Tak ada yang bisa menggambarkan betapa bahagianya wanita bernama Jenna saat mendengar penjelasan dari dokter spesialis kandungan langganannya jika sang calon buah hati yang kini bersemayam di rahimnya tumbuh dengan sehat.Tak sabar ia ingin segera melihat bayi kembarnya itu lahir kedunia ini.
Puas dengan penjelasan dokter, Jennapun pamit dari ruangan dokter tersebut dengan membawa gambar hasil usg kedua calon buah hatinya. Ia tak sabar ingin segera memberitahu suaminya jika dalam beberapa minggu ke depan mereka bisa mendengar tangis sang buah hati. Karena bayinya kembar, maka dokter akan mengambil tindakan operasi caesar di usia kandungannya kurang dari waktu melahirkan pada umumnya.
Tak sabar jika harus menunggu sampai jam pulang kantor suaminya, Jenna pun berinisiatif untuk menghampiri sang suami di kantornya tanpa memberithu terlebih dahulu kepada suaminya. Ia ingin memberi kejutan kepada suaminya tersebut.
Sampai di kantor suaminya, Jenna masih harus menunggu karena sang suami kini sedang rapat. Begitu suaminya masuk ke ruangannya, Jenna langsung berlari menghampiri pria tersebut.
"Kau datang? Kenapa tidak memberi tahuku terlebih dahulu?" tanya Kevin, suami Jenna.
"Aku ingin memberi kejutan padamu," sahut Jenna.
Kevin tersenyum, ia menarik tangan Jenna untuk menuju meja kerjanya. Di sana, ia melihat ada paper bag berisi makan siang yang Jenna beli sebelum ke kantor suaminya tersebut.
"Kau pasti belum makan siang, aku ingin makan siang denganmu," ucap Jenna manja dan Kevin hanya tersenyum.
"Kau tak perlu repot-repot, Jenna. Aku siang ini ada janji untuk makan siang di luar," sahut Kevin.
"Dengan klien?" tanya Jenna dan Kevin hanya mengangukkan kepalanya sebagai jawaban.
Jenna sedikit kecewa. Namun, rasa itu langsung pudar begitu ingat tujuan kedatangannya ke sana.
"Em baiklah, tidak masalah. Tapi, ada kabar gembira yang ingin aku sampaikan padamu, Vin," Jenna mengeluarkan gambar hasil USG bayi kembarnya dan menunjukkannya kepada Kevin dengan mata berbinar. Berharap sang suami sama antusiasnya dengan dirinya dalam menyambut calon anak-anak mereka nanti.
"Lihat! Ini anak-anak kita, Vin. Mereka sangat sehat dan dalam beberapa minggu lagi sudah bisa di lahirkan. Akhirnya, hari yang kita tunggu-tunggu akan segera tiba. Kita akan menjadi orang tua. Kamu akan menjadi ayah dan aku akan menjadi ibu!" begitu semangatnya Jenna bercerita.
Namun, reaksi yang Kevin berikan justru di luar ekspektasi Jenna. Pria itu sama sekali tak menunjukkan kesenangannya saat mendengar kabar bahagia tersebut. Pria itu merebut photo usg dari tangan Jenna dan merematnya. Sontak, hal itu membuat Jenna terkejut.
"Gugurkam kandungan itu!" ucap Kevin yang mana membuat Jenna seketika syok.
"Vin...? Apa maksudmu? Apa yang kamu katakan barusan?"
"Anak-anak itu, kita tidak tahu asal usulnya dari mana. Aku tidak mau memiliki anak yang tidak jelas," ucap Kevin.
Jenna benar-benar tak mengerti dengan apa yang Kevin katakan. Bukankah ini sudah menjadi kesepakatan mereka berdua sebelumnya, kenapa tiba tiba pria itu berkata dan membuat keputusan seperti ini.
"Maksudnya apa Vin? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mempermasalahkan soal siapa pemilik benih ini yang penting kita bisa punya anak? Kenapa sekarang kamu bicara seperti ini?"
"Karena aku ingin memiliki keturunan dari darah dagingku sendiri," jawab Kevin.
"Tapi itu tidak mungkin, Vin. Kita sama-sama tahu kalau kamu...."
"Aku yakin kalau aku sudah sembuh dan kita bisa memiliki keturunan sendiri tanpa harus melakukan inseminasi lagi!" Kevin memotong kalimat Jenna yang belum selesai.
"Itu baru keyakinan kamu, Vin. Kita belum membuktikannya sendiri. Kita sudah mencobanya berkali-kali dan selalu gagal,"
"Kau meragukan kemampuanku?" Salak Kevin tak terima.
"Bukan begitu, tapi...."
"Gugurkan kandunganmu, atau kita berpisah!" potong Kevin dengan tegas dan jelas yang mana membuat Jenna benar-benar terkejut. Dunianya seketika runtuh.
"Vin...Kenapa jadi begini? Dulu kamu yang menginginkan jalan ini supaya kita bisa memiliki anak meski bukan dari benih kamu. Kenapa sekarang kamu meminta hal sejahat ini?" ratap Jenna.
"Itu karena dulu orang-orang di sekitar kita selalu mendesak dan menyudutkan kita yang tak kunjung punya anak. Apalagi mama, aku ingin membuat dia bahagia dengan memberinya cucu biar tidak selalu mengeluh soal anak dan anak. Tapi sekarang, aku yakin aku bisa melakukannya,"
"Tapi tidak mungkin kita menggugurkan kandungan ini, Vin. Mereka berhak untuk di lahirkan dan tetap hidup. Kita yang memutuskan untuk membuat mereka hadir di rahimku jadi kita wajib untuk merawat mereka seperti anak kita sendiri. Lagian, ini terlalu beresiko karena kehamilanku yang sudah besar. Aku tidak mau, bagaimanapun mereka tetap anak kita, tidak peduli bagaimana cara mereka hadir di rahimku, Vin,"
Kevin mendengus "Kurang jelas? Gugurkan atau kita bercerai!" tegasnya sekali lagi, sama sekali tak mau menerima penjelasan apapun dari Jenna.
Luruh sudah air mata Jenna.ia menggelengkan kepala, "Nggak mungkin Vin, nggak mungkin aku mau membunuh anakku sendiri," ucapnya pilu.
Namun Kevin tak peduli dengan itu, ia mengambil ponsel yang tadi ia letakkan di atas meja, "Mereka bukan anak kita. Pikirkan sekali lagi, atau hubungan kita benar-benar akan berakhir!" ucapnya sebelum akhirnya meninggalkan Jenna dengan segala keterkejutannya siang itu begitu saja.
......
Hingga malam, Kevin tak juga pulang. Jenna menunggu pria itu dengan perasaan sedih dan tentu saja masih kecewa dengan ucapan pria itu siang tadi. Ia harap Kevin segera pulang dan mereka bisa membicarakan hal ini lagi dengan kepala dingin dan ia bisa merubah keputusan suaminya tersebut.
Akan tetapi, hingga pagi tiba, Kevin tak juga pulang ke rumah. Makanan yang sudah Jenna siapkan di meja makan pun masih belum tersentuh sama sekali sejak semalam. Entah kemana perginya pria itu hingga ponsel Jenna berdering. Ternyata itu dari ibu mertuanya.
"Apa yang terjadi? Kenapa Kevin ingin menggugurkan anak itu?" tanpa basa-basi, ibu mertuanya langsung bertanya melalui sambungan telepon tersebut.
Jenna kaget, rupanya keinginan suaminya tidak main-main. Bahkan, pria itu sudah menyampaikannya kepada ibunya. Jenna tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Ia hanya bisa menangis tanpa menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Semalam tidak pulang ternyata pria itu pulang ke rumah orang tunya.
"Kenapa diam, Jenna? Pasti ada alasannya kenapa Kevin sampai membuat keputusan seperti itu.
Jenna semakin terisak, ia tak tahu harus membuat alasan apa kepada ibu mertuanya tersebut," Maaf, ma... " hanya itu yang bisa Jenna katakan. Ia tahu ibu mertuanya itu sudah sangat ingin sekali memiliki cucu darinya, pasti sangat kecewa dengan keputusan suaminya tersebut.
"Pasti kamu berbuat kesalaha, kan? Anak itu pasti bukan anak Kevin, melainkan anak kamu dengan selingkuhan kamu. Iya, kan?" suara ibu mertuanya terdengar sengit sekali. Entah apa yang sudah suaminya itu ceritakan kepada mertuanya itu hingga membuat kesimpulan seperti ini.
Jenna menggeleng, bagaimana bisa ia di tuduh sekeji itu," Enggak, ma.... Aku... "
"Alah ngaku saja! Udah ketahuan selingkuh makanya Kevin marah. Nggak heran kalau dia minta di gugurkan itu anak. Dari dulu mama memang nggak begitu suka kalau Kevin menikah sama kamu. Udah benar di nikahi dan di kasih hidup enak, malah banyak tingkah! Untung cuma di suruh gugurin nggak di ceraiin!" omel sang mertua.
Ucapan mertuanya melalu sambungan telepon tadi membuat Jenna tidak hanya sedih namun juga sangat terluka. Bagaimana bisa wanita yang sudah melahirkan suaminya itu mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan.
Tiba-tiba saja, kepalanya yang sejak kemarin terasa pusing, kini semakin terasa pening. Jenna memegangi kepalanya sembari menahan sakit. Tak hanya kepalanya yang sakit namun juga perasaannya. Semua terasa sakit.
Jenna berusaha untuk duduk, pandangannya juga semakin kabur ia rasakan. Namun belum sampai di sofa, tubuhnya tiba-tiba limbung jatuh ke lantai dan semuanya terasa gelap.
...----------------...
Jenna mulai mengerjapkan matanya, tangannya memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Tanpa ia sadari, kini ia sudah terbaring di rumah sakit dengan selang infus di tangannya.
"Udah sadar? Makanya jangan banyak tingkah, jadi gini kan jadinya!" baru saja membuka matanya, Jenna sudah di suguhi suara kebencian dari ibu tirinya. Di sana juga ada ayah kandunga dan juga saudara tirinya.
"Pa..." Jenna tak peduli dengan ibu tiri dan suadara tirinya. Pandangannya langsung fokus pada pria yang menjadi cinta pertamanya tersebut.
Belum juga ayahnya bicara, terdengar suara seorang wanita yang membuka pintu. Tak lain adalah ibu mertuanya yang baru saja tiba.
"Sudah sadar kamu? Baguslah kalau begitu, berarti tak butuh waktu lama-lama buat bercerai dengan putraku!" ucap ibu mertuanya tanpa basa-basi meski sekedar menanyakan kabarnya.
"Ma, apa tidak bisa kita bahas itu nanti? Aku lagi sakit. Kita bisa bicarakan hal itu lagi nanti," ucap Jenna lemah. Namun ibu mertuanya hanya mencebikkan bibirnya sebagai tanggapan lalu melengos. Terlalu malas menatap wajah menantunya tersebut.
"Katakan pada papa, siapa ayah dari anak yang kamu kandung itu, Jenna?" tanya Hardian, ayah Jenna.
Jenna terkejut mendengar pertanyaan papanya. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri hingga berita itu menyebar dan di ketahui oleh semua orang.
Jenna bungkam, ia tentu tak bisa menjawab pertanyaan ayahnya tesebut sementara ia sendiri juga tidak tahu siapa pria yang menjadi ayah biologis anak-anaknya tersebut. Terlebih lagi, ia tak mungkin membuka aib suaminya yang mati-matian selama ini ia sembunyikan.
"Kenapa nggak di jawab? Nggak tahu sangking banyaknya yang bercocok tanam? Atau... Malu mengakui? Palingan juga putri kesayanganmu ini selingkuh dengan pacarnya yang dulu itu mas. Bodoh memang, udah dulu di tinggalin nikah, untung ada Kevin yang datang sebagai pelipur lara, eh malah main belakang," ibu tiri Jenna sengaja menjadi kompor supaya suaminya semakin murka dengan Jenna.
"Iya, kapan hari aku lihat dia jalan sama mantanya itu. Nggak tahu deh mereka ngapain, kayak habis ceck out hotel gitu kayaknya sih," sudar tiripun ikut menjadi kompor dan itu fitnah paling kejam. Jenna tak pernah lagi berhububgan dengan laki-laki siapapun sejak menjalin hubungan dengan Kevin.
"Jangan sembarangan ngomong kamu," tegur Jenna tak terima.
"Ck, memang ya, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dulu ibunya pergi ninggalin anak dan suamianya demi pria lain. Sekarang anaknya nurunin jadi tukang selingkuh. Aduh mas, kasihan sekali nasibmu," semakin menjadilah drama yang di buat ibu tirinya.
"Papa tidak pernah mengajari kamu menjadi wanita murahan seperti ini, Jenna. Siapa laki-laki itu, benar mantanmu?" di antara suara-suara menyakitkan tersebut, pertanyaan dari ayahnyalah yang paling menyakitinya. Pertanyaan itu mengisyaratkan ketidakercayaan pria itu terhadapnya. Tak ada hal lebih menyakitkan kecuali hilangnya rasa percaya dari ayahnya sendiri hingga Jenna benar-benar kehilangan kata-kata.
"Cepatlah minta maaf sama ibu mertuamua dan buat keputusan untuk menggugurkan kandungan itu!" ucap pak Hardian kemudian.
Jenna menggeleng, "Jenna nggak bisa, pa. Jenna nggak mungkin membunuh janin yang tak berdosa ini. Mereka anak-anak Jenna. Maafkan Jenna," ucapnya sedih. Bagaimana caranya membuat semua orang mengerti dan tak menyudutkannya tanpa harus memberitahu mereka jika suaminyalah yang bermasalah dengan organ reproduksinya hingga proses inseminasi buatan itu terjadi dan berakhir dengan kehamilannya sekarang. Bukan karena ia selingkuh seperti tuduhan semua orang.
"Baiklah kalau kamu tidak mau mengakui kesalahanmu. Selama kamu masih kekeh dengan keputusanmu, jangan pernah lagi menganggapku sebagai ayah. Terserah padamu mau berbuat seperti apa, papa tidak peduli lagi! Ayo ma, kita pergi. Anggap aja dia bukan siapa-siapa!" Hardian mengajak istrinya pergi dari sana dengan membawa amarah bersamanya tanpa mempedulikan raungan Jenna.
......
Tak lama setelah ayahnya pergi, Kevin datang. Jenna senang atas kehadiran suaminya tersebut. Berharap semuanya akan membaik. Namun ternyata ia salah. Pria itu datang hanya untuk semakin menekan mentalnya.
"Bagaimana? Kau sudah buat keputusan? Mau menggugurkan anak itu?" tanya Kevin.
Jenna kira, Kevin masih ada rasa peduli kepadanya, bahkan pria itu juga sama sekali tak peduli akan kondisinya saat ini.
"Maaf, Vin. Tapi keputusanku tetap bulat. Aku akan tetap mempertahankan mereka. Aku harap kamu mengerti dengan keputusanku," ucap Jenna.
"Dasar wanita tidak tahu diuntung! Berani sekali kamu melawan keinginanku!" hardik Kevin.
"Bukan begitu Vin, kita sama-sama tahu, kalau kamu tidak mungkin bisa memberiku anak dengan keadaanmu yang seperti ini,"
"Kau meremehkanku, Jenna? Sudahku bilang, aku pasti sudah sembuh!" sentak Kevin.
"Maaf, aku tetap tidak bisa," ujar Jenna kekeuh dengan pendiriannya.
Kevin mengusap wajahnya kasar, "Baiklah kalau itu keputusanmu. Kita bercerai! Dan kau tahu? Dengan begini semua orang akan semakin yakin dan percaya jika di sini kaulah yang salah karena selingkuh dariku," ucapnya.
"Kau yang paling tahu tentangku, Vin. Kau tahu, aku Tidak mungkin selingkuh di belakangmu!"
Kevin tersenyum sinis, "Dan kau pikir orang-orang akan percaya denganmu? Bukti sudah jelas, kalau itu bukan anakku. Apalagi lagi alasan buatmu mengelak. Mereka akan lebih percaya denganku. Sudahlah, buang-buang waktu bicara denganmu," ujarnya dan langsung pergi begitu saja.
Jenna tak lagi bisa membendung air matanya. Ia yang selama ini berusaha menerima kekurangan suaminya yang mengidap gangguan pada organ reproduksinya yang tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Ia yang selalu berusaha menutupi kekurangan sang suami di mata semua keluarga dan teman-temannya meski selalu ia yang di pojokkan karena tak kunjung punya anak. Ia yang selalu menjadi bahan kebencian ibu mertuanya karena tak juga memberikan cucu, padahal putranya yang menderita impoten bahkan tak bisa menyentuhnya layaknya suami istri sama sekali justru di balas seperti ini oleh suaminya.
Jenna tak menyangka jika kevin bisa sekejam ini menyebar fitnah jika ia selingkuh, padahal semua ini ia lakukan untuk pria yang ia cintai tersebut. Ternyata, pria yang selama ini ia cintai tanpa syarat tersebut sekejam ini padanya.
.....
Tiga hari di rawat, tak ada satupun yang datang untuk menjenguk Jenna di rumah sakit semenjak kejadian kemarin. Hingga hari ia di perbolehkan untuk pulang. Betapa terkejutnya ia saat menginjakkan kakinya di rumah, di depan pintu ada koper berisi semua pakaiannya.
"Silakan kamu mempertahankan keputusanmu, dan aku juga tetap dengan keputusanku. Tidak mau menggugurkan, berarti kita cerai. Silakan pergi dari rumah ini dan Jangan pernah kamu mengharapkan sepeserpun hartaku," ucap Kevin yang baru saja keluar.
Jenna mengusap air matanya yang menetes. Tak ada lagi yang bisa ia katakan karena keputusannya tetap bulat untuk tetap melahirkan anaknya. Ia menyeret kopernya meninggalkan rumah tersebut tanpa menoleh. Membawa rasa sedih dan kecewa bersamanya.
...----------------...
Empat tahun kemudian......
Waktu berlalu begitu cepat. Empat tahun telah Jenna lewati dengan penuh lika-liku, namun tak membuatnya menyerah. Seperti siang ini, ia masih gigih mencari lowongan pekerjaan melalui internet di ponselnya. Ia baru saja di pecat dari pekerjaannya dan harus segera mencari pekerjaan baru.
Siapa sangka, saat memainkan ponselnya, sebuah berita online menarik perhatiannya. Berita tentang di selenggarakannya pernikahan mantan suaminya dengan seorang wanita cantik anak pengusaha ternama.
Ingin sekali Jenna membanting ponselnya melihat senyum pria yang pernah benar-benar menyakitinya tersebut meskipun di layar ponselnya. Lama tak penah ada kabar, tiba-tiba pria itu muncul dengan berita pernikahan keduanya dengan anak bos perusahaan yang cukup besar.
Jenna menoleh ke arah kedua buah hatinya yang ia lahirkan empat tahun yang lalu dengan penuh perjuangan tersebut. Dulu, Kevin yang ngeyel ingin memiliki anak tak peduli dengan cara apapun, namun pada akhirnya pria itu membuang mereka begitu saja.
"Pasti kamu akan menyesal jika tahu anak-anak yang aku lahirkan begitu tampan dan cerdas," gumam Jenna dalam hati sambil terus menatap kedua putranya yang kini sedang sibuk melakukan streaming di sebuah aplikasi. Ya, siapa sangka jika kedua buah hatinya yang mati-matian ia pertahankan itu tumbuh menjadi anak-anak yang sangat pintar.
Meski usia mereka masih empat tahun, tapi kepintaran mereka bisa saja mengalahkan orang dewasa. Mereka mengandalkan ketampanan dan kecerdasan otak mereka untuk live di sebuah aplikasi yang bisa menghasilkan uang untuk membantu ibunya.
Jenna sudah melarang meraka melakukannya. Bagaimanapun caranya ia akan berusaha buat mencari uang tanpa harus melibatkan kedua anaknya. Tapi, si kembar yang pintar tahu betul akan kondisi keuangan ibunya meski Jenna selalu bilang jika ia punya uang banyak untuk hidup mereka dan tak perlu khawatir soal apapun.
Tapi, lagi dan lagi mereka tetap mencari uang dengan mengandalakn live tersebut karena dengan ketampanan dan kepintaran yang mereka miliki, akan banyak hadiah yang mereka terima.
Jenna menghela napas melihat tingkah kedua bocah laki-laki tersebut. Ada rasa sedih hinggap di hatinya ketika melihat pemandangan seperti itu. Sebagai ibu, ia merasa bersalah. Tapi, mau bagaimana lagi, anak-anak itu yang ngeyel, mereka bilang mereka suka melakukannya.
Dari segala lika-liku hidupnya tersebut, Jenna tak pernah menyesalinya. Ia merasa sangat beruntung karena memiliki Regan dan Riley dalam hidupnya. Hal yang paling ia syukuri telah melahirkan mereka kedunia ini.
Muak dengan berita pernikahan tersebut, Jenna kembali mengulir layar ponselnya hingga ia akhirnya menemukan sebuah lowongan pekerjaan.
Tanpa ragu, ia segera mengajukan lamaran. Berharap kali ini ia akan di terima karena ia benar-benar butuh pekerjaan ini.
......
Esok harinya, setelah menitipkan Regan dan Riley kepada temannya yang bernama Rosa, Jenna langsung pergi menuju ke alamat yang di tunjukkan di lowongan pekerjaan kemarin.
Dengan memakai pakaian seadanya yang penting rapi dan sopan, Jenna siap melakukan wawancara untuk menjadi seorang pengasuh sekaligus perawat, begitulah yang di tulis dalam lowongan kemarin.
Jenna masih harus menunggu beberapa saat lamanya hingga seorang laki-laki berkaca mata menghampirinya.
"Nona, Jenna?" sapa pria itu yang Jenna pikir adalah ayah dari anak yang akan ia asuh. Atau kalau tidak pria ini anak dari seorang lansia yang butuh bantuan seorang pengasuh. Apapun itu, Jenna tak peduli, asal ia bisa bekerja dan mendapatkan uang.
"Iya, saya Jenna, pak," balas Jenna sembari berdiri dan mengulurkan tangannya, namun pria itu tak menyambut uluran tangannya.
"Ikut saya!" ucap pria itu jutek.
Jenna hanya tersenyum tipis sembari menghela napas. Ia ikuti langkah pria berkaca mata tersebut menuju sebuah ruangan.
Tok tok tok
Pria berkaca mata itu mengetuk pintu sebelum akhirnya ia membuka pintu ruangan tersebut tanpa menunggu di persilakan masuk ke dalam. Jenna hanya mengikutinya di belakang.
"Tuan muda...." pria berkaca mata itu menyapa seorang pria yang duduk di kursi roda dengan menghadap ke jendela.
"Sudah ku bilang, Yon! Aku nggak butuh perawat apalagi pengasuh!" ucap pria yang duduk di kursi roda tersebut tanpa menoleh.
"Tapi, tuan. Ini perintah nyonya besar," ujar pria yang tak lain adalah asistenbya tersebut.
"Kamu bekerja untukku atau ibuku?" ujar pria itu sembari memutar kursi rodanya.
" Semoga kali ini Anda cocok," ucap sang asisten bernama Dion tersebut. Yang mana membuat Jenna heran, apa dia tidak perlu wawancara terlebih dahulu dan langsung di terima, pikirnya.
"Perkenalkan dirimu, nona!" ucap Dion.
Jenna yang sejak tadi menunduk akhirnya mengangkat kepalanya. Begitu menatap wajah pria dingin di depannya, Jenna menelah salivanya susah payah. Bagaimana bisa pria itu mirip sekali dengan kedua anak kembarnya.
Jenna menggeleng," Bagaimana bisa semirip ini?" batinnya mendadak panas dingin di sekujur tubuhnya.
"Kamu bawa saja dia keluar, Yon. Aku nggak butuh perawat seperti dia, belum apa udah tremor," ucap pria itu.
Dion menghela napas, "Nona, perkenalkan diri Anda kepada tuan muda," ucapnya menyenggol lengan Jenna yang masih linglung dengan pikirannya.
"Ah iya, nam-nama Saya Jenna, tuan. Ya, Jenna!" ucap Jenna gagap.
"Saya nggak nanya! Keluar kamu dari sini. Mau-maunya di repotin sama manusia ini buat datang kesini, kamu hanya buang-buang waktu!" usir pria itu.
Jenna menghela napas, ia sangat butuh pekerjaan ini, tapi barus pertama kali ketemu saja sudah bikin senam jantung begini. Apalagi wajahnya yang sangat mirip dengan si kembar.
"Nona, Anda bisa mulai bekerja hari ini!" mengabaikan perintah bosnya, Dion malah pamit keluar.
Jenna bingung harus bagaimana sekarang. Ternyata yang akan ia asuh adalah seorang pria dewasa yang duduk di kursi roda dengan perangai dingin. Bukan anak kecil maupun lansia yang pasti akan lebih mudah ia asuh. Aplagi pria ini jelas-jelas menolak kehadirannya. Semakin berat tugasnya. Tapi, dia butuh, Jenna menjadi di lema.
"Apa?" sentak pria tersebut yang mana membuat Jenna tergagap.
"Tidak tuan, maaf saya permisi sebentar!" pamit Jenna.
"Nggak usah balik sekalian!" teriakan pria itu terdengar meski Jenna sudah melewati pintu.
Jenna mengejar Dion, "Pak Dion, tunggu!" sergah Jenna.
Dion berhenti, "Ada apa nona?" tanyanya.
"Saya tidak perlu wawancara atau di tes gitu? Langsung di terima? Apa ini tidak aneh?" tanya Jenna, "Apalagi tadi pak dion dengar sendiri, tuan muda itu tak mau aku rawat," imbuhnya.
"Anda hanya perlu menebalkan telinga dan kuatkan hati seperti baja. Betah-betah dengan sikapnya, jika berhasil bertahan sebulan, Anda akan mendapatkan bonus yang lumayan," ucap Dion.
Jenna tak mengerti dengan maksud ucapan Dion.
"Anda adalah perawat yang ke dua puluh lima," ucap Dion dan langsung melenggang pergi.
Jenna menghela napas, sekarang dia paham maksud ucapan Dion tadi.
"Ke dua puluh lima? Nggak heran sih, orangnya kayak gitu, mana ada yang betah. Tapi, katanya bonusnya lumayan gede, gimana dong?" Jenna dilema sendiri jadinya.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!