Malam makin larut, Febyan Ananta Bagaskara membuka pintu ruang tamu dan dirinya langsung terlempar ke belakang akibat dorongan kasar ibu mertua.
Febi yang biasa disayangi keluarganya hingga dia tidak pernah merasa kekurangan apapun. Terlebih dengan hadirnya Adam si genius, dan Mia si cerewet. Anak kembarnya yang adalah kebahagiaan terbesarnya. Namun, detik ini, kehidupan terasa begitu menamparnya.
Ayah mertua yang wajahnya merah seperti daging dipanggang tampak menahan kegeraman lalu menatap tajam pada Michael yang berdiri di belakang Febi.
Tuan Xanders merebut map dari tangan sang istri dan menjulurkan ke Febi dengan tidak sabar. “Feb, tanda tangani ini!”
"Memangnya kenapa, Pa?" Febi mengerutkan kening dengan bingung kenapa napas papa mertua ngos-ngosan dan berat.
"Kami tidak ingin kamu muncul di depan keluarga Xanders lagi, Febi!"
Febi membaca surat cerai di balik map. "Bercerai?"
Kedatangan kedua mertuanya malam-malam yang cuma memakai piyama, tampak benar-benar tersulut emosi. Padahal, mereka biasanya rapih dan menjaga penampilan walau ke rumah tetangga. Ini jarak rumah mereka saja ada 30 km. Apa yang membuat mereka sangat marah?
“Tidak tidak!" Febi berpaling ke suaminya yang diam saja dan tidak kaget, seakan sudah tahu ini. "Mas, apa kamu tahu ini?"
“Hey, berhenti banyak bicara!" kata Andien pada Febi sambil menarik Mike ke sisinya.
"Loh, Ma, kami tidak ada masalah! Rumah tangga kami adem-ayem. Pasti ada kesalahpahaman di sini, kan?"
"Lihat buktinya!” Ibu mertua dengan murka. Tatapan itu mengisyaratkan seolah Febi telah melakukan hal kotor. “Baca ini dan tak usah mengelak lagi!”
Febi meraih map lain dan membacanya dengan gugup.
HASIL IDENTIFIKASI TES DNA. Terduga Ayah : Michael Xanders. Anak : Adam Argantara.
Penemuan profil DNA dilakukan dengan menggunakan metode standar terhadap sampel darah atas nama Michael Xanders sebagai terduga ayah dan sampel dari usapan selaput lendir pipi atas nama Adam Argantara sebagai anak.’
Tangan Febi gemetar membaca tulisan hitam bercetak tebal. ‘Probabilitas Michael Xanders sebagai ayah biologis dari Adam Argantara adalah 0%.’
“Apa yang kamu lakukan begitu mengecewakan saya, Febi," suara Tuan Xanders tercekat.
“Ini tidak mungkin?“ Febi dengan suara meninggi, dia tidak memiliki pria idaman lain. “Ini fitnah, jangan percaya, Pa.”
“Surat tes itu asli dan dilakukan di tempat kepercayaan keluarga kami.” Tuan Xander dengan air muka menahan marah.
“Tapi, aku tidak-” suara Febi lalu menghilang dan berubah esek saat merasakan genggaman lebih kuat dari tangan suaminya. Kenapa suaminya justru semakin menggenggamnya?
Atau mungkin Michael marah lalu mempercayai fitnah ini? Febi berlutut dengan lemas luar biasa, dengan tatapannya memohon belas kasih. “Tolong percaya Febi, Mah?”
Andien merasa sangat kecewa. “Percaya padamu setelah tahu si kembar bukan anak Michael? Kau pikir keluarga Xanders akan diam saja atas pengkhianatan ini?"
“Ma, berhenti!” Suara Michael meninggi. Dia menangkap Febi yang baru tersungkur karena didorong kasar oleh sang mama.
Andien melepaskan tangan putranya dari Febi. “Jangan sentuh wanita kotor itu, Nak! Mamamu ini tidak sudi!”
“Aku tidak mau berpisah dari Michael. Biar, Febi cari tahu dulu. Febi beneran tidak tahu, Mah!” tangis Febi kemudian pecah.
“Sudah cepat tanda tangani saja!” Andien lalu menunjuk ke arah pintu, dimana ada empat pengawal pria. “Atau mereka akan menyeret anak-anak mu!”
Febi bersikeras menolak saat ibu mertua memaksanya memegangi pena. Dia melirik ke arah Michael yang terus memperhatikannya. “Mas, katakan sesuatu pada Febi! Kamu tidak menginginkan perceraian ini, kan?” Katanya dengan jengkel.
“Kau lihat dia bahkan tak punya alasan untuk hidup bersamamu, pengkhianat!” Andien berjongkok dan mencengkeram dagu Febi. “Sudahi air mata buaya ini? Astaga?”
“Michael, masuk mobil!” kata Andien dengan tegas.
“Michael?" gumam Febi sambil melihat suaminya yang tak mendukungnya. "Mah, ini rumah Michael kenapa dia harus masuk mobil? Suamiku tidak boleh pergi!” Febi memekik ketakutan.
“Cepat berdiri, Michael? Papa tidak perlu menyuruhmu dua kali, kan!” kata Tuan Xander dengan nada dingin.
Michael memandang sang istri yang terus menggelengkan kepala. Lelaki itu melepaskan jari Febi satu-persatu dari tangannya. Dia akan pergi ke kamar dan justru ditangkap dua penjaga.
“Mas!” teriak Febi, sambil mengejar Michael yang ditarik keluar oleh dua orang. Kemudian Febi memekik, saat rambutnya dijambak dari belakang.
"Kalian bawa si kembar keluar!” titah Andien. “dan, usir mereka!”
“Mah, jangan!” Febi bergidik begitu dua penjaga lain sudah di ruang tengah. “Febi akan tanda tangan!”
“Bagus. Sesuai perjanjian pra nikah, karena kamu berselingkuh, kamu tidak mendapatkan sebagian aset kami,” suara Andien begitu dingin.
Kemudian Febi tanda tangan. Dia menatap papah mertuanya yang biasanya bersikap paling baik.
“Saya tidak habis pikir apa kurangnya Michael, Feb? Padahal, kamu dulu yang mengemis padanya!” Tuan Xander dengan tatapan penuh luka dan bergegas menjauh, seolah-olah enggan melihat Febi.
Febi merasa papa mertua tengah melepas ikatan kedekatan diantara mereka yang terjalin selama ini. Bagaimana barusan papa mertuanya berkata dengan kata-kata yang melecehkan, jauh dari tabiatnya. Padahal, Febi merasa ini bukan salahnya.
*
Terik matahari di luar begitu menyilaukan.
Jordan Reyes mengarahkan mobil ke area parkir. Dia tiba-tiba menjejak rem karena kemunculan seorang perempuan yang tiba-tiba.
Lelaki itu menghela napas lega bahwa dia tidak sampai menabrak wanita itu. Padahal , dirinya sudah kalang kabut untuk menginjak rem. Namun, perempuan berambut poni itu, cuma menoleh ke arah mobilnya kemudian pergi begitu saja.
Pria itu meninju stir tidak terima sampai klakson pun berbunyi dan membuat kegaduhan di arena parkiran. Dia takkan mengampuni wanita itu lain kali. Lihat saja nanti!
Dua jam kemudian, Jordan mampir ke Pelangi Book store. Sebuah crayon diambil setelah menimbang-nimbang kemasannya. Tanpa sengaja ekor matanya menangkap sosok perempuan.
Rambut poni itu sekarang dijepit ke belakang, dengan penjepit warna kuning. Jordan ingat betul penampilan eksentrik itu mengenakan mantel warna rose.
Jordan sudah seperti banteng mau mengamuk. Dewa keberuntungan tengah mendukungnya untuk melampiaskan kejengkelan yang sudah dipendam-pendam dan membuatnya tidak fokus saat meeting.
Sementara itu, Febi tidak menyadari ada yang memperhatikannya. Dia mengambil botol plastik dari dalam tas lalu memutar tutup toples. Pada saat yang sama buku dalam kempitan merosot dan jatuh sehingga semua permen berceceran.
“Agrh!” Febi menghentak-hentakkan kaki dengan jengkel. Dia ingin makan permen untuk membantu melegakan hatinya, tetapi tetap saja jengkel yang dirasa. Tubuhnya yang lemas jatuh terduduk. Ingin sekali memeluk Mike dan meneriakkan nama suami tercintanya.
“Sepertinya, orang itu bermasalah,” batin Jordan dan merasa iba. Dia memperhatikan wanita itu yang mengumpulkan permen.
Kemudian perempuan itu kesulitan membuka sebungkus permen dengan jari-jari mungil. Permen itu terlempar dan jatuh di ujung sepatu flat Jordan. Jordan berpikir apa wanita itu sengaja?
Yang membuat bingung Jordan, saat wanita itu dengan sengaja membentur kening sendiri ke rak besi. Tangan mungil terkepal sampai memerah pertanda emosi besar yang tengah dihadapi si wanita.
Jordan celingak-celinguk dan sempat berpikir apa wanita itu sengaja untuk membuatnya terlihat bersalah di mata pengunjung toko. Buktinya, mereka mulai melihat ke arahnya dengan cara aneh.
Jordan menarik tangan pegawai yang tampaknya akan menghampiri si wanita. “Biarkan dia meluapkan emosi.” .
“Wanita itu memang pelanggan toko kami, tapi tangisannya terlalu keras dan mengganggu.” Pegawai itu berbalik dan akan menghampiri, tetapi tangannya dicekal.
“Lalu anda mau menyuruhnya diam?" Jordan terkejut dengan reaksi tubuhnya. "Dimana nuranimu?"
"Pelanggan lain terganggu, saya bisa dipecat oleh bos saya."
"Bayangkan jika itu saudaramu? Masihkah kamu tega menghentikan tangisannya?”
Pegawai itu menggelengkan kepala. "Saya tidak tega." Dia melihat pelanggan lain yang memang juga tampak iba.
Jordan mengambil botol permen di meja kasir. Setelah benar-benar diperhatikan, ini permen wanita tadi. Dia pun memasukkan dua toples permen itu ke keranjang belanja.
"Kau bilang dia pelanggan toko ini?" Jordan menyodorkan stoples permen yang baru dibayar.
"Ya, dia selalu ke sini dan membeli banyak buku untuk anak-anaknya."
"Coba berikan ini semoga perasaannya bisa membaik." Jordan mengatubkan bibir. Mengapa dirinya jadi sok bersimpati?
"Yasudah lah," gumam Jordan, dengan mengabaikan kemarahan pada kejadian saat di parkiran di rumah sakit.
Jordan keluar dari toko buku itu dan bersumpah tidak akan beli apapun di sini lagi. Rasanya terlalu gengsi dan menganggap perilakunya memberi permen untuk orang yang tidak dikenal adalah hal memalukan.
Di toko sebelah, pesanan spare part kendaraan sudah diproses. Setelah dibayar, Jordan menunggu para pegawai memindahkan dus sparepart ke bagasi mobilnya.
Ketika Jordan menutup pintu bagasi, matanya terpaku pada wanita tadi yang baru saja keluar dari toko.
Pria itu menggeser pandangan ke mobil Ferarri GTO berwarna merah tahun 1960an. Namun, dia terkejut saat tahu 'si poni' masuk ke jok pengemudi mobil langka itu.
Tak terasa Jordan mengikuti mobil merah itu demi memenuhi rasa penasarannya pada mobil yang hanya ada 30 di dunia!
Di dalam perjalanan, mobil-mobil lain yang baru keluar dari toko lalu menghalangi jalannya, membuat mobil antik itu semakin menjauh. "****! Oh tidak jangan! No!No! Noooo!"
Lampu merah menghentikannya .... Dia keluar dari mobil dan melihat mobil merah yang tertutupi dengan dua mobil di belakangnya. Mobil merah itu semakin tak terlihat. Dia menjambak rambut sendiri dengan tak kuasa menahan jengkel. "Ahh .... Tuhan, aku mau mobil itu! "
"Ma, bukunya." Adam menarik lima buku baru dari tangan sang Mama. Kemudian mama menyerahkan stoples permen mangga dan pensil warna ke sang adik.
"Maaf, ya, Sayang. Mama harus memilih buku-buku itu jadi sedikit lama." Febi sambil mencium pipi si kembar bergantian.
"Ayo cepat Mah, ada Kakek!" Mia mencoba menarik rok sang Mama dengan semangat.
Febi mengelus pucuk rambut Mia yang keriting. Anak kembarnya berambut keriting, sangat cantik.
“Kak Feb, sore banget pulangnya!” Adik tiri langsung menghampiri sang pemilik rumah.
Febi memeluk bergantian ke adik tiri, ayah, lalu ibu tiri. “Kalian sudah lama?”
“Sudah satu jam. Aku memberikan buku bagus untuk Adam." Kikan merangkul pinggang Febi.
“Terimakasih, adikku sayang."
Febi melihat putranya yang berumur lima tahun sedang menyobek sampul dan mengendus aroma buku baru. Dia yakin pasti baunya enak.
“Apa Michael lembur? Sudah jam lima kok, masih belum pulang.” Tanya Martha-mama tirinya.
"Iya, mungkin Mike sedang lembur. Biar aku telepon Mike!” Febi lalu menjauh.
Febi kembali dengan ekspresi bersalah. “Ayah, Mike sedang sibuk."
“Oh .... " Adi merasa Febi menutupi sesuatu. Dia menggedikkan bahu. "Ya, mau gimana lagi orang suamimu memang sibuk?”
“Mumpung malam minggu, kami boleh menginap di sini, kan?” Tanya Martha sambil memberikan lauk ke piring suami.
“Ya, kenapa tidak?” Febi merasa makin tertekan karena kunjungan keluarganya.
“Kemari, Sayang. Apa kamu ada masalah? Kulihat kamu banyak melamun." Tanya Martha tidak sabar. "Matamu juga sembab dan tumben kamu pergi tanpa riasan?”
“Sudahlah, kamu terlalu mengkhawatirkannya. Dia di depanmu loh?” Adi geleng-geleng kepala lalu melanjutkan makan.
“Lah, perasaan ibu kan tidak pernah salah? Ya, meski aku bukan yang melahirkannya.” Martha makin tertunduk dengan wajah murung. “Sepertinya, kamu meragukan instingku?”
“Maaf, maaf, Istriku. Kamu adalah ibu terbaik di dunia. Aku dan Febi sungguh beruntung memilikimu!"
Mereka pun kembali sibuk menghabiskan makanan.
*
Malam semakin larut, tetapi putrinya masih belum ada tanda-tanda mengantuk. Febi membelai rambut Mia lalu menghapus air mata putrinya. “Sudah dong, nanti cantiknya bisa hilang. Coba ceritakan soal Chris Evan?”
“Evans Reyes, Mama!” kata Mia dengan kesal. “Chris Evans itu pemain captain Amerika, masa begitu saja nggak tahu?”
“Oh, jadi, Mama salah?" Febi menahan tawa karena nada menggurui putrinya barusan. Setidaknya, dia berhasil menghentikan tangisan bocah itu.
“Ayo tidur dulu. Besok Mama belikan Mango Thailand, ya?” Febi kewalahan karena suaminya tidak pulang.
“Tapi, maunya papa yang beliin!” kata Mia dengan kekecewaan mendalam karena papa tidak menjawab telepon sejak pagi.
"Adek .... " panggil Adam yang susah gatal mendengar rajukan kembarannya. Dia merasakan ada yang disembunyikan sang mama. Tadi malam Adam hendak mencari papa. Saat dia di ujung tangga, Adam melihat dua orang menjegal papa. Jadi, kemanakah papa pergi sejak tadi malam?
Adam bangkit dari kasur dan berpindah ke ranjang milik Mia. “Sudah dong Dek, jangan buat mama jadi bersedih.”
Kring .....
Mia dan Adam sontak bangun begitu mendengar bunyi telepon. Febi pun turun dari tempat tidur. Wanita itu menghela napas kecewa saat melihat layar ponsel, lalu menoleh ke si kembar sambil menggelengkan kepala. "Bukan papa ...."
Wajah si kembar langsung murung dan mereka langsung tidur miring memunggungi Febi.
*
Febyan Ananta Bagaskara merupakan tenaga pengajar di Montessori Aurora Preschool. Siang itu, dia keluar dari kantor guru dan mulai berlari dengan banyak pertanyaan.
Di ruang kesehatan, guru-guru berkerumun di tengah teriakan histeris anak laki-lakinya. Dia melewati kerumunan, tampak Adam sedang terus memegangi kepala dan menjerit-jerit kesakitan. Tanpa perlu waktu lama Adam dilarikan ke rumah sakit.
Ketika langit berwarna kuning keemasan di ufuk barat, Febi mengarahkan mobil merah ke halaman rumah kecil.
Dia hendak menjemput anak perempuannya yang tadi dititipkan di rumah Oki- yang adalah seorang guru tari. Namun, putrinya diketahui baru saja tertidur, jadi terlalu riskan kalau digendong pasti akan langsung terbangun.
Oki memperhatikan Febi. Secangkir teh hijau yang masih mengepul dan baunya sangat wangi disodorkan ke depan Febi. "Ayo, minum dulu biar lega."
"Terimakasih," katanya lesu. Febi meniup teh. Indra penciumannya hilang karena hidungnya bengkak. Rasanya ingin tidur karena tidak kuat menghadapi cobaan bertubi-tubi.
Panas menyengat bibir yang kebas dan membakar lidahnya. Febi menjulurkan lidah kepanasan dan menunggu beberapa saat dengan pikiran melayang ke rumah sakit. Perlahan Febi kembali menyesap teh dan kehangatan menyentuh tenggorokannya yang begitu kering.
"Adam sakit apa?" Tanya Oki saat Febi menaruh cangkir di atas meja dengan wajah sendu.
Febi memegangi dada yang mendadak ngilu. Dua sudut bibirnya melengkung ke bawah. "Kemungkinan Adam sakit ....."
Febi kesulitan menjawab, suara esek Febi semakin menjadi-jadi. Cairan ingus itu ada yang lolos ke bibir bengkak itu. Punggung Febi turun-naik seolah menahan beban besar.
Ya Allah .... Oki menjadi sangat penasaran sehingga dia pun ikut sesak napas karena napas temannya yang berat seperti sedang asma. Dia mengelus punggung Febi yang terasa panas. Apa seberat itu hanya sekadar mengatakan penyakit ... Atau nyawa Adam sedang terancam ?
"Adam sakit apa?" tanya Oki semakin cemas.
"Adam sakit apa?" Tanya Oki saat Febi menaruh cangkir di atas meja dengan wajah sendu.
Febi memegangi dada yang mendadak ngilu. Dua sudut bibirnya melengkung ke bawah. "Kemungkinan Adam sakit ....."
Febi kesulitan menjawab, suara esek Febi semakin menjadi-jadi. Cairan ingus itu ada yang lolos ke bibir bengkak itu. Punggung Febi turun-naik seolah menahan beban besar.
Ya Allah .... Oki menjadi sangat penasaran sehingga dia pun ikut sesak napas karena napas temannya yang berat seperti sedang asma. Dia mengelus punggung Febi yang terasa panas. Apa seberat itu hanya sekadar mengatakan penyakit ... Atau nyawa Adam sedang terancam ?
"Adam sakit apa?" tanya Oki semakin cemas.
Dari pemindaian MRI ada kelainan pada otak Adam." Febi merinding hebat. "Dokter mengira itu kanker ...."
Wajah Oki langsung memucat, tangannya menutup mulut pertanda syok. "Bagaimana bisa anak sekecil itu terkena kanker?" Setahu Oki kanker kebanyakan dialami oleh orang-orang dengan gaya hidup tidak sehat.
Febi menggigit bibir bawah. Bibirnya bergetar menahan untuk tidak menimbulkan suara tangis, tetapi dadanya justru mengembang dan mengempis begitu terguncang.
"Innalilahi wainailaihi rojiun, kanker .... " Oki kehabisan kata-kata dan lututnya mendadak lemas. Si cerdas yang paling hobi membaca buku itu kini mendapat cobaan seberat ini di usianya yang belum genap lima tahun.
"Sudah sholat Ashar?" Begitu mendapat gelengan Febi, maka Oki menarik tangan Febi. "Ayo sholat bareng, dan minta petunjuk sama Allah."
Perasaan tenang memenuhi hati Febi seusai menjalankan sholat. Dia menjadi punya kekuatan tambahan saat menggendong putrinya ke mobil. Tidak apa-apa semua dilakukan sendiri saat ini, karena dia masih memiliki Allah.
*
Sesampai di rumah, Febi mencoba menghubungi Mike. Harapan Febi kembali sia-sia karena Mike tidak menerima teleponnya. Teganya kamu, Mike.
Kalau dipikir-pikir mengapa juga dia ingin memberitahu Mike soal Adam yang berada di kondisi antara hidup dan mati, setelah Mike menceraikannya? Apalagi Mike memutus semua akses komunikasi.
"Ma, Mia boleh ikut ke rumah sakit, ya?" Mia kembali merengek.
"Mia, dengar Mama. Di rumah sakit itu banyak penyakit, nanti Mia bisa ketularan sakit."
"Tapi, Mama bilang ke nenek, kalau Papa ada di sana. Mia mau ketemu Papa." Mia begitu jengkel pada papa yang sudah menolak panggilan teleponnya.
"Papa itu sudah tidak di rumah sakit. Tadi, papa sudah balik kantor dan lembur lagi." Febi terpaksa berbohong soal Mike.
"Kalau gitu Mia ke kantor sama tante. Mia mau ketemu papa!"
"Loh? Kalau kita sayang papa. Kita sebaiknya mengerti dengan kesibukan papa, ya. Kasian papa yang sedang kerja, kalau Mia kesana nanti kerjaan papa jadi tertunda. Nah? Lalu papa dimarahin bos papa." Febi dengan wajah penuh ekspresi yang berubah-ubah untuk membuat putrinya mengerti.
"Bos papa adalah Kakek. Kakek sayang papa dan tidak akan memarahinya!" Anak itu dengan keyakinan kalau kali ini sang mama mengabulkan permintaannya.
Febi mengembuskan napas panjang dan pelan tanpa mengintimidasi. Dia membisu dan menatap begitu lama.
"Bos papa itu bukan cuma kakek. Papa punya tanggung jawab besar untuk semua orang." Febi mengucapkan pelan-pelan setiap kata. "Ada orang yang jabatannya setinggi Kakek. Jadi, Mama mohon kamu bisa mengerti papa, ya. Mia di rumah, tidur sama nenek, biar besok bisa bangun pagi."
Mia mengangguk dengan bibir tertekuk, sambil menahan tangisan. Dia mendapat pelukan lembut dari mama yang tampak kelelahan.
Sesampai di rumah sakit, Febi berjalan ke kantor administrasi. Kini mereka merujuk Adam ke Rumah Sakit Anak Aurora. Fasilitas medis di sana dianggap lebih memadai untuk kondisi Adam. Dia merasa ada yang tidak beres dengan penyakit putranya.
Wanita itu ikut mobil ambulance dan terus menggenggam tangan Adam. Dia mencoba memberi kehangatan agar putranya tidak takut. Padahal, dia sendiri diliputi ketakutan yang jauh lebih besar.
Dari tadi pagi Adam gelisah, Febi kira akibat tidak adanya kabar dari Michael. Setelah di ingat-ingat, sepertinya Adam sudah kesakitan dari pagi.
Kenapa kamu tidak jujur pada Mama kalau nggak enak badan? Sekarang jadinya parah begini ... Yang kuat, ya Nak. Mama selalu di sampingmu.
Suara monitor di kamar rawat inap Adam, membuat Adi yang baru datang begitu merasa terpukul. Cepatlah sembuh, cucuku. Lihat mamamu itu sangat khawatir sampai belum mau makan dari siang.
"Di mana Mike?" Adi mendekati putrinya.
Alih-alih menjawab, justru Febi mengalihkan obrolan. "Ayah, barusan Ahli saraf datang memeriksa Adam. Lalu katanya mereka tidak setuju dengan diagnosis kanker."
"Terus Adam sakit apa?"
Dengan susah Febi membaca catatan di ponselnya. Ini sesuai diagnosis sementara yang tadi disampaikan dokter. "Ensefalomielitis diseminata akut atau ADEM."
"Katanya, itu penyakit autoimun jangka pendek yang kadang dipicu oleh infeksi." Febi menuturkan sesuai hasil searching. Padahal, dokter melarangnya melakukan ini. Akan tetapi jiwa keponya memberontak, apalagi melihat dokter kebingungan dalam mendiagnosa?
"Penyakit autoimun?" Adi mengelus dagu yang berjanggut tipis.
"Febi, rumah sakit ini adalah yang terbaik di kota, saya yakin mereka bisa bekerja dengan maksimal. Jangan terlalu khawatir, wajahmu itu sudah seperti orang kebelet pub tahu."
"Ayah?" suara Febi sedikit meninggi, sempat-sempat ayah meledeknya. Ponsel Apple diletakan di atas laci.
"Kemari, Anak Cantik." Dengan tidak sabar, Adi menepuk-nepuk sofa di samping.
Jantung Febi makin berdebar. Kalau sudah begini, dia yakin ayah mau mengatakan sesuatu yang sangat serius. Perempuan itu menoleh ke jendela, pura-pura tidak mendengar.
"Hp Mike kenapa tidak aktif?"
Seluruh syaraf dalam tubuhnya menegang saat suara tepukan ayah di sofa semakin intens. "Pasti hpnya mati? Ayah juga sering begitu."
"Saya kira kamu membohongi Ayah, dari kemarin, wow? Hebat sekali, seorang anak bisa membohongi orang tua."
Sindiran ayahnya terasa langsung mengenai jantung Febi. Wajahnya seketika berubah masam. Dia duduk di samping ayah dengan pasrah.
Adi memegangi tangan sang putri. "Seperti yang Ayah duga, kalian sedang ada masalah."
Air mata mata Febi langsung mengalir ke pipi. Setiap perkataan ayah seperti tembakan selalu tepat sasaran di pusat jantungnya.
Adi menghela napas panjang. Dia memberikan waktu ke- anak dari pernikahan pertamanya, untuk meluapkan kegundahan.
Dia pasti tertekan dan banyak pikiran. Sungguh aneh, menantuku tidak pulang ke rumah, anakku juga berbohong. Katanya , Mike lembur di kantor? Omong kosong, padahal orangku melapor kalau Mike pulang ke rumah orangtuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!