"Ayo Jerry! Jangan berhenti kita harus terus berlari!" Kata Matilda sambil terus berlari menggandeng tangan Jerry keponakannya yang masih berumur 10 tahun itu. Jerry berlari mengikuti bibinya sambil menyeka matanya yang basah. Terbayang pemandangan saat mayat papa dan mamanya diseret oleh beberapa orang yang dikenal Jerry sebagai teman papanya itu. Pemandangan malam itu tidak akan pernah hilang seumur hidup dari ingatannya. Untunglah kemarin malam Jerry menginap di rumah bibinya. Jika tidak, mungkin Jerry sudah tinggal nama saja malam itu.
"Sedikit lagi Jerry! Sedikit lagi kita sampai!" Kata bibinya dengan nafas terengah-engah.
Lalu sampailah mereka di sebuah rumah tak terawat. Rumah itu terlihat menyeramkan karena rumah itu terlihat gelap gulita. Mereka berdua menyelinap kebelakang rumah dengan menggeser papan yang mengelilingi halaman belakang rumah.
"Tok! Tok! Tok! Hector! Hector, kamu didalam?" Panggil Matilda memanggil paman Hector sambil mengetuk keras pintu belakang rumahnya.
Pintu itu terbuka dan muncullah pria paruh baya berumur 45 tahun bertubuh kekar dalam kondisi mabuk. Matilda menggandeng tangan Jerry memasuki rumah itu.
"Ada apa kau malam-malam datang ke rumahku?" Ujar Hector sambil menghempaskan pantatnya di sofa yang sudah reyot. Tangis Matilda akhirnya pecah saat memeluk Jerry yang menangis terisak tanpa suara.
"Joni dan Rosa sudah meninggal, Hec! Mereka dibunuh Gino dan gengnya!" Jawab Matilda sambil menangis. Hector terdiam begitu mendengar kata-kata Matilda.
"AKAN KUBUNUH MEREKA SEMUA!!!" Ujar Hector dengan langkah terhuyung-huyung sambil membuka lemari tempat ia menyembunyikan senjatanya.
"STOP HECTOR! KAMU MABUK! JANGAN BERBUAT KEKONYOLAN LAGI!" Ujar Matilda sambil menarik tangan kekar Hector yang sudah mengambil senapan Shotgun dari lemarinya.
"Tolong, bawalah Jerry pergi jauh dari sini! Selamatkan dia! Kalau kawanan itu sampai menemukan Jerry, dia akan dibunuh juga seperti orang tuanya!" Lanjut Matilda lagi sambil menangis dan memegang lengan Hector. Hector memandangi Jerry masih menangis tanpa suara. Hector dan Matilda lalu mengobrol di dapur. Jerry masih menangis sambil bersandar ditembok dan memeluk kedua kakinya.
"Baiklah, akan kubawa Jerry pergi jauh dari sini!"
"Semua uang Jerry dan keperluanmu akan kukirimkan ke rekeningmu besok, tolong rawat Jerry baik-baik!"
9 Tahun kemudian...
Jerry sedang fokus membidik sasarannya dari jarak 1000 meter, sasarannya saat itu adalah seekor kambing yang lehernya diberi tanda silang oleh paman Hector. Jerry menahan nafas ketika jari telunjuknya menekan pelatuk AWM Lapua miliknya.
"Duaaaaarr!"
Peluru melesat secepat kilat ke arah leher kambing malang itu. Leher kambing yang sudah ditandai itu nyaris putus saat peluru itu merobek lehernya.
"Bagus, Jerry!" Kata Hector memuji Jerry lewat Handy talkie milik Jerry.
"Waktumu turun dari situ 20 menit dari sekarang!" Ujar Hector lagi. Jerry dengan tangkas mempreteli senapan sniper miliknya, tidak sampai 2 menit Senapan Itu sudah masuk didalam tas milik Jerry. Jerry berlari menuruni bukit terjal dan kemudian turun menggunakan Descender yang sudah dipasangnya pada tali prusik yang telah dipasangnya ketika dia mendaki bukit itu tadi. Setelah turun dari menggunakan descender Jerry melanjutkan larinya menuju tempat pamannya berdiri menunggunya. Diliriknya jam tangannya, sisa waktu 9 menit. Jerry berlari melesat dan melewati pamannya yang menatap stopwatch ditangannya. "12 menit!!!" Ujar pamannya tersenyum.
"Ayo kita makan dulu, aku sudah lapar!" Kata Hector sambil memanggul kambing yang ditembak Jerry tadi dipundaknya.
Hector menatap Jerry yang sedang makan didepannya. Pemuda yatim piatu ini tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh. Wajah tampan dengan tubuh tegap dan kekar sangat mirip dengan almarhum papanya. Matanya yang coklat muda mengingatkan Hector pada mendiang Rosa ibunya. Hari ini tepat 9 tahun, semenjak ia dan Jerry melarikan diri dari Jakarta menuju kota Jayapura. Ia ajarkan seluruh keahliannya pada Jerry. Keahlian saat ia masih bergabung menjadi pasukan Elite Denjaka. Kemampuan bela diri jarak dekat, menembak, survival dan pengintaian sudah diajarkan pada Jerry.
"Jerry, sudah waktunya kamu untuk menguji kemampuanmu. Pergilah ketempat ini, sebutkan namaku saat kau bertemu dengannya!" ujar Hector sambil melemparkan sebuah kartu nama pada Jerry.
"Baik, paman!" Jawab Jerry sambil menyimpan kartu nama itu.
"Sebelum kau membalas dendammu, kau harus melatih instingmu dan membeli peralatan baru. 1-2 tahun harusnya itu waktu yang cukup untuk mempersiapkan semua."
"Siap, paman!" Jawabnya singkat.
3 hari kemudian berangkatlah Jerry dengan menggunakan kapal laut dari pelabuhan Depapre Jayapura menuju Jakarta.
Saat tiba di Jakarta, Jerry segera menuju ke alamat kartu nama yang diberikan pamannya. Taksi yang mengantarkannya sudah membawanya ke sebuah rumah mewah di bilangan Pondok Indah. Rumah mewah itu dijaga puluhan pria bertubuh tegap.
"Bisa saya bertemu dengan ibu Linda? Saya dikirim pak Hector," kata Jerry kepada penjaga rumah itu.
"Sebentar!" Jawab pria itu sambil berbicara dengan seorang wanita di intercom.
Seseorang pria berlari dari dalam rumah dan menghampiriku.
"Ayo, ikut dengan saya," kata pria itu dengan ekspresi datar.
Aku diantar ke teras di depan rumah.
"Tinggalkan barang-barangmu disini!" Serunya padaku.
"Barang-barang ini tetap akan saya bawa!" Tegasku.
"TINGGALKAN BARANGMU DISINI!" Bentaknya padaku sambil berkacak pinggang.
"KLO BARANG-BARANG INI HILANG. KAMU MAU TANGGUNG JAWAB!" Balasku membentaknya.
"Ada apa ini?! Siapa kamu?" Tanya wanita cantik berumur 35 tahunan itu pada pria itu dan aku.
Pria itu menjelaskan pada wanita itu tentang permasalahan kami.
"Kamu yang dikirim Hector?"
"Iya, bu! Saya Jerry Manopo."
"Tinggalkan kami, Hari!" ujar wanita itu pada pria yang mengantarku. Pria itu pun meninggalkan kami.
Setelah memperkenalkan diri, wanita itu menjelaskan pekerjaan yang akan aku kerjakan. Yaitu mengawal klien-kliennya yang kebanyakan pejabat dan orang-orang penting. 2 minggu ini aku akan melalui tes untuk memastikan kemampuanku sesuai dengan standar yang mereka mau.
2 minggu pun berlalu, dan seluruh tes kulalui dengan baik. tinggal menunggu penempatanku akan ditugaskan dimana.
"Jerry, bawa barang-barangmu juga. Kamu ditunggu bos di ruang depan!" Kata pak Totok memanggilku dikamar.
Setelah berganti pakaian dan menerima peralatan, seperti earpiece, pistol, rompi anti peluru dan Smart phone dari bu Linda, aku pun berangkat menaiki mobil yang sudah menjemputku.
"Kita ke Bandung, bro?" Tanyaku pada sopir itu. Dia hanya menganggukkan kepala tanpa menoleh kearahku.
"Mas, kerja begini sudah lama? Apa tidak sayang umur?" Tanya supir yang bernama Edo itu sambil tersenyum.
"Lumayan lama, Do. Maksudnya tidak sayang umur apa ya, bro?" Balasku balik bertanya.
"Tampang Mas Jerry Ganteng, gak seperti pengawal ibu yang sebelum-sebelumnya. Lebih cocok jadi Artis mas, timbang kerja seperti ini! banyak bahayanya!"
"Saya ini orang susah, Do! Disyukuri saja selama masih ada pekerjaan!"
"Linda, apa pengawal pribadi untuk putriku sudah kau kirim?" Tanya Tn. Bram pada Linda, bos pengadaan pengawalan kepercayaannya.
"Sudah saya kirim, dan tadi dijemput sendiri oleh sopir pribadi putri bos Bram. Mereka dalam perjalanan menuju Puncak."
"Kirim file lengkap tentang pengawal itu kepadaku, Sekarang!" ujar Bram lalu menutup teleponnya.
"LINDA!APA KAMU SUDAH GILA? APA KAMU INGIN MEMBUAT PUTRIKU MENYUSUL ALMARHUM SUAMINYA?!" Bentak Tn. Bram marah setelah menerima file lengkap Jerry yang dikirimkan bu Linda.
"SAYA SUDAH KIRIMKAN TENAGA PENGAMANAN YANG TERBAIK YANG KAMI PUNYA! JIKA TUAN RAGU, AKAN SAYA TARIK KEMBALI ANAK BUAH SAYA. DAN SILAKAN TUAN PESAN TENAGA PENGAMANAN DI TEMPAT YANG MENYEBABKAN MENANTU TUAN MENINGGAL!" balas Linda tidak kalah sengit.
Tn. Bram yang kehabisan kata-kata lalu menutup teleponnya kembali.
"FUCCCK!!!BRAAKK!!!" ujarnya sambil memukul meja dengan kesal.
Tn. Bram kembali teringat akan kematian menantu kesayangannya yang diculik dan dibunuh beberapa bulan yang lalu. Menantunya dan ketiga pengawalnya diculik kemudian dibantai oleh sekelompok orang di rumah peristirahatannya di Bandung.
****************
Jerry diantar Edo masuk ke dalam rumah yang mewah itu, Seorang wanita muda yang cantik sedang duduk menunggunya. 5 orang pria bertubuh besar dan kekar berdiri di belakangnya.
"SERANG DIA!" kata wanita itu. Lima orang pria itu lalu menyebar dan mulai menyerang Jerry dengan pukulan dan tendangan keras. Jerry dengan gesit menghindar sambil membalas pukulan dan tendangan mereka. Jerry menangkis pukulan seorang pria dan menunjukkan teknik bantingannya. Orang itu melesat kearah guci besar di pojok ruangan.
"Praaaanggggg!"
Guci besar itu hancur berkeping-keping saat tertimpa tubuh pria itu.
"CUKUP! STOP!" Ujar wanita itu sambil mengangkat tangannya.
Dua pria lalu menolong teman mereka yang terbang ke arah guci tadi dan membopong tubuhnya.
"Maaf Jerry, saya harus melakukan tes ini kepadamu, untuk sementara rupanya kamu cukup layak menjadi bodyguardku," ujar wanita itu sambil mempersilakanku duduk.
"Tidak apa, Nyonya!" Jawabku sambil tertunduk setelah menatapnya.
"Koko, siapkan kamar untuk Jerry untuk beristirahat!"
"Siap Nyonya!" jawab Koko lalu berlalu.
"Jerry, beristirahatlah. Nanti sore kamu akan saya ajak menemui Papa Bram!"
"Baik. Terima kasih, Nyonya!" Jawabku sambil memberi hormat kepadanya.
Aku membongkar isi tasku saat sampai dikamarku. Kukeluarkan semua peralatanku, dan kupersiapkan peralatanku untuk keperluanku sore nanti.
Kuaktifkan gadget dari bu Linda, Smartphone itu ternyata berfungsi juga sebagai GPS untuk melacak keberadaanku.
"Mas Jerry, segera kedepan. Nyonya 30 menit lagi akan berangkat!" ujar Edo memberitahuku untuk bersiap-siap.
...****************...
Nyonya Vanessa menanyaiku dengan macam-macam pertanyaan. Dan ternyata paman Hector dulu pernah bekerja menjadi pengawal pribadi Tn Abraham atau lebih dikenal sebagai Tn. Bram.
"Jadi Hector itu pamanmu? Hmmmm, ternyata kamu bukan orang lain, Jerry. Bagaimana kabar pamanmu itu sekarang?"
"Beliau baik-baik saja, Nyonya!" jawabku singkat.
"Edo, kita tampaknya sedang diikuti!" ujarku sambil mengawasi spion disebelah kiriku. Terlihat 2 mobil sedang hitam beriringan menyalip mobil yang baru kami dahului.
Kusuruh Edo untuk keluar dari jalan tol itu dan kemudian masuk kembali ke jalan tol untuk memastikan jika kami memang diikuti. Edo mengangguk, dan mengambil lajur kiri untuk keluar dari jalan tol. Nyonya Vanessa menoleh kebelakang sebentar. Aku keluarkan pistol Desert Eagleku saat Edo memutar balik mobilnya untuk kembali masuk ke jalan tol. Kedua mobil hitam dibelakangku itu pun memutar balik.
Kupasang peredam dipistolku. Dengan bantuan spion mobil, kuarahkan moncong pistolku. "Duuubsss! Duuubsss!" mobil hitam di belakangku berbelok kearah kanan dengan tiba-tiba dan menabrak mobil hitam lainnya yang mengikuti kami. Karena jaraknya berdekatan mobil hitam lainnya itu tidak sempat menghindar.
"Mantap mas Jerry!" puji Edo sambil mengintip spion tengah ketika kedua mobil hitam itu bertabrakkan.
"Edo, kita ke gudang di Pengalengan, papa sedang disana," Ujar Nyonya Vanessa.
"Baik, Nyonya!"
...****************...
Mobil yang kami kendarai masuk ke gerbang sebuah pabrik yang sudah tidak terpakai. Dua orang pria berwajah sangar membukakan pintu pagar untuk kami.
Nyonya Vanessa berjalan didepanku menuju sebuah gudang. Di depan gudang itu terparkir 3 buah mobil mewah. Dua orang penjaga bertubuh tegap membungkukkan badannya saat melihat Nyonya Vanessa berjalan mendekat ke arah pintu. Salah satu penjaga itu membukakan pintu. Saat dia dan aku memasuki pintu itu. Terdengar suara erangan dan pukulan bergantian.
"Arrggghhhh!" "Buuukkkk! Bukkkkkk!"
Demikian suara itu terdengar ditelingaku silih berganti. Saat kami memasuki sebuah pintu lagi. Tampaklah seorang pria dengan wajah babak belur dengan kedua tangannya terikat tergantung pada seutas tali. Tampak 6 orang mengelilingi pria itu dan seorang pria berumur 50 tahunan sedang berdiri didepan pria yang terikat itu dengan tangan berlumuran darah.
"Masih belum mengaku juga, Pa?" kata Vanessa kepada papanya.
"Bajingan ini kuat juga, Vanessa! Sudah 1 jam papa pukuli, dia masih belum mengaku juga!"
Kulihat kondisi pria yang disiksa itu ternyata sudah pingsan.
"Bagaimana dia mau mengaku klo pingsan begitu!" Batinku dalam hati.
Lalu salah satu orang menyiram air ke tubuh pria malang itu. Tapi pria itu tetap tidak bergerak.
"Sepertinya dia pingsan, bos!"
ujar pria bertubuh kekar yang menyiram air tadi setelah memeriksa keadaan pria yang terikat itu.
Pria itu disiram lagi. Tapi pria itu tetap tidak sadar.
"Bunuh saja, sepertinya dia sudah tidak berguna lagi!" ujar Tn. Bram sambil mendengus marah.
"Nyonya, boleh saya mencoba membangunkannya?" bisikku pada Nyonya Vanessa yang berdiri disampingku.
"Papa, biarkan Jerry mencoba membuka mulutnya!" ujar Vanessa pada papanya yang sudah mengeluarkan pistol Glock dari balik jasnya.
Kukeluarkan suntikan adrenalin yang selalu kubawa dari tasku. Kusuntikan cairan itu kebatang lehernya. Tidak sampai 5 menit, pria itu sudah sadar dan berteriak-teriak meminta tolong. Kemudian Tn. Bram menarik bahuku dan kembali menanyai pria itu, dan pria itu akhirnya mengaku dan menyebutkan nama-nama orang yang menyuruhnya.
"Vanessa, Jerry! Ayo kita pergi dari sini!" ajak Tn. Bram sambil melangkahkan kakinya keluar dari gudang itu.
...****************...
Tn. Bram menatapku dengan tatapan tajam, Dia memandangiku sambil menelpon seseorang.
"Hector, apakah benar bocah didepanku ini adalah keponakanmu?" Kata Tn. Bram sambil mengarahkan camera ponselnya kearah wajahku.
"Ya, Tuan! Apakah dia sudah berbuat kesalahan? Jika iya. Potong saja jarinya! Hahahaha!" Jawab Paman Hector sambil tertawa.
"Ok, nanti kamu akan kuhubungi lagi. Bye!"
Tn. Bram tersenyum. Tatapannya tak sebengis tadi.
"Berapa lama kamu akan bekerja untukku, Jerry?"
"1 tahun, Tuan. Setelah itu saya sudah ada kontrak kerja di lain tempat, Tuan!"
"Baiklah, jaga baik-baik putriku!"
"Siap Tuan!"
Malam itu aku menghubungi Jared, kenalan paman Hector yang merupakan seorang pedagang di pasar gelap. Aku memesan beberapa barang padanya. Setelah membayar dan memberikan alamat pengiriman barang. Aku bersiap untuk tidur. Saat itu sudah pukul jam 22.20.
"Mas Jerry! Dokk! Dokk! Bangun mas!" terdengar suara Edo memanggilku dari luar kamar.
Kubuka pintu kamarku.
"Ada apa, Do?"
"Nyonya minta antar, pake baju cepetan!"
"10 Menit, Do!" Jawabku sambil melompat dari ranjangku.
Kupakai lagi rompi kevlarku yang sudah kumodifikasi diluar kemejaku. Setelah mengecek semua peralatanku. Aku berjalan ke arah mobil. Edo sudah menungguku. Aku masuk dan duduk disampingnya.
"Rokok, bro!" ujar Edo.
Aku mengambil sebatang rokok kreteknya dan menyalakannya.
"Malam-malam begini Nyonya mau kemana, Do?"
"Biasa, Clubbing dengan teman-temannya! Minum Vitamin bro, biasanya Nyonya kalo Clubbing sampe subuh!" ujar Edo.
"Siap bro!" ujarku sambil mengisap rokok dalam-dalam
"Ayo berangkat! Ke rumah Sita dulu ya, Do!" ķata Nyonya Vanessa begitu memasuki mobil.
"Baik Nyonya!" jawab Edo.
Setelah menjemput 2 temannya mobil yang dikemudikan Edo menuju sebuah klub Mewah di kota Bandung.
"Good Luck, Bro!" ujar Edo sambil tersenyum saat aku turun mengawal Nyonya besar. Aku berjalan dibelakang Nyonya Vanesa yang mengenakan pakaian lumayan seksi dan terbuka dibagian dada malam itu. Kedatangan Nyonya besar pun disambut oleh manajer klub yang kemudian mengantar kami menuju ruang VVIP. Mereka bertiga bergoyang mengikuti irama musik yang dimainkan oleh DJ sambil minum minuman beralkohol. Aku berdiri di pojok ruangan sambil mengawasi mereka bertiga. Tak lama kemudian masuklah 3 orang pria berperawakan sedang. 3 pasangan itu bergoyang bersama mengikuti irama lagu. Nyonya besar tiba-tiba memanggilku.
"Jerry, tolong antar aku ke kamar mandi!" katanya padaku. Aku pun mengangguk sambil mempersilakan Nyonya Vanessa berjalan lebih dulu. Tiba-tiba pria yang berada disampingnya mendorong tubuhku.
"Biar gue aja yang nganter elu, Nessa!" ujarnya sambil menatapku dengan tatapan mengejek. Nyonya melambaikan tangannya kepadaku untuk kembali ketempatku sebelumnya. Dia dan pria itu berjalan menuju kamar mandi di ruangan itu.
"JERRRYYY TOLONG!!!" Terdengar teriakan Nyonya besar dari dalam kamar mandi itu setelah beberapa lama. Kucoba membuka pintu kamar mandi itu. Tapi pintu itu dikunci dari dalam. Aku mundur selangkah lalu kemudian menendang pintu kamar mandi itu. Nyonya Vanessa sudah dalam posisi terlentang dilantai dengan kondisi baju atasnya terbuka dibagian dadanya. Kutarik paksa tubuh pria yang sedang menindihnya itu.
"Baakkk! Buuggh!"
Uppercut dan jabku sudah bersarang dirahang dan pipinya. Pria itu langsung pingsan. Kubuka blazer yang kupakai untuk menutupi bagian dada Nyonya Vanessa yang terbuka tanpa penutup itu. "Nyonya tidak apa-apa? Ayo kita keluar dari sini!" kataku sambil mengancingkan blazerku ditubuhnya.
"BAWA PRIA BRENGSEK INI KELUAR!" ujarnya pada 2 pria yang sedang bergoyang bersama temannya. 2 pria itu menggotong teman prianya yang pingsan keluar ruangan VVIP itu.
"Nyonya masih mau disini?" tanyaku sambil menatap wajahnya yang cantik. Dia mengangguk dan kemudian berjalan menuju kearah 2 temannya. Dadaku masih berdebar-debar menyaksikan pemandangan saat aku memakaikan blazerku tadi. Tak lama kemudian ke 2 temannya keluar dari ruangan itu. Dan Nyonya Vanessa melambaikan tangannya memanggilku.
"Ya Nyonya! Ada apa?"
"Jangan panggil aku Nyonya, panggil aku Vanessa saja! Duduk disini temani aku minum, Jerry!"
Aku lalu duduk di sebelahnya. Aku masih canggung kepada bosku yang cantik ini.
"Ayo minum!"
"Saya sedang bertugas melindungi Nyonya! Maaf, Saya tidak bisa minum saat bertugas!"
"Kamu panggil saya Nyonya lagi, besok kamu bereskan barang-barang kamu dan pergi dari rumah saya!"
"Maaf Nona Vanessa, Anda adalah bos saya. Sangat tidak sopan jika saya memanggil anda dengan langsung menyebut nama anda!"
"AYO TEMANI AKU MINUM. INI PERINTAH!"
"Siap Nona!"
Aku lalu menenggak minuman beralkohol itu untuk menyenangkan hatinya.
"Boleh saya sambil merokok? Teman-teman Nona tadi kemana?" tanyaku sambil menunjukkan kotak rokokku.
Bosku itu mempersilakan aku untuk merokok.
"2 Pria tadi itu pacar mereka, mungkin mereka sekarang sudah buka meja dibawah!"
"Yang 1 lagi tadi berarti pacar Nona?"
"KAMU SUDAH BOSAN HIDUP YA?"
"Maaf Nona!"
"Terima kasih tadi sudah nolongin aku. Bedebah itu baru saja aku kenal, tapi dia sudah berani macam-macam!"
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Siapa yang gak punya pikiran macam-macam dengan pakaiannya yang serba terbuka seperti tadi.
"Kamu lagi mikir apa, Jerry? Kok senyum-senyum?" Tanyanya curiga seakan Vanessa bisa membaca pikiranku saat itu.
"Nggak Nona, saya gak mikir
apa-apa!"
Tanpa terasa aku malam itu minum lumayan banyak. Bayangan Nona Vanessa ada 3 didepanku. Aku segera ke kamar mandi. Kukeluarkan bubuk putih untuk menetralisir alkohol itu. Kuhirup bubuk putih dipunggung tanganku. Aku duduk bersandar di closed. Pintu Kamar mandi digedor oleh Nona Vanessa. Aku sudah lumayan sadar dan kubuka pintu kamar mandi itu. Nona Vanessa dengan terburu-buru segera berlari ke closed itu dan muntah disana. Kupijat perlahan bahu dan lehernya. Muntahnya lumayan banyak. Aku bantu nona Vanessa menuju wastafel. Lalu kutinggalkan dia yang sedang mencuci muka di dalam kamar mandi itu. Aku menunggunya didepan pintu kamar mandi. Kutangkap tubuhnya yang sempoyongan saat mau terjatuh di depan pintu kamar mandi.
"Kamu ternyata tampan sekali, Jerry!" Ujarnya sambil memegang kedua lenganku.
Kuacuhkan ocehannya pada saat mabuk itu.
"Kita pulang sekarang, Nona?"
Dia mengangguk.
Kugendong tubuhnya keluar dari Klub.
"Edo, buka pintunya!" ujarku setengah berlari sambil menggendong tubuhnya. Jantungku berdebar cepat saat tanganku menyentuh paha mulusnya. Setelah kubaringkan tubuhnya di bangku belakang, aku dan Edo segera meninggalkan tempat itu.
...****************...
Tak terasa sudah 8 bulan aku bekerja untuk Nona Vanessa. 8 bulan itu pula aku sambil mencari info tentang pembunuh papa dan mamaku. Kutelusuri info yang kudapat, tapi semua seakan menemui jalan buntu. Semua dikarenakan aku tidak mengetahui nama asli mereka semua. Sudah ribuan kali kutelusuri mencari nama Gino, Eros, Heru dan Ardi. Tetapi hasilnya nihil, bahkan paman Hector pun tidak bisa membantuku untuk mengingat nama Asli mereka berempat. Sampai akhirnya aku bertemu dengan salah satu orang dari mereka saat mengantar nona Vanessa rapat disebuah hotel berbintang di Bandung. Heru Sasongko, ternyata adalah CEO dari perusahaan Tekstil Heratex. Perusahaan tekstil yang lumayan besar di Bandung. Saat punya waktu luang kukutit Heru untuk mengetahui jadwal rutinnya. 2 bulan kukutit Heru, sampai akhirnya aku menemukan waktu yang tepat untuk mengeksekusinya.
"Nona Vanessa, saya minta ijin 2 hari. Ada urusan pribadi yang harus saya selesaikan."
"Hmmmm, 8 bulan ini kamu tidak pernah libur, saya ijinkan. Selamat berpacaran, Jerry!" Katanya menatapku dengan muka kesal.
"Terima kasih, Nona Vanessa. Saya permisi!" jawabku singkat.
Malam itu kupinjam motor trail milik Edo. Kubeli Stiker untuk membungkus body motor itu. Setelah selesai memasang striker aku mencari spot yang untuk membunuh pembunuh papaku itu. Kutemukan spot terbaik diatas gedung perkantoran yang sudah lama tak terpakai. Kusetting peralatanku malam itu, sambil memikirkan beberapa rencana cadangan. Setelah selesai mensetting senjataku malam itu, aku tidur diatas gedung perkantoran itu sampai fajar tiba.
Semua kondisi disekelilingku seakan mendukung apa yang akan kulakukan pagi itu. Arah matahari terbit tepat dibelakangku dan angin berhembus ke arah tempat dimana Heru biasanya turun dari mobilnya.
Jam 8 tepat, mobil mewah yang membawa targetku muncul. Seperti perkiraanku, parkir mobil itu tak berubah. Kuintip wajah targetku di Teleskop. Kukokang senjata AWM Lapuaku. Kutunggu dengan sabar sampai kepala Heru keluar dibalik pintu. Seperti biasanya Heru berdiri selama 2-3 menit setelah membuka pintu mobilnya. Kutahan nafas, jari telunjukku bergerak menarik pelatuk senjata.
"Dubbbbbs!"
Kupandangi wajah salah seorang pembunuh papa dan mamaku itu di teleskop. Heru rubuh dengan kepala berlubang ke tanah! Kuhidupkan stopwatchku, lalu aku membereskan seluruh barang-barangku dari atas gedung tinggi itu. 5 menit kemudian aku sudah meluncur ke bawah gedung. Aku berjalan santai tapi cepat menuju tempat aku memarkir motor Trail milik Edo. Kurobek stiker di tangki bensinnya. Aku pun melaju santai menuju rumah Nona Vanessa.
Kematian Heru lumayan Viral. Karena ia adalah CEO perusahaan Tekstil besar dan terkenal di Bandung. Aku menonton berita kematiannya di kamarku sambil tersenyum.
"Papa-Mama, kurang 3 orang lagi! KURANG 3 ORANG LAGI!" Batinku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!