NovelToon NovelToon

Dibuang Suami Dinikahi Dokter Anakku

Awal mula

"Mas, sungguh aku tidak kuat harus menggendong Revan seharian. Bahkan untuk makan saja aku tidak bisa," ucap Azzura meminta pengertian sang suami.

"Jika kamu tidak sanggup lagi untuk membawa anak itu berobat, maka hentikan saja pengobatannya!" bentak Rio dengan suara lantang.

"Lagipula percuma saja memberinya pengobatan, sampai kapanpun anak itu tidak akan mungkin sembuh menjadi anak normal!"

Ucapan lelaki itu membuat hati Zurra sakit. Buliran bening menetes dari kedua kelopak matanya.

"Mas, kenapa kamu bicara seperti itu, walau bagaimanapun dia adalah darah dagingmu. Dia juga tidak pernah menginginkan terlahir menjadi anak istimewa," ujar Zurra dengan tangisan.

"Bukan anak istimewa, tapi anak cacat! Dan itu semua kamulah penyebabnya. Karena di keluargaku tidak ada yang mengalami seperti itu. Gen kamu itu yang buruk!" bentaknya dengan makian dan hinaan.

"Cukup, Mas! Jika kamu tidak bisa mengantarkan aku, tolong bayar seseorang untuk menemani aku. Aku hanya butuh teman, kamu tahu sendiri bahwa Revan tidak bisa duduk."

"Tidak! Aku tidak mau. Jika kamu butuh teman, maka gunakan uang bulanan yang aku berikan," ucap Rio lantang.

"Mas, mana cukup uang segitu. Ini hanya sisa buat ongkosku saja. Lagian kenapa kamu tega sekali? Sebenarnya kamu bisa mengantarkan aku dan Revan menggunakan mobil kita sendiri, jadi aku tidak perlu menggunakan jasa travel lagi," keluh Zurra masih memohon kemurahan hati sang suami.

Mempunyai anak berkelainan khusus tidaklah hal yang mudah. Wanita cantik itu harus bolak-balik ke luar kota untuk kontrol putranya di salah satu RS swasta, karena di kota tempatnya tinggal tidak ada Dokter anak neurologi. Maka bayinya harus di rujuk ke RS yang ada diluar kota. Namun, kehadiran bayi istimewa itu tak diinginkan oleh sang suami, maka ia harus berjuang sendiri.

Merasa tak mendapatkan keadilan dari sang suami, maka wanita itu mengakhiri perdebatan yang tak bertemu ujung. Ia terpaksa harus membawa Revan sendirian seperti biasanya. Meskipun ia harus menahan lapar seharian karena tidak bisa makan ataupun untuk buang air kecil saja ia harus menidurkan bayi itu di lantai kamar mandi.

Sebenarnya Rio bukanlah orang yang tidak mampu. Namun, ketidak sukaannya pada bayi itu membuatnya tak ingin mencukupi kebutuhannya. Zurra sudah berulang kali meminta untuk dibelikan troler bayi, tetapi lelaki itu seperti menutup telinga atas apa yang dikeluhkan oleh sang istri.

***

Disebuah rumah sakit terlihat seorang wanita sedang menggendong bayi yang berusia satu tahun. Wanita itu tampak begitu lelah saat menimang bayinya yang selalu menangis.

"Ssshh Ssshh... Sabar ya, Sayang, sebentar lagi giliran kita," ucapnya pada sang bayi dengan netranya melirik monitor yang memperlihatkan nomor antrian disana.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya nama bayi spesialnya itu di serukan oleh perawat pendamping.

"Anak Revan!" panggil sang perawat.

"Ya, Sus!"

"Silahkan, Bu!"

Zurra bergegas memasuki ruang praktek Dokter anak itu. Namun, ia sedikit terkejut karena melihat Dokter yang menangani bukan yang biasanya.

"Hai, Revan. Sudah lama menunggu ya? Maaf ya, Revan," sapa sang Dokter dengan ramah sembari memeriksa kondisi bayi istimewa itu menggunakan stetoskop yang melingkar di lehernya.

"Maaf, apakah Dokter Ismet tidak praktek hari ini?" tanya Zurra memastikan.

"Oh maaf, apakah perawat kami tidak menjelaskan pada ibu?" jawab Dokter muda itu.

"Tidak, Dok."

"Yaya, mungkin mereka lupa. Perkenalkan, saya Dokter Zafran. Saya yang menggantikan posisi dokter Ismet, karena kontrak beliau sudah selesai di RS ini," jelasnya kepada setiap pasiennya yang bertanya.

"Oh, begitu ya, Dok."

"Benar, Bu. Jika Ibu ada pertanyaan, bisa tanyakan pada saya, dan Ibu bisa sedikit menjelaskan riwayat Revan kepada saya," ucapnya sembari membaca file yang baru ia terima dari perawat.

Zurra mengangguk paham, ia kembali mencurahkan riwayat yang pernah dialami oleh Revan sehingga membuatnya diagnosa cerebral palsy. Dan juga mengidap epilepsi, sehingga Revan harus meminum obat rutin yang telah di takar dosisnya oleh Dokter sebelumnya.

Zafran mengangguk paham apa yang di terangkan oleh Ibu si pasien. "Apakah sekarang Revan masih kejang?" tanyanya sembari menatap wajah lelah yang ada dihadapannya.

"Tidak, Dok," jawab Zurra begitu adanya.

"Baiklah, apakah kemaren dengan Dokter Ismet sudah melakukan cek zat besi?"

"Belum, Dok."

"Kalau begitu kita akan melakukan cek zat besi terhadap Revan ya, Hasilnya akan keluar dua minggu kedepan. Dan setelah itu dilanjutkan cek vitamin D. Jika hasilnya normal, maka Ibu bisa kontrol sebulan sekali seperti semula," terang Dokter itu.

"Baik, Dok. Apakah dua minggu lagi saya harus datang lagi?"

"Ya, karena saya akan membacakan hasilnya. Dilanjutkan dengan cek vitamin D. Itu berarti bulan depan Ibu datang dua kali. Untuk bulan selanjutnya sudah bisa seperti biasanya. Hanya kontrol dan ambil obat." Dokter anak neurologi itu menjelaskan kepada Zurra dengan detail.

Zurra terdiam sejenak. Dia bukannya tidak suka bila ada pemeriksaan lanjut untuk anaknya, tetapi bagaimana ia harus menjelaskan pada suaminya. Dan apakah Rio masih mau memberinya uang?

"Maaf, apakah anda paham apa yang saya maksud?" tanya Dokter membuyarkan lamunannya.

"Ah, ya. Saya paham, Dok."

"Baiklah, kalau begitu saya akan memberikan surat pengantar untuk ibu bawa ke Labor, dan juga resep obat."

Zurra hanya mengangguk paham. Dokter Zafran menatap sesaat padanya. Entahlah, karena Zurra menggunakan masker, maka ia tak bisa melihat wajah ibu dari pasiennya itu dengan jelas. Hanya bisa menatap manik indah yang terlihat menyimpan lelah disana.

Selesai menuliskan resep obat dan surat pengantar untuk di bawa ke ruang labor, Zafran kembali menatap wajah wanita yang masih duduk dihadapannya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia katakan.

"Maaf Dok, apakah Dokter berkenan memberikan nomor ponselnya? Karena saya tinggal diluar kota, jadi jika ada kendala atau sesuatu yang penting dapat saya tanyakan secara langsung," ucap Zurra dengan ragu.

Zafran terdiam sejenak. Netranya mengamati dengan lekat. "Baiklah." Zafran mengeluarkan sebuah kartu nama dari laci mejanya, lalu menyerahkan pada Zurra. "Ini ada kartu nama saya. Ibu bisa hubungi jika ada yang mau di tanyakan," ucapnya dengan ramah.

"Ah, terimakasih banyak, Dok. Kalau begitu saya permisi dulu," jawab Zurra tersenyum di balik masker yang ia kenakan.

"Oya, dengan Ibu siapa ya?" langkah Zurra terhenti saat mendengar pertanyaan sang dokter.

"Nama saya Zurra, Dok."

"Oh, Nama kamu hampir sama dengan Mama saya. Nama Mama saya Zahira," celetuk Dokter tampan itu dengan senyum khasnya yang pasti akan membuat hati para Ibu-ibu lumer.

Zurra hanya menanggapi dengan senyuman dan mengangguk ramah. "Saya permisi, Dok."

"Ya, semoga cepat pulih ya Revan," sahutnya dengan ramah.

Setelah keluar dari ruangan Dokter, Zurra segera menuju ruang labor untuk mengambil sampel darah putranya yang akan melakukan cek zat besi.

Bersambung....

NB. Jangan lupa dukungannya jika suka dengan novel ini. Dan saya mohon pada raeder untuk tidak meloncati bab. Karena itu dapat mempengaruhi retensi novel ini. Terimakasih saya ucapkan sebelumnya 🙏🤗

Dokter yang baik

Setelah pengambilan sampel darah putranya, Zurra segera menuju ruang farmasi untuk mengantri pengambilan obat. Wanita itu melihat jam di layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 18. 30 WIB. Namun, nama putranya belum juga di serukan, tetapi ia selalu sabar menunggu walaupun rasa lelah dan lapar mendera pada dirinya.

"Hai, Revan. Belum selesai?" tanya seseorang yang membuat Zurra segera menoleh mencari asal suara itu.

"Ah, Dokter! Belum , Dok," jawabnya tersenyum ramah.

"Sudah dari tadi?" tanya Dokter Zafran sembari duduk di samping wanita itu.

"Sudah lumayan, Dok. Hampir satu jam," jawab wanita itu dengan jujur.

"Oh, sudah lumayan lama ya. Sebentar ya." Pria itu segera beranjak, lalu masuk kedalam ruang farmasi untuk menemui salah satu apoteker RS yang sedang meracik obat untuk para pasien.

Tak berselang lama Zafran keluar dengan menjinjing sebuah kantong plastik yang berisikan obat untuk Revan.

"Ini obatnya. Maaf lama menunggu, karena obat racikan perlu waktu sedikit lama mengemasnya," ucapnya sembari menyerahkan plastik obat itu pada Zurra.

"Ah, terimakasih banyak, Dok," jawab Zurra sangat berterima kasih kepada Dokter yang baru menangani putranya. Dan dirinya tak pernah menyangka bahwa Dokter itu begitu baik dan peduli pada anaknya.

"Ya sama-sama. Oya, kamu sendiri saja?" tanya Zafran sedikit sungkan, tetapi rasa penasaran membuat pertanyaan itu terlontar dari bibirnya begitu saja.

"Iya, Dok," jawab Zurra singkat.

"Apakah Papa Revan sangat sibuk?" tanyanya kembali. Karena ia merasa heran melihat wanita itu yang begitu kuat dan sabar membawa anak istimewa sendirian tanpa bantuan orang lain.

Zurra menatap wajah lelaki itu sedikit lama. Rasanya aneh saja ada seorang Dokter yang ingin tahu tentang dirinya. Karena selama ini tak ada yang peduli padanya.

"Iya, Dok." Lagi-lagi wanita itu menjawab seadanya. Tak mungkin ia harus mengatakan yang sebenarnya. Walaupun Rio mempunyai waktu, tetapi dia tidak pernah mau untuk menemani dirinya.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Dok. Sekali lagi terimakasih sudah membantu," ucap Zurra yang segera beranjak untuk meninggalkan lelaki itu yang masih berdiri disana.

Zafran hanya mengangguk pelan, tetapi ekor matanya masih mengamati langkah wanita itu. Entahlah, rasa penasarannya begitu besar sehingga tanpa sadar ia mengikuti langkah wanita itu untuk menuju lobby.

Sesampainya di lobby, Zurra segera menghubungi travel untuk menjemput dirinya yang sudah selesai urusan pengobatan anaknya.

Zurra duduk di kursi yang ada di samping lift sembari memeluk putranya. Namun, netranya menatap ke arah Cafe yang ada di lobby itu. Sebenarnya ia sudah begitu lapar, tetapi karena Revan sangat rewel, maka ia harus menahan rasa lapar di perutnya.

"Sssshh... Sssshh... Sabar ya, Sayang. Anak Ibu sudah capek ya, tunggu sebentar Om travelnya jemput ya," bujuknya sembari menimang bayinya yang masih menangis tak tenang.

"Mau makan?" kembali mata wanita itu terpana saat seseorang menyodorkan sebuah kotak makan di hadapannya.

"Dokter!" seru wanita itu masih rasa tak percaya apa yang ia saksikan saat ini.

"Ayo makanlah, bawa sini Revan biar saya yang pegang," ucapnya sembari sedikit menggulung lengan panjangnya hingga siku, lalu mengambil Revan dari gendongan Zurra.

"Tidak usah, Dok. Saya tidak lapar," jawab Zurra berbohong dan sangat sungkan.

"Jangan membohongi dirimu sendiri. Aku saja bisa mendengar suara perutmu yang keroncongan," sahutnya dengan senyum tipis.

Seketika wajah wanita itu bersemu, rasanya ia begitu malu bila memang benar lelaki itu bisa mendengar suara demo di perutnya yang minta di kenyangkan.

"Ayo makanlah. Bawa sini aku pegang Revan." Zurra tak mampu menolak, ia menyerahkan bayi yang berumur satu tahun itu di gendong oleh Dokter barunya.

Zurra segera membuka kotak itu, lalu dengan rasa malu ia membuka masker yang menutupi separuh wajahnya. Seketika Zafran terpana melihat kecantikan wajah ibu dari pasiennya. Tanpa diminta jantung hatinya berdebar tak menentu.

Zurra menatap lelaki itu sesaat, dan di balas anggukan olehnya dengan senyum lembut. Wanita itu segera memakannya begitu lahap. Zafran yang melihat hanya tersenyum. Pria itu berjalan ke sebuah kantin sembari menggendong Revan. Ia membelikan sebotol air mineral yang tadi lupa ia berikan.

"Ini air minum kamu," ucapnya menyerahkan pada Zurra.

"Terimakasih," jawab Zurra segera membuka tutup botol itu, lalu meneguknya. Zurra merasakan perutnya sudah tenang saat makan dan minum telah masuk kedalam lambungnya.

"Tak berselang lama setelah makan, suara ponselnya berdering. Zurra melihat panggilan dari supir travel yang telah menunggu di luar.

"Ah, Dok. Saya harus pulang karena sudah di jemput oleh travel. Sekali lagi terimakasih banyak untuk kebaikan Dokter," ucap Zurra dengan tulus sembari mengambil Revan dari gendongan lelaki itu.

"Baiklah, semoga selamat sampai tujuan. Dan jangan lupa dua minggu kedepan kamu harus datang membawa Revan untuk mengetahui hasil pemeriksaan labor," jawab dokter itu seraya mengingatkan.

"Baik, Dok." Zurra segera keluar dari lobby menuju parkiran tempat dimana mobil travel yang telah menunggunya.

Setelah menempuh perjalanan dua jam, kini wanita yang berusia dua puluh lima tahun itu sudah sampai di kediamannya. Ia segera masuk, tetapi ia berpapasan dengan sang suami yang sudah rapi hendak keluar.

"Mas, kamu mau kemana?" tanya Zurra sembari menatap penampilan lelaki itu, dan aroma parfum begitu menyeruak di indra penciumannya.

"Aku mau makan di luar. Lagian kemana saja kamu jam segini baru pulang? Apakah kamu sengaja berlama-lama agar tak mengerjakan pekerjaan rumah, iya!" bentak Rio dengan suara lantang.

"Ya Allah, kenapa kamu bicara seperti itu, Mas? Kamu tahu sendiri proses pengobatan Revan itu lama, belum lagi antri obat. Kamu tunggulah sebentar, aku akan memasak makan malam untuk kamu," tawar Zurra dengan lembut.

"Hah, lama! Aku sudah tidak berminat lagi masakanmu. Sana kamu urus saja anak cacatmu itu!" jawabnya yang membuat hati Zurra kembali ngilu.

Zurra berusaha untuk tetap sabar, ia segera masuk kedalam rumah. Sementara itu Rio segera melajukan kendaraannya menuju sebuah Cafe yang sudah ia janjikan dengan teman-teman sekantornya.

Zurra segera membersihkan putranya menggunakan handuk basah, karena sudah malam, maka ia tak memandikan bayi itu.

Setelah mengurusi bayinya, wanita itu sedikit lebih tenang dan bisa beristirahat. Karena Revan juga sudah tidur setelah makan dan minum obat.

Zurra menatap jam dinding yang ada di kamarnya. Sudah hampir pukul dua belas malam tetapi suaminya belum juga pulang. Ia mencoba menghubungi, tetapi tak ada jawaban. Akhirnya wanita itu memutuskan untuk tidur terlebih dahulu.

Karena begitu lelah, maka wanita itu dalam sekejap sudah masuk ke alam mimpi.

Pagi-pagi sekali Zurra sudah bangun, ia menatap disisinya yang tak menemui sosok sang suami.

"Mas Rio kemana ya? Berarti dia tidak pulang tadi malam?" tanyanya dalam keseorangan.

Zurra segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan tak lupa menjalankan ibadah dua rakaat. Setelah selesai sholat, ia mendengar suara deru mesin mobil yang memasuki garasi.

Wanita itu segera menyongsong suaminya yang baru saja keluar dari kendaraannya.

"Mas, kamu kenapa tidak pulang tadi malam?" tanya Zurra meminta penjelasan.

Rio menatap datar sembari berlalu tanpa menjawab pertanyaan wanita itu.

"Mas, kenapa kamu diam saja?" tanya Zurra kembali sembari mengejar langkah lelaki itu.

"Aku tidur di rumah teman," jawabnya datar.

"Kenapa harus tidur dirumah teman, Mas? Kenapa kamu tidak pulang?" tanya Zurra yang tak masuk akal jawaban lelaki itu.

"Tidak usah banyak tanya, Zurra! Apa urusanmu? Aku mau tidur dimanapun terserah aku!" bentaknya seraya berlalu dari hadapan wanita itu.

"Tentu saja urusanku, Mas. Karena kamu suamiku," jawab Zurra.

Lelaki itu menatap dengan senyum senjang. "Terus, kalau aku suamimu kenapa? Kamu berani mengekangku, begitu?"

"B-bukan begitu, Mas. Tapi...."

"Hah, sudahlah! Mulai sekarang kamu tidak berhak mencampuri urusanku! Sekarang tugasmu urus saja anakmu itu!" bentak Rio tanpa perasaan sedikitpun sembari mendorong tubuh wanita itu hingga limbung dan terjerembab kelantai.

Bersambung....

Happy reading 🥰

Pengkhianatan

Zurra meringis menahan sakit karena terhenyak keras. Rio hanya menatap sekilas seraya melenggang meninggalkan istrinya tanpa perasaan.

Suara tangisan Revan membuat telinga Rio terasa sakit. Lelaki itu menyambangi kamar dimana darah dagingnya sedang menangis.

Rio mendekati bayinya yang berumur satu tahun itu. Tatapannya penuh dengan kebencian.

"Lihatlah, hanya itu yang bisa kamu lakukan, bukan? Kamu hanya bisa menangis dan menangis!" serunya dengan suara meninggi.

"Mas, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu memarahinya?" sahut Zurra yang segera menggendong Revan.

"Aku muak dengan anak itu. Kenapa kau memberikan keturunan yang tidak sempurna sepertinya!" jawab Rio menatap kesal.

"Astaghfirullah, istighfar Mas!"

"Hah! bawa bayi itu menyingkir dari hadapanku! Aku mau tidur!" bentaknya sembari mendorong Zurra keluar dari kamar.

Zurra membawa Revan duduk di teras belakang. Wanita itu menatap wajah malaikat kecilnya dengan penuh haru. "Maafkan ayahmu ya, Nak. Kamu jangan sedih, ada Ibu yang akan selalu menyayangimu," lirihnya sembari mendekap tubuh mungil itu dengan erat.

Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh juga. Zurra tak pernah terpikirkan bahwa sikap Rio yang dia kenal dulu begitu lembut dan penyayang, tetapi kini dia sangat kasar dan pemarah.

"Ya Allah, aku tahu Engkau sedang menguji kesabaranku. Dan aku juga yakin bahwa Engkau mempercayai aku untuk menitipkan seorang bayi istimewa ini. Aku mohon ya Rabb. Tolong jangan biarkan siapapun menyakiti bayiku. Sudah cukup atas ketidak sempurnaan pada dirinya," Do'a wanita itu dengan isakan kecil dari bibirnya.

Puas menumpahkan tangisnya, Zurra membawa Revan masuk ke kamar belakang untuk memandikan, dan tak lupa memberinya makan dan minum obat.

Selesai mengurusi buah hatinya, Zurra mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya, dan tentu saja bayi spesial itu sudah terlelap terlebih dahulu.

Zurra masuk kedalam kamar, rencananya ia akan membangunkan Rio, karena melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi Pria itu masih tidur begitu lelap. Apakah dia tidak ke kantor hari ini?

Zurra mengurungkan niatnya untuk membangunkan lelaki itu. Ia takut akan membuatnya murka bila salah bertindak. Namun, atensinya teralihkan saat vibrasi ponsel Rio sedikit keras.

Zurra meraih ponsel yang ada di samping bantal Pria itu, ia menilik siapa yang menelepon suaminya pagi-pagi begini.

My heart. Calling....

Seketika jantungnya berdegup kencang. "My heart? Siapa dia?" tanyanya dalam keseorangan.

Zurra menjawab panggilan itu tanpa mengeluarkan suaranya. Dan kembali sambutan dari wanita di ujung sambungan itu membuat darahnya berasa mendidih.

"Sayang, kenapa lama sekali mengangkatnya? Apakah kamu melupakan janji kita? Kamu lihat ini sudah jam berapa, kamu benar-benar membuat moodku buruk," rutunya dengan suara manja.

"Benarkah? Bahkan moodku lebih hancur dan rusak saat mendengar mulutmu memanggil dengan sebutan "sayang" pada suamiku!" tekan Zurra dengan suara bergetar.

Mungkin ia bisa menerima segala perlakuan kasar dan hinaan dari Rio, tetapi ia tidak bisa menerima pengkhianatan lelaki itu.

"Ah, m-aaf saya salah nomor," jawab wanita itu dengan gugup.

"Benarkah? Apakah karena yang mengangkat telponmu bukan Rio? Katakan dimana dirimu berada pelakor?" bentak Zurra yang membuat tidur Rio terganggu.

"Apa yang kamu lakukan?!" bentak lelaki itu sembari meraih ponsel di tangan Zurra dengan kasar.

"Apa yang aku lakukan? Aku sedang menerima telepon dari jalanggmu!" balas Zurra dengan nada berapi-api.

"Beraninya kau!"

Plakk!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Zurra dengan keras, sehingga terasa panas hingga ke telinganya.

Zurra meraba pipinya dengan lelehan air mata. Dadanya terasa sesak. Sungguh ini kali pertama lelaki yang selama ini ia cintai menjatuhkan tangan padanya.

"Kamu menamparku, Mas? Hanya karena wanita itu? Hng! Sungguh aku tidak menyangka," lirihnya dengan senyum sinis.

"Itu akibatnya karena kamu sudah lancang!" sergahnya. "Ingat Zurra! Aku bisa melakukan lebih dari ini jika kamu masih berani padaku!" tekannya dengan suara menggelegar.

"Apa yang ingin kamu lakukan jika aku berani padamu?" tantang Zurra yang membuat langkah Pria itu terhenti dan membalikkan tubuhnya sehingga saling berhadapan.

Rio menyorot tajam, lalu tangannya mencekal rambut Zurra dengan kuat, sehingga wanita itu meringis menahan rasa perih di kulit kepalanya.

"Aku akan menyakitimu," ujarnya dengan rahang mengeras. "Dan aku akan menghentikan segala biaya pengobatan anakmu yang cacat itu!" tegasnya seraya mendorong kepala Zurra dengan kuat.

Rio segera beranjak sembari meraih kunci mobil yang ada di nakas. Tak berselang lama terdengar suara mesin mobilnya telah meninggalkan kediaman mereka.

Zurra jatuh merosot dan menangis sejadi-jadinya. Perasaannya benar-benar hancur berantakan. Selama ini ia berusaha untuk bersabar dan menahan segala perilaku buruk lelaki itu padanya. Namun, ia sungguh tak bisa menerima pengkhianatan.

"Apa yang harus aku lakukan? Kenapa dia tega sekali berkhianat dariku. Aku benci sama kamu, Rio!" serunya dengan isakan.

Zurra masih larut dalam tangisan, tetapi suara tangis Revan membuatnya segera mungkin menghapus air matanya.

"Tidak, aku tidak boleh seperti ini. Ya, Revan sangat membutuhkan aku. Aku harus kuat," ucapnya sembari menyeka air matanya dengan menguatkan hati.

Zurra bergegas menuju kamar belakang untuk mengambil bayi spesialnya. Saat menatap mata teduh tak berdosa itu, maka air matanya kembali luruh. Wanita itu sekarang benar-benar bingung harus bagaimana, ia ingin sekali memberontak dan melawan atas kezaliman yang dilakukan oleh sang suami, tetapi ia sadar bahwa nasib bayinya masih tergantung pada lelaki itu.

Zurra ingin sekali bekerja untuk memenuhi biaya hidupnya agar tak lagi bergantung dengan sang suami. Namun, ia memikirkan bagaimana nasib bayinya, dan dimanakah ia akan menitipkan. Dirinya yang tak mempunyai keluarga, maka tak ada tempat untuknya mengadu.

Kini sudah dua minggu pasca pertengkaran dirinya dan Rio perkara diketahui skandal hubungan lelaki itu dengan wanita lain. Zurra berusaha untuk bertahan demi berharap biaya dari Rio untuk anaknya.

Hubungan mereka terasa dingin dan begitu kaku. Zurra tak lagi banyak bertanya saat lelaki itu tidak pulang ataupun pergi dengan siapa dan kemana tujuannya.

Hati wanita itu terkesan telah mati rasa. Bahkan ia pernah memergoki Rio saat berjalan dengan selingkuhannya, tetapi Zurra hanya menanggapi senyum datar tanpa ekspresi.

"Mas, hari ini aku harus membawa Revan ke RS untuk melakukan pemeriksaan lanjutan," ujar Zurra setelah meletakkan secangkir kopi untuk lelaki itu.

"Aku tidak ada uang. Bulan depan saja," jawab Rio dengan santai.

"Kata Dokter tidak bisa di tunda, Mas," jelasnya.

"Yasudah, kalau begitu kamu hentikan saja pengobatannya. Jika ada pemeriksaan lanjutan, itu berarti akan menambah biaya saja. Kamu tahu bahwa perusahaan sedang mengalami krisis," jawab Rio sembari berdiri dan meninggalkan Zurra dalam kebingungan.

Zurra membuka dompetnya yang hanya menyisakan beberapa lembar uang pecahan. Nasibnya benar-benar menyedihkan. Semenjak menikah dengan lelaki itu uang selalu di jatah dan bahkan ia tidak pernah membeli barang-barang mahal apapun.

"Aku harus bagaimana ya Allah, apa yang harus aku lakukan?"

Zurra segera mengambil ponselnya, lalu mendial nomor Dokter anaknya untuk meminta jadwalnya di undur.

Berawal wanita itu hanya mengirimkan pesan saja. Ia tidak berani bicara dengan kebohongan. Namun, dua menit kemudian nomor itu memanggilnya. Dengan perasaan ragu Zurra menerimanya.

"Assalamualaikum, Dok," ucapnya dengan ramah.

"Wa'alaikumsalam. Zurra, katakan apa kendalanya hingga kamu mengundurkan jadwal pemeriksaan terhadap Revan?" tanya lelaki itu ingin tahu.

Bersambung.....

Happy reading 🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!