"Kalau gak punya uang, gak usah pegang pegang. Makanya, jadi orang itu kerja, jangan cuma menadahkan tangan saja bisanya. Dasar b**i, pemalas." Hina Wandi kepada Ningsih. Ningsih adalah wanita yang dia nikahi lima tahun yang lalu. Wanita pendiam dan seorang pekerja keras. Ningsih memang berasal dari keluarga sederhana, dan Wandi tau itu semua. Ningsih pikir Wandi adalah laki laki yang baik, karena dia sangat pendiam. Tapi ternyata dia hanyalah laki laki kejam yang tak punya perasaan. Selama menikah dengan Wandi, hidup Ningsih bak di neraka, menderita dan selalu tersiksa fisik maupun batin.
"Aku ini istrimu, mas. Tak sepantasnya kamu bicara seperti ini padaku. Lihatlah, banyak orang yang memperhatikan ke arah kita. Kenapa kamu senang sekali menghinaku di depan banyak orang?" Sahut Ningsih dengan dada yang sesak, matanya sudah memerah. Bukan kali ini saja, Wandi sudah berkali kali mempermalukannya di hadapan banyak orang.
"Kenapa, malu? Kenyataan kok, kamu memang pemalas. Kalau mau beli ini itu ya kamu kerja. Jangan harap aku akan membelikan kamu baju di mall ini. Aku ngajak kesini, cuma mau beli celana buatku sendiri. Paham?" Sahut Wandi tak berperasaan. Ningsih yang sudah terlanjur sakit hati, memilih pergi meninggalkan Wandi dengan air mata yang tak bisa dibendung lagi. Rasa sakit hatinya sudah melebihi rasa malu yang harus dia tanggung akibat kelakuan suaminya. Ningsih menggandeng Salwa untuk menjauh dari Wandi.
"Kita mau kemana, Ma?"
Salwa menatap kasihan kepada ibunya.
"Kita pulang ya, nak. Gak papakan kalau gak jadi jalan jalan?" Sahut Ningsih dengan suara bergetar dan air matanya yang masih berjatuhan.
"Gak papa kok, ma. Mama jangan nangis lagi, kita pulang saja, jalan jalannya nanti saja kalau mama sudah punya uang." Balas Salwa si gadis kecil yang memiliki sifat seperti Ningsih.
"Maafin mama ya, nak. Semoga ini segera berlalu, mama janji akan cari pekerjaan setelah ini. Doakan mama sayang, semoga mama bisa terus membahagiakan Salwa." Sahut Ningsih dengan dada yang kian sesak.
"Salwa akan terus berdoa untuk mama. Sudah, mama jangan nangis lagi. Salwa beneran gak papa kok, kita pulang dan buat mie goreng yuk, ma. Salwa lapar." Sahut Salwa sambil meringis, Ningsih semakin sesak, merasa tak bisa memberikan yang terbaik untuk putrinya.
"Iya sayang, tapi kita pulangnya naik ojek saja ya." Sahut Ningsih dengan menghapus air matanya. Mencoba untuk kuat, agar bisa menjadi sandaran dan pelindung untuk anak perempuannya.
"Loh, kok sudah pulang, dimana Wandi?" Sambut Yati, ibu dari Ningsih.
"Masih di jalan, Bu. Aku masuk ke dalam kamar dulu ya Bu." Balas Ningsih yang tak mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Takut menjadi beban pikiran ibunya yang sudah sering sakit-sakitan. Sebisa mungkin, Ningsih selalu berusaha untuk memendam semua masalahnya sendirian.
"Nek, aku lapar. Mau makan sama mie goreng." Salwa meminta Yati untuk membuatkan mie goreng.
"Yasudah, Salwa tunggu sebentar ya, nenek akan buatkan mie kesukaan Salwa." Jawab Yati lembut sambil mengusap kepala cucunya sayang.
"Salwa ikut ke dapur sama nenek saja." Sahut Salwa yang langsung mengekor di belakang neneknya, Yati hanya tersenyum melihat tingkah lucu cucu satu satunya itu. Yati sangat menyayangi Salwa.
"Salwa, kenapa Salwa pulang hanya sama mama saja, Ayahmu kemana?" Tanya Yati yang masih penasaran.
"Ayah jahat, tadi ayah sudah marah marah sama mama waktu di mall. Katanya mama itu pemalas dan b**i. Kasihan mama, nek. Mama sedih karena malu dilihatin banyak orang." Cerita Salwa yang langsung membuat Yati emosi.
"Keterlaluan kamu, Wandi. Lihat saja kalau kamu pulang nanti." Gumam Yati di dalam hatinya, tidak terima kalau sang anak dipermalukan sangat rendah oleh menantunya.
"Makan yang banyak, mie nya dihabisin, biar cepat besar." Yati menaruh satu piring mie goreng lengkap dengan telur ceplok dihadapan cucunya. Salwa langsung memakannya dengan lahap. Karena dia sudah sangat kelaparan, berharap saat jalan jalan sang ayah akan mengajaknya makan di tempat yang enak. Tapi justru hanya mempermalukan mamanya.
*************************
Sedangkan di lain tempat, nampak Wandi tengah memilih milih baju dan celana. Tak perduli sama sekali akan sakit hati istrinya ulah dari perbuatannya. Wandi terlalu angkuh dan kejam dalam memperlakukan Ningsih selama ini.
Saat asik memilih baju, ponsel Wandi berbunyi nyaring. Dengan senyum mengembang Wandi langsung mengangkat telpon tersebut setelah tau siapa penelpon nya.
"Hallo sayang, kangen ya?" Sambut Wandi dengan terkekeh kepada wanita yang menelponnya.
"Kamu kapan balik ke Surabaya, mas? Awas ya, kalau kamu sampai lama lama dan menghabiskan uang kamu buat istrimu yang jelek itu." Sahut Irma, wanita selingkuhannya Wandi di Surabaya.
"Enggaklah sayang, aku itu sudah jijik sama si Ningsih itu, sudah jelek bau lagi. Besok aku akan balik ke Surabaya. Mau dibelikan oleh oleh apa, kebetulan aku sedang jalan jalan di mall nih." Balas Wandi dengan jumawa.
"Kamu di mall, mas. Sama istrimu itu?
Keterlaluan kamu ya, mas. Disana senang senang sama istrimu, aku disini kamu suruh menunggu saja. Awas kamu mas, aku gak akan kasih kamu, kalau kamu minta jatah ke aku. Minta dilayani istrimu sana." Sungut Irma dengan dada kembang kempis karena cemburu.
"Sabar dong sayang, mas itu sendirian di mall. Mana mau aku jalan sama perempuan jelek kayak Ningsih, yang ada bikin malu saja." Sahut Wandi cepat, agar selingkuhannya tidak marah marah.
"Oh, kalau begitu aku mau kamu belikan kaos sama sepatu yang bagus. Tapi beneran ya, kamu tidak sedang bersama istrimu yang buluk itu?" Sahut Irma bersungut-sungut.
"Beneran sayang, kalau sama dia mana mungkin aku bisa bicara bebas kayak gini sama kamu. Yasudah, aku akan belikan apa yang kamu mau. Tapi janji, nanti pas aku balik ke Surabaya, aku mau kamu kasih service yang kayak biasanya." Sahut Wandi dengan terkekeh mesum.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Sahabat Benalu
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tempat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
"Ningsih, boleh ibu masuk, nak?" Bu Yati mengetuk pintu kamar Ningsih dengan perasaan bergemuruh, sedih dengan nasib anak pertamanya itu. Tak menyangka jika Ningsih telah bersuamikan laki laki kejam seperti Wandi. Meskipun bu Yati tau, kalau Wandi bukanlah laki laki yang baik, karena selama menjadi menantunya, Wandi tidak pernah sama sekali mau berbicara dengannya. Namun tak disangka jika perlakuannya pada Ningsih lebih buruk dari yang disangka.
"Masuk saja, Bu. Pintunya tidak dikunci kok." Sambut Ningsih yang langsung mengusap air matanya. Berusaha tetap bersikap baik baik saja dihadapan ibunya.
"Kamu gak papa, nak? Cerita sama ibu, jangan dipendam sendirian. Jaga pikiran dan hatimu agar tetap waras, nak." Bu Yati memeluk tubuh kurus anaknya. Ada getaran yang sulit dijelaskan di dalam hatinya kini.
"Ningsih baik baik saja kok, Bu. Ibu tidak usah hawatir begitu." Sahut Ningsih mengulas senyuman tipis. Sekuat hati menahan rasa perih yang begitu menyakitkan di dalam hatinya.
"Ibu sudah tau, Salwa barusan cerita. Jangan diam saja, nak. Jika memang sudah gak sanggup lebih baik pisah saja. Laki laki tak punya hati begitu tidak pantas untuk kamu pertahankan. Dia sudah begitu merendahkan harga dirimu sebagai seorang perempuan. Ibu tidak terima, meskipun kita ini orang miskin. Jangan diam saja jika ada yang bersikap dzalim. Kita berhak membela diri." Sahut Bu Yati panjang lebar. Mereka sejenak saling beradu tatap, airmata tak bisa lagi dibendung. Ibu dan anak saling tersedu. Sama sama merasakan sakit luar biasa di dalam hatinya.
"Tapi bagaimana dengan Salwa, Bu?
Ningsih tidak tega jika harus mengorbankan Salwa. Dan Ningsih juga belum cukup punya uang untuk membayar biaya pengadilan nantinya." Balas Ningsih sesak. Nasibnya kini benar benar diuji.
"Insyaallah, Salwa akan mengerti suatu saat nanti. Untuk biaya perceraian kita akan cari sama sama. Ibu punya tabungan meskipun hanya sedikit. Yang penting kamu bebas dari laki laki jahat seperti Wandi." Sahut Bu Yati dengan suara bergetar.
"Maafin Ningsih, Bu. Maafin sudah merepotkan ibu." Isak Ningsih yang tak bisa lagi menahan diri untuk tidak menunjukkan kesedihannya.
"Kamu anak ibu, sampai kapanpun kamu adalah tanggung jawab ibumu ini. Sekarang siapkan dirimu untuk menjalani kehidupan yang baru. Apa kamu masih mencintai suami kamu?" Balas Bu Yati yang ingin memastikan perasaan anak perempuannya.
"Tidak, Bu. Perasaan ini sudah mati sebelum Salwa lahir. Mas Wandi seringkali ketahuan selingkuh dan bahkan tidak mau mencukupi kebutuhanku selama ini. Itulah kenapa aku memilih pulang kembali ke rumah ini. Aku sudah tidak sanggup lagi hidup satu atap dengannya di Surabaya." Balas Ningsih yang akhirnya jujur menceritakan apa yang terjadi di dalam rumah tangganya selama ini.
"Astagfirullah, kenapa kamu diam saja selama ini. Ibu menahan diri dengan sikap suamimu selama ini, karena ibu pikir, dia baik sama kamu. Ikuti ucapan ibu, lebih baik kalian pisah. Jaga kewarasan kamu, nak." Balas Bu Yati dengan dada kembang kempis menahan marah.
"Iya, Bu. Sekali lagi maafkan aku." Lirih Ningsih dengan air mata yang tak kunjung surut.
Pukul tujuh malam, akhirnya Wandi pulang kerumah dengan membawa beberapa kantong belanjaan. Ningsih yang duduk di ruang tamu bersama Bu Yati hanya menatapnya sekilas. Sedangkan Salwa tengah asik mewarnai buku gambar di depan televisi.
"Wandi, ibu mau bicara." Tegur Bu Yati dingin, matanya menyorot tajam ke arah menantunya.
"Bicara apa, Bu? Kayak penting banget, aku masih capek mau istirahat, besok pagi pagi harus balik ke Surabaya." Sahut Wandi cuek, tanpa perduli dengan permintaan sang mertua.
"Cukup, Wandi. Kali ini saja ibu mau bicara sama kamu. Hargai ibu sebagai mertua kamu." Bentak Bu Yati geram, kesabarannya sudah habis menghadapi Wandi yang memang tidak bisa menghargainya sama sekali. Wandi yang kaget langsung berhenti, mengerutkan wajahnya menatap ibu mertuanya.
"Memangnya ada apa sih? Dan ingat ya, Bu. Dirumah ini akulah yang nyari uang buat kalian semua. Jadi tidak usah bicara tinggi sama aku. Dasar keluarga benalu." Sahut Wandi dengan entengnya. Kelakuannya semakin membuat Bu Yati di kuasai amarah.
"Apa kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi ucapan kamu itu. Apa kamu pikir, yang yang kamu berikan pada Ningsih sudah cukup banyak, hah?
Sampai sampai kamu bilang kalau dirumah ini semua makan dari uangmu itu? Jangan sombong kamu, Wandi. Uang tujuh puluh ribu satu Minggu cuma cukup apa, hah?
Mikir itu pakai otak, jangan pakai dengkul." Semprot Bu Yati tidak terima. Karena selama ini merasa sama sekali tidak pernah menumpang hidup pada menantunya itu. Bu Yati mencari uang sendiri untuk mencukupi kebutuhannya bersama Rina, adiknya Ningsih.
"Bisanya cuma minta saja kok sok sok an. Uang tujuh puluh ribu itu banyak, Bu. Kalau mau punya yang lebih banyak ya kerja. Jangan cuma bisa ngandelin aku saja." Balas Wandi yang masih tak merasa bersalah sama sekali.
"Ya ampun, Wandi. Kamu itu otaknya geser atau memang sudah rusak?
Uang tujuh puluh ribu banyak kalau itu sehari, lha ini buat satu Minggu. Anak sama istrimu sampai nahan diri gak bisa beli apa apa. Dan kamu sudah sangat menyiksa anakku selama selama ini. Lebih baik kamu ceraikan Ningsih. Biar dia tidak menderita lagi gara gara sikap kamu yang tidak tau malu ini." Bentak Bu Yati semakin geram. Dadanya naik turun dengan nafas tersengal sangking emosinya.
"Bu, sudah Bu. Nanti sakit ibu kambuh. Sudah ya, masalah Ningsih biar Ningsih selesaikan sendiri. Ningsih gak mau ibu kenapa kenapa." Ningsih memegang pundak ibunya, takut kalau penyakit darah tinggi sang ibu kambuh lagi.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Sahabat Benalu
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tempat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
"Bu, sudah Bu. Nanti sakit ibu kambuh. Sudah ya, masalah Ningsih biar Ningsih selesaikan sendiri. Ningsih gak mau ibu kenapa kenapa." Ningsih memegang pundak ibunya, takut kalau penyakit darah tinggi sang ibu kambuh lagi.
"Kamu jangan lembek, Ningsih. Meskipun kita ini miskin, jangan pernah mau kamu dihinakan oleh laki laki tak bertanggung jawab seperti suami kamu ini. Tegas dan segera ambil keputusan, jangan biarkan dia terus bersikap seenaknya sama kamu. Ibu sakit hati dan tidak terima, kalau anak ibu selalu direndahkan. Kamu itu istrinya, sudah jadi tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan kamu, bukannya malah menghujat dan mempermalukan di hadapan banyak orang." Sahut Bu Yati panjang lebar, dadanya sangat sesak dan emosi sudah menguasainya. Orang tua mana yang bisa terima jika anaknya diperlakukan tidak baik oleh suaminya sendiri.
"Kalau mau cerai, ya cerai saja. Tapi urus suratnya sendiri. Aku tidak mau mengeluarkan uang dengan sesuatu yang gak penting. Aku mau lihat, perempuan pemalas kayak kamu apa punya uang untuk membayar biaya perceraian?
Kere aja kok sok sokan minta cerai." Sahut Wandi dengan entengnya, bahkan dengan kasar dia membanting pintu kamar. Tak berselang lama, Wandi keluar kamar lagi dengan membawa tas ranselnya. Tanpa pamit, Wandi pergi begitu saja. Seolah keberadaan istri dan mertuanya tak ada sama sekali di matanya.
"Apakah laki laki seperti itu yang ingin kamu pertahankan, nduk? Ibu tidak sanggup melihatmu diperlakukan seperti ini." Lirih Bu Yati dengan air mata yang berjatuhan. Pun dengan Ningsih yang juga sudah terisak dengan sikap suaminya itu.
"Maafkan Ningsih Bu. Ningsih akan cari pekerjaan setelah ini. Tolong titip Salwa, agar Ningsih bisa segera memasukkan gugatan cerai. Maafkan Ningsih yang sudah membuat ibu sedih." Balas Ningsih dengan hati yang tercabik.
"Kamu harus kuat demi anakmu, kamu harus bisa tangguh untuk menghadapi hidup yang berat ini, nduk. Dunia ini milik mereka, mereka yang beruang. Orang miskin seperti kita, hanya kebagian air mata dan nelangsanya. Hanya sabar dan ikhlas yang harus kita miliki agar tetap bisa menjalani ujian hidup ini." Sahut Yati dengan suara bergetar.
"Ibu sama mbak Ningsih, kenapa kok nangis?
Ada apa?" Tiba tiba Rina sudah ada di dekat mereka dengan wajah bingung menatap ibu dan kakaknya yang menangis.
"Bantu mbakmu, Rin. Dia sudah menderita oleh ulah suaminya. Bantu mbakmu agar bisa segera mengurus perceraian dengan Wandi." Sahut Bu Yati yang mengalihkan pandangannya pada putri keduanya.
"Apa yang terjadi, Bu? Kenapa tiba tiba mbak Ningsih cerai?" Tanya Rina yang masih bingung, belum mengerti dengan yang terjadi. Akhirnya Bu Yati menceritakan semuanya pada Rina.
"Astagfirullah, mbak. Kenapa mbak Ningsih diam saja selama ini?" Rina menatap iba pada kakaknya setelah mendengarkan cerita dari sang ibu tentang masalah rumah tangga kakaknya.
"Mbak cuma gak mau kalian ikut sedih dengan masalah, mbak. Tapi sekarang semua sudah tau. Tolong titip Salwa, aku akan mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhanku bersama Salwa. Dan juga agar bisa segera mengurus surat perceraian di pengadilan." Balas Ningsih dengan perasaan campur aduk.
"Mbak tenang saja, aku sama ibu akan jagain Salwa. Mbak fokus saja cari kerjaannya. Kita ini keluarga yang harus saling membantu, jangan lagi sungkan dan menyimpannya sendiri kalau sedang ada masalah." Sahut Rina dengan menghembuskan nafasnya dalam.
"Terimakasih, kalau tidak ada kalian, aku tidak tau harus bagaimana." Lirih ningsih yang terisak.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
Ningsih mulai mencari cari pekerjaan kesana kemari. Tak perduli panas dan teriknya matahari, Ningsih terus berjalan memasukkan lamarannya ke setiap pabrik yang dia lewati. Bahkan tak segan langsung bertanya pada setiap pemilik toko, laundry, dan rumah, apakah ada lowongan untuk dirinya. Hingga akhirnya Ningsih diterima di toko Serba ada dengan gaji sembilan ratus ribu belum bonus kalau mau lembur. Sedangkan Salwa dirumah dijaga oleh Rina dan Bu Yati. Bu Yati membuka warung kecil kecilan di depan rumah, jualan pecel, jenang, dan juga rujak cingur. Sedangkan Rina, menjadi buruh setrika yang dia kerjakan dirumah sejak Ningsih memutuskan untuk bekerja. Meskipun miskin, mereka memiliki rasa persaudaraan yang kuat, bahu membahu saling membantu dan menjaga.
Waktu terus berjalan, hampir tiga bulan lebih Wandi tidak pernah pulang mengunjungi anak istrinya. Bahkan mengirim uang nafkah untuk Salwa juga tidak dilakukan. Wandi justru sudah menikah siri dengan Irma selingkuhannya, tanpa sepengetahuan Ningsih. Karena Irma sudah hamil anak hasil hubungan gelap mereka. Yang lebih gila lagi, pernikahan mereka disaksikan oleh kakak, adik dan ibunya Wandi. Mereka merestui perselingkuhan Wandi tanpa rasa bersalah sedikitpun. Bahkan sama sekali tidak perduli dengan perasaan Ningsih dan nasib Salwa.
"Akhirnya, aku sah jadi istri kamu, mas. Aku seneng banget bisa jadi ibu dari anakmu dan menjadi istrimu yang sesungguhnya, meskipun hanya dengan menikah siri." Irma memekik senang dengan memeluk erat tubuh Wandi saat mereka sudah ada di dalam kamar di rumah orangtuanya Irma yang berada di Gresik.
"Aku juga, aku beruntung bisa menikahi perempuan cantik dan hebat seperti kamu. Semoga kita bahagia terus ya." Sahut Wandi yang langsung membalas pelukan istri sirinya.
"Aamiin, makasih mas." Sahut Irma dengan hati berbunga-bunga. Keinginannya untuk menjadi istrinya Wandi telah terkabul, dan tinggal mempengaruhi Wandi untuk menceraikan Ningsih nantinya. Pelan pelan asal tujuannya tercapai. Irma menyeringai penuh dengan kemenangan. Menjadi penjahat dan pencuri suami orang adalah kebanggaan bagi janda yang ditinggal suaminya itu. Irma adalah sosok perempuan licik dan serakah.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Sahabat Benalu
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tempat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!