Rochester, New York, Amerika.
Buk!
"Aargh!"
"Sandra!"
Alisandra tak menghiraukan teriakan sahabatnya yang ketakutan. Ia mengayunkan kakinya menendang seorang pria yang hendak mendekat, lalu memutarnya lagi ke arah berlawanan ketika matanya menangkap pergerakan dari arah lain.
Ankle boots yang dipakai Alisandra berhasil menghantam hidung si pria hingga berdarah, pun pria tersebut langsung jatuh dan berteriak lantaran tulang hidungnya kemungkinan patah.
Bruk!
"Aarrghh!!"
Alisandra tak segan untuk memukul, menendang, bahkan mengapit leher lawannya hingga mereka memekik kesulitan bernafas. Setelahnya, ia akan melempar tubuh-tubuh itu dengan mudah, seolah mereka seringan kapas.
"Sandra awaaass!!"
Alisandra menoleh ke belakang, dengan sigap ia menangkap sebuah tangan yang hendak menyerangnya menggunakan pisau, lalu memutar tangan itu hingga si empunya meringis dan berakhir menjerit kesakitan.
Pisau itu jatuh berikut si empunya, dan Alisandra menepuk-nepuk telapak tangannya dengan pandangan remeh. Ia mendengus keras menatap lima pria yang kini tergeletak tak berdaya karena serangannya.
"Hanya segitu kemampuan kalian?" Alisandra mengangkat dagu sombong.
"Sandra ..." Suara mencicit terdengar dari belakang.
Alisandra pun berbalik, melirik seorang gadis yang sejak tadi mengkerut ngeri dengan perasaan was-was melihat pertempuran kalah jumlah yang dilakukan Alisandra seorang diri.
Siapa pun tak akan percaya, bahwa gadis berseragam high school itu baru saja menumbangkan sejumlah lelaki hingga hampir tak bernyawa.
"S-Sandra ... you oke?" Bianca memajukan kakinya berniat mendekat, namun ia menariknya lagi karena takut saat melihat pria-pria yang pingsan dengan tubuh berdarah itu. "Astaga, ini menakutkan." Ia berbisik lirih.
"I'm okey," sahut Alisandra santai. Ia menegakkan tubuh, merapikan seragamnya yang kusut dan berantakan, berikut rambutnya yang tergerai.
Bianca bersyukur sahabatnya tak terluka. Meski ia tahu kemampuan beladiri Alisandra cukup baik, tapi ia tetap khawatir karena gadis itu melawan dengan tangan kosong.
Mereka baru saja pulang sekolah, dan mendadak mendapat serangan dari orang-orang tak dikenal.
Sepertinya orang-orang itu menargetkan Bianca. Bukan hal aneh mengingat gadis itu merupakan putri dari salah satu menteri di Amerika.
"Syukurlah," ucap Bianca. Namun belum ada lima detik, mata Bianca melotot melihat sesuatu di belakang Alisandra.
"Sandraaaa!!!"
Sandra yang sempat lengah, dibuat sedikit bingung oleh teriakan Bianca yang tiba-tiba. Ia pun berbalik cepat dan mendapati seorang pria menyerangnya kembali dengan pisau lipat yang tadi tergeletak.
Rupanya salah satu dari mereka belum sepenuhnya pingsan. Alisandra yang belum siap dengan serangan itu hanya bisa mematung. Tubuhnya mendadak diam tak bisa bergerak karena terkejut, hingga di mana mata pisau hampir mengenai keningnya, sebuah tangan kekar bergerak cepat menahan tangan si penyerang.
Pisau itu berhenti tepat satu inci dari kening Alisandra.
Suasana hening mengiringi setiap mata yang menoleh pada sosok yang melindungi gadis tersebut, dan Alisandra tak bisa menahan pekikan lirihnya memanggil pria itu.
"Haly ..."
Harley menoleh datar. Ia dengan cepat membalik arah pisau hingga menancap di leher pria yang hendak menyerang Alisandra.
Suara henyak terdengar dari Alisandra maupun Bianca. Pria itu jatuh di atas aspal dengan darah memancar dari lehernya. Matanya membelalak menyeramkan dan tentu nyawanya langsung melayang.
Harley melakukan itu seolah hal tersebut bukanlah apa-apa. Pria itu kembali menoleh pada Alisandra, menatap sang nona muda dengan sorot mata tak beriak.
"Lain kali jangan lakukan itu. Diam di tengah serangan sama saja dengan bunuh diri," ucapnya datar.
Sandra meringis, tak tahu harus bilang apa kecuali berterimakasih. "Terima kasih, Uncle."
"Jika saya tidak datang tepat waktu, mungkin anda hanya tinggal nama," lanjutnya terdengar kejam.
Harley lalu melirik Bianca yang turut meringis di belakang Alisandra.
"Kalian selalu nakal dan lari dari pengawasan."
Bianca dan Alisandra sontak saling pandang. Keduanya sama-sama bungkam karena apa yang dikatakan Harley memang benar. Mereka pulang diam-diam tanpa pengawal.
Bianca meminta maaf, sementara Alisandra hanya berdecak. Tak lama kemudian dua mobil hitam melaju mendekati mereka. Pria-pria berpakaian formal keluar, lalu membungkuk dengan segan. Raut mereka terlihat lega ketika melihat Bianca.
"Nona, anda—"
"Aku baik-baik saja," sahut Bianca memotong. Ia lalu melirik Sandra di sampingnya. "Aku pulang."
"Hem." Sandra mengangguk sebagai jawaban.
Setelahnya Bianca pun pergi bersama para pengawalnya yang menjemput. Kini tinggal Alisandra dan Harley, juga sejumlah anak buah pria itu yang sibuk membereskan para korban kekerasan sang nona muda Wiranata.
Harley tak bicara apa-apa. Lelaki itu menghampiri mobil sport putih yang sebelumnya dikendarai Alisandra, lalu membuka pintu penumpang untuk sang nona.
Alisandra sedikit mencebik ketika membuang nafas, ia lalu berjalan pasrah, memasuki mobil dan duduk diam ketika Harley menutup pintu.
Lelaki itu menyusul duduk di kursi kemudi. Alisandra menoleh memperhatikan Harley yang mulai melajukan kendaraan meninggalkan jalanan sepi penuh pepohonan tersebut.
Harley menyentuh earpiece yang terselip di salah satu telinga, kemudian bicara memberikan perintah. "Bereskan semuanya. Mereka musuh yang dikirim untuk menyakiti putri menteri. Kalian cukup laporkan pada pihak keluarga Reese. Selebihnya jangan ikut campur."
Sambungan pun terputus. Harley menatap lurus jalanan di depan, tanpa sekalipun menghiraukan Sandra yang sedari tadi menatapnya.
Sandra sendiri tak berani mengganggu ketenangan lelaki itu. Ia memilin jarinya yang saling bertaut di pangkuan. Tapi sikap diamnya itu tak bertahan lama, karena beberapa menit kemudian Sandra menyuarakan sebuah tanya.
"Apa Daddy masih di UEA?"
Seminggu lalu Gibran memang dikabarkan melakukan perjalanan bisnis ke Uni Emirat Arab. Tentu saja bersama sang istri, tak lain mommy Alisandra.
"Hem. Beliau di Abu Dhabi, dan akan mampir kemari sebelum ke Indonesia," jawab Harley.
"Oh, sial," gumam Alisandra tanpa sadar.
Harley menoleh melirik gadis itu. "Berhenti bertingkah kalau anda tidak mau kehilangan kebebasan di sini," ucapnya datar. "Kita sama-sama tidak lupa dengan kejadian bulan lalu, saat anda terlibat pesta obat-obatan," lanjutnya mengingatkan, supaya Alisandra bisa belajar dari kemarahan Gibran Wiranata waktu itu.
Sandra mencibir. "Berhentilah bicara formal, dasar kaku!"
Dan Harley tidak peduli dengan cibiran itu. Ia hanya melirik sekilas dengan sorot tak berarti seperti biasa.
Cih, lihatlah wajah tua yang sialnya tampan itu. Alisandra benar-benar ingin menarik kulitnya yang mulai menampakkan kerutan halus.
Meski begitu, Sandra akui bahwa Harley adalah pria paling berkarisma setelah daddy-nya.
"Haly, apa kau tengah berkencan dengan seseorang?" tanya Alisandra tiba-tiba. Gadis itu menyandarkan kepalanya di jok mobil sambil memejamkan mata. Tangannya bersidekap santai terlihat nyaman.
Harley menoleh sesaat dengan kening berkerut samar. "I'm sorry. What do you mean?"
Sesaat tak ada suara dari Alisandra, tapi Harley yakin gadis itu tidak tidur. Hingga sedetik kemudian Sandra pun membuka mulut.
"Nothink. Aku hanya bertanya."
Rochester's Mansion
Harley menghentikan mobilnya sebelum mereka tiba di mansion. Alisandra yang semula terpejam pun membuka mata dan menoleh heran pada lelaki itu.
"Ada apa?"
Harley tak menjawab. Ia membuka laci dashboard, lalu mengambil sebuah kotak P3K yang memang selalu tersedia di sana. Semua tak lepas dari kesiagaan Harley yang kerap memperhatikan kelengkapan apa pun yang diperlukan sang nona, termasuk dalam mobilnya sekalipun.
Lelaki itu tak bicara. Ia mengambil sebuah salep dan menekannya sedikit pada jarinya.
"Apa yang mau kau lakukan?" tanya Alisandra bingung, saat Harley mengulurkan jari telunjuk yang terdapat salep itu ke arahnya.
Lagi-lagi tanpa bersuara, Harley mengangkat sedikit dagu Alisandra hingga gadis itu mendongak. Harley mengoleskan salep tersebut di sana, membuat Alisandra sedikit meringis merasakan sensasi dingin dan juga perih.
Kenapa Sandra baru sadar ia terluka?
"Aku harus melatihmu lagi, kalau kau masih terluka saat bertarung," ucap Harley.
Namun begitu Sandra tersenyum, karena akhirnya Harley mau melepas bahasa formalnya. Ia menatap Harley setelah lelaki itu selesai mengoleskan obat.
"Bukankah ini hal biasa?"
"Hal biasa yang akan bahaya jika dibiarkan. Harusnya kau sadar, bela dirimu belum matang, tapi dengan percaya diri selalu kabur dari pengawasan. Kau pikir dunia luar tidak bahaya? Apa kau lupa apa yang terjadi pada kakek buyutmu beberapa tahun silam?" cerocos lelaki itu.
Alisandra meringis. Jika Harley sudah bicara panjang seperti ini, itu pertanda bahwa ia serius. Salah, Harley memang selalu serius dalam segala hal.
Sandra menunduk melihat jari-jemarinya yang bertaut. "Maaf. Aku hanya ingin mengajak Bianca mampir ke toko roti. Mereka baru saja buka dua hari lalu. Dan ... kadang kami juga bosan karena terus diikuti," akunya jujur.
Harley membuang nafas. "Terima saja bahwa hidupmu tak seperti orang biasa, karena ayahmu bukan orang biasa. Dia Gibran Wiranata, musuhnya bertebaran di luar sana. Kau pasti paham kenapa aku melatihmu dan Allison sedari kecil."
Alisandra mengangguk. Pun Harley berhenti mengomeli gadis itu. Harley memang seorang pengawal, tapi ia juga merangkap jadi pengasuh anak-anak Gibran. Setidaknya itu yang Harley rasakan, karena sampai mereka sekolah di luar negeri pun, Harley yang harus ikut.
"Lain kali, kalau kau risih diikuti, cukup hubungi aku. Aku yang akan menemanimu ke mana pun kamu ingin pergi."
Sandra menoleh. "Apa kau bicara seperti ini juga pada Allison, Hally?"
"Adikmu ada Dante yang mengurus," cetus Harley memberi tahu, sambil kembali melajukan mobil.
"Ah, Dante, ya. Dia pasti kesulitan mengurus adikku. Allison lebih nakal dariku."
Apa yang dikatakan Alisandra tidak salah. Allison adalah tipe berandal sekolah yang sering membuat masalah. Harley bahkan baru saja mendapat pesan dari Dante, bahwa anak itu mematahkan tangan salah satu temannya, lagi.
Entah sampai kapan Harley harus berkutat dengan kenakalan anak-anak remaja. Tidak bisakah mereka menjadi anak baik dan penurut?
Dibanding Gibran sebagai ayahnya, di sini justru Harley yang lebih sering dibuat pusing.
Mereka tiba di mansion. Harley turun terlebih dulu sebelum ia membukakan pintu untuk Alisandra. Gadis itu keluar dengan santainya sambil memberikan tas sekolahnya pada Harley.
Harley tak keberatan karena itu sudah biasa ia lakukan, bahkan sejak masa Alisandra di Taman Kanak-kanak.
Keduanya berjalan memasuki lobi, dan pemandangan pertama yang dilihat adalah Allison yang sedang menjerit memohon ampun pada seorang wanita.
"Mommy?"
Benar, yang barusan mereka lihat adalah Maria. Wanita itu tengah memukuli pan-tat Allison meski tidak begitu keras.
"Dasar anak pintar! Sampai kapan kamu akan melakukan kekerasan pada teman-temanmu?" Maria kembali memukul pan-tat Allison. "Kamu mematahkan lengan temanmu lagi. Astaga, mana janji yang kamu buat pada Mommy kemarin lalu?"
"Mommy ... dia yang duluan mulai. Aku melakukannya untuk melindungi diri. Siapa yang tahu tulangnya serapuh itu? Tulang Opa Rayan bahkan lebih kuat dari anak manja itu," dengus Allison merengut, mengusap pantatnya yang kini mulai kebas.
"Alasanmu melindungi diri. Bukan tulangnya yang rapuh, tapi kamu yang terlalu kuat memukulnya."
"Mommy tidak percaya padaku? Kalau begitu tanya saja pada Daddy nanti. Tunggu dia pulang, pasti Daddy lihat CCTV di sekolah." Allison mengerucutkan bibir.
Sementara di ambang pintu, Alisandra menoleh pada Harley di sampingnya. "Katamu, mereka masih di Abu Dhabi, Uncle?"
Harley dengan tenang dan santai pun menjawab. "Oh, ternyata mereka pulang lebih cepat dari dugaan."
"Apa kau tidak mendapat informasi itu sebelumnya?" tanya Alisandra aneh.
Harley menoleh datar. "Aku terlalu sibuk mengurusmu yang tidak kalah nakal," ujarnya seolah menyindir.
Sandra hanya mencibir tanpa membalas. Ia menoleh lagi pada mommy-nya dan Allison. Mereka nampaknya belum menyadari kehadiran Sandra dan juga Harley.
"Mommy?" Alisandra mendekat pada wanita cantik berparas oriental itu.
Allison yang mendengar suara Alisandra, sontak berbalik dan berlari cepat untuk bersembunyi di belakang tubuh sang kakak. "Mommy, kau jangan hanya memukulku. Kakak juga nakal. Dia bertarung dengan orang hingga hampir mati."
"Tutup mulutmu, bocah," desis Alisandra mendelik.
Allison mencebik dan menjauhkan tubuhnya dari Alisandra. Ia berakhir berdiri di samping Harley, si manusia datar yang selalu banyak aturan.
"Hey, Uncle, katakanlah sesuatu untuk membantuku," bisik Allison merayu.
Namun Harley hanya melengos memperhatikan Sandra yang kini berhadapan dengan ibunya.
"Cih, dasar pilih kasih. Sudah kuduga kau lebih menyayangi kakakku."
"Apa yang dilakukan ibumu adalah hal yang wajar dan benar, Boy," ucap Harley datar.
Maria menenangkan nafasnya yang sedikit terengah usai memarahi sang putra. Kini ia menatap putrinya yang tak kalah memusingkan karena sering membuat khawatir.
"Oh Tuhan, bagaimana bisa anak-anakku jadi hobi berkelahi? Tidak ada satupun hari yang membuatku tenang karena hal ini." Maria menatap Alisandra dari atas ke bawah, dan berhenti pada rompi seragam gadis itu yang baik-baik saja.
Tapi Maria bisa melihat sebuah titik kecil samar di sana. Hidup dengan Gibran Wiranata membuat Maria bisa langsung membedakan mana noda kotor biasa, dan mana noda yang disebabkan oleh darah. Meski dalam kain tergelap sekalipun, Maria bisa mengenalinya.
Berdecak kecil, wanita itu menatap Alisandra yang berdiri dengan santainya sambil tersenyum.
"Mommy kenapa sudah di sini? Bukankah Daddy masih ada pekerjaan di UEA?" Suara Alisandra-nya yang imut dan manis tak lantas bisa menipu Maria. Ia tahu gadis itu sama sekali tak mengharapkan kehadirannya dan sang suami yang tiba-tiba.
"Kalian tidak senang Mommy di sini?" tuding Maria, membuat Alisandra maupun Allison diam.
Alisandra mencebik. "Aku hanya terkejut, bukan berarti tidak senang dengan kedatanganmu." Ia lalu menarik Maria ke arah sofa dan duduk di sana.
"Mommy, kau bawa dress yang kuminta, kan?" Alisandra bertanya sambil bergelayut manja di lengan sang ibu. Matanya berkedip membuat ekspresi semanis mungkin.
"Hey, kamu bersikap seperti anak anjing yang lucu karena ingin menghindar dari pertanyaan Mommy?" dengus Maria. Ia sama sekali tidak luluh dengan trik putrinya yang terlalu kentara. Tangannya menarik rompi seragam Alisandra dan melihat kembali noda sekecil jarum di sana. "Ini apa? Kamu berkelahi dengan preman mana lagi?"
Alisandra mengerucutkan bibir, menjauhkan tubuhnya dari Maria. Rautnya berubah malas membiarkan Maria meneliti seluruh pakaiannya. "Mommy, aku tidak seperti Allison."
"Tidak sepertiku, apa maksudmu?!" Allison menyela kesal. Dan Sandra hanya mencibir pada adiknya, membuat remaja yang hampir berusia 14 tahun itu semakin merah padam di tempat.
Sementara Harley membuang nafas sabar berada di tengah-tengah mereka.
"Kalian sama-sama nakal, jangan saling menyalahkan," ucap Maria. "Jangan mentang-mentang Harley memberi kalian ilmu bela diri, kalian jadi seenaknya seperti ini. Kalian lupa apa yang pernah Mommy bilang? Bertemanlah sebanyak mungkin, tapi jangan menambah musuh."
Dua anak remaja itu bungkam. Mereka tahu sang mommy tengah khawatir. Meski terkadang galak dan suka berteriak, tapi wanita itu tak pernah memaki mereka dengan kata-kata buruk.
Makian yang keluar dari mulut Maria justru adalah kata-kata yang baik, seperti halnya anak pintar, anak tampan, anak cantik, anak baik, dan segala macam kata yang lebih mirip pujian alih-alih umpatan.
Karena menurut wanita itu, ucapan adalah do'a. Jadi sebisa mungkin ia tidak akan mengeluarkan kata buruk pada keluarganya.
"Kalian membuat Mommy cemas. Berada tinggal jauh dan beda negara, kalian pikir ini tidak berat bagi orang tua?"
Alisandra dan Allison masih terdiam. Hingga Harley yang merasa bertanggung jawab atas mereka pun angkat bicara.
"Nyonya, anda tidak perlu khawatir. Saya selalu memastikan Nona dan Tuan Muda dalam keadaan baik-baik saja. Asal mereka tidak terluka, bukankah kenakalan seperti ini biasa terjadi pada anak-anak?"
Allison bersorak dalam hati. Diam-diam ia memuji Harley, satu-satunya orang yang berani bicara pada mommy serta daddy-nya. Sudah ia duga pria itu tidak akan diam saja melihat mereka terkena omelan. Harley selalu menjadi tameng terdepan untuk membela dan melindunginya dan juga Alisandra.
Alisandra pun turut melirik pengawalnya itu, menatapnya seksama hingga mereka sempat beradu pandang sebentar, sebelum Harley memusatkan kembali perhatiannya pada Maria.
Maria terperangah menatap Harley, si pria triplek jelmaan lain dari suaminya. "Hah, jadi menurutmu ini hal biasa? Yak! Kau belum punya anak, jadi tidak tahu rasanya!"
"Menurutku ini juga hal biasa, Sugarplum."
Sebuah suara menyeruak di ruangan itu. Gibran Wiranata baru saja muncul dari arah pintu, dan sedang berjalan mendekati mereka.
Maria semakin dibuat menganga atas pembelaan suaminya.
"Ini bukan membela, Sayang. Ini memang biasa. Asal bukan mereka yang terluka, membela diri seperti apa pun bisa dibenarkan," lanjutnya, mengetahui apa yang Maria pikirkan.
"Kalian benar-benar ..." bisik Maria samar. "Sudahlah. Semuanya sama saja," rengutnya bersidekap.
Alisandra menghentikan langkahnya saat bertemu Harley di koridor. Pria itu baru saja keluar dari sebuah ruangan yang Alisandra tahu merupakan ruang kerja sang ayah.
Meski terbilang sangat jarang singgah, Gibran Wiranata tetap harus memiliki ruangan sendiri di mana pun. Tak hanya di mansion ini, semua kediamannya yang tersebar di sejumlah tempat dan negara memiliki ruang kerja khusus untuknya.
Harley tak menyadari keberadaan Alisandra. Lelaki itu berjalan menjauh meninggalkan lorong. Alisandra yang penasaran ke mana pria itu hendak pergi pun lantas mengikuti.
Pria itu berbelok membuka pintu yang terhubung ke teras samping mansion, dan berhenti di salah satu pilar.
Alisandra memperhatikan dari kejauhan. Ia tidak langsung menghampiri Harley, karena rupanya lelaki itu tengah berbicara dengan seseorang melalui ponsel.
Entah siapa. Alisandra diam mendengarkan sambil bersandar di ambang pintu, memperhatikan Harley yang masih belum menyadari kehadirannya di sana.
"Aku tidak bisa. Kita pergi lain kali saja," ucap Harley pada seseorang di balik benda pipih itu, menggunakan bahasa Inggris.
Kening Alisandra mulai berkerut penasaran. Siapa yang Harley hubungi di malam seperti ini? Sandra rasa itu bukan masalah pekerjaan.
Tak lama lelaki itu selesai menelpon. Sandra pun menegakkan tubuh, dan tepat ketika itu Harley berbalik menghadap dirinya. Mereka sama-sama terdiam untuk sesaat, sampai akhirnya Harley pun bertanya. "Apa yang kau lakukan di luar? Ini sudah malam."
Alisandra balas menatap pria itu menantang. "Kau juga. Apa yang kau lakukan di luar diam-diam seperti ini, Hally? Siapa yang kau telpon?"
Sejenak Harley terdiam. Ia pun membuang nafas sebelum kemudian menjawab. "Jika kau lupa aku seorang pasukan pengaman, aku bekerja menjaga kalian. Keluar siang atau pun malam adalah sesuatu yang biasa. Justru aku yang seharusnya bertanya, apa yang kau lakukan di sini, Nona?"
Sandra mendengus lalu bergumam sambil membuang muka. "Aku tidak melihatmu bekerja dengan ponsel itu."
"Masuklah," titah Harley.
Alisandra masih bersidekap, tanpa sekalipun bergerak menuruti perintah Harley.
"Ini rumahku. Terserah aku mau diam di mana saja," cetusnya enggan.
"Apa kau tidak takut kesiangan? Bukankah besok ulangan?"
"Ulangan atau tidak, itu urusanku," jawab Alisandra. Sekali lagi ia bertanya. "Kau mau pergi?"
Harley mengernyit. Dari rautnya ia tahu bahwa Alisandra mendengar percakapannya barusan. "Tidak. Masuklah. Udara di luar sangat dingin. Kau bisa masuk angin dengan baju tidur seperti itu."
Harley sedikit mengamati pakaian Alisandra yang terbilang pendek. Sebuah gaun tidur berwarna pink pastel membuat kulit remaja itu terlihat cerah. Ia menatap sang nona muda dengan tatapan datar.
"Kenapa kau tidak memelukku saja agar aku tidak kedinginan?" tantang Alisandra.
"Nona." Harley tidak mampu berkata-kata. Menghadapi emosi labil seorang remaja ternyata lebih sulit dari menonaktifkan sebuah bom.
"Hally, mengaku saja, kau sedang berkencan, kan?"
Nampaknya Alisandra tak ingin menyerah dengan rasa penasarannya. Harley membuang nafas sesaat. Wajahnya yang tenang menatap Alisandra.
"Tidak."
"Bohong."
Melipat bibir, Harley berusaha sabar dan berpikir. Ia berkacak pinggang saat menunduk menatap sepatunya.
"Kau tahu aku tidak suka kau berkencan," cetus Alisandra jujur.
Pria itu mendongak menatap sang nona. Lama mereka saling beradu pandang seolah menyampaikan makna masing-masing, hingga tiba-tiba Alisandra mendekat mencubit sedikit kemeja bagian depan yang dipakai Harley. Gadis itu menengadah melihat Harley yang lebih tinggi darinya.
"Katakan, kali ini kau berkencan dengan siapa?"
"Nona."
"Aku sudah mencurigaimu sejak beberapa hari lalu," ucap Alisandra lagi.
Harley masih saja bungkam. Alisandra mulai kesal dan melepas gamitannya dari kemeja Harley. Dengan wajah datar, Alisandra pun mundur hendak meninggalkan lelaki itu.
Namun baru beberapa langkah berjalan, sesuatu terjadi mengejutkan.
Ctak! Prang!!
"Nona!"
"Aaaa!!!" Sandra berteriak saat sebuah benda meluncur dari kejauhan dan hampir mengenai wajahnya, jika saja Harley tak segera menarik gadis itu.
Alisandra menutup telinga serta matanya karena terkejut. Suara pecahan kaca jendela terdengar nyaring, dan sudah pasti akan membangunkan orang rumah.
Harley menegakkan kembali tubuh Alisandra yang sempat bersandar padanya. Ia menggeser gadis itu untuk berdiri di balik pilar. Sementara dirinya memeriksa, sambil menatap sekeliling dengan awas.
Sebuah pisau berbentuk bintang tergeletak di antara pecahan kaca. Semua jendela di mansion ini dilapisi anti peluru, jelas pisau itu bukan pisau biasa.
"Nona, masuklah sekarang. Aku akan mencari orang itu." Harley berbalik menatap Alisandra.
Sepertinya Alisandra masih sedikit syok. Bisa dilihat dari rautnya yang tegang, juga nafasnya yang sedikit tak beraturan.
"Aku ikut," ucap Alisandra keras kepala. Lama-lama Harley dibuat kesal oleh gadis itu.
Ia menyeret paksa Alisandra ke dalam rumah, lalu berniat menutup pintunya ketika Alisandra melawan dan balas menarik pintu tersebut.
"Nona!" desis Harley tajam.
"Aku ikut!" seru Alisandra kekeh.
"Alisandra Wiranata, kau pikir apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku akan ikut denganmu!"
"Apa yang—" Belum sempat Harley selesai bicara, sebuah peluru meluncur ke arah mereka.
Dor!
Harley segera merangkul Alisandra hingga mereka jatuh berguling ke dalam rumah. Tembakan susulan pun datang berkali-kali, sampai-sampai Harley kesulitan bangun untuk membawa Alisandra.
Mereka bersembunyi di balik dinding di bawah jendela. Jendela itu masih aman karena seseorang di luar sana menembaknya dengan peluru. Harley masih penasaran dengan pisau bintang yang berhasil memecahkan salah satu jendela tadi. Entah senjata macam apa, tapi Harley khawatir benda itu datang lagi memecah kaca lain.
Hening. Tembakan itu berhenti setelah beberapa saat. Harley menatap Alisandra di pelukannya, lalu menengadah ke atas dengan pandangan awas.
Praaanngg!!!
Benar saja, benda itu datang lagi menghancurkan kaca jendela di atas mereka. Harley membawa Alisandra menunduk, dan dengan cepat menarik gadis itu berlari dari sana.
Suara gaduh tembakan memantul mengenai jendela yang tidak bisa pecah oleh peluru. Harley terus berlari bersama Alisandra di sepanjang lorong, hingga mereka bertemu Gibran dan Dante yang membawa shotgun di ujung koridor.
Dua lelaki itu berjalan tergesa. Gibran bahkan masih mengenakan baju tidurnya. Lelaki itu sempat melihat Harley dan Alisandra secara bergantian, namun itu tidak lama karena suasana tengah genting.
"Bawa dia masuk," titah Gibran pada Harley. Sementara dirinya menoleh pada Dante yang memegang tablet. "Di mana titiknya?"
"30 meter dari sini, Tuan."
"Oke." Gibran menoleh pada Harley dan Alisandra yang masih terdiam. "Apa yang kalian tunggu? Kau, cepat bawa putriku masuk!"
Tanpa menunggu lama Harley menarik lengan Alisandra untuk pergi dari sana. Ia mengantar gadis itu kembali ke kamarnya, sementara dirinya akan mengambil senjata dan kembali pada Gibran.
"Kunci pintunya. Hindari jendela dan bersembunyilah," ujar Harley, ketika ia mendorong Alisandra memasuki kamar.
"Hally, Mommy dan Allison ..."
"Jangan khawatir, Tuan pasti sudah mengamankan mereka."
Tidak tahu dari pihak mana yang menyerang, tapi kali ini mereka cukup berani karena datang langsung ke mansion.
Harley berlari setelah memastikan Alisandra menutup pintu kamarnya dengan rapat. Ia mengambil shotgun di ruang senjata sebelum menyusul Gibran dan Dante, juga sejumlah bodyguard lain yang sudah bergabung di sana.
Beberapa pengawal tetap bersiaga di sekeliling rumah, mengawasi situasi dan mengamankan para pelayan yang sempat berhamburan keluar.
Alisandra, ia berdiri cemas di dalam kamar. Sesekali gadis itu menggigiti kukunya khawatir. Kali ini ia menuruti Harley untuk bersembunyi dan menghindari jendela. Meski sebenarnya Alisandra sangat penasaran dengan apa yang terjadi di luar.
"Semoga Hally baik-baik saja," gumamnya kecil. "Daddy dan Dante juga."
...🍁🍁🍁...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!