Seorang gadis berlari sekuat tenaga demi menghindari kejaran para pengawal yang berusaha keras untuk mendapatkannya dan membawanya kembali pulang. Ia menyelinap di antara kerumunan wisatawan yang tengah menikmati keindahan kota Siliwangi dari atas Bukit Braksi yang sangat terkenal.
Meskipun telah menghindar sejauh mungkin, tapi Ajeng belum juga menemukan tempat yang aman untuk bersembunyi dari para pengawal yang dikirimkan ayahnya itu. Ia terus berlari tapi seorang pengawal terus saja mengikutinya dengan cepat dan fokus sehingga cukup sulit untuk dikecohkan.
Merasa tidak kuat berlari lebih jauh lagi, Ajeng menepi ke dekat pagar pembatas Bukit Braksi. Nafasnya terengah-engah dan tubuhnya sangat lelah, tapi pengawal itu seolah terus saja kian mendekat ke arahnya. Posisinya sudah terpojok tapi tak juga terlihat ada tempat untuk bersembunyi. Ajeng hampir menyerah, tapi ia kemudian melihat seorang pria berpakaian dinas sedang berdiri memunggunginya, menatap jauh ke hamparan luas Kota Siliwangi yang berada di kaki Bukit Braksi.
Pengawalnya kian mendekat dan tengah mencari-carinya diantara kerumunan pengunjung. Ajeng menarik tangan pria itu lalu menyelinap di depan tubuh tingginya agar tidak terlihat. Pria itu terlihat kaget dan bingung karena seorang wanita yang dikenalnya tiba-tiba saja berdiri di hadapannya dalam radius yang sangat dekat hingga nyaris terlihat seperti sedang berpelukan.
Seolah tak peduli dengan kebingungan pria itu, Ajeng yang tengah panik mengintip pengawalnya dari balik tubuh Wira. Tahu bahwa pria itu kian mendekat ke arahnya, Ajeng menarik tubuh Wira, memeluk lalu menciumnya. Melihat adegan dihadapannya itu, si pengawal yang terlihat canggung memutuskan untuk pergi dan tidak mengganggu mereka.
Merasa lega telah terbebas dari ancama, Ajeng melepaskan tubuh Wira perlahan dan siap untuk menjelaskan duduk persoalannya secara baik-baik.
“Pak Wira?!” beberapa pria berpakaian dinas yang sama dengan Wira berdiri terpaku tidak jauh dari tempat Ajeng dan Wira berdiri. Mereka memandang Wira dengan tatapan kaget dan tak percaya.
Wira buru-buru melepaskan tangan Ajeng dan menjauhkan tubuh gadis itu darinya. Keduanya bertatapan.
“Kamu?!” ujar keduanya bersamaan.
“Siapa ini?” tanya Candra, Walikota Siliwangi. “Istrinya Pak Wira?”
“Bukan.” Sahut keduanya bersamaan lagi.
“Maaf Pak Candra, Pak Wira, kita harus segera kembali ke ruang meeting. Mr. Suzuki akan segera tiba.” Ujar salah seorang pria berpakaian dinas lainnya.
Candra langsung mengikuti rombongan menuju ruang rapat yang berada di salah satu gedung di Taman Wisata Bukit Braksi.
“Urusan kita belum selesai. Awas kalau sampai ketemu lagi!” ancam Wira sebelum pergi mengikuti Candra dan yang lainnya.
***********
Rapat selesai dan para pegawai pemerintah itu dibuat sibuk dengan ketidakpuasan Mr. Suzuki calon investor penting mereka. Sehingga mereka menghabiskan waktu jeda rapat itu untuk mendiskusikan cara untuk membuat Mr. Suzuki tertarik untuk berinvestasi di Siliwangi dan Carang Sewu seperti yang telah direncanakan sebelumnya.
“Kita tidak bisa membiarkan Mr. Suzuki membatalkan niatnya untuk berinvestasi di kota kita.” Ujar Candra, Walikota Siliwangi, cemas.
“Benar. Pak Gubernur sudah berupaya keras untuk mendapatkan mereka. Kita tidak boleh kehilangan mereka hanya karena Mr. Suzuki kurang puas dengan tawaran yang kita sampaikan.” Imbuh Faisal, kabag kerjasama luar negeri Pemprov Jala Brata.
Faisal berdiri dari duduknya dan berjalan-jalan mendekati pagar yang berada tidak jauh dari tempat mereka duduk. “Pak Wira! Bukankah itu istrinya Pak Wira?”
“Istri?” tanya Wira sambil menghampiri Faisal dan melihat ke arah matanya memandang.
Candra dan para pegawai lainnya ikut bergabung untuk melihat apa yang sedang Faisal bicarakan. Ajeng terlihat sedang berbincang santai dan akrab dengan Mr. Suzuki di taman bunga yang berada di bagian bawah tempat para pegawai berdiri. Sementara pria yang sangat sulit diyakinkan dan diambil hatinya itu terlihat sangat senang dan menikmati pembicaraannya dengan Ajeng.
“Oh iya bener. Itu kan perempuan yang ciuman sama Pak Wira tadi? Itu istrinya Pak Wira tho?” sambung pegawai lainnya.
“Istrinya Pak Wira hebat. Sejak bertemu Mr.Suzuki pagi tadi, saya belum pernah melihat beliau tersenyum seperti itu. Saya jadi penasaran dengan apa yang Bu Wira sampaikan kepada Mr. Suzuki.” puji Candra yang ikut-ikutan menyebut Ajeng sebagai istrinya.
“Tapi dia bukan istri saya.” Elak Wira.
“Terus kenapa kalian berciuman di depan umum?” tanya Candra dengan polosnya.
Pak Faisal meneput pundak Candra. “Sudah lumrah kalau suami istri yang sedang perang dingin menolak disebut suami istri.”
“Tapi –“
“Pak Wira, ini kesempatan baik untuk kita. Sepertinya istri Pak Wira bisa membantu kita untuk bicara dan meyakinkan Mr. Suzuki.” Tukas Faisal.
Wira terdiam sejenak.
“Pak Faisal benar, Pak. Kalau istrinya Pak Wira berhasil, Siliwangi dan Carang Sewu akan sangat diuntungkan.” Imbuh Candra penuh semangat.
***********
Para pegawai pemerintah itu menghampiri tempat Ajeng dan Mr. Suzuki berbincang dan si penerjemah langsung bersiaga untuk menengahi pembicaraan mereka.
“Mr. Suzuki ingin melanjutkan pembicaraan di sini. Beliau lebih suka suasana alam terbuka seperti ini.” Ujar si penerjemah setelah mendengar Mr. Suzuki bicara dalam bahasa Jepang.
“Oke.”
Mereka meneruskan pembahasan rencana kerjasama mereka di dekat taman seperti yang diminta Mr. Suzuki. Karena merasa tidak berkepentingan, Ajeng pamit tapi Mr. Suzuki melarangnya. Ia ingin Ajeng membantunya dalam mengambil keputusan penting pada rapat hari itu.
Wira dan timnya terbelalak mendengar Ajeng dan Mr. Suzuki berkomunikasi dengan lancar menggunakan bahasa Jepang. Pria tambun bermata sipit itu juga terlihat nyaman dan percaya kepada Ajeng layaknya orang yang sudah lama saling mengenal.
“Apakah kalian saling mengenal?” tanya si penerjemah mengikuti Mr. Suzuki.
“Iya. Nona ini adalah istri dari Pak Wira, Walikota Carag Sewu.” Jawab Faisal cepat dan penuh percaya diri.
“Apa?!” Ajeng terbelalak mendengar teman Wira memperkenalkannya sebagai istri Wira.
Mr. Suzuki terlihat sangat senang mengetahui bahwa Ajeng adalah bagian dari tim yang akan mengelola investasinya. “Kalau begitu tidak ada masalah lagi. Saya merasa senang dan percaya kepada Nona Ajeng. Dan karena dia adalah istri walikota, maka saya akan mempercayakan investasi kami di Carang Sewu dan Siliwangi.”
Para pegawai pemerintah itu merasa sangat senang dan berterimakasih kepada Mr. Suzuki dan juga Ajeng. Dan sebagai bentuk penghormatan mereka meminta Ajeng untuk ikut hadir di pesta makan malam dan penandatanganan kontrak kerjasama nanti malam bersama Wira.
******************
“Aku ngga mau terlibat sama urusan kamu titik.” Ujar Ajeng ketika Wira mengajaknya bicara empat mata.
“Kamu yang memulai semua ini. Kalau aja kamu ngga tiba-tiba datang dan nyium aku, kesalahpahaman ini ngga bakal terjadi.”
“Kan aku sudah bilang kalau aku ngelakuin itu karena terpaksa.”
“Ngga peduli terpaksa atau karena kamu memang mesum, tapi berita tentang kita sudah menyebar dan sekarang melibatkan nasib kontrak kerjasama dengan perusahaan Mr. Suzuki. Nasib Carang Sewu dan Siliwangi ada di tangan kamu dan aku ngga bisa ngebiarin kamu lari dari tanggung jawab kamu gitu aja.”
Alih-alih mendengarkan penjelasan Wira, mata Ajeng justru terbelalak melihat, jauh di belakang Wira, para pengawalnya kembali untuk mencarinya. Wira berbalik untuk melihat arah pandangan Ajeng. Melihat para pria bersetelan hitam itu menunjuk dan berlari ke arah Ajeng dan wajah Ajeng berubah panik dan ketakutan, Wira langsung menarik tangan Ajeng dan membawanya berlari jauh meninggalkan para pria yang berusaha mengejar mereka.
“Lari!!!!!”
***********************************
Sehari sebelumnya......
Seorang wanita paruh baya tengah membantu merapikan pakaian yang dikenakan nona mudanya sambil sesekali menyeka air matanya. Ia kemudian tersenyum melihat gadis cantik berambut panjang itu begitu anggun dalam balutan setelan rok sepan dibawah lutut dan blus berlengan panjang berbahan premium tweed wool berwarna biru.
“Non Ajeng baik-baik yah disana! Jangan suka kabur-kaburan lagi!” ujar si wanita dengan suara parau.
“Tapi Ajeng ngga mau dijodohin, Bi... Ajeng masih pengen bebas. Masih banyak yang belum Ajeng lakuin selama ini.” Sahut Ajeng kembali sesenggukan.
“Bibi tahu, Non. Tapi ini adalah perintah Bapak. Bapak sedang mempersiapkan diri untuk terpilih lagi dalam pilpres tahun depan. Jadi Non Ajeng harus selalu nurut dan mendukung Bapak yah?” Bujuk si pelayan kepada nona mudanya itu.
Seorang ajudan tiba-tiba saja masuk dan menyela pembicaraan mereka. “Maaf, Non. Sudah waktunya kita berangkat.”
Dengan berat hati, Ajeng pergi meninggalkan wanita yang telah merawat dan membesarkannya lima belas tahun terakhir ini. Ajeng memasang kacamata hitamnya lalu berjalan dengan sepatu hak tingginya masuk ke dalam limosin yang membawanya menuju Bandara Internasional Brunei bersama dua orang ajudan yang mengawalnya.
Di tengah perjalanan menuju bandara, Ajeng menerima panggilan telpon dari ayahnya. “Hallo, Pa?”
“Jeng, jangan berbuat aneh-aneh yah? Papa, Mama dan calon suami kamu sudah nunggu kamu di rumah.”
“Baik, Pa.” hanya itu yang bisa Ajeng katakan, seperti biasanya.
“Bagus.... Safe flight yah!”
Sambungan telpon terputus begitu saja. Selalu seperti itu. Meskipun sudah hampir lima belas tahun tidak tinggal bersama, tapi percakapan di telpon lebih seperti alarm dan reminder daripada sarana pelepas rindu bagi Ajeng. Karena setiap kali menerima panggilan telepon dari keluarganya di Indonesia, ia hanya mendengarkan apa yang mereka ingin Ajeng dengar saja tanpa memiliki kesempatan mengatakan apapun selain ya, oke dan baiklah.
Bahkan kunjungan mereka ke Brunei lebih terlihat seperti lawatan dinas formalitas daripada kunjungan keluarga. Karena meskipun terbilang dekat dan bisa ditempuh tidak lebih dari tiga jam dengan pesawat terbang, mereka sangat jarang berkunjung. Kalaupun singgah ke sana, biasanya diagendakan tidak lebih dari dua jam dan tidak pernah terlepas dari pengawasan para ajudan yang selalu mengelilingi mereka kapan dan dimanapun.
Itulah kenapa Ajeng selalu merasa asing dengan ayah, ibu dan kedua kakak laki-lakinya. Dan tiba-tiba saja sekarang ia diminta pulang untuk dinikahkan dengan pria yang sama sekali tidak dikenalnya hanya demi kepentingan politik ayahnya. Ajeng benar-benar ingin meledak rasanya. Tapi belum sempat ia membuka mulut, ajudannya sudah mengajaknya turun dari mobil untuk melakukan check in dan boarding.
**************
Pesawat yang Ajeng tumpangi tiba di Jakarta. Dua orang ajudan yang turun bersamanya langsung disambut oleh dua orang ajudan lain yang mengenakan setelan lengkap dengan headset walkie talkie yang selalu mereka gunakan untuk alat berkomunikasi antar satu sama lain.
Ajeng merasa perjalanan hidupnya akan segera berakhir dan tidak akan memiliki kesempatan lain untuk hidup bebas lagi setelah tiba di rumah orang tuanya. Karena itu, Ajeng memberanikan diri untuk mencoba peruntungannya.
“Sori, bisa berhenti sebentar?” tanya Ajeng kepada para ajudan yang berjalan mengelilinginya. “Saya mau ke toilet sebentar.”
Mereka terlihat saling berbicara melalui walkie talkie lalu tak lama kemudian mereka sudah menyebar di beberapa titik di sekitar toilet dan satu orang mengantar Ajeng sampai depan toilet.
“Mau ikut masuk?” sindir Ajeng sambil menunjuk arah toilet wanita.
Dan ajudan yang mengawalnya itu langsung menunduk sambil memegang koper Ajeng. Tidak punya banyak pilihan, Ajeng terpaksa masuk hanya dengan membawa tas jinjingnya saja.
Setelah memastikan semuanya aman di dalam toilet, Ajeng segera membuka tas jinjingnya, mengeluarkan sepatu sneaker, rambut palsu juga setelan celana dan jumper yang sudah disiapkannya. Ajeng bergegas mengganti pakaian dan sepatunya. Kemudian menggelung rambut panjangnya dan mengenakan rambut palsu sebahu berwarna pirang, lalu mengenakan topi dan kacamata hitam seperti yang biasa ia lakukan saat mencoba kabur dari para pengawalnya.
Setelah memastikan penampilannya berubah, Ajeng mengambil uang tunai yang sudah dipersiapkannya lalu memasukkannya ke dalam tas kain lipat yang ia selipkan di dalam tas jinjingnya. Ia kemudian meninggalkan semua barangnya termasuk handphone dan kartu identitasnya di toilet agar tidak mudah dilacak. Ia berjalan santai keluar dari kamar mandi melewati para ajudan yang tidak mengenali penampilannya yang sudah berubah drastis.
Setelah berhasil keluar dari bandara, Ajeng melarikan diri dengan sebuah taksi yang membawanya menuju terminal karena hanya tempat itulah tempat teraman yang terlintas di benak Ajeng. Ia yakin terminal akan lebih mudah dijadikan jalur kabur untuk orang yang tidak mempunyai kartu identitas seperti dirinya daripada stasiun maupun bandara.
Sadar bahwa ia tidak punya banyak waktu, Ajeng berlari menuju jalur bus antar provinsi dan menaiki sembarang bus yang berangkat lebih dulu. Ia harus segera menjauh dari tempat itu sebelum para ajudannya berhasil mengejarnya.
Setelah menaiki bus semalaman, pagi itu, Ajeng akhirnya tiba di sebuah terminal kota kecil bernama Siliwangi. Dari percakapan dengan beberapa orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan, Ajeng mengetahui bahwa meskipun kecil, Kota Siliwangi memiliki banyak tempat wisata alam yang indah. Jadi Ajeng berniat untuk singgah sebentar di sana.
Usai berkeliling dan melihat-lihat, ia berhenti di sebuah rumah makan yang katanya cukup terkenal di Siliwangi. Meskipun awalnya terlihat ragu, rasa lapar membuatnya melabap habis aneka makanan yang belum pernah ia rasakan selama ini. Mulai dari aneka jajanan tradisional seperti klepon dan putu bambu, sampai makanan berat seperti nasi liwet dan ketupat sayur. Semua disantapnya dengan lahap dan penuh semangat.
Wira yang kebetulan makan di tempat yang sama dengan Ajeng, hampir muntah melihat gadis itu menghabiskan semua makanan yang tersaji di hadapannya seorang diri. Ia belum pernah melihat gadis cantik yang setamak itu sebelumnya.
Setelah membayar makanannya, Ajeng berjalan meninggalkan rumah makan itu dengan sempoyongan. Perutnya nyaris meledak karena kekenyangan. Dan tanpa sengaja, ketika melewati tempat duduk Wira, ia tiba-tiba saja memuntahkan isi perutnya dan mengenai lengan baju Wira. Sontak Wira dan rombongannya langsung berdiri karena merasa kaget dan jijik.
“Maaf....” Ajeng mengambil tisu sebanyak-banyaknya untuk mengelap baju Wira. Ia juga bingung mencari alat untuk membersihkan muntahnya yang tercecer di lantai. Ia bahkan tidak pernah melakukan pekerjaan kasar seperti itu sebelumnya.
Alih-alih mengambil sapu tangan dari dalam tasnya, Ajeng malah mengeluarkan segebok uang seratus ribuan dan memberikannya kepada Wira.
“Sekali lagi maaf.. saya ngga sengaja. Anggap aja ini ganti rugi biaya cuci baju dan mentraktir makanan yang sudah kalian pesan. Juga untuk membersihkan itu” Ajeng menunjuk lantai yang terkena muntahannya kemudian pergi begitu saja meninggalkan rumah makan itu.
“Dasar cewek gila! Awas aja kalau sampai gue ketemu lo lagi!” rutuk Wira membanting uang pemberian Ajeng ke meja sambil berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
*****************************
Setelah bertemu Wira di rumah makan pagi itu, Ajeng pergi ke Bukit Braksi yang sangat terkenal di Siliwangi. Ia ingin memanfaatkan waktunya untuk menikmati keindahan dunia luar yang belum pernah bisa ia nikmanti dengan leluasa selama ini. Tapi ketika tiba di sana ia justru bertemu lagi dengan pria yang tidak sengaja dimuntahinya di rumah makan tadi pagi. Dan parahnya lagi, ia terpaksa mencium pria itu demi meloloskan diri dari kejaran pengawalnya.
Keduanya berlari sekuat tenaga menuju tempat mobil Wira terparkir. Mereka kemudian melaju ke arah luar kota menghindari kejaran para pria itu.
“Siapa sih mereka?” tanya Wira sambil mengemudikan mobilnya dengan kencang.
“Kan udah aku bilang tadi? Mereka orang-orangnya Papa yang berusaha buat nangkap aku. Karena itu aku terpaksa nyium kamu. Supaya ngga ketangkep.”
“Iya terus kenapa kamu diburu?”
“Karena aku kabur dari rumah. Aku ngga mau dijodohin.”
“Sial!” Wira membelokkan mobilnya ke sebuah gang lalu berhenti mendadak. “Turun! Aku ngga mau ikut campur urusan keluarga kamu.”
“Jangan! Plis... Kalau turun disini, aku pasti ketangkap.”
“Turun!”
Lalu sekelibatan terlihat mobil van hitam milik para pengawal itu melintasi gang dengan kecepatan kencang. Dan tak lama kemudian mobil itu mundur kembali ke jalan tempat mobil Wira terparkir.
“Itu mereka!” pekik Ajeng yang lebih dulu melihat kedatangan mobil van hitam itu. “Aku bakal bantu kamu dapetin Mr. Suzuki atau apapun. Tapi plis, selametin aku dari mereka!”
Mendapat tawaran yang menggiurkan, Wira kembali menginjak pedal gasnya meluncur jauh membelah keramaian kota Siliwangi, menyusuri jalanan tepi sungai, masuk ke pemukiman dengan jalan berkelok-kelok dan akhirnya lolos dari kejaran para pengawal itu. Wira kemudian melintasi jalan alternatif yang membawa mereka kembali menuju hotel Siliwangi tempat Wira menginap.
*********************
“Pak Wira! Syukurlah Pak Wira sudah kembali. Kami mencari Pak Wira kemana-mana. Mereka bilang Pak Wira tiba-tiba saja menghilang tanpa pamit.” Cerocos Abdi, asisten pribadi Wira, ketika melihat atasannya itu tiba di lobi hotel.
Wira melempar kunci mobilnya kepada Abdi. “Aku butuh privasi. Jadi jangan ada yang mengganggu sampai jam makan malam tiba!”
“Baik Pak.”
Wira mengajak Ajeng bicara di kamarnya.
“Karena kita tidak punya banyak waktu, sebaiknya kita langsung bicara intinya saja.” Ujar Wira membuka penbicaraan. “Sekarang semua orang menganggap bahwa kamu adalah istri saya. Dan kesepakatan kami dengan Mr. Suzuki sangat bergantung pada keberadaan kamu. Jadi, mari kita buat kesepakatan!”
“Kesepakatan?”
Wira kembali ke tempat duduknya dan mengeluarkan selembar kertas putih dan sebuah pena. “Duduk!”
Ajeng menuruti perintah Wira dengan tunduk. Pria itu kemudian menuliskan sesuatu di atas kertas ‘Kontrak Pernikahan’.
“Apa ini?!” tanya Ajeng terbelalak.
“Kamu butuh tempat tinggal untuk bersembunyi kan? Aku bakal kasih kamu tawaran. Kita akan menikah dan menjadi suami istri. Tugas kamu adalah bekerja dari jam delapan pagi sampai jam empat sore dengan gaji setara dengan pegawai negeri golongan IVE termasuk segala fasilitas dan tunjangannya ditambah insentif pra nikah sebesar sepuluh persen dari nilai investasi Mr.Suzuki, dibayar dimuka. Pekerjaan utama kamu adalah menjadi istri dan ibu walikota yang baik dan memastikan proyek Mr. Suzuki terealisasi dengan lancar. Selama masa kontrak, saya akan menjamin keamanan dan keselamatan kamu.”
“Aku ngga butuh uang kamu.” Ajeng melemparkan tas kain lusuhnya ke hadapan Wira dan tumpukan uang seratus ribuan menyembul dari dalam tas itu. “Dan karena sudah lolos dari mereka, aku ngga butuh perlindungan kamu lagi.”
“Bukannya kamu sudah janji tadi?”
“Aku bakal penuhi janji aku untuk bantu kamu dapetin investasinya Mr. Suzuki. Tapi aku ngga bisa nikahin orang sembarangan.”
“Apa kamu bilang? Sembarangan? Bukannya aku yang seharusnya ngomong kaya gitu?” Wira melempar KTP-nya ke meja. “Status dan latar belakang aku jelas. Dan semua orang tahu kalau aku Walikota Carang Sewu. Kamu?”
“Oke. Aku Ajeng dan aku anak presiden.” Jawab Ajeng tak mau kalah.
“Hahahahaha....” Wira tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan Ajeng. “Kalau kamu anak presiden, maka aku cucunya Patih Gajahmada.”
Ajeng menghela nafas dalam-dalam. “Oke, terserah mau percaya atau ngga. Yang pasti aku ngga mau nikah sama kamu titik. Permisi.”
*******************
Abdi mendatangi kamar Wira sambil membawa gaun yang Wira pesan untuk Ajeng kenakan pada acara makan malam bersama Mr. Suzuki malam itu. tapi sudah hampir tiba waktunya, Ajeng belum juga muncul dan menunjukkan batang hidungnya.
“Di, apa kamu lihat perempuan yang datang sama saya tadi?” tanya Wira mulai cemas kalau-kalau gadis itu tidak datang dan mengacaukan semuanya.
“Ngga Pak. Tadi setelah bicara dengan Pak Wira, dia langsung pergi dari hotel dan sepertinya belum kembali lagi sampai sekarang.”
“Sial!” Gumam Wira.”Kunci motor?”
Abdi menyerahkan kunci motor yang Wira juga minta untuk siapkan tadi sore. “Bapak mau kemana?”
“Aku harus temuin perempuan itu sebelum acara penandatanganan kontrak dengan Mr.Suzuki malam ini batal. Jadi, jangan sampai ada yang tahu kalau Ajeng ngga ada di sini. Ulur waktu selama mungkin sampai kami datang!”
“Siap Pak!”
********************
Wira menyusuri jalanan kota Siliwangi tapi tak kunjung menemukan keberadaan Ajeng. Ia mendatangi tempat-tempat makan ternama, tapi gadis itu juga tidak ada di sana. Wira meneruskan pencariannya menuju losmen-losmen kecil yang ada di sekitar hotel, tapi Ajeng juga tidak ditemukan di sana.
“Kemana perginya tu cewek?” gumam Wira.
Lalu saat melintasi pasar malam, Wira melihat pencopet sedang beraksi. Ia menarik tas milik seorang wanita yang sedang melintas di pinggir jalan. Wanita itu tak mau melepaskan tasnya begitu saja. Ia berusaha melawan, tapi pencopet itu menendang tubuhnya dengan keras lalu memacu motornya dengan kencang. Wanita itu jatuh tersungkur di jalan.
“Ajeng?!” Wira turun dari motornya hendak menolong Ajeng. Tapi belum juga Wira sampai, sebuah mobil dari arah belakang Wira sudah lebih dulu melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Ajeng. Meskipun tahu ada orang tergeletak di jalanan, mobil itu tidak berusaha mengerem tapi malah mengencangkan lajunya. Menyadari ada yang tidak beres, Wira berlari sekencang-kencangnya lalu meraih tubuh Ajeng dan menariknya ke tepi.
“Kamu ngga papa?” tanya Wira ketika mobil itu menghilang dari pandangannya.
“Siapa mereka? Kenapa berusaha menabrak kamu?”
“Menabrak? Ngga mungkin. Ini hanya kecelakaan biasa." Elak Ajeng. “Orang-orangnya Papa ngga bakal berani nyelakain aku.”
Wira benar-benar yakin kalau mobil itu sengaja menambah kecepatannya dan mengarah ke tempat Ajeng terjatuh. Tapi ia tidak bisa berkata banyak karena mungkin yang dikatakan Ajeng memang benar.
Ajeng berusaha berdiri tapi kembali terjatuh karena kakinya terkilir. “Au!....”
Wira memeriksa kaki Ajeng. “Kaki kamu terkilir. Tapi kita harus kembali ke hotel sekarang. Mr. Suzuki sudah menunggu kita.”
Wira membopong tubuh Ajeng menuju motor lalu membawanya kembali ke hotel.
*****************
Ajeng menghadiri jamuan makan malam dengan mengenakan gaun cantik yang sudah Wira siapkan untuknya. Ia terpaksa menggunakan kursi roda karena kakinya masih terlalu sakit untuk dibuat berjalan. Berkat bantuan Ajeng, acara penandatanganan perjanjian kerjasama malam itu berjalan lancar dan nama Ajeng juga Wira menjadi topik pembahasan paling hangat malam itu.
Dalam sekejap saja, hampir semua pejabat dan tamu yang hadir sudah tahu bahwa Ajeng adalah istri dari Walikota Carang Sewu, Prawira Hadinata.
“Kamu lihat sendiri kan? Semua orang di sini percaya kalau kita pasangan suami istri. Kalau kebohongan ini tersebar, maka kondisi Carang Sewu akan menjadi kacau dan proyek dengan Mr.Suzuki mungkin dibatalkan. Dan semua ini karena ulah gila kamu. Itulah alasan kenapa kita harus menikah.” Jelas Wira setelah acara berakhir.
“Tapi aku ngga punya kepentingan untuk menyetujui pernikahan kontrak itu dan sekali lagi aku tegesin kalau aku ngga mau nikah sama kamu.” tolak Ajeng lantang
“Apa kamu yakin? Di luar sana ada orang yang berusaha mengejar kamu dan sekarang kamu sudah ngga punya uang sepeserpun. Aku jadi penasaran gimana caranya kamu bertahan.” Ujar Wira sambil berdiri bersendekap di hadapan Ajeng.
“Kita lihat saja.” Tantang Ajeng sambil pergi meninggalkan hotel dengan kursi rodanya.
Ketika keluar dari hotel dan berjalan menyusuri jalan raya yang mulai sepi, sebuah mobil sedan mendatanginya dari arah belakang. Seorang pria berkacamata dan berpakaian serba hitam turun dari mobil dan menghampirinya. Dan karena tidak bisa berlari jauh dengan kondisi kakinya, Ajeng terpaksa menyerah.
“Oke. Aku akan ikut kalian pulang.” Jawab Ajeng sambil berdiri dan berjalan perlahan dengan kaki telanjangnya menuju mobil. Tapi tiba-tiba saja dari bayangan yang terpantul di depannya, pria itu berusaha mengayunkan sebuah benda ke arahnya. Ajeng menoleh dan melihat pria itu hendak memukulnya dengan balok kayu berukuran besar.
Ajeng berjalan mundur ketakutan. “Siapa kamu? Kenapa berani nyelakain aku? Kamu bukan suruhan Papa kan?”
Tanpa menjawab, pria itu mengayunkan balok kayunya.
Buk!
***********************************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!