya diri Arian membawa teman-temannya ke lapangan sekolah. Jini tak bisa merasakan apa-apa, sama halnya dengan Bima.

"Ini dia!" tegas Arian. Seketika semua makhluk yang ada di sana terheran menatap 4 siswa dan 1 siswi mendatangi gedung mereka.

"Di sini ada lonceng!" teriak Arian mencoba membuktikannya kepada Bima.

"Gua ga liat apa-apa!" balas sobatnya tersebut.

Arian mulai merasa kesal. Ia memukul lonceng itu dengan kuat.

DDDDDDDDIIIIIIIIIIINNNGGGGG!

Dengungan lonceng itu membuat gedung tersebut bergetar dan sampai ke telinga Jovan.

"Aaarrrrrggghhh!" Jovan menutup telinganya sambil menjerit.

"Kenapa Jo?!" tanya Jini yang menghampirinya.

"Iya! Itu lonceng yang gua denger tadi!"

"Yap! Bau karat!" imbuh Rafa memasang filter pada hidungnya.

"Lu bertiga ngomongin apaan sih?! Gua ga liat apa-apa! Gua ga denger apa-apa! Hidung gua juga ga nyium apa-apa!" tegas Bima.

"Bim!" bentak Jini.

"Kenapa lagi? Lu mau bilang lu bisa rasain gedung itu ada disini?!" Bima terus saja membantah pernyataan teman-temannya. Namun mendengar ucapan Bima, semua makhluk yang ada di dalam gedung itu, menatap ke arah Bima. Arian melihat semuanya.

Jini menghela nafas.

"Kenapa lu bertingkah kayak lu ga peka? Lu keliatan sama kayak anak lain tau ga?! Lu pasti pernah ngerasain kalo lu liat setan, tapi temen-temen lu ga liat! Lu pasti pernah ngalamin lu cerita tentang setan, tapi temen lu ga percaya! Lu sama kayak mereka tau ga?!" Jelas Jini.

"Gua bisa liat setan! Gua lebih peka dari lu semua! Gua percaya apa yang gua liat! Sedangkan ini? Rian liat! Gua ga! Ngotak dong!" Bima pun memulai perseteruannya lagi bersama Jini.

"Lu lebih peka? Buktiin! Ini mereka bertiga ga mungkin sekongkol buat ngerjain gua sama lu! Hidungnya Rafa bisa ngecium bau karat! Jovan denger loncengnya! Arian bisa liat semuanya! Lu bisa apa?! Ah?! Gua yakin, Iblis yang ada disini juga ga takut sama lu!"

"GUA BISA APA?! LU YANG BISA APA AH?! OTAK LU GA GUNA BUAT NGADEPIN SETAN!"

"GUA LEBIH PERCAYA SAMA OTAK GUA DAN TEMEN-TEMEN GUA, DARI PADA PERCAYA SAMA LU!"

"LU BENER JIN!" ucap Arian kesal. Bima dan Jini pun menoleh ke arah Arian.

"Mending kita balik!" Arian mengalihkan pandangannya ke arah Jini dengan matanya yang membesar.

Semua makhluk di gedung itu menatap mereka. Jini pun bisa merasakannya. Energi panas yang sangat besar berada di sekitar mereka. Anehnya Bima tak merasakan apapun.

"Yuk!" Jini menjauh dari lapangan itu dan di ikuti teman-temannya.

***

"Arian." Suara serak dan bergema itu terdengar lagi oleh Jovan. Namun kali ini terdengar jelas, karena suasana sekolah telah sepi.

Jovan menoleh ke Arian. Namun Arian terlihat santai. Ia masih heran, siapa yang memanggil Arian.

***

Saat temanmu tidak percaya apa yang kamu lihat Cobalah untuk tidak menceritakannya

Terkadang diam, bisa menyelamatkan nyawamu dari kematian

~Arian Dwi Putra

***

Arian telah di incarnya. Ia tahu bahwa Arian bisa melihatnya. Ia ingin menemuinya. Namun rantai yang ada di kakinya tak bisa ia lepaskan begitu saja. Ada begitu banyak alasan untuk mengemis pertolongan kepada Arian.

***

"Yan! Lu ada di rumah?" teriak Jini pada ponselnya.

"Hmmm, kenapa?" jawab Arian yang baru saja tersadar dari tidurnya.

"Gua otw!"

Arian membuka lebar matanya. Dia selalu merasa terganggu dengan Jini yang hampir setiap minggu datang ke rumahnya.

"Liat jam Jin!" gumam Arian.

"Hmm, sekarang jam 6. Jam setengah 7 gua sampe rumah lu!"

"Mau ngapain sih?!"

"Gua otw sekarang!" Jini mengakhiri obrolannya dan bergegas ke rumah Arian.

"Jin! Astaga!" Arian menaruh ponselnya di meja. Ia segera mandi dan merapikan kamarnya.

***

"Yan! Ada Jini!" teriak Ibu Arian.

"Suruh masuk aja!" balasnya. Seperti biasanya Jini langsung berlari memasuki kamar Arian.

"LU NGAPAIN SIH?!" teriak Arian mendorong Jini keluar dari kamarnya.

"Aaarrrggghhh! Tadi lu suruh masuk!" bantah Jini sambil terus di dorong oleh Arian.

"Mulai sekarang, ga ada cewe yang boleh masuk kamar gua!"

"Anak-anak lain?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!