NovelToon NovelToon

DEAPECTRUM

PROLOG

Mataku berhenti ke sebuah benda yang berada di meja samping kiri ranjang. Aku mendekatinya untuk mengetahui apa benda berkilau tersebut. Ternyata adalah sebuah kalung dengan liontin huruf 'L'.

Aku meletakannya ke genggamanku dan berpikir aku ingin memiliki benda ini. Tanpa pikir panjang aku langsung memasukan kalung itu ke kantong celanaku dan tidak lama kemudian anak laki-laki itu masuk.

Dibawanya sekeranjang penuh berisi roti-roti yang mengeluarkan aroma lezat seperti aroma yang aku cium ketika berada di dapur.

Anak laki-laki itu meletakan sekeranjang roti tersebut ke atas ranjangnya dan memasukannya ke kantong plastik yang juga di bawanya. Aku hanya diam berdiri tanpa mendekatinya.

"Ini makanlah." Anak laki-laki itu menyodorkan sebuah donat kacang yang terlihat sangat menggoda.

Aku menelan salivaku sebelum mengambilnya lalu melahapnya. Benar-benar lezat, belum pernah aku memakan makanan selezat ini. Aku jadi tidak sabar memberikan roti-roti lezat ini pada Jatnera, dia pasti akan menangis karena senang.

"Berapa usiamu?" Tanya anak itu.

"Sepuluh."

"Kita terpaut tiga tahun kalau begitu. Aku punya seorang adik perempuan yang tidak tahu dimana. Mungkin jika bertemu denganmu kalian bisa berteman." Ucap anak laki-laki itu sambil sibuk memasukan roti-roti ke dalam kantong plastik. "Pasti sulit kan tinggal di sini?"

Anak itu menatapku dan aku tetap diam.

"Tenang saja aku akan merubah tempat ini menjadi lebih baik." Dia tersenyum seolah-olah perkataannya itu adalah hal mudah.

Aku memalingkan tubuhku ke arah jendela kamar membelakangi anak laki-laki yang masih sibuk memasukan roti demi roti ke kantong plastik dengan hati-hati. Aku tidak tahu seberapa jauh aku berlari tadi dan aku juga tidak tahu saat ini aku berada di lantai berapa. Namun yang pasti pemandangan dari atas sini terlihat begitu nyaman, rasanya jika aku selalu berada di tempat tinggi aku dapat melihat semuanya sehingga dapat terhindar dari apapun.

Aku memikirkan bagaimana masa depanku kelak hidup di negeri pembuangan ini. Apa setelah keluar dari ruangan mewah ini aku bisa bertahan hidup lebih lama, atau tidak akan ada masa depan di dalam hidupku. Memikirkan hal tersebut membuatku selalu bergidik ketakutan.

"Dan bagaimana setelah ini?" Perkataan anak itu menyadarkan aku dari lamunan.

Aku menoleh padanya yang berdiri di jarak empat meter dariku. Melihat diri anak itu dari sini membuatku benar-benar iri padanya. Pakaian indah dan berlimpah makanan, dia tidak perlu memikirkan tentang masa depannya ada atau tidak ada.

Apa jika aku membunuhnya dapat menggantikan posisi anak itu? Ah, apa yang aku pikirkan, anak itu sangat baik padaku dan telah menyelamatkan hidupku, rasa iri bukan alasan untuk tidak berterima kasih padanya.

"Sudah hampir jam tujuh, di luar pasti sudah ramai orang."

Oh tidak, bagaimana aku dapat melupakan waktu. Kalau begini bagaimana aku pulang?

"Sebaiknya aku pergi sekarang." Ucapku.

"Tunggu dulu!" Seru anak laki-laki itu. Anak itu membuka lemari pakaiannya dan mengambil sebuah koper besar dari dalam. "Pasti berbahaya jika kau tertangkap. Masuklah ke dalam koper ini dan aku akan menyuruh penjaga untuk menaruhmu di belakang hotel." Ujar anak laki-laki itu dengan tatapan serius. "Tenang saja aku akan menyuruh penjaga itu untuk tidak membuka koper, kau pasti aman. Bagaimana?"

Aku memikirkan ide anak itu dengan konsekuensinya. Aku tidak terlalu yakin kalau penjaga itu tidak akan penasaran dengan isi koper. Tetapi melihat wajah anak itu yang berkata dengan penuh keyakinan, mungkin ini bukan ide yang buruk.

Aku mengangguk menjawabnya.

"Ini ambil pisau ini, gunakan untuk membuka koper saat sampai di belakang hotel nanti." Anak itu memberikan sebuah pisau roti yang tidak terlalu tajam. "Masuklah kedalam."

Dia membuka koper dan menatapku membuatku mau tidak mau masuk ke dalam koper besar berwarna biru dongker itu.

"Ini roti milikmu." Anak itu memberikan sekantong besar roti padaku. "Hhm, tidak ada yang ingin kau katakan?" Pertanyaannya membuatku bingung. "Memang seharusnya aku tidak meminta tetapi di semua negeri merdeka akan membalas kebaikan seseorang..."

"Terima kasih." Ucapku. "Disini memang tidak ada sekolah ataupun pelajaran tata krama, tapi nenekku mengajarkannya padaku." Perkataanku membuatnya tersenyum.

"Bukannya aku tidak senang tapi di negeriku berasal kata terima kasih selalu diiringi dengan sebuah ciuman."

Aku menatapnya dengan bingung karena aku tidak mengerti dengan arti kata 'Ciuman'. Isbell tidak mengajariku tentang kata itu.

"Sudahlah tidak perlu dipikirkan." Senyum anak itu. "Bertahanlah hidup, aku yakin suatu saat pasti bisa bertemu denganmu lagi."

...----------------...

Dua ratus tahun yang lalu Deapectrum adalah tempat pembuangan manusia yang diasingkan karena melanggar hukum dari berbagai Negara di dunia.

Deapectrum adalah sebuah negeri yang cukup besar yang terletak di antara dua benua terbesar di dunia. Tempat yang suram dan penuh air mata. Terdiri dari beberapa pulau dan tempat-tempat yang memiliki iklim yang berbeda.

Di tempat perasingan itu berbagai ras dan suku bangsa bertemu. Mereka yang melanggar hukum di buang tanpa pernah di adili.

Lima puluh tahun kemudian, Deapectrum berubah menjadi sebuah negeri yang dijauhi oleh negara lainnya. Walaupun Deapectrum negeri pengasingan namun beberapa orang konglomerat dari berbagai macam negara datang dan membuat sesuatu yang tidak dapat di mengerti.

Mereka mulai membuat berbagai macam tempat yang dijadikan peluang bisnis di Deapectrum.

Semua manusia yang diasingkan di sini memiliki dua pilihan, menjadi budak mereka atau mati kelaparan.

Tidak ada pemerintahan dan hidup di Deapectrum menjadi sangat sulit karena sebagian besar manusia yang hidup di Deapectrum adalah pelaku kejahatan. Setiap hari harus berjuang hidup dan menghindar dari para penjahat yang sewaktu-waktu dapat menghantui.

Tinggal di Deapectrum adalah suatu mimpi buruk bagi siapapun karena tidak akan ada makanan yang mudah ditemukan untuk di makan setiap harinya.

Begitu juga bagi diriku yang terlahir di tempat menyeramkan ini. Sepuluh tahun yang lalu ibuku yang diasingkan dari sebuah negara bebas melahirkan aku di tempat sampah ini. Setelah melahirkan aku dia langsung meninggalkan diriku karena Tuhan memanggilnya sangat cepat.

Seorang nenek baik hati bernama Isbell memungutku dan merawatku seperti aku ini adalah cucunya. Isbell menjadi budak di sebuah hotel megah yang baru saja di bangun, hotel tersebut bernama Pond Jae.

Hanya dua bungkus nasi yang menjadi upahnya setiap hari. Itu sudah cukup bagi aku dan Isbell. Namun lima tahun yang lalu Isbell memungut seorang anak yang lebih muda tiga tahun dariku bernama Jatnera. Setelah itu hidup kami menjadi agak lebih sulit karena harus membagi dua bungkus nasi untuk tiga orang.

Namaku Klay-Bee yang tidak memiliki arti apapun. Nama itu hanya diambil dari sebuah tulisan yang ada di pakaian yang dikenakan ibuku ketika melahirkan aku. Sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana rupa ibu dan tidak mengerti kenapa ibuku yang sedang mengandung diriku diasingkan ke tempat yang jauh dari moral ini.

Kadang aku merasa menyesal karena dilahirkan. Andai saja aku tidak dilahirkan mungkin aku sangat akan bersyukur sekali. Itulah doaku selama ini.

...@cacing_al.aska...

001. NEGERI PEMBUANGAN

Di luar hujan mulai turun dengan deras. Isbell belum juga pulang. Padahal ini sudah dua jam lewat dari waktu biasanya dia pulang. Aku dan Jatnera menunggu di gubuk gelap dan lembab dengan perut yang kelaparan. Jatnera yang masih berusia tujuh tahun terus berkata kalau perutnya lapar.

Setiap kali dia merengek meminta makan rasanya aku ingin sekali memukulnya tetapi matanya yang selalu terlihat seperti seekor kucing yang minta di kasihani membuatku tidak tega. Aku mengambil inisiatif untuk pergi ke hotel dimana Isbell bekerja. Mungkin saja hari Ini Isbell mengambil sebungkus nasi lagi sehingga dia tidak dapat pulang secepat biasanya.

Tanpa payung aku meninggalkan gubuk tempat perlindunganku selama sepuluh tahun ini menelusuri hujan yang turun semakin deras. Jika tahu kalau aku akan kehujanan sebaiknya aku tidak perlu mandi tadi, pikirku. Mandi di tempat ini sangat sulit karena air tidak mudah di dapat. Karena memang sangat sulit untuk mendapatkannya.

Di tambah setiap tahun di Deapectrum bangunan mewah bertambah banyak. Kami yang tidak memiliki uang tidak akan mampu membelinya karena itu kami harus pergi ke sebuah air terjun yang berjarak sepuluh kilo dari sini. Untuk mandi di sungai itupun harus di lakukan secara bersembunyi karena bisa saja orang jahat melihat kalian dan pasti mereka akan melakukan hal buruk pada kalian.

Aku terus menelusuri jalan yang tanpa penerangan. Agar tidak terlihat orang jahat, itu sangat bagus tetapi berjalan di tempat segelap ini membuatku sulit berjalan dan tanah yang lengket seperti lem membuat langkahku sangat berat.

Hampir di setiap jalanan di Deapectrum masih di penuhi pepohonan yang tidak terurus. Pohon-pohon tersebut membuatku lebih beruntung karena dapat berjalan sambil bersembunyi agar tak ada orang yang melihat anak berusia sepuluh tahun berjalan di malam hari seperti sekarang ini.

Jika saja penjahat datang dan menangkapku, aku pasti akan di jual dan di jadikan seorang budak tanpa upah. Seumur hidup bekerja tanpa ada lagi hak asasi yang berlaku bagi diriku. Kadang aku juga mendengar dari beberapa orang kalau para penjahat mungkin saja menjadikan orang yang di tangkapnya sebagai makanan mereka. Itu sangat buruk tetapi begitulah hidup di tempat pembuangan ini.

Aku tidak tahu sampai kapan hidupku di tempat ini, atau mungkin saja sampai mati aku akan hidup di sini. Kalau itu terjadi aku lebih berharap hidupku tidak akan lama karena jika saja Isbell tidak ada mungkin sebaiknya aku mati.

Sebuah rombongan mobil terlihat dari kejauhan berjalan mendekati ke arahku. Dengan segera aku langsung berlindung di sela pohon pinus yang menjulang tinggi untuk bersembunyi. Enam mobil melintas tanpa seorangpun melihatku. Tetapi tiba-tiba jendela mobil ketujuh di buka oleh seorang anak laki-laki ketika melintasiku. Anak laki-laki itu memandang ke arahku tetapi aku tidak yakin kalau dia melihatku karena tak ada ekspresi dari wajahnya.

Sepertinya benar kalau dia tidak melihatku karena aku yang bertubuh kecil ini bersembunyi di balik pohon dan keadaan sangat gelap. Genap sepuluh mobil mewah melintas melewatiku. Aku membuang napas lega karena tak ada yang menyadari keberadaanku di jalan ini.

Mereka pasti rombongan orang-orang konglomerat yang memiliki salah satu bangunan mewah di Deapectrum. Dan sepertinya mereka menuju Pond Jae, hotel di mana Isbell menjadi budak. Aku merasa iri pada anak laki-laki tadi, usianya pasti tidak jauh berbeda denganku.

Mungkin hanya lebih tua dua atau tiga tahun dariku. Tetapi kehidupan kami sangat berbeda jauh. Jika saja aku adalah anak laki-laki itu pasti aku tidak akan kelaparan setiap hari dan tidak perlu hidup dalam ketakutan seperti sekarang ini.

Hujan semakin deras ketika aku melanjutkan perjalanan. Jarak dari tempat tinggalku menuju Pond Jae kira-kira dua jam jika di lalui dengan berjalan kaki. Aku sudah hampir setengah perjalanan.

Di ujung jalan dari tikungan ini ada sebuah bangunan megah yang di hiasi dengan lampu berwarna-warni. Tempat itu di penuhi orang hanya ketika malam hari. Wanita-wanita berpakaian gemilau dan wajah yang di hiasi warna-warni riasan selalu menyambut para pria dengan senyum mesra.

Isbell selalu melarangku untuk melintas di depan bangunan itu. Isbell bilang akan sangat buruk jika aku sampai tertangkap oleh pemilik bangunan itu karena aku pasti akan di jadikan seperti wanita-wanita budak di sana. Aku masih tidak mengerti apa fungsi tempat itu hingga anak kecil sepertiku tidak di beritahu mengenai kejelasan tentangnya.

Disini memang tidak ada sekolah ataupun belajar tetapi Isbell yang dulunya adalah seorang guru sebelum di buang ke tempat ini mengajariku membaca. Sebuah tulisan besar yang dibuat dengan lampu berwarna-warni bertuliskan Bordil House.

Dengan langkah yang tak terdengar aku melewati bangunan itu seperti bayangan. Isbell sering memujiku karena langkah ringanku hampir tak terdengar bahkan dia menjulukiku seperti bayangan dan aku suka dengan julukan darinya.

Aku terus berjalan tanpa memedulikan hujan yang turun sangat deras. Kaos dan celana bahan yang ku kenakan basah kuyup terkena hujan yang sejak tadi tidak berkurang intensitasnya.

Sebentar lagi aku akan sampai ke hotel Pond Jae. Setelah melewati rawa-rawa di depan sana aku akan segera tiba. Aku lebih memilih jalan rawa ini karena akan lebih cepat walaupun akan sangat sulit pastinya, tetapi Isbell pun selalu memilih jalan ini agar lebih cepat sampai. Hotel Pond Jae yg berdiri megah itu pun sudah terlihat dari tempatku berada.

Aku melewati rawa-rawa yang dipenuhi pohon walnutt. Keadaan tanpa lampu memang menyeramkan tetapi aku tidak pernah takut pada sosok gaib, yang lebih aku takutkan adalah orang-orang jahat yang dapat datang sewaktu-waktu.

Ketika sebuah kubangan besar dapat aku lewati dengan loncatan jauh ku, kakiku berhenti bergerak saat melihat sosok yang bertubuh kurus ringkih terbaring di atas tanah yang basah karena hujan. Sejenak aku terdiam memperhatikan sosok tersebut.

Aku mengenali siapa orang yang saat ini terbaring lemah di jarak sepuluh meter dari tempatku berdiri, dia adalah Isbell. Tanpa pikir panjang aku berlari mendekatinya dengan perasaan khawatir.

Aku tidak peduli betapa sakitnya kakiku karena menginjak bebatuan yang tajam dan tanah yang licin ketika berlari. Rasanya uluh hatiku terasa sakit melihat orang yang sangat berharga dalam hidupku dalam keadaan mengenaskan saat ini.

"Nenek kau dengar aku?" Tanyaku sambil mengguncang-guncangkan tubuh lemahnya.

Aku berharap Isbell menjawabku namun dia tidak bergerak sedikitpun. Bibirnya sudah membiru dan tubuhnya menggigil kedinginan. Pasti sudah cukup lama dia terbaring di sini. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari tempat yang bisa di gunakan untuk berteduh. Sebuah pohon walnutt besar dengan daun lebat terlihat cukup baik untuk berteduh. Di sela-sela batang pohon Isbell bisa terhindar dari guyuran hujan.

"Nek, aku akan menggendongmu ke tempat yang teduh." Ujarku tetapi tetap tak ada respon.

Dengan sekuat tenaga aku menaikan tubuh Isbell ke punggunggku dan berjalan dengan tertatih membawa Isbell ke dekat pohon walnutt.

Beberapa kali aku hampir terpeleset karena kondisi tanah yang licin untung saja aku dapat menyeimbangkan tubuhku dan berpegangan pada pohon-pohon di sekitarku.

Tubuh Isbell yang kurus tidak lebih berat dari air yang sering aku ambil untuk minum kami bertiga. Mungkin karena aku sudah terbiasa membawa beban berat sehingga aku dapat menggendong Isbell di punggungku. Dengan hati-hati aku menurunkan Isbell ketika sampai di bawah pohon walnutt.

Setelah itu aku mengambil lima daun pohon pisang. Aku mengusap air hujan di daun-daun itu dengan kaosku lalu menyelimuti Isbell hingga tubuhnya yang ringkuk terbungkus daun-daun pisang. Sejenak aku berpikir apa yang harus aku lakukan lagi.

"Bee," panggil Isbell yang akhirnya tersadar. Aku mendekatinya. "Bungkusan hitam, ambil bungkusan hitam itu... Itu makan kalian berdua." Dengan terbata-bata Isbell berbicara.

Aku melihat ke arah tempat Isbell tersungkur tadi. Sekantong plastik hitam tergeletak di sana. Aku langsung bergegas mengambil bungkusan hitam tersebut dan melihat isinya. Dua bungkus nasi sama seperti biasa yang di bawa Isbell pulang. Aku kembali bergegas pada Isbell.

"Kau pulang dulu, Jatnera pasti sudah kelaparan. Aku akan disini sampai hujan reda." Ujar Isbell menatapku.

"Tapi kondisi nenek tidak baik. Aku akan tetap disini." Jawabku.

"Jangan memikirkan aku, Jatnera pasti sudah menangis sekarang. Pulanglah aku akan baik-baik saja." Dengan susah payah Isbell berusaha mengeluarkan suaranya. "Kau tahu pohon ara yang dekat dengan rumah?"

"Iya. Ada apa?" Tanyaku tidak mengerti maksud perkataan Isbell.

"Arah selatan di bawah pohon itu ada kotak milikku yang aku kubur. Bisa kan kau menggalinya sekarang dan kembali untuk memberikan kotak itu padaku?" Tatapan Isbell terlihat begitu memohon.

"Nenek tidur saja dulu disini, aku pasti akan cepat kembali." Jawabku.

Isbell tersenyum seolah kondisinya baik-baik saja.

Setelah membenarkan daun-daun pisang yang menutupi tubuh Isbell aku langsung bergegas cepat dengan membawa kantong hitam yang isinya adalah makan malam kami.

Entah kenapa perjalanan kembali ke rumah lebih mudah dari pada perjalanan pergi tadi. Tanpa sadar aku yang terus berlari telah sampai di depan gubuk yang sudah lama kami tempati bertiga. Hanya ada satu ruangan tanpa jendela di gubuk itu. Aku terdiam menatapi rumahku sesaat dengan pikiran bercampur aduk.

Bagaimana caraku membawa Isbell pulang dan apakah Isbell baik-baik saja saat aku tinggal tadi?

...@cacing_al.aska...

002. SEBATANG KARA

"Bee..." Panggil Jatnera yang membuka pintu gubuk reyot yang terbuat dari papan-papan usang. "Dimana nenek?" Tanya Jatnera yang masih berusia tujuh tahun menatapku dengan wajah yang basah karena air mata.

Aku melangkah masuk ke dalam tempat tinggal kami sedangkan Jatnera mengikuti langkahku.

"Ini makanlah." Aku menyodorkan kantong hitam yang ku bawa pada Jatnera.

Dia mengambilnya dan langsung membukanya untuk di makan.

"Kau tidak makan?" Tanya Jatnera menatapku yang sibuk mencari sekop di penjuru gubuk yang tidak terlalu luas ini.

Aku tidak menjawab.

Sekop yang aku cari akhirnya ku temukan di dalam karung yang di letakan nenek di belakang gentong air. Aku langsung berlari keluar menuju pohon ara yang ada di belakang gubuk kami, jaraknya sekitar sepuluh meter.

Aku mengingat perkataan Isbell untuk menggali di sebelah selatan pohon ara tetapi aku tidak tahu dimana arah selatan. Aku terdiam sejenak mencoba mencari akal. Aku teringat Jatnera. Dia anak yang cukup pintar karena selalu ingat arah. Aku bergegas kembali ke gubuk untuk mencari jawaban darinya.

Jatnera sedang makan dengan lahap ketika aku masuk. Bahkan makanan yang ku bawa sudah hampir habis satu bungkus.

"Bisa beri tahu aku arah selatan itu dimana?" Aku bertanya dengan sedikit ragu apakah Jatnera mendengar suaraku yang keluar hanya serak karena saat ini aku haus setelah berlari jauh.

"Kau tahu bangunan yang menjulang tinggi dengan sebuah kubah berwarna merah?" Jatnera melihat ke arahku yang berdiri di depan pintu.

Aku hampir tidak bisa melihat wajahnya karena sangat gelap dan gubuk ini hanya di terangi dua buah lilin. Satu lilin di hadapan Jatnera dan lilin satunya yang aku gunakan saat mencari sekop, lilin itu berada di atas gentong air.

"Bangunan itu mengarah ke selatan." Sebelum Jatnera menyelesaikan perkataannya aku sudah berlari kembali ke tempat pohon ara.

Aku melihat bangunan yang seperti di ucapkan Jatnera. Setelah yakin di situlah tempatnya aku langsung menancapkan sekop kayu yang sudah sangat tua ke tanah yang lengket karena hujan. Berkali-kali aku menyekop tanah itu tetapi peti yang di maksud Isbell belum juga tampak. Pasti peti itu sangat berharga sehingga Isbell menguburnya sangat dalam.

"Apa yang kau lakukan?" Jatnera berdiri di belakangku. "Kau begitu aneh Bee, dimana nenek?"

Aku tetap tidak menjawab karena tidak ada waktu untuk menjelaskan hal ini padanya sekarang. Aku terus mengangkat tanah-tanah dengan segenap kekuatanku. Bahkan napasku hampir putus jika peti itu belum juga muncul.

Sekop yang ku gunakan membentur sesuatu yang keras. Dengan tangan aku langsung menggali tanah seperti seekor kucing untuk mengeluarkan peti tersebut. Setelah peti itu tampak semua bagiannya aku langsung mengangkatnya dari dalam tanah.

Sebuah peti berukuran kira-kira empat puluh kali dua puluh sentimeter dengan warna cat kayu berwarna cokelat masih terkunci dengan sebuah gembok kecil bergantung mengaitkan tutup peti dengan bagian bawahnya.

"Apa itu?" Jatnera mendekatiku. Dengan tanpa sepatah katapun aku berdiri dengan membawa peti tersebut lalu kembali berlari. Aku tidak memedulikan Jatnera yang terus memanggilku. Hujan sudah mulai berhenti walau rintik-rintiknya masih saja jatuh ke bumi.

Hari semakin gelap namun penglihatanku sudah terbiasa sekarang sehingga aku terus berlari seperti sedang dikejar oleh seekor binatang buas. Sangat kencang dan tidak memedulikan apa yang akan terjadi padaku jika penjahat melihatku sekarang. Pikiranku saat ini hanya ingin menemui Isbell untuk mengetahui isi peti ini.

Akhirnya aku sampai di tempat Isbell terbaring. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh di hatiku ketika melihat dari kejauhan tubuh Isbell yang tak berdaya tidak bergeming sedikitpun. Aku berhenti melangkah di jarak sekitar sepuluh meter dari Isbell.

"Nenek..." Panggilku dari kejauhan, berharap Isbell akan menjawab panggilanku namun harapanku pudar.

Aku menjatuhkan peti yang ku bawa ke tanah dan bergegas menghampiri Isbell. Mata Isbell tertutup dan dia sudah tidak menggigil kedinginan lagi. Keadaannya sekarang lebih tenang dari pada saat aku meninggalkannya.

"Ne..." Suaraku terhenti ketika memegang lengan Isbell untuk mengguncangkan tubuhnya.

Tubuhnya sangat dingin seperti es. Dengan sedikit takut aku mencoba menaruh kedua jariku, jari telunjuk dan jari tengah ke hidung Isbell. Aku menahan napasku untuk merasakan hembusan napasnya di jari-jariku. Air mataku langsung keluar membasahi pipi ketika tidak ada hembusan yang keluar dari hidung Isbell.

"Neneeeeekk..." Teriak Jatnera yang berlari mendekat.

Aku langsung berdiri ketika dia mengguncang-guncangkan tubuh Isbell.

"Bee, nenek kenapa? Kenapa tidak juga bangun?" Jatnera menoleh menatapku.

Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Jatnera karena pasti akan sangat sulit untuk gadis sekecilnya untuk mengerti arti kematian. Aku tetap terpaku dengan tatapan hanya pada satu titik sedangkan Jatnera terus menerus memanggil-manggil Isbell dengan air mata dan tangisannya.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang. Selama ini hanya Isbell yang melindungi aku dan Jatnera. Jika dia tidak ada akan bagaimana hidup kami berdua. Isbell meninggalkan kami berdua sebelum dia sempat melihat peti yang sudah susah payah aku temukan. Bahkan dia belum sempat memberitahuku dimana kunci peti itu agar aku dapat membukanya dan mengetahui apa isinya.

Pasti isi peti itu sangat berharga sampai-sampai Isbell menguburnya di tanah. Pasti Isbell ingin menunjukan isi peti itu padaku namun ajal sudah lebih dulu memanggilnya.

Hari sebentar lagi akan terang, aku harus melakukan sesuatu pada jasad Isbell. Aku mengumpulkan batang-batang kayu di sekitar rawa. Memanjat pohon untuk mengambil kayu-kayu kering yang tidak terkena air hujan. Di Deapectrum setiap jasad yang sudah tak bernyawa harus di bakar agar tidak meninggalkan apapun. Karena akan memakan tempat jika di kubur sehingga membakarnya adalah cara yang terbaik.

Hujan sudah berhenti total sejak satu jam yang lalu sedangkan batang-batang pohon yang aku kumpulkan sudah cukup jumlahnya. Aku menyusun batang-batang itu dan menumpuknya di atas jasad Isbell. Air mataku terus mengalir ketika menutupi tubuh Isbell dengan batang pohon dan dedaunan serta menyiramkan sebotol minuman keras yang aku dapatkan di sekitar jalan dekat Bordil House.

Rasanya aku tidak percaya kalau hari ini akan tiba secepat ini. Dengan sebatang pohon yang kering dan batu aku memakai keahlianku membuat api. Tanpa susah payah aku dapat menghidupkan api. Namun melempar api ke tubuh orang yang sangat berharga bagiku sangatlah sulit. Aku mengendalikan tangisku dengan menutup mataku lalu melempar batang pohon yang sudah hampir di telan api itu ke atas tumpukan batang-batang pohon dan jasad Isbell. Aku menoleh pada Jatnera yang sejak tadi terus menangis.

Setiap kali mendengar tangisannya aku selalu merasa kesal. Aku menghampirinya untuk menyuruhnya berhenti menangis.

"Sudah jangan menangis terus!!" Bentakku.

Bukannya berhenti menangis Jatnera malah semakin kencang menangis.

"Walaupun kau menangis selamanya nenek tetap tidak akan bangun!" Jatnera tidak mendengarkan perkataanku sedikitpun.

Aku diam menatapnya sesaat. Selama ini aku dan Jatnera selalu bergantung pada Isbell dan sekarang Isbell tidak ada lagi. Akan bagaimana hidup kami setelah ini? Aku memeluk Jatnera yang masih menangis dan menangis bersamanya.

...@cacing_al.aska...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!