Titik – titik air berderai turun jatuh ke permukaan bumi. Bunyinya seakan mengalihkan kesunyian yang terpatri. Teramat derasnya rintikan air yang membasahi. Aku menjadi enggan untuk keluar ruangan. Cuaca dingin membuat sekujur tubuhku gemetaran dan membeku. Selayaknya bongkahan es yang menyergap di setiap kenyamananku.
Drezzzz..drezzhhh..
Hujan bertambah deras dikala malam ini. Aku tak bisa fokus untuk melanjutkan pekerjaan. Tampak sekali aku seperti orang malas. Aku hanya bisa menjalankan hari ini saja. Tak memikirkan nasib kehidupanku yang akan datang. Petir bersahut - sahutan menggelegar seiring datangnya hujan. Keberanianku seketika mengendur sesaat. Aku menyingkapkan kupluk jaket hoody putih yang kukenakan. Kemudian kutarik lengan panjangnya. Sehingga menutupi seluruh pergelangan tanganku sampai keujung jari.
Tek!
Tiba - tiba terdengar bunyi saklar ampere listrik diiringi dengan lampu padam. Pandanganku menjadi gelap karena tiada cahaya. Aku pun beranjak ke arah ampere listrik. Lalu dengan bantuan cahaya senter ponsel. Aku tertatih sendiri untuk menghidupkannya. Ampere listrik itu di luar ruangan. Tak terbayangkan, segenap keberanian ini bisa kukumpulkan. Rasanya ingin sekali aku meminta bantuan teman. Aku harus mengahadapi kenyataan lembur ini sendirian di kantor. Kantor redaksi ini memang tak terlalu besar. Namun untuk perempuan sepertiku, suasana ini begitu mencekam dan sangat luar biasa kualami. Perlahan kuturuni anak tangga. Lalu aku segera keluar menghidupi saklar listrik. Ampere listrik berada di luar lantai dasar. Bodohnya aku baru tersadar. Ada pak Yanip dan security yang berjaga malam ini. Huh, kenapa aku tak minta bantuan mereka sedari tadi?!
Tanpa pikir panjang, aku berlari ke tempat pak Yanip dan security. Belum lagi aku sampai ke tempat mereka. Tiba-tiba kakiku tersandung dan menabrak sesuatu. Hingga membuatku terjatuh. Ponsel yang kupegang tadi, terhempas jatuh pula entah kemana. Aku mendelik ke penjuru sekat dan perkakas kantor. Terlihat sangat buram di pandanganku. Dalam kesunyian yang mengerjap, aku mendengar teriakan. Teriakan yang seolah memanggilku. Tapi nyatanya lagi - lagi teriakan itu terdengar sangat samar.
"Maurine!"
Terdengar suara teriakan perempuan. Aku tak tahu siapa dan dimana teriakan itu berasal. Aku hanya menerka - nerka dan bertanya dalam hati. Sebenarnya peristiwa apa yang telah terjadi?
Aku coba menoleh ke arah suara itu berasal. Sayangnya aku tak dapat melihat dengan jelas. Kemudian aku berbalik menjawab teriakan yang memanggilku. Ketika aku menyahutnya, suara itu semakin jelas terdengar. Mungkin saja perempuan itu sedang mencari keberadaanku. Rasa penasaran bercampur aduk disertai takut berkecamuk dalam hatiku. Sehingga aku pun reflek untuk melawan rasa cemas ini. Lalu kupanggil pegawai kantor yang sedang berjaga malam.
"Pak Yanip, tolong aku Pak!"
"Percuma, mereka sudah pulang Maurine." Aku terkejut dan beralih ke suara itu. Benar saja rupanya ada sosok perempuan yang mencariku. Dia ada di dekatku saat ini. Dalam hati ini terasa amat kesal. Sejenak muncul rasa penyesalanku yang bersikeras untuk lembur malam ini. Hatiku menggerutu, seharusnya aku tak mengejar deadline demi mencapai target. Beban pikiranku semakin berat, kala mengetahui pak Yanip memutuskan untuk pulang. Ia tak memberi tahuku terlebih dahulu. Tapi, perempuan saat ini yang berada di dekatku siapa? Dia juga tahu kalau pak Yanip sudah pulang. Aku tidak mengenali suaranya. Saat ini ruangan gelap, aku tak dapat melihat dengan jelas.
***
Perempuan ini suaranya seperti wanita paruh baya. Tampak dari karakternya ini adalah wanita tegas dan berwibawa. Aku yakin dia bukan hantu, ujarku dalam hati yang terkesan naif rasanya. Namun aku heran, orang ini kok bisa mengenaliku? Langsung saja aku berdiri. Aku melupakan keberadaan ponsel yang jatuh tergeletak. Perlahan aku mendekati sumber suara itu. Seraya berjalan dengan hati - hati. Sambil meraba benda sekitar, agar tidak tertabrak lagi. Secara bersamaan, listrik yang semula padam, kini kembali menyala. Terlihatlah seorang wanita paruh baya. Gayanya sangat glamor dan terkesan elegan.
"Anda siapa?" Tanyaku setelah melihat sosoknya.
"Oh, Kamu belum mengenaliku yah?"
"Iya. saya baru 3 bulan bekerja disini, Bu."
"Baru selesai training ternyata. Tapi, kamu sudah berani lembur sendirian yah."
"Maaf saya ada deadline, Bu. Pekerjaan ini harus diselesaikan agar bisa sampai target."
"Kenapa tidak kamu copy saja datanya di flash disk? Jadi bisa kamu lanjutkan di rumah."
"Tidak bisa Bu, karena aplikasinya ada di kantor. Saya juga tidak diizinkan untuk menginstallnya di luar kantor."
"Baik, saya maafkan kali ini, karena kamu karyawan baru. Lain kali, kamu harus tepat waktu dalam bekerja."
"Baik, Bu. Akan saya laksanakan!"
"Saya akan perkenalkan diri, nama saya Ariefa Tania. Saya pemilik perusahaan ini."
"Senang berkenalan dengan ibu Ariefa. Nama saya Maurine." Sapaku sambil menyalaminya.
"Saat tiba disini, saya heran tampak ada yang lagi sibuk bekerja di ruangan karyawan."
"Iya, Bu sekali lagi maaf. Saya tidak akan mengulanginya lagi!"
"Terus saya tanya sama satpam, siapa yang sedang bekerja di dalam? Dia jawab namanya Maurine."
"Iya, Bu. Saya sudah minta izin manager untuk lembur. Tapi tak diizinkan."
"Kamu tidak takut dijaga dengan satpam dan Yanip?"
"Saya sudah mengenali mereka, Bu. Pak Yanip juga orangnya sangat baik."
"Hal seperti itu tidak bisa menjadi pedoman buat kamu. Kalau seandainya mereka ada kunci serep gimana?"
"Iya, saya salah Bu. Tapi pintu ruangannya sudah saya kunci dari dalam."
"Lantas setelah kejadian yang kamu alami barusan, kamu bisa ambil pelajaran sekarang?"
"Sudah Bu. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi."
"Oke. Kalau manager tidak memerintah lembur, sebaiknya jangan kamu lakukan sendiri yah lain kali!"
"Iya, Bu. Saya mengerti."
"Baik, saya maafkan. Semoga jangan kamu ulangi lagi."
"Terima kasih, Bu."
Wajahku menjadi memerah dan malu. Ternyata pimpinan kantor sudah memantauku sejak dari tadi. Apalagi aku karyawan yang baru bekerja 3 bulan. Sekarang malah buruk di mata pimpinan. Akhirnya kudapati ponselku sudah tergeletak di sudut ruangan dekat pot tanaman. Kemudian kuraih ponselku. Kugenggam dan langsung kutaruh dalam saku baju. Aku memutuskan untuk segera pulang. Rasa tak enak hati dengan ibu direktur. Kurapikan semua berkas dan barang kerjaanku tadi. Lalu, aku langsung pulang sambil membawa tas kerja. Aku tak lupa pamit pulang terlebih dahulu ke ibu Ariefa.
"Permisi, Bu. Saya mau pulang dulu."
"Oke. Kamu bawa kendaraan?"
"Iya, Bu. Saya ada bawa mobil."
"Hati - hati di jalan."
"Baik, Bu."
Aku bergegas ke arah tempatku memarkirkan mobil. Kulihat hujan sudah sedikit reda. Di sekitar suasananya sangatlah lengang dan sunyi. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 11 malam. Masih tak habis pikir, aku telah lembur semalam ini. Hingga nyaris dini hari. Tapi, Bu Ariefa kenapa bisa kesini hampir dini hari? Mungkin ada urusan yang ingin dilakukan di kantornya sendiri. Aku baru menyadari, sepertinya bu Ariefa tidak datang sendirian. Ketika ia memergokiku berada sendirian di kantor. Tiba - tiba ampere listriknya sudah dinaikan seseorang. Tapi siapa yang menyalakannya, aku tidak tahu. Di dalam ruangan, aku hanya melihat bu Ariefa saja. Pak Yanip dan security juga sudah pulang dari tadi.
"Toloooooooooong!"
Belum lagi aku membuka pintu mobil, terdengar jeritan. Ada perempuan yang menjerit minta tolong. Aku berlari sekencang - kencangnya ke sumber teriakan itu. Sepertinya itu teriakan dari bu Ariefa. Tidak salah lagi itu teriakan beliau. Saat aku berada di pintu masuk, pintu itu sudah tertutup rapat. Aku benar - benar kaget dan bingung harus berbuat apa. Seluruh badanku gemetaran. Lalu, tanpa pikir panjang kuhubungi nomor telepon polisi. Sayangnya saat ingin menelepon, ponselku kehabisan baterai. Mengapa di saat seperti ini ponselku malah ngedrop?
Andai security dan Pak Yanip masih berada disini. Mereka bisa kumintai pertolongan. Baru saja aku berkenalan dengan pimpinan perusahaan ini secara tak terduga. Sekarang malah terjadi hal demikian. Sebenarnya apa yang terjadi di dalam? Saat ini aku tampak seperti orang yang sangat kebingungan. Hanya bisa mondar - mandir, sekujur tubuhku berkeringat. Aku mencoba mencari celah untuk meminta pertolongan. Aku harus meminta tolong siapa lagi? Tetangga sebelah kantor tidak ada, sudah tutup semua.
Aku bingung harus berbuat apa. Hingga menyalahkan diriku sendiri karena lembur larut malam. Aku menunggu di luar terlalu lama. Hingga tak ada kejelasan, aku memilih pulang. Perasaanku teramat kalang kabut saat itu. Sebaiknya besok pagi kulaporkan ke polisi mengenai kejadian ini. Namun aku tak ingin gegabah. Sebelum memutuskan, hendaknya aku berpikir panjang. Sebaiknya besok aku minta bantuan pada pak Yanip. Minta tolong memeriksa keadaan kantor besok pagi. Tidak, sebaiknya aku beri tahu dulu pada manager. Walaupun nantinya aku akan mendapatkan sanksi atas kejadian ini. Kesalahanku tidak memberi tahu manager, jika aku lembur malam ini.
***
Tengah malam itu, aku kembali memasuki area parkir mobil. Dalam langkah tergesa-gesa kuhampiri mobil dan masuk ke dalamnya. Kemudian kukunci pintu mobil. Secepat mungkin kukemudikan mobilku. Aku melaju dengan sangat kencang. Pikiranku hanya ingin secepatnya pergi dari sani. Perasaanku bercampur aduk antara takut dan penasaran. Ini salahku yang masih nekat lembur sendiri hampir tengah malam.
Sesegera mungkin aku ingin tiba di rumah. Akhirnya aku sampai ke rumah. Sangat banyak tanda tanya yang ada dalam pikiranku. Apa benar wanita itu direktur di perusahaan tempatku bekerja?
Aku memasuki kamarku, tampak mas Alan tengah tertidur pulas. Ia masih bisa tidur tanpa menanyakan kabarku di luar sana. Bahkan telepon saja tidak. Walaupun aku sudah minta izin untuk lembur di kantor. Setidaknya ia menanyakan kabarku. Tapi ini salahku belum pulang hingga tengah malam. Aku hanya berpikir positif. Mungkin saja ia kelelahan sehabis bekerja tadi. Aku juga sadar sebagai istri hanya sibuk dengan pekerjaanku.
Rumah tanggaku bersama mas Alan, memang belum sempurna. Setiap kali kami selalu ditanyakan tentang anak. Aku pun juga sama. Sangat ingin dianugerahi buah hati bersama mas Alan. Namun nasib kini berkata lain. Mungkin belum waktunya kami dititipkan buah hati. Saat ini kami berdua masih hidup berpindah tempat tinggal. Terkadang, kami tinggal di rumah mertuaku. Kadang pula aku tinggal di rumah ibuku sendiri. Tahun ini, aku sedang berada di rumah ibu.
Keadaan ini membuatku harus giat bekerja. Sementara mas Alan seorang psikiater yang belum laku. Ia masih belum mendapatkan klien. Selama ini aku sudah sangat mengimpikan bisa memiliki anak. Mas Alan masih belum menginginkan hal itu. Alasannya ia belum bisa memberikan nafkah lebih dalam rumah tangga kami. Kenyataan ini tentu membuatku sangat kecewa. Aku menjadi tidak bersemangat untuk melanjutkan hidup. Namun aku sadar, jika aku tak berusaha, kebahagiaan itu tak mungkin dapat kuraih.
***
Keesokan harinya, aku kembali memulai bekerja di kantor. Aku tak lupa memberitahukan pada pak Yanip. Kemudian kuceritakan tentang masalah yang terjadi tadi malam.
"Pak Yanip, boleh aku minta waktunya sebentar untuk bicara?"
"Yah, Ada apa Mbak Maurine?"
"Bapak kemarin malam ada lihat orang masuk kantor gak?"
"Gak ada, Mbak Maurine. setahu Bapak, Mbak aja yang di dalam."
"Bapak kemarin malam pulang jam berapa?"
"Jam 10, Mbak. Anak saya di rumah lagi sakit."
"Oh, ya. Yaudah Pak kalau gitu."
"Memang ada apa, Mbak?"
"Kemarin malam ada direktur ke kantor."
"Bu Arifa?"
"Iya."
"Beliau sudah pulang, Mbak?"
"Kayaknya sudah, dia langsung cek kantor. Tapi kok, dia bisa tahu nama saya yah?"
"Mungkin dia tanya karyawan sini, Mbak."
"Tapi yang tahu saya lembur kan cuma Pak Yanip sama satpam."
"Pak Budi pulang bareng saya waktu itu. Dia juga gak tahu kalau bu Arifa sudah pulang."
"Yah, sudah Pak. Mungkin memang benar ada yang tahu saya lembur. Terus kasih tahu direktur."
"Iya, Mbak. Tapi aneh yah, biasanya saya tahu kalau direktur sudah pulang. Orang kantor pasti sudah buat persiapan buat menyambut kedatangan bu direktur."
"Nanti saya juga akan tahu sendiri. Yah udah, Pak Yanip maaf ganggu kerjaannya."
"Gak apa-apa, Mbak. Memang itu tugas saya cari tahu informasi. Nanti kalau saya dapat info, pasti saya sampaikan ke Mbak Maurine."
"Yah, Pak. Makasih yah."
"Sama-sama."
Aku tertegun dalam hati. Pikiranku tersentak, tatkala mengetahui pak Yanip tidak terlibat. Apalagi ia tidak tahu kalau bu Arifa sudah pulang. Aku ingin menanyakan pada rekan kerjaku yang lain. Namun aku takut, mereka akan marah. Seandainya mereka aku lembur sendiri di kantor. Percuma juga kalau tak bilang, mereka juga akan tahu sendiri nanti. Bu Arifa pasti akan memberitahukan ke salah satu pihak, tentang kelakuanku. Jadi, siapa yang memberi tahu bu Arifa? Kemungkinan bisa saja ia datang sendiri ke kantor secara mendadak. Lalu, ia sengaja membawa-bawa pak Yanip. Apa mungkin benar begitu?
Rasa penasaranku tak bisa terbendung lagi. Aku mencoba mencari bukti-bukti. Di dalam kantor pun suasananya sama seperti biasa. Tak ada yang mencurigakan. Seperti tidak terjadi apa-apa tadi malam. Padahal kemarin, aku sempat mengalami kejadian tak terduga. Barang bukti hanyalah sebuah pot yang terjatuh, serta meja yang bergeser akibat tekanan dariku yang hampir terjatuh kemarin. Aku datang lebih awal untuk memastikan kondisi disini. Aku benar-benar takut, rasa takutku kian berkecamuk. Peristiwa apa yang kualami tadi malam, mengapa seperti tidak ada tanda-tanda?
Aku hanya bertemu saja dan berbicara dengan bu Arifa kemarin. Sebaiknya aku tunggu rekan-rekan kerja kudatang. Seandainya bu Arifa telah pulang, pasti mereka akan perbincangan pagi ini. Aku baru sadar, sebaiknya aku minta rekaman CCTV tadi malam pada security. Akan tetapi, aku tidak ingin sampai terjadi kegaduhan karena ini. Apa sebaiknya aku cari alasan saja agar bisa melihat rekaman CCTV nya? Aku harus mencari alasan yang masuk akal agar diizinkan untuk melihatnya.
Saat itu aku coba memanggil pak Budian, ia salah satu security yang saat itu bertugas jaga malam bersama pak Yanip. Aku juga ingin bertanya langsung dengannya. Barangkali saja ia tahu tentang kejadian tadi malam. Perasaanku mulai canggung. Aku takut jika mereka semua tahu kalau aku lembur tadi malam. Apalagi tentang kejadian semalam. Mudah-mudahan bu Arifa baik-baik saja. Aku berharap demikian. Berharap tidak terlibat peristiwa buruk di malam itu.
"Pagi, Pak Budian."
"Eh, Mbak Maurine. Tumben sudah datang pagi-pagi begini?"
"Kemarin malam Pak Budi pulang bareng pak Yanip yah?"
"Iya, Mbak. Pak Yanip ngajak pulang, anaknya mendadak sakit, jadi sekalian pulang sama dia."
"Kemarin malam waktu sendirian lampunya mati, Pak. Saklar ampernya turun."
"Jadi Mbaknya gimana kemarin?"
"Saya coba mau hidupin, eh tiba-tiba sudah ada yang naikin saklarnya."
"Iya maaf, Mbak. Kami mendadak pulang kemarin. Maaf gak bilang Mbak dulu."
"Gak apa-apa kok, Pak. Saya cuma penasaran, kemarin siapa yang naikin ampernya?"
"Siapa yah, Mbak?"
"Gini Pak Budi, aku boleh gak lihat rekaman CCTV kemarin. Aku penasaran selain aku, kemarin malam siapa yang di kantor."
"Boleh, Mbak. Demi keamanan kantor pasti boleh."
"Makasih yah, Pak."
"Yah sama-sama, Mbak Maurine."
Akhirnya saya bisa melihat rekaman cctv kemarin. Setelah memperhatikan rekaman itu, aku tidak mendapatkan sesuatu yang mencurigakan. Hanya saja aku belum memperhatikannya secara detail. Lalu, aku meminta untuk mencopy file rekaman itu. Syukurlah pak Budian dengan baik mau mencopy rekaman cctv itu. perasaanku masih terasa sangat cemas memikirkan masalah ini. Entah siapa yang berada di kantor semalam, selain Bu Arifa. Tidak mungkin saklar listrik itu naik dengan sendirinya. Tidak mungkin kalau yang kulihat itu hantu. Rasanya buku kudukku merinding, tatkala harus membayangkan kejadian semalam itu adalah horor.
Lolongan anjing di pagi ini menyadarkanku dalam lamunan. Aneh, sepagi ini ada bunyi anjing yang melolong? Atau mungkin ini hanya halusinasiku saja. Tek! tiba-tiba pintu ruangan karyawan terbuka. Tak lama sudah ada beberapa karyawan yang tiba di kantor. Kulihat Tami rekan kerjaku juga telah datang. Aku langsung menyapanya dan mengajaknya bicara.
"Pagi, Tami!"
"Wah tumben Maurine sudah datang."
"Haha, iya aku banyak kerjaan pagi ini."
"Sini aku bantu!"
"Gak usah, Tami. kamu kerjakan saja tugasmu."
"Mumpung pagi ini aku ada luang. Biar pekerjaanmu bisa cepat selesai."
"Gak apa-apa Tami, aku bisa sendiri."
"Oke, kalau perlu bantuan jangan sungkan minta tolong padaku yah!"
"Iya."
Tami memang sangat baik orangnya. Sebenarnya aku sangat ingin memberitahukan masalahku kemarin. Aku takut Tami akan memberitahu pada rekan kerja yang lain. Rasa penasaranku semakin berkecamuk. Hasratku semakin dalam untuk membuka file rekaman CCTV semalam. Aku masih belum jelas melihat rekaman tadi. Kuperhatikan suasana di sekitar, masih belum ramai. Karyawan belum banyak yang datang. Sementara Tami sedang mempersiapkan dokumennya. Apa sebaiknya kubuka saja saat ini di laptopku? Yah, mumpung belum ada orang banyak di ruangan ini.
Aku langsung menarik tas yang kuletakkan di sudut meja kerja. Lalu, kuambil laptop dari dalam tas. Secepat mungkin kubuka file rekaman CCTV itu. Rasa penasaran ini kian bergejolak. Aku tak bisa menahannya lagi, seperti ada yang mengganjal dalam pikiranku. Bayangan hitam itu seperti wujud seseorang yang kulihat kemarin. Aku juga ingin memastikan, benarkah itu ibu Arifa? Atau ia hanya seseorang yang hanya ingin menakutiku saja. Akhirnya kutemukan sosok yang menjadi rasa penasaranku itu. Kuperhatikan hingga kujeda berulangkali. Sosok itu terlihat samar dalam rekaman. Lalu, aku screenshot seseorang yang kucurigai itu.
"Video apa itu Maurine?"
Oh Tuhan! aku terkejut tiba-tiba mendengar ada suara dari belakang. Aku langsung menoleh kebelakang.
"Banyu."
"Nonton apa hayo?"
"Bukan apa-apa kok."
"Film horor yah?"
"Ngapain juga aku nonton film horor pagi-pagi."
"Kerja ayo kerja, nanti ketahuan audit kamu."
"Aku gak nonton, cuma lihat sebentar aja."
"Video apa sih tuh?"
"Huh kepo!"
"Haha, emang salah?"
"Yah, iyalah."
"Aku kan penasaran."
"Udah sana kerja, jangan kepo mulu!"
"Tapi aku benar-benar melihat suasananya seperti di kantor ini."
"Kamu ngomong apa sih Banyu?"
"Jangan-jangan video tadi CCTV yah. Hahaha."
"Memang kelihatannya begitu?"
"Gak bercanda. Kalau iya, hati-hati kamu bisa dimarahin manager loh."
"Kalau direktur yang tahu sendiri gimana?"
"Maksudmu bu Arifa?"
"Gak aku cuma bercanda. Serius banget kamu!"
"Yah aku serius."
Aduh, Jujur perasaanku kacau dan bercampur aduk saat ini. Banyu sepertinya memang curiga padaku. Aku harus bagimana, dia kelihatannya bercanda, ternyata tidak. Perlahan kuhela nafas, kucoba menjernihkan pikiran ini. Sengaja kutenangkan diri ini, agar tidak terlihat mencurigakan. Namun, haruskah aku jujur pada Banyu? Entahlah, saat ini aku hanya mencoba untuk tenang.
"Hey, Maurine!"
"Apa sih?"
"Ditanya melamun aja. Rekaman apa itu?"
"Oke akan aku beri tahu. Tapi mungkin tidak sekarang."
"Kalau dibiarkan belarut-larut bisa jadi bumerang buat kamu."
"Yah, aku tahu. Kasih aku waktu sampai besok."
"Maurine, mumpung belum banyak saksi. Setidaknya kamu jujur mulai dari sekarang."
"Saksi apa maksudmu?"
"Itu rekaman CCTV kantor kan?"
Gawat, Banyu sepertinya sangat curiga padaku. Namanya juga Banyu, seseorang yang sulit untuk kutipu. Dia memang pintar untuk mencari tahu tentang rasa penasarannya. Sepertinya baku harus jujur padanya sekarang. Masalah ini benar-benar menguras pikiranku. Terpaksa aku memberi tahunya. Aku juga tidak ingin ada rasa sesal jika tidak jujur. Namun untuk mengeluarkan sepatah katapun sulit. Bibirku seolah bergetar, tatkala harus jujur. Banyu seperti tidak sabaran mendengar pengakuanku. Langsung saja dia ingin meraih flash diskku. Ia sangat mantap untuk membongkar rahasiaku ini.
"Kamu mau apa Banyu?"
"Pinjam sebentar yah."
"Baiklah aku jujur, ini benar rekaman CCTV kantor."
"Tuh benar kan dugaanku."
"Kemarin aku lembur tanpa sepengetahuan kalian."
"Apa yang terjadi semalam."
"Aku juga tidak tahu."
"Aneh."
"Aku belum selesai bicara. Kemarin malam aku bertemu Bu Arifa."
"Beliau belum pulang dari Paris. Tidak mungkin, apa itu hantu yah?"
"Jangan sembarangan kamu bicara!"
"Hahahaha."
Seketika omongan Banyu membuatku takut. Walaupun terkesan naif, jelas ia menganggap itu hantu. Aku berucap istighfar dalam hati berkali-kali. Kenapa hal ini bisa menimpaku? Belum lagi selesai pekerjaan kantor, aku harus dihadapkan dengan masalah kantor. Apalagi Banyu sudah tahu tentang rahasiaku ini.
"Kalau memang jadi hantu, Bu Arifa meninggal karena apa?" Kata Banyu.
"Hey, jangan sembarangan kamu bicara!" Pungkasku.
"Jadi apalagi kalau bukan hantu?"
"Kalau pun meninggal, pasti beritanya sudah tersebar. Orang seisi kantor pasti heboh!"
"Belum tentu. Kalau kematiannya disembunyikan gimana?"
"Memang siapa yang sembunyikan? Kamu?"
"Kalau aku yang membunuhnya, pasti aku sudah ditangkap polisi. aku ini kan jujur orangnya."
"Aku mau kabur saja dengar kamu bicara."
"Kabur kemana maksudmu?"
"Kemana saja, asal jangan mendengar bicaramu yang omong kosong!"
"Omong kosong dari mana? Aku tidak tahu apa-apa dengan bu Arifa. Lagipula aku tak ada terlibat masalah kemarin."
"Kamu yakin tidak terlibat? Caramu bicara begini saja, sudah menunjukkan kamu terlibat."
"Hahaha, Masa iya?"
"Bicara denganmu ini gak bisa serius apa?"
"Hey, Maurine! Mau kemana kamu? Aku serius kok."
Lebih baik aku pergi menjauh darinya. bicara dengan Banyu membuatku hilang kesabaran. Kenapa juga ia bisa tahu semua. Memangnya ada apa sih di dalam dirinya? Jangan-jangan dia terlibat dengan masalah ini. Sebaiknya aku tak usah berprasangka buruk dulu.
Aku terus melamun karena ini. Jujur aku sampai tak bisa istirahat memikirkannya. Di rumah saja, aku sampai tak dapat tidur. Apalagi untuk makan, aku jadi tak selera. Ibuku sampai menegurku karena ini.
"Maurine, ayo makan. Jaga kesehatanmu, kamu itu sudah capek kerja!" Desak Ibuku.
"Iya Bu. Aku lagi banyak kerjaan." Ujarku.
Aku terpaksa tak jujur pada ibu. Takut jikalau ia banyak pikiran. Namun haruskah aku terus diam. Tanpa aku jujur dan bicara pada ibu. Bahkan dengan mas Alan, haruskah aku juga diam?
Memang seharusnya aku bicara pada suamiku. Bagaimanapun dia suamiku. Dia harus tahu masalah ini. Barangkali ia bisa meringankan bebanku. Apalagi mas Alan adalah seorang psikiater. Ia bisa membantuku menenangkan diri ini. Aku tak mau terus bergumul dengan masalah ini. Rasa penasaranku semakin memuncah. Haruskah aku jujur pada mas Alan. Tapi kapan aku bisa siap menceritakan semua padanya? Semoga ia bisa jadi pendengar yang baik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!