Hujan terus mengguyur, dan suara langkah kaki seorang pria semakin dekat. Seorang wanita merasa cukup bingung, takut dan putus asa. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan cepat untuk menyelamatkan bayi yang tidak berdosa.
Dalam detik-detik yang menegangkan, wanita itu menyembunyikan bayi di balik beberapa kotak tua di sudut gudang. Dia menutupi bayi itu dengan selimut. Dia berharap itu akan cukup untuk melindunginya dari pria yang sedari tadi mengejarnya. Dalam hati, dia berbisik perpisahan yang penuh cinta kepada bayi, aku berjanji akan selalu melindunginya, bahkan jika itu berarti mengorbankan hidupku sendiri.
Saat pintu gudang terbuka dengan keras, wanita itu berdiri tegak, menghadapi pria yang menyeramkan itu. Wajahnya pucat, namun matanya menunjukkan keberanian yang luar biasa. Dia tahu bahwa dia tidak akan bisa melawannya, tetapi dia bertekad untuk melindungi bayi kecil dengan segala cara yang dia bisa.
pria itu melangkah maju, senyum jahat terpampang di wajahnya. Dalam sekejap, dia memukul kepala wanita itu. Dia memukulnya dengan sangat keras. Tubuhnya jatuh ke tanah dengan tak berdayanya, tetapi keberaniannya dan cinta untuk bayinya tetap hidup.
Begitu pria menyeramkan itu mendekati arah suara bayi yang terus menangis, wanita barani itu bangkit kembali dan memegangi kaki pria itu dengan tenaganya yang melemah.
Dengan suaranya yang sesenggukan ia mengatakan, “Tinggalkan bayi itu, jangan mendekatinya.”
Sekali lagi, tanpa rasa iba, pria itu menginjak tubuh wanita malang itu dengan keras dan berulangkali. Seolah rasa amarah menyelimuti pria itu, ia tetap bergeming meski wanita itu telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Malam yang sunyi, saat seorang pria yang bernama Geo sedang terlelap dalam tidurnya, seorang sosok misterius merayap masuk ke dalam rumahnya. Sosok itu membawa sesuatu yang besar dan berat, dibungkus dengan kain putih yang tampak basah oleh darah yang sudah mengering. Dengan langkah hati-hati dan diam-diam, sosok tersebut meletakkan bungkusan itu di lantai ruang tamu.
Keesokan paginya, Geo terbangun dengan perasaan yang aneh. Ada sesuatu yang tidak beres, untuk pertama kalinya ia melihat istrinya tak ada di sisinya ketika membuka mata di pagi hari. Hal itu membuat jantungnya berdebar kencang. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar dari kamarnya, berjalan menuju ruang tamu.
Ketika Geo memasuki ruang tamu, dia terkejut melihat bungkusan besar di lantai. Dengan perasaan takut dan penasaran, dia mendekatinya dan mulai membuka kain yang melilit benda itu.
Saat kain terakhir terbuka, Geo menemukan tubuh istrinya yang tidak ia lihat di pagi hari. Wajahnya memucat, dan tubuhnya bergetar tak terkendali saat dia menyadari apa yang baru saja ditemukannya.
"I...ini tidak mungkin," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Apa yang kamu lakukan dengan dirimu? Ini hanya candaan....bukan?"
Dia merangkak mendekati tubuh istrinya, matanya terbelalak, tak mampu menerima kenyataan pahit di depannya. Dia menggenggam tangan istrinya yang dingin dan penuh lumpur itu, menolak untuk melepaskannya.
"Bangunlah, sayang... bangunlah," bisik Geo, suaranya penuh harapan meski air mata mengalir deras di pipinya. "Kau tidak bisa bercanda seperti ini denganku. Bangunlah, sayang."
Geo terus berbicara pada istrinya, berharap bahwa suaranya akan membangunkannya dari tidur panjangnya. Tetapi tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang memekakkan telinga.
Geo merasa seolah-olah dia hampir gila. Dia merasa seolah-olah dunianya runtuh, dan dia tidak tahu bagaimana caranya untuk bangkit lagi. Dia merasa seolah-olah dia telah kehilangan segalanya, dan dia tidak tahu bagaimana caranya untuk melanjutkan hidup tanpa istrinya di sisinya.
"Kau tidak bisa pergi... kau tidak bisa pergi," ulang Geo, terus menerus, seolah mantra itu akan membawa istrinya kembali kepadanya. Tetapi tidak ada yang berubah. Dan Geo merasa seolah-olah dia tenggelam dalam keputusasaan yang tak berujung.
Mendengar kebingungan di pagi hari, membuat adik Geo terbangun. Sua, adik perempuan Geo yang berumur 24 tahun.
Turun tangga dan mengikuti arah suara bising. Semakin dekat, suara bising itu berubah menjadi tangisan histeris seorang pria.
Ketika melihat apa yang ada di depan matanya, hati sua berdetak begitu kencang. Pemandangan mengerikan dan memilukan yang ia lihat spontan membuatnya kakinya begitu lemas.
Ipar yang begitu ia sayangi dan begitu ia banggakan, kini terbaring tak bernyawa dengan banyaknya luka yang ada di sekujur tubuhnya.
"Ka...Kakak, apa yang terjadi dengan kak Jia? Apa yang kak Jia lakukan di lantai yang dingin?" tanya Sua dengan suara yang bergetar kepada kakaknya yang kini masih meringkuk dan menangisi kepergian istrinya yang tragis.
Tak mendapat jawaban, Sua mendekati kakak iparnya, dan menyentuhnya dengan lembut.
Sesak napas, Sua mencoba menahan isak nya, tetapi rasa sakit yang mendalam di dalam hatinya terlalu kuat untuk dikendalikan. Setiap tarikan napas yang terputus-putus diiringi oleh tangisan yang menyayat hati, seolah mencerminkan kepedihan yang tak terkendali yang merajai jiwa Sua.
Begitu menyadari tangan Jia begitu sangat dingin, tak ada lagi harapan untuk melihat kakak iparnya tersenyum.
Sama seperti Geo, Sua kini memecahkan isak tangis yang sudah ia tahan sedari tadi.
Jia, yang selalu menjadi sumber kebahagiaan dan semangat bagi orang-orang di sekitarnya, kini telah pergi untuk selamanya. Setiap orang merasa kehilangan seolah-olah sebagian dari diri mereka juga telah hilang bersama Jia.
Keluarga Jia, yang selalu mengandalkan keceriaan dan kedamaian yang dibawa oleh Jia, merasa terjepit dalam kegelapan yang tak berujung. Mereka merasa seolah-olah rumah yang dulunya hangat dan penuh cinta kini telah berubah menjadi gua yang dingin dan sunyi, di mana setiap langkah yang diambil membawa kenangan akan Jia yang tak terlupakan.
Acara kremasi Jia berlangsung di sebuah tempat yang indah dan damai, di bawah pohon-pohon rindang dan langit yang cerah. Keluarga dan teman-teman Jia berkumpul untuk mengucapkan selamat tinggal yang terakhir dan mengenang kenangan indah bersama Jia.
Sebuah meja kecil dipenuhi dengan foto-foto Jia yang tersenyum ceria, mengingatkan semua orang tentang kebahagiaan dan cinta yang selalu dia berikan. Di samping meja itu, sebuah layar dipasang, menampilkan video-video kenangan Jia bersama keluarga dan teman-temannya.
Ketika peti mati Jia akhirnya dimasukkan ke dalam krematorium, langit menjadi semakin gelap, seolah ikut berduka atas kepergian Jia. Semua orang yang hadir merasakan kehilangan yang mendalam, tetapi mereka juga tahu bahwa kenangan indah bersama Jia akan selalu ada di hati mereka, mengingatkan mereka tentang cinta dan kebahagiaan yang pernah mereka bagi bersama.
"Jia, apapun yang terjadi. Kami semua kan terus terkenang dengan semua senyumanmu. Oleh karena itu, jangan khawatirkan apapun dan beristirahatlah dengan tenang. Kami semua, termasuk aku yang begitu mencintaimu, akan selalu mencintaimu dan pastinya akan sangat merindukanmu. Terimakasih, karena sudah pernah hadir dalam kehidupan kami, dan menebarkan kebahagian." ucap Geo dengan air mata yang terus mengucur seraya melihat sendiri peti mati yang di tempati istrinya, terbakar perlahan lahan.
Satu bulan berlalu setelah kematian Jia. Geo duduk di ruang tamu, memandangi foto-foto Jia yang tersenyum ceria. Dia merasa seolah-olah hidupnya telah berubah selamanya, dan dia tidak tahu bagaimana melanjutkan tanpa istrinya di sisinya. Dika, yang merupakan adik Geo, yang juga merasa kehilangan, duduk di sebelahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur Geo.
"Kita harus pindah dari kota ini, Dika. Terlalu banyak kenangan buruk di sini. Kita perlu memulai kembali di tempat yang baru," ucap Geo dengan wajahnya yang datar dengan pandangannya yang tetap mengarah ke foto foto Jia.
Dika menatap Geo dengan ekspresi campur aduk. Dia bisa merasakan rasa putus asa dan kebingungan yang dialami Geo, tetapi dia juga merasa tidak yakin apakah pindah adalah solusi terbaik.
"Kau tidak bisa terus melarikan diri dari masalahmu, Geo. Kita harus menghadapinya dan mencari tahu bagaimana melanjutkan hidup." tegas Dika.
Geo menghela nafas, frustrasi. Dia merasa seolah-olah Dika tidak mengerti apa yang dia rasakan, dan dia tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya.
"Aku tidak melarikan diri. Aku hanya ingin melindungi kita. Apakah itu salah?" jelas Geo.
Dika menggigit bibirnya, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. Dia tahu bahwa Geo sedang berjuang, tetapi dia juga merasa bahwa mereka tidak bisa terus menghindari masalah mereka.
"Geo, aku mengerti bahwa kau ingin melindungi kita, tetapi kita harus belajar bagaimana menghadapi kenyataan ini. Kita tidak bisa terus melarikan diri dari masalah kita. Kita harus belajar bagaimana melanjutkan hidup tanpa Jia," ucap Dika dengan hati hati.
Geo merasa seolah-olah hatinya akan pecah. Dia tahu bahwa Dika berbicara dengan niat baik, tetapi dia tidak bisa membantu tetapi merasa marah dan terluka.
"Bagaimana kau bisa mengatakan itu, Dika? Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kita harus melanjutkan hidup tanpa Jia? Dia adalah segalanya bagiku, dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpanya." sentak Geo.
Dika menghela nafas, merasa sedih karena melihat penderitaan Geo. Dia merasa bersalah karena menyakiti perasaannya, tetapi dia tahu bahwa mereka harus menghadapi kenyataan.
"Aku tahu betapa sulitnya ini, Geo. Aku juga merasa kehilangan. Tapi kita harus belajar bagaimana menghadapi kenyataan ini, dan kita harus melanjutkan hidup demi diri kita sendiri dan orang-orang yang kita cintai." ungkap Dika.
Geo menundukkan kepalanya, menangis. Dia tahu bahwa Dika benar, tetapi dia tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa Jia. Dia merasa seolah-olah dunianya telah runtuh, dan dia tidak tahu bagaimana membangunnya kembali.
Dika meraih tangan Geo, mencoba memberinya dukungan. Dia tahu bahwa mereka harus menghadapi kenyataan ini bersama, dan dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan berada di samping Geo, tidak peduli seberapa sulitnya.
"Kita akan melalui ini bersama, Geo. Kita akan menemukan cara untuk melanjutkan hidup dan menghormati ingatan Jia. Tapi kita harus melakukannya bersama, sebagai keluarga."
Geo mengangguk perlahan, menyeka air mata dari matanya. Dia tahu bahwa Dika benar, dan dia tahu bahwa mereka harus melanjutkan hidup. Tetapi dia juga tahu bahwa itu tidak akan mudah, dan mereka akan menghadapi banyak rintangan di sepanjang jalan.
Sementara di atas tangga, Sua mendengar semua percakapan mereka. Sua mendekati Geo dan memeluk pria bertubuh besar itu sebagai sandarannya untuk menangis.
Gadis itu masih belum sepenuhnya terima jika kakak iparnya yang lembut kini telah benar-benar meninggalkan dunia.
Dika menepuk punggung adik bungsunya itu sebagai dukungan agar dia menjadi lebih kuat dan menerima semua dengan lapang dada.
Begitu juga dengan Geo yang mengelus lembut rambut adiknya agar bisa merasa lebih tenang. Tak ada yang lebih menyakitkan dari pada kehilangan orang yang sangat kita cintai.
Menerima bahwa mereka tak bisa bertemu untuk selamanya menjadi pernyataan yang menusuk di hati. Tak ada lagi senyuman dan tak ada lagi suara yang biasa mereka dengarkan, membuat batu besar terasa terus menindih hati.
Dalam beberapa minggu berikutnya, Geo dan Dika mulai mencoba menjalani kehidupan normal mereka. Mereka kembali bekerja, berbicara dengan teman-teman, dan mencoba untuk menemukan kembali kebahagiaan yang telah mereka hilangkan. Tetapi mereka juga tidak melupakan Jia, dan mereka terus berbicara tentang kenangan indah bersama dia.
Suatu hari, ketika Geo dan Dika sedang duduk di taman, mengenang kenangan bersama Jia, mereka menyadari betapa pentingnya untuk menjalani hidup sepenuhnya dan menghargai setiap momen yang mereka miliki bersama orang yang mereka cintai.
"Dika, aku tahu kita harus melanjutkan hidup, tetapi aku juga ingin menghormati ingatan Jia. Aku ingin kita melakukan sesuatu yang spesial untuk mengenangnya."
Dika mengangguk, setuju dengan ide Geo.
"Aku pikir itu ide yang bagus, Geo. Apa yang kamu pikirkan? Mungkin kita bisa membuat monumen atau patung untuk mengenangnya?"
Geo tersenyum, merenung sejenak sebelum menjawab.
"Aku ingin kita membuat yayasan amal atas nama Jia. Kita bisa membantu orang-orang yang membutuhkan, seperti Jia selalu lakukan. Aku pikir itu adalah cara terbaik untuk menghormati ingatannya dan melanjutkan warisannya."
Dika tersenyum, terharu oleh ide Geo.
"Aku pikir itu ide yang luar biasa, Geo. Aku yakin Jia akan sangat bangga melihat kita melakukan sesuatu yang baik demi orang lain."
Mereka berdua menghabiskan waktu berikutnya untuk merencanakan yayasan amal tersebut, bekerja sama untuk mengumpulkan dana, menyusun program, dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Selama proses ini, mereka mulai merasa lebih dekat satu sama lain dan merasa bahwa mereka menjalani hidup dengan tujuan yang lebih besar.
Seiring berjalannya waktu, Geo dan Dika mulai menemukan kembali kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup mereka. Mereka tidak pernah melupakan Jia, tetapi mereka belajar bagaimana melanjutkan hidup dengan menghormati ingatannya dan menjalani hidup sepenuhnya.
Meskipun mereka masih merasa sedih dan merindukan Jia, mereka tahu bahwa mereka telah melakukan yang terbaik untuk menghormati warisannya dan membantu orang lain. Dan dalam prosesnya, mereka belajar bagaimana menjadi lebih kuat dan lebih dekat sebagai saudara.
Dalam menjalani hidup yang baru ini, Geo dan Dika juga mulai memahami pentingnya menghadapi kenyataan dan menghargai setiap momen yang mereka miliki bersama orang yang mereka cintai. Mereka tahu bahwa kehidupan terlalu singkat untuk disia-siakan, dan mereka berjanji pada diri mereka sendiri untuk selalu menjalani hidup dengan penuh cinta, kebahagiaan, dan rasa syukur.
Tapi, sesuatu yang terus mengganjal di hati, tak ada seorangpun yang menyadarinya. Bagaimana ada apa yang terjadi pada Jia, Geo sadar ada sesuatu yang salah. Namun, Jika Jia adalah sasaran pertamanya. Saat di mana Geo telah menyadari semuanya, mungkin tak ada kesempatan bagi orang yang akan dicurigai nantinya.
Pada malam hari, Dika merasa sangat gelisah. Dia merasa seperti ada beban berat di hatinya yang tidak bisa dia lepaskan. Dia merasa perlu untuk berbicara dengan Jia, untuk mencari petunjuk dan dukungan dari Jia tentang bagaimana dia harus melanjutkan hidupnya.
Dika juga merasa bahwa dia perlu waktu sendirian untuk merenung dan berbicara dengan Jia. Dia merasa bahwa dia bisa lebih jujur dan terbuka tentang perasaannya ketika dia sendirian. Dia tidak ingin mengganggu Geo atau orang lain dengan perasaannya, jadi dia memutuskan untuk pergi sendirian.
Selain itu, Dika merasa bahwa malam adalah waktu yang paling tenang dan damai untuk mengunjungi makam Jia. Dia merasa bahwa dia bisa lebih fokus dan merasa lebih dekat dengan Jia di malam hari, ketika tidak ada orang lain di sekitar.
Sementara itu, seorang pria misterius, yang telah mengawasi Dika selama beberapa waktu, melihat Dika pergi sendirian. Melihat ini sebagai kesempatan yang sempurna, pria misterius ini mengikuti Dika dengan diam-diam.
Ketika Dika tiba di makam Jia, dia berlutut di depan batu nisan dan mulai berbicara dengan lembut pada Jia, mengungkapkan perasaan dan ketakutannya. Dia merasa terhubung dengan Jia dan mencari dukungan dalam menghadapi kesulitan yang dihadapinya.
Dika berdiri di depan batu nisan Jia, merasa seolah-olah dia berdiri di depan Jia sendiri. Dia merasakan kehadiran Jia yang tenang dan damai, dan mulai berbicara dengan lembut.
"Jia, aku merindukanmu. Setiap hari rasanya seperti seumur hidup tanpamu. Aku merindukan senyummu, tawamu, dan cara kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk membuatku merasa lebih baik."
Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya.
"Aku merasa begitu bingung dan hilang tanpamu, Jia. Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidupku saat melihat saudaraku terluka seperti itu. Aku merasa seperti aku kehilangan bagian dari diriku."
Dika menundukkan kepalanya, merasakan kesedihan yang mendalam menyerangnya.
"Aku berharap kamu masih di sini, Jia. Aku berharap kita masih bisa berbicara, tertawa seperti dulu. Aku berharap aku bisa memberi tahu kamu betapa aku mencintaimu dan menghormatimu sebagai kakak iparku."
Dia menatap batu nisan Jia, merasakan rasa kehilangan yang begitu mendalam.
"Tapi aku tahu aku harus melanjutkan hidup, Jia. Aku tahu itu yang kamu inginkan. Aku berjanji akan mencoba yang terbaik untuk menjadi adik ipar yang kamu banggakan. Aku akan mencoba untuk menemukan kebahagiaan dan tujuan dalam hidupku, seperti yang kamu lakukan."
Dika menarik napas dalam-dalam, merasa seolah-olah dia telah mengungkapkan sebagian dari beban yang dia rasakan.
"Aku akan selalu merindukanmu, Kak Jia. Aku berjanji, aku tidak akan pernah melupakanmu."
Dengan hati yang berat, Dika berdiri dan pergi, meninggalkan batu nisan Jia dalam damai dan kesunyian malam.
Pria misterius itu, yang bersembunyi di balik pohon, memutuskan bahwa saatnya sudah tiba untuk menghadapi Dika. Dia keluar dari persembunyiannya dan menghampiri Dika dengan langkah cepat. Dika, yang terkejut oleh kehadiran pria misterius itu, berdiri dengan cepat dan mundur beberapa langkah.
Pria misterius itu berkata, "Kau tahu sesuatu yang tidak seharusnya kau ketahui, Dika."
Dika, yang ketakutan dan bingung, mencoba berbicara dengan pria misterius tersebut.
"Aku tidak tahu apa-apa! Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!" ucap Dika dengan lantang.
Pria misterius, yang marah dan tidak percaya, mengambil pisau dari sakunya dan mengancam Dika.
"Jangan berbohong padaku! Kau harus tahu sesuatu!" ucap pria misterius itu.
Dika, yang ketakutan dan putus asa, terus menegaskan bahwa dia tidak tahu apa-apa. Pria misterius, yang frustrasi dan marah, mengayunkan pisau ke arah Dika, menusuknya di perut. Dika jatuh ke tanah, merintih kesakitan.
"Tolong... jangan bunuh aku. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa." ucap Dika memohon.
Pria misterius, yang merasa tidak ada pilihan lain, mengayunkan pisau lagi, mengakhiri hidup Dika. Dia meninggalkan tubuh Dika di samping makam Jia, yakin bahwa dia telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi rahasianya.
Merasa menusuk Dika saja tidak puas, pria misterius itu melanjutkan aksinya dengan mencekik Dika. Memastikan jika pria itu benar benar sudah tidak bernyawa lagi.
Keesokan harinya, sinar matahari menembus jendela rumah Geo, namun tak ada kehangatan yang biasanya dirasakannya. Geo merasakan sesuatu yang familiar, ada sesuatu yang berat di hatinya. Dia berjalan keluar rumah, berharap udara segar bisa mengusir perasaan buruk ini. Meskipun masih sangat pagi, Geo membersihkan dirinya dan menuju kuburan Jia, tempat dia dan Dika sering menghabiskan waktu bersama, berbicara dan mengenang Jia.
Sampai di sana, pemandangan yang dia temukan membuat napasnya terhenti. Di samping batu nisan Jia, terbaring tubuh Dika yang tidak bergerak. Wajahnya pucat, matanya terpejam, dan di perutnya terdapat luka tusuk yang menghancurkan hati Geo.
Geo berlari mendekati Dika, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Dia menatap wajah Dika, memegang tangannya yang dingin, dan berteriak memanggil namanya, berharap Dika akan bangun. Tapi tidak ada jawaban, hanya kesunyian yang memekakkan telinga.
Rasa sakit yang mendalam menyerang Geo. Dia merasa seolah-olah dunianya runtuh. Dia baru saja kehilangan Jia, dan sekarang, Dika, saudaranya, orang yang selalu ada untuknya, juga telah pergi. Kenyataan ini terasa begitu kejam dan tidak adil.
Geo jatuh berlutut di samping tubuh Dika, menangis dengan suara hancur. Dia berbisik pada Dika, mengungkapkan penyesalannya karena tidak ada di sana untuk melindunginya, dan berjanji akan mencari tahu siapa yang telah melakukan ini.
Kesedihan yang mendalam menyelimuti Geo. Dia merasa seolah-olah dia kehilangan bagian dari dirinya. Dia merasa hampa, marah, dan tak berdaya. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan beristirahat sampai dia menemukan pembunuh Dika dan membawanya ke pengadilan.
Hari itu, Geo kembali ke rumah dengan hati yang berat dan penuh duka. Dia berjalan melewati kamar Dika, melihat foto-foto mereka berdua, dan merasakan kehilangan yang begitu dalam. Dia merindukan suara Dika, tawanya, dan bahkan pertengkarannya.
Geo tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dia kehilangan dua orang yang paling dia cintai dalam waktu yang sangat singkat. Tapi dia juga tahu bahwa dia harus kuat, untuk menghormati ingatan mereka dan mencari keadilan untuk mereka.
Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan membiarkan kematian mereka sia-sia. Dia akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab dan memastikan bahwa mereka membayar untuk apa yang telah mereka lakukan.
Setelah menemukan Dika tewas, Geo merasa perlu mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi pada hari-hari terakhir Dika. Dia berbicara dengan teman-teman dan rekan kerja Dika, mencoba mencari tahu apakah Dika pernah menyebutkan sesuatu yang mencurigakan atau tidak biasa.
Salah satu teman Dika, Rani, mengungkapkan bahwa Dika tampak gelisah dan khawatir beberapa hari sebelum kematiannya.
"Dika bilang dia merasa seperti ada seseorang yang mengikutinya. Dia bilang dia melihat orang yang sama beberapa kali dan merasa tidak nyaman. Dia tidak tahu siapa orang itu atau mengapa dia mengikutinya."
Informasi ini membuat Geo semakin curiga bahwa kematian Dika mungkin bukan kecelakaan atau kebetulan. Dia berterima kasih kepada Rani dan memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang orang misterius yang mungkin telah mengikuti Dika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!