NovelToon NovelToon

When I Meet You

1 : "Mama,"

"Aw, sakit."

Lontaran itu dilayangkan oleh seorang gadis, kala kepalanya mendadak dilempari oleh sebuah batu kerikil sebesar ibu jari kakinya oleh seorang anak jalanan yang usil.

Mulanya, gadis bernama lengkap Nayanika Zora Anjani itu sedang berjalan menyusuri jalanan kota yang setiap harinya kian padat. Beban berat yang ia pakai bahkan tak sama sekali membuat semangatnya menyusut. Hanya kepala boneka beruang yang ia jinjing setelah memakainya selama 5 menitan. Tentu saja dirinya merasa sesak jika memakai kostum badut tersebut lama-lama.

Merantau dengan harapan besar cita-citanya untuk menjadi seorang koki bisa tercapai, namun dia malah dihadapkan dengan kenyataan. Jika lulusan SMA sepertinya, pun dengan perekonomian yang sulit—membuatnya sulit untuk mencapai cita-cita.

Apalagi statusnya yang menjadi anak semata wayang yang hanya mempunyai seorang ibu, pun ditinggalkan sejak kecil oleh seorang ayah—membuat gadis yang akrab disapa dengan Naya tersebut harus pontang-panting mencari uang untuk kelangsungan hidupnya dan ibu di kampung.

Berbekal keyakinan dan tekad yang kuat, tiga bulan lalu Naya pergi ke Jakarta—tempat di mana banyak orang sukses di sana. Alih-alih bisa mencapai semua cita-citanya, Naya malah hanya bisa bekerja serabutan. Ya salah satunya menjadi badut pengamen seperti siang ini.

"Miris banget hidup gue, kapan gue bisa jadi orang kaya ya? Yang kepengen apa-apa itu gampang." Helaan nafas kasar terdengar lolos dari bibirnya, tidak menyangka jika kehidupan selalu membuatnya sulit sejak dulu.

"Gue kira di Jakarta bakal gampang cari uang, ternyata lebih susah," keluh gadis itu lagi.

"Mana hari ini gue sial banget lagi, kepala gue pasti benjol gara-gara tuh anak nakal." Naya meraba keningnya, dia mendesis kesakitan saat menekan luka di keningnya.

Di saat Naya kembali menyusuri jalanan, perutnya turut berbunyi meminta diisi. Lagi dan lagi Naya menghela nafas kasar, meratapi hidupnya yang malang ini. Sudah belum makan sejak pagi, mengamen pun baru mendapat uang sedikit, lalu kepalanya di lempar batu oleh anak yang usil. Sial, lengkap sudah penderitaannya hari ini.

"Gue mesti ngamen lagi buat beli makan," ucap gadis itu kembali memakai kepala beruang di kepalanya.

Kebetulan kendaraan-kendaraan sedang berhenti karena lampu merah, Naya sedikit berlari agar sampai ke jajaran mobil-mobil yang menunggu lampu hijau. Satu persatu Naya datangi mobil itu sambil memutar musik di speaker yang dibawanya, lalu badannya meliuk-liuk seolah mengikuti irama musik.

Ada beberapa pengendara mobil yang berbaik hati dengan memberinya uang recehan, pun ada pula yang enggan memberinya. Tapi Naya tetap bersyukur dengan hal itu. Hidup yang sulit seperti ini, tanpa sadar melatihnya untuk selalu menjadi orang yang sabar.

Saat gadis itu menghampiri sebuah mobil sedan hitam dengan merk terkenal yaitu Mercedes-Benz C-Class, yang ditaksir seharga hampir 1 Milyar rupiah itu—Naya membuka kepala beruangnya. Dia tertarik dengan kaca mobil mewah tersebut yang sangat terlihat mengkilap.

"Ini mobil pasti harganya mahal, kacanya aja sampai mengkilap begini." Naya seperti sedang mematut wajahnya di cermin, dia berlenggak-lenggok memperhatikan wajahnya yang terlihat dari kaca mobil tersebut.

Sedangkan seorang anak berusia 5 tahun yang ada di dalam mobil tersebut, memperhatikan kegiatan Naya dengan seulas senyum lebar. Bagaimana badut cantik itu bercermin di kaca mobilnya, bagaimana tangannya yang bergaya, semua itu terekam baik di memori ingatannya.

"Mama," celetuk anak di dalam mobil yang duduk di kursi belakang tersebut.

Sedangkan seseorang yang duduk di kursi samping kemudi, menoleh ke belakang saat puterinya menyerukan kata 'mama'.

"Kamu bilang apa, Nayra?" tanya seorang pria berusia 30 tahunan sambil menatap wajah puterinya.

"Tadi ada Mama, Pa."

"Mama?" Dahi pria berpakaian rapi dengan tuxedo hitam tersebut berkerut dalam. Lalu melirik supir yang sedang menatap jalanan di depan.

"Sepertinya Nona Nayra menyebut badut norak tadi dengan sebutan mama, Tuan," lapor sang supir.

"Badut?" tanya pria yang dipanggil 'tuan' tersebut. Dia tidak terlalu memperhatikan siapa yang melewati mobilnya.

"Ya, tadi ada badut beruang yang lagi bercermin di kaca belakang mobil ini."

Mendengar penjelasan supirnya, pria bernama lengkap Kaivan Pradipta itu meloloskan nafas kasar lalu kembali menatap puterinya yang duduk di belakang.

"Dia hanya badut, Sayang. Bukan mama kamu," ucapnya perlahan, karena takut membuat hati tuan puteri kecilnya sakit.

"Mukanya milip Mama, Pa." Suara cadel yang menggemaskan tersebut membuat Kaivan menarik satu sudut bibirnya ke atas. Dia tau, puterinya itu merindukan sosok ibu selayaknya anak yang lain. Jadi akan sangat wajar, jika memang anak itu melihat seorang perempuan dewasa lalu wajahnya agak mirip dengan ibunya—maka anak yang bernama lengkap Nayra Ishwari Pradipta tersebut akan memanggilnya dengan sebutan 'mama'.

"Yaudah, terserah Nayra mau sebut badut itu mama atau apa. Sekarang Nayra tidur aja ya, nanti kalau udah sampai di kantor—Papa bangunkan," ujar Kaivan menyuruh puterinya itu untuk tertidur selama perjalanan menuju kantor.

Sekali ia menyuruh, Nayra menurut. Namun adakalanya juga anak itu sedikit bebal, seperti sulit untuk minum obat dan sulit membatasi waktu bermainnya.

Melihat bagaimana gadis kecil itu mulai terpejam dengan helaan nafas yang mulai teratur, Kaivan kembali tersenyum. Dia bersyukur Tuhan memberikannya anugerah dalam bentuk Nayra, meski dia harus bersusah payah untuk menjaga puteri kecilnya itu.

Saat usia Nayra 3 tahun, seorang Dokter memvonisnya mengidap

Systemic Lupus Eritrematosus atau lupus. Lupus sendiri adalah sebuah penyakit autoimun sistemik dengan tanda dan gejala klinis yang luas. Penyakit ini ditandai dengan peradangan (inflamasi) yang luas pada pembuluh darah dan jaringan tubuh yang  sifatnya episodik (hilang timbul). Penyebab lupus sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Namun kombinasi faktor genetik dan lingkungan yang paling banyak diduga sebagai penyebab terjadinya penyakit ini.

"Ya, halo!" Saat memandangi wajah damai Nayra, ponsel milik Kaivan berbunyi nyaring. Dengan segera pria itu menjawab panggilan teleponnya.

"Kumpulkan data-datanya di mejaku, hari ini juga akan kucoba untuk membacanya. Mudah-mudahan ada yang cocok dengan kriteria yang kuinginkan."

"Oke, sebentar lagi aku akan sampai di kantor."

Kaivan kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku celana, usai ia menjawab telepon dari sekretaris pribadinya.

Melihat Kaivan selesai berbicara di telepon, sang supir berusia 40 tahunan itu bertanya. "Tuan masih mencari pengasuh untuk Non Nayra?"

"Ya, Pak Maman. Pengasuh Nayra yang kemarin, mengaku tidak sanggup merawat Nayra. Saya terkadang selalu heran, jika Nayra bersama saya—anak itu terlihat penurut. Tapi kenapa jika bersama pengasuh, dia selalu bertingkah." Pasalnya, pencarian pengasuh ini bukan sekali dua kali dilakukan. Kaivan sendiri sudah sering berganti-ganti pengasuh untuk Nayra. Yang paling lama bertahan hanya selama satu bulan. Selebihnya, mereka memilih keluar hanya hitungan hari.

"Mungkin yang dibutuhkan Non Nayra itu bukan pengasuh, tapi seorang ibu." Mendapati ucapan supirnya, Kaivan merasa tersindir keras.

"Saya belum memikirkan untuk menikah lagi, Pak."

2 : Sulitnya Menjadi Naya

Jakarta Selatan saat ini berada di suhu 32°C, padahal jam sudah menunjukkan pukul 16.50 WIB—tapi masih terasa hawa panas jika di jalanan seperti ini. Namun hal tersebut tidak dipedulikan oleh seorang gadis yang sekarang sudah tidak memakai kostum badut beruang.

"Syukur deh, hari ini gue dapet uang gocap. Semoga besok bisa lebih banyak lagi," ujar gadis yang tak lain adalah Naya tersebut.

Selepas dirinya selesai mencari uang dengan mengamen, Naya menghitung uang yang dihasilkan dari mengamen. Memang tidak cukup jika untuk ia mendaftar kursus memasak, ataupun membuka usaha. Tapi Naya tetap bersyukur dengan pendapatannya.

Setiap hari, uang yang dihasilkan Naya kumpulkan hingga mencapai setengah juta. Setelah setengah juta terkumpul, dia akan mengirimkan uang itu kepada ibunya di kampung.

"Gue pulang ah, capek banget hari ini." Usai memasukkan uang yang tadi dihitung ke dalam saku celananya, Naya pun berjalan pulang menuju kontrakannya.

Ada jeda waktu selama 10 menit untuk dia sampai di rumah kontrakan. Namun saat tiba di sana, Naya dibuat terkejut dengan kehadiran pemilik kontrakan yang sepertinya sudah menunggu Naya pulang.

"Loh, barang-barang saya kenapa dikeluarin, Bu?" Naya bertanya sambil menatap barang-barangnya dan pemilik kontrakan tersebut bergantian.

"Ternyata kamu tidak sadar diri ya? Sudah 3 bulan berturut-turut menunggak, sekarang bisa-bisanya kamu bertanya seperti itu?!" Wanita tua dengan rambut yang tergulung itu berkacak pinggang seraya menatap Naya dengan jengah.

"Maaf Bu Sania, saya tau saya salah. Tapi berikan saya kesempatan satu minggu saja. Saya akan melunasi tunggakannya," ucap Naya memohon dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Tidak bisa! Kontrakan kamu akan segera diisi oleh penghuni baru. Sekarang lebih baik kamu pergi dari sini!"

Melihat raut wajah wanita itu yang garang, Naya berlutut. Dia kembali memohon untuk diberikan kesempatan, setidaknya satu minggu lagi. Jika diusir, ia akan tinggal di mana. Naya sama sekali tidak punya kenalan di kota besar ini.

"Tolong jangan usir saya, Bu. Saya mohon maaf atas keterlambatannya. Saya janji, saya akan berusaha mencari uang untuk melunasi tunggakannya. Tapi saya mohon jangan usir saya, Bu." Naya menangis di depan pemilik kontrakan bernama Sonia tersebut. Dia tau sudah menunggak berbulan-bulan, tapi Naya tidak bermaksud sama sekali untuk tidak membayar. Uang yang telah dia kumpulkan untuk membayar kontrakan, harus terpakai karena sang ibu sakit satu minggu yang lalu.

"Saya di sini sebatang kara, Bu. Saya juga anak semata wayang yang sedang menjadi tulang punggung keluarga. Saya meminta belas kasih Bu Sonia, tolong beri saya kesempatan untuk tinggal di sini, Bu." Tidak nampak sama sekali raut wajah yang tersentuh dari Sonia, wanita tua itu justru menggerakkan tangannya untuk mengambil tas milik Naya lalu melemparkan tas itu pada pemiliknya.

"Kamu kira saya akan luluh dengan air mata buaya kamu itu ...." Sonia memandang rendah Naya. "Sayangnya sama sekali tidak Naya! Jadi, cepat kamu pergi dari sini!"

Naya berdiri dengan tubuh lemas, dia memunguti barang-barang yang tergeletak di atas tanah. Dengan keadaan hati yang penuh sesak, dia kemudian menatap nanar Sonia yang melipat kedua tangannya di depan dada.

"Semoga suatu saat nanti, Bu Sonia tidak akan menemukan penyewa seperti saya lagi. Dan semoga Bu Sonia selalu banyak rezekinya, hingga tidak akan pernah merasakan jadi saya. Sebelumnya terimakasih atas tumpangannya selama 3 bulan ini, maaf jika saya banyak kesalahan. Saya pamit Bu Sonia, permisi." Naya berbalik badan usai mengatakan itu, dia berjalan sambil menggendong tas ransel besar dan 2 tas jinjing di tangan kiri dan kanannya.

Sedangkan di sisi lain, seorang pria yang menjadi pimpinan perusahaan kuliner yang telah mempunyai banyak cabang restoran di seluruh kota—nampak memijit pelipisnya pelan.

Dari 20 berkas CV yang ia sudah baca, tidak ada satu pun yang menurutnya cocok untuk menjadi seorang pengasuh puterinya. Dari melihat CV dan hasil tes yang dilakukan saja, dia bisa tau seperti apa kepribadian para calon pengasuh yang mendaftarkan diri. Apalagi jika bukan karena alasan mereka menyukai dirinya ataupun tergiur karena gaji yang diberikan.

"Ck, memilih pengasuh ternyata lebih sulit dibandingkan aku memilih seorang pegawai di perusahaan." Pria itu adalah Kaivan Pradipta, posisinya sebagai direktur utama PT NK Food Indonesia banyak tersorot oleh media. Apalagi pembawaan dirinya yang terlihat tampan dan berwibawa, tak jarang membuatnya digilai oleh para perempuan lajang.

"Udahlah, gue bilang juga Nayra bukan cuma butuhin seorang pengasuh. Tapi yang anak lo butuh itu sosok ibu, Van. Lo bayangin aja, dia dari bayi cuma tau lo sebagai ayah sekaligus ibu. Secara dia kan sekarang udah sekolah TK, di sana dia lihat banyak temen-temennya yang dianter sama ibu mereka. Dia pasti pengen juga kayak gitu, Van." Seseorang yang menjadi sekretaris sekaligus sahabat baik Kaivan menyahuti perkataan Kaivan sebelumnya.

"Lo tau pasti apa yang gue rasain, Sa. Nggak mudah buat gue buka hati lagi," balas Kaivan. Trauma masa lalu, menjadi alasan Kaivan masih melajang selama 5 tahun ini. Ditinggalkan begitu saja oleh sosok yang dicintai, setelah mereka punya anak—membuat Kaivan berpikiran, banyak wanita yang memiliki kepribadian seperti itu.

Lagipula, dirinya bukanlah laki-laki yang mudah jatuh cinta. Cinta yang telah ia beri untuk mantan istrinya seolah sudah habis di masa lalu.

"Makanya lo move on, Bro! Lupain si Indira," kata Arsa Auriga—sahabat sekaligus sekretaris pribadi Kaivan.

"Gue udah lupain dia, yang gue sulit lakukan itu buka hati lagi."

Di saat perdebatan antara dua sahabat itu berlangsung, ponsel milik Kaivan berbunyi. Ternyata itu panggilan telepon dari ART di rumahnya.

"Halo, Bi. Ada apa?" Terdengar suara panik campur khawatir di sana.

"Saya akan pulang sekarang juga, Bibi tolong kasih Nayra obatnya ya. Pastikan dia minum obatnya!" Panggilan telepon diputus secara sepihak oleh Kaivan. Ternyata ART di rumahnya memberikan informasi terkait keadaan Nayra yang mendadak kambuh ruam-ruam merah di sekitar wajahnya.

"Ada apa, Van? Nayra kenapa lagi?" tanya Arsa, ikut khawatir.

"Ruam-ruam di mukanya kambuh lagi, kayanya gara-gara kena matahari."

"Yaudah lo buruan pulang sana! Kasihan Nayra, dia butuh lo," kata Arsa.

"Gue cabut ya, Sa."

Kaivan buru-buru pergi dari kantor, kepalanya penuh memikirkan bagaimana bisa Nayra kembali kambuh seperti ini. Padahal, dia sudah berpesan ke sekolah Nayra—agar tidak membiarkan puterinya itu melaksanakan pelajaran olahraga yang memungkinkannya terkena sinar matahari atau kelelahan berlebih.

Karena sedang dilanda kecemasan, pun dengan pikiran yang bercabang-cabang. Membuat Kaivan tidak fokus ke jalanan saat mengemudi. Alhasil, saat ada seorang perempuan yang menyebrangi jalan—dia nyaris menabrak perempuan itu jika saja tidak cepat mengerem.

"Awas!" seru Kaivan.

3 : Pertemuan Pertama

Naya kira, merantau ke Jakarta—dia akan mudah mencari uang. Tapi ternyata, di kota besar seperti ini ia harus dipaksa untuk semakin kuat lagi.

Sejak kecil, dia tidak tau sosok ayah. Dan kenapa alasan ayah meninggalkannya dan ibu. Tiap kali Naya bertanya, ke mana perginya sang ayah? Ibu kerapkali menjawabnya dengan tidak tau.

Dulu, Naya kecil mungkin akan selalu mempercayai apa saja yang keluar dari bibir sang ibu. Tapi sekarang dia sudah dewasa, Naya merasa berhak tau alasan dibalik kepergian sang ayah.

"Tuhan, kebahagiaan apa yang akan Engkau beri untukku? Sampai-sampai, kehidupanku begitu menderita seperti ini." Di pinggiran trotoar, Naya menumpahkan semua tangisnya. Tentang perasaan sesak atas luka seorang anak yang hidup tanpa ayah, tentang perasaan seorang anak yang harus dewasa sebelum waktunya, tentang seorang anak yang menanggung beban hidup keluarga sejak usianya masih belia, pun tentang seorang anak yang harus menghapus cita-citanya karena kerasnya hidup.

Di balik wajah ceria yang kerapkali ia tunjukkan saat menjadi badut, Naya hanyalah seorang gadis cengeng. Melalui semua masalah seorang diri, menangisinya pun sendiri.

Selama hidup 25 tahun ini, Naya hanya mempunyai satu sahabat bernama Lena Marisha yang sekarang entah di mana keberadaannya. Sahabat seperjuangan yang memilih merantau ke kota sepertinya itu, bagaikan hilang ditelan bumi usai merantau. Sedangkan kekasih? Naya tidak pernah mempunyai lelaki yang dekat secara personal dengannya.

Hidupnya seolah habis dengan masalah hidup dan bagaimana caranya mencapai cita-cita.

"Sekarang gue harus ke mana? Pulang pun gue cuma punya uang 50 ribu." Naya berdiri, gadis itu menyapu pandangan sekitar. Banyak mobil berlalu-lalang membuatnya seringkali mempunyai pikiran buruk, untuk membiarkan tubuhnya tertabrak di jalanan.

Tapi syukurnya dia masih mempunyai iman yang kuat, karena sampai saat ini—tidak pernah dia lakukan sama sekali.

Naya berjalan dengan lesu, terlebih ada tiga tas besar yang dibawanya. Karena Naya tak fokus, dia nyaris saja menjadi korban kecelakaan jika saja mobil yang akan menabraknya tidak mengerem saat ia menyebrangi jalan.

Tin!

Suara nyaring yang dihasilkan oleh klakson mobil yang nyaris menabraknya berbunyi. Jantung Naya bahkan hampir lepas dari tempatnya saat melihat ada jarak 5 centi lagi antara tubuhnya dengan mobil.

Dia pun yang terkejut, refleks menjatuhkan dirinya ke jalanan aspal. Alhasil, kedua tangan yang memegang tas berat menjadi tumpuan—hingga membuat luka di bagian telapak tangan.

Sepersekian detik, Naya menetralkan degupan jantungnya yang menggila. Dia hampir saja terbang jikalau pengemudi kendaraan itu tidak refleks menginjak pedal rem.

Sedangkan si pengemudi yang hampir menabrak Naya, keluar dari dalam mobil dengan wajah penuh kekalutan.

Lelaki dengan tuxedo hitam yang nampak terlihat gagah dan tampan itu menghampiri Naya, dia berlutut—memastikan tidak ada luka serius yang Naya peroleh karenanya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya laki-laki tersebut.

Naya balik menatapnya, ada jeda beberapa detik untuk mereka saling bersitatap dalam diam. Sebelum Naya menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan dari lelaki itu.

"Mari saya bantu kamu berdiri." Naya diam saat lelaki itu merangkul bahunya pelan, namun saat Naya akan menegakkan tubuhnya—kaki gadis itu terasa sakit di pergelangannya.

"Aw," ringis Naya yang tanpa sadar membuat laki-laki itu tidak melepaskan rangkulan.

"Sepertinya kaki kamu keseleo, ya? Lebih baik kamu ikut saya dulu." Selanjutnya, Naya merasakan tubuhnya melayang karena digendong ala bridal style oleh lelaki itu dan masuk ke dalam mobil.

Naya diam tanpa banyak bicara mendapatkan perlakuan seperti itu, pun dengan tas-tasnya yang turut dibawa oleh lelaki itu.

Naya tidak tau dia siapa, dan belum ingin berbicara karena masih shock berat.

"Saya akan bawa kamu ke rumah saya, di sana kamu akan mendapatkan pengobatan." Naya masih tetap diam, sampai mobil pun melaju pergi meninggalkan jalanan tersebut.

***

Setibanya di gedung yang menjulang tinggi, Naya baru mau berbicara.

"Sepertinya anda tidak usah repot-repot, Pak. Lagipula, kecelakaan itu juga terjadi karena kecerobohan saya yang tidak lihat-lihat jalanan. Jadi saya mau pergi saja." Naya hendak turun dari mobil, namun sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya.

"Tunggu! Saya hanya tidak ingin dicap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab nantinya. Kamu cukup turuti saja apa yang saya katakan," katanya lalu keluar dari dalam mobil dan mengitari mobilnya untuk membuka pintu Naya.

"E-eh Bapak mau ngapain?" Naya waspada saat lelaki itu menunduk, lantas menaruh satu tangannya di belakang lipatan kaki dan satu tangan di belakang tengkuknya.

"Kamu sulit berjalan karena keseleo, jadi izinkan saya untuk membawa kamu seperti ini." Sekarang jantung Naya berdegup kencang bukan lagi karena nyaris tertabrak, tapi karena berdekatan dengan lawan jenis— bahkan ia bisa menghirup aroma wangi yang menguar dari pakaian yang dikenakan oleh lelaki yang sedang menggendongnya ini.

"Gue nggak lagi mimpi, kan? Digendong sama seorang pangeran begini?" Naya membatin, dia dengan sangat jelas melihat raut wajah tampan namun terkesan dingin itu.

Harus ia akui, Naya bahkan lupa dengan masalahnya yang telah diusir dari kontrakan—selepas dia bertemu dengan lelaki asing ini. Bagaimana lelaki itu memperlakukannya dengan baik, membuat Naya tidak sama sekali berpikir yang tidak-tidak.

Saat lelaki itu membawanya masuk ke lift, Naya juga masih dalam posisi digendongnya. Tapi dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher karena ada banyak tatapan yang menghakimi dirinya.

"Kira-kira cewek yang digendongnya siapa ya?"

"Apa dia pacar barunya Pak Kaivan?"

"Kalau pacar barunya, kenapa dekil banget?"

Kurang lebih seperti itu bisikan dari orang yang ada di lift bersamanya. Namun laki-laki yang tengah menggendongnya, seakan tuli dengan perkataan mereka.

Sampai pada saatnya pintu lift terbuka, Naya akhirnya bisa menghela nafas lega.

Setelah melewati satu lorong, akhirnya mereka pun sampai di unit yang dituju.

Saat menunggu pintu apartemen terbuka, tiba-tiba si lelaki asing itu menyeletuk pada Naya. "Jangan dimasukkan ke hati, perkataan ibu-ibu tadi yang mengatai kamu dekil."

Naya dibuat tertawa dengan perkataannya. "Saya memang dekil, Pak. Wajar ibu-ibu tadi bilang begitu."

Begitu masuk ke dalam, netra Naya disuguhkan dengan segala kemewahan dari interior, pun dengan peralatan elektronik yang canggih. Dia pun didudukkan di sebuah sofa yang sangat empuk, bahkan lebih empuk berkali-kali lipat dibandingkan kasur busa miliknya.

"Kamu tunggu di sini! Saya akan panggilkan ART saya untuk mengobati kamu," titahnya yang langsung diangguki oleh Naya.

Sepeninggal lelaki itu, Naya mengedarkan pandangan ke seisi ruang tamu apartemen.

"Jadi ini yang namanya apartemen ya? Kesannya sama kayak kontrakan, cuma buat kelas elit doang."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!