NovelToon NovelToon

Against All Odds

CH 1 - Aurora Crest Hotel

"Hi, selamat datang di novel pertamaku. Karena ini pertamakalinya aku nulis novel, jadi mungkin masih banyak kekurangan, seperti masalah tanda baca, susunan kalimat, plot hole, alur yang lambat, dan sebagainya. Jadi jangan ragu untuk kasih kritik dan saran kalian, thanks a lot."

"Ketika orang lain berkata itu tidak mungkin, itu adalah saat yang tepat untuk membuktikan bahwa mereka salah." - Leo Demhian

...----------------...

[AGAINST ALL ODDS]

Malam itu, hujan turun dengan derasnya, mengguyur perbukitan yang menjadi latar belakang Aurora Crest Hotel atau yang bisa disebut Hotel Puncak Aurora. Hotel yang berdiri megah dengan tujuh lantai itu terletak cukup jauh dari pemukiman warga, membuatnya terlihat seperti sebuah kastil yang terisolasi.

Sebuah mobil polisi, melaju membelah hujan. Cahaya dari lampu mobil beradu dengan butiran hujan, menciptakan pancaran cahaya yang berkilauan di malam yang gelap. Mereka berhenti tepat di depan gerbang hotel yang terbuka. Terlihat hanya ada lampu yang menyala di lantai dasar dan beberapa titik di halaman, membuat bayangan-bayangan gelap yang menanjang di setiap sudut bangunan hotel.

Alisha, yang duduk di kursi pengemudi, menarik rem tangan mobil. Ia memposisikan mobil menghadap pintu lobby hotel, menyoroti Hotel Puncak Aurora dengan cahaya mobil dari kejauhan.

Alisha menoleh ke arah Neil yang duduk di kursi belakang, "Neil, tolong keluarlah dari mobil dan periksa pos satpam, cari tahu semua informasi tentang laporan yang sudah kita terima."

Neil sedikit menggerutu ketika dia melepaskan sabuk pengaman dan mengambil mantelnya. "Baiklah... aku pergi," katanya sambil membuka pintu mobil dan melangkah keluar.

"Bagaimanapun, kau harus mematuhi perintah dari atasanmu, Neil. Kita sebagai polisi, harus melakukan tugas ini dengan profesional." Tegur Leo, yang sedang duduk disamping Alisha.

Neil hanya menjawab dengan memutar bola matanya, menunjukkan rasa tidak peduli.

Alisha yang memiliki pangkat lebih tinggi diantara mereka, samasekali tidak terganggu oleh sikap rekannya, dia sudah menganggap Leo dan Neil seperti sahabatnya sendiri. Mereka sudah terbiasa saling memanggil dengan sebutan nama, bukan melihat dari pangkat mereka. Namun, karena kedekatan diantara mereka, tidak jarang mereka dihukum karena tidak menaati peraturan di kepolisian, terutama Neil.

Neil berjalan ke arah pos satpam dengan mantelnya, melangkah di atas air yang menggenang dari hujan. Ia berusaha untuk tidak memikirkan ketidaknyamanan yang dirasakannya, melainkan mencari tahu informasi yang dibutuhkan.

Ketika sampai di pos satpam, Neil melihat-lihat sekitarnya dan mencari petugas keamanan untuk mendapatkan informasi.

Melalui radio, Alisha mendengarkan laporan dari Neil. "Ini aneh, pos satpam kosong," ucap Neil dengan suara berbisik.

"Alisha, kita harus masuk kedalam. Aku rasa memang ada yang tidak beres hotel ini, aku bahkan baru tahu ada hotel besar ditempat seperti ini." Leo merespon dengan serius.

Alisha mengangguk setuju, dia mengambil radio komunikasi yang terletak di sebelahnya lalu menekan tombol push-to-talk pada radio untuk mengaktifkannya.

Saat ada suara di ujung saluran, Alisha berkata dengan suara yang jelas dan tegas, "Markas pusat, ini Alisha dari tim patroli di Hotel Puncak Aurora. Kami membutuhkan izin untuk memasuki hotel dan melakukan penyelidikan lebih lanjut. Mohon petunjuk dan persetujuannya."

Setelah beberapa saat, suara di ujung saluran kembali terdengar. Suara itu dari petugas di markas pusat yang memberikan persetujuan dan petunjuk kepada Alisha. Dia mendengarkan dengan seksama, mencatat instruksi-instruksi yang diberikan.

"Terima kasih, markas pusat. Kami akan melaksanakan tugas dengan hati-hati. Kami juga akan melaporkan setiap perkembangan dan mematuhi semua instruksi yang diberikan." Setelah itu, Alisha melepaskan tombol push-to-talk dan menempatkan radio kembali di tempatnya.

Alisha memasukkan mobil polisinya ke dalam halaman hotel. Setelah menemukan tempat yang aman untuk memarkir mobil, Alisha memutar kunci dan mematikan mesin. Suara mesin yang menderu-deru memudar, meninggalkan suasana sunyi di dalam mobil.

Terdiam sejenak, Alisha melihat ke arah Leo yang duduk di sampingnya.

Alisha menepuk lembut pundak Leo, "Apa yang ada di pikiranmu? Teringat akan kakakmu?"

"Ya, sedikit." Leo menatap Alisha dengan senyuman tipis di bibirnya, mengisyaratkan bahwa memang ada kenangan yang menghantuinya.

Elara Demhian adalah kakak perempuan Leo yang menjadi alasan baginya untuk menjadi seorang polisi. Kakaknya telah hilang selama bertahun-tahun, namun setiap kenangan indah bersamanya selalu menghantui pikiran Leo. Walaupun begitu, dia selalu berharap dengan optimis untuk dapat bertemu kembali dengannya.

Leo melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil. Dia melangkah keluar ke dalam hujan yang semakin deras. Alisha juga mengikuti langkahnya, keluar dari mobil.

...----------------...

Alisha dan Leo berdiri di depan pintu masuk hotel, memandang ke dalam dengan jelas melalui pintu kaca yang besar. Cahaya redup dari lampu di dalam hotel memungkinkan mereka melihat interior dengan jelas.

Tanpa ragu, Alisha mendorong pintu hotel dan memasuki lobi. Dia melepaskan mantelnya dan meletakkannya di atas kursi yang berada di dekat pintu. Leo mengikutinya, mengikuti langkah Alisha dengan mantap.

Saat mereka memasuki lobi hotel, mereka melihat Neil yang berdiri di dekat meja resepsionis. Neil menekan bel yang berada di meja itu beberapa kali dengan agak tergesa-gesa, mencoba memanggil perhatian dari staf hotel.

"Neil, kita harus tetap bersama-sama. Kau tidak boleh seenaknya masuk ke dalam hotel tanpa persetujuan dari markas pusat."

Neil memiringkan kepalanya, membalas dengan nada yang sedikit kesal, "Aku hanya ingin mencari tahu apakah hotel ini ada manusianya atau tidak. Kau juga tidak menjawab ku saat aku berada di pos satpam."

Leo, yang selalu tenang dan santai, mengamati situasi dengan bijaksana. Dia memutuskan untuk menjelajahi lobi hotel sendirian, membuka beberapa pintu ruangan yang ada di sekitar mereka.

Lantai dasar hotel terdiri dari lobi yang luas dan elegan, dengan sebuah tangga marmer yang mengarah ke lantai atas di sebelah lift. Di sekitar ruangan itu ada beberapa kursi dan sofa yang diletakkan secara rapi, serta beberapa tanaman yang menambah kesegaran di ruangan tersebut.

Setiap pintu kamar di lantai dasar ditandai dengan angka-angka besar. Ada pula area kasir atau resepsionis di salah satu ujung lobbi, dengan sebuah layar LED besar menggantung diatasnya.

Setelah Leo selesai berkeliling dan tidak menemukan satu orang pun di dalam hotel, dia memanggil Alisha dan Neil yang sedang sibuk mengecek komputer dan dokumen di meja resepsionis. Alisha dan Neil segera menghampiri Leo, siap mendengarkan apa yang dia ingin sampaikan.

Leo mengajak mereka untuk pergi ke lantai enam, karena menurut laporan yang mereka terima, kegaduhan berasal dari lantai tersebut.

Laporan itu diterima dari seorang staf hotel yang melaporkan bahwa dia telah mendengar suara gaduh yang berasal dari lantai enam. Namun, laporan tersebut tidak memberikan rincian lebih lanjut karena saat itu, komunikasi tiba-tiba saja terputus.

Mereka bertiga memasuki lift dan menekan tombol untuk menuju ke lantai enam.

Cahaya redup dari lampu di dalam lift memberikan tampilan yang samar-samar di sekitar mereka. Mereka berdiri berdampingan, menunggu dengan jantung yang berdebar. Mereka saling bertatapan, mencermati ekspresi satu sama lain. Mereka merasakan kekhawatiran yang sama.

"Apakah ada informasi penting yang kalian dapatkan?"

Mendengar pertanyaan Leo, Neil hanya menggeleng pelan. "Terakhir kali ada pengunjung yang melakukan check-in di pagi hari. Setelah itu, tidak ada informasi lebih lanjut tentang keadaan hotel ini." Neil mendesah, laku bersandar di dinding lift. "Huh, apa yang sebenarnya sedang terjadi disini."

Mendengar jawaban dari Neil, Leo hanya melipat kedua tangannya, menatap rekan-rekannya dengan wajah serius, Kemudian kembali berfokus pada pintu lift.

"Apakah tidak masalah jika kita langsung ke lantai enam?" Tanya Neil. Namun, kata-katanya terhenti saat dia melihat nomor diatasnya sudah menampilkan angka enam.

Lift pun segera berdentang, mengungkapkan sebuah koridor di hadapan mereka. mereka memandang ke depan dan terpaku melihat keadaan koridor yang terbentang di hadapan mereka.

Koridor di lantai enam hotel terlihat rusak parah, menciptakan pemandangan yang menakutkan. Keadaan koridor tersebut membuat mereka terkejut dengan tingkat kehancuran yang terjadi di depan mata mereka.

Pecahan kaca berserakan di lantai, mencerminkan kehancuran yang melanda koridor ini. Pintu-pintu kamar yang seharusnya utuh dan tertutup, sekarang jebol dan tergantung. Beberapa pintu bahkan terlihat seperti telah hancur, meninggalkan serpihan kayu yang tersebar di sepanjang koridor.

Meja dan kursi yang biasa digunakan oleh tamu hotel, kini telah rusak dan berserakan. Beberapa kursi patah menjadi dua, sementara meja-meja terlihat retak.

Deretan lampu yang seharusnya menyinari koridor tersebut sebagian besar menggantung dengan posisi yang tidak stabil. Beberapa lampu bahkan sudah mati, meninggalkan koridor dalam kegelapan yang mencekam. Cahaya redup yang masih ada memberikan tampilan yang samar-samar dari sekitar mereka.

Tidak hanya itu, lantai koridor dipenuhi dengan tikus dan serangga yang bergerak dengan bebas. Mereka berlarian di antara puing-puing dan pecahan kaca.

Langkah kaki mereka menggema di koridor yang gelap itu, membuat suasana yang sepi semakin mencekam. Senter yang mereka bawa memancarkan sinar kecil, menyoroti beberapa sudut kegelapan.

Suasana hening di koridor tersebut hancur ketika tiba-tiba terdengar suara keras saat Alisha tidak sengaja menyenggol meja disana. Dia melompat sedikit ketakutan, mencoba menghindari tikus dan serangga yang perlahan merambat di kakinya.

"Alisha, apakah kau ingin aku menggendongmu?" Ujar Neil dengan nada mengejek.

"Sudahlah, perhatikan saja sekeliling mu! Aku juga bukan lagi bayi yang harus digendong," balas Alisha dengan nada sedikit kesal.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka di koridor yang hancur, tetap berjalan dengan hati-hati dan senter mereka terus menyoroti setiap sudut kegelapan yang mencekam. Namun, perhatian mereka teralihkan saat mereka melihat Leo berhenti di depan, ia sedang memperhatikan salah satu kamar disana.

Leo terlihat serius hingga mengeluarkan pistol dari sarungnya. Tanpa ragu, dia melangkah menuju kamar tersebut. Alisha yang melihat hal ini segera menghampiri Leo dengan langkah cepat.

"Apa yang terjadi, Leo?"

Leo hanya menggeleng. "Tidak ada apapun di sini, mungkin hanya perasaanku saja." Ujarnya dengan nada kecewa. Namun, saat ia memutar kepala untuk melihat ke belakang, ekspresinya berubah menjadi terkejut. "Neil, kemana?"

Alisha memutar badannya dengan cepat, menunjuk ke belakang. "Neil, ada di-" Namun, kata-katanya terputus saat dia menyadari bahwa Neil tidak ada di sana. Wajahnya penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran. Leo juga terkejut dan mengernyitkan keningnya.

Leo dengan cepat mengeluarkan walkie-talkie dari saku dan mencoba menghubungi Neil beberapa kali.

"Neil, kau tidak apa-apa?"

"Neil!"

"Woy! Neil! Jangan main-main, lah."

Alisha juga melakukan hal yang sama, bahkan mencoba menghubungi markas pusat, karena keadaan mulai menjadi tidak terkendali. Namun, tidak ada respon samasekali dari pihak mana pun.

Alisha tampak gelisah dan berdecak. Dia menurunkan senternya, lalu berkata dengan tegas. "Leo, semua komunikasi telah terputus, aku tidak mengerti kenapa semua ini dapat terjadi, mungkin jaringan komunikasi telah disadap. Tapi yang paling penting, kita harus segera mencari Neil sekarang juga!"

Leo mengangguk serius seraya mengokang pistol ditangannya. "Baiklah, aku malah merasakan sesuatu yang lebih buruk dari itu."

Dengan tekad dan keberanian, mereka mulai merambah koridor, melihat di sekeliling mereka untuk menemukan tanda-tanda keberadaan rekan mereka.

Mereka berdua mempercepat langkah, berusaha mengulangi jejak yang sudah mereka tempuh. Koridor yang gelap dan berantakan terasa semakin mencekam, dan ketegangan yang mereka rasakan semakin bertambah.

Setelah beberapa langkah, mereka akhirnya mendengar suara pelan yang berasal dari salah satu pintu kamar yang terbuka. Bisikan suara tersebut menarik perhatian mereka.

Leo dan Alisha saling memandang. Kemudian dengan perlahan, mereka melangkah mendekati pintu, bersiap untuk menghadapi apa pun yang mungkin menanti di baliknya.

Mereka merasa detak jantung mereka semakin cepat. Dengan napas tegang, mereka akhirnya berdiri di ambang pintu kamar.

Pintu kamar didorong perlahan, mengungkapkan kegelapan di dalamnya. Alisha dan Leo merasakan denyut jantung mereka semakin kencang ketika mereka melihat sosok hitam yang duduk dengan punggung menghadap mereka di tengah kegelapan.

[Bersambung]

CH 2 - Neil Hooper

Dengan wajah tegang, Alisha memanggil nama "Neil?" dengan harap-harap cemas, berharap bahwa sosok itu mungkin saja Neil yang sedang berada di dalam. Dia merasakan rasa cemas yang menggelayut di dalam dirinya, takut dengan kemungkinan terburuk yang mungkin muncul di hadapannya.

Karena tidak mendapat respon apapun, Alisha dan Leo mencoba untuk mendekati sosok misterius itu. Namun, saat mereka melangkah masuk ke dalam kamar, mereka dibuat terkejut oleh suara tawa dari arah yang lain. Keduanya menoleh, dan dengan cepat mereka menyadari bahwa suara itu berasal dari Neil yang tiba-tiba muncul dari sisi yang lain.

"Kalian terlalu serius, guys!" ucap Neil sambil tertawa, wajahnya dipenuhi keceriaan. "Kalian berdua seperti sedang berada di rumah hantu saja."

Alisha dan Leo terkejut melihat Neil yang tiba-tiba saja muncul, dan perasaan cemas mereka pun berubah menjadi lega. Mereka juga tidak bisa menahan senyuman saat Neil memamerkan selembar kain yang sedang dia bawa, khususnya Leo, karena Alisha justru merasa jijik.

Neil mengangkat alisnya dengan riang. "Lihat apa yang aku temukan! Harta karun!" kata Neil dengan nada jenaka. "Kira-kira ukuran berapa ini?" sambil memamerkan selembar kain yang ternyata adalah sebuah bra.

"Kau ini, Neil," ucap Leo sambil menggelengkan kepala, merasa lega bahwa semuanya baik-baik saja.

Dalam tawa mereka, suasana tegang yang sebelumnya melanda koridor itu mereda, namun hanya sesaat sebelum akhirnya sesuatu yang mengerikan terjadi.

Tiba-tiba, Alisha teringat dengan sosok hitam yang duduk di kamar tadi. Dengan reaksi cepat, Alisha mengarahkan senternya kembali ke arah tempat itu. Namun, ketika cahaya senter menyinari tempat yang tadi diduduki oleh sosok hitam, dia hanya menemukan kekosongan.

Alisha membulatkan matanya dalam keheranan, dan dia buru-buru menengok ke arah Neil yang masih tertawa, tapi ekspresi keheranan tiba-tiba berganti menjadi ketakutan yang mengerikan.

Sebelum Alisha atau Leo dapat bereaksi lebih lanjut, sosok hitam itu tiba-tiba muncul tepat di belakang Neil dengan gerakan yang cepat dan mengerikan. Dengan kejam, sosok itu menusuk Neil dengan tangannya yang kelam dari belakang, menembus perut Neil dengan cepat dan mengerikan. Darah Neil menyembur hebat membasahi kedua rekan didepannya.

Leo dan Alisha sama-sama mematung, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja mereka saksikan. Teriakan yang terhenti dari Neil saat matanya melotot dan wajahnya berubah menjadi pucat. Alisha menahan teriakan ketakutan yang hampir keluar dari mulutnya, dan Leo terus menggenggam erat pistolnya.

Sosok hitam itu perlahan-lahan mengeluarkan tangannya dari perut Neil, meninggalkan bekas darah dan lubang besar yang mengerikan. Neil jatuh terduduk di lantai, wajahnya pucat dan ekspresinya penuh dengan rasa sakit dan keheranan, hingga akhirnya tersungkur dan berhenti bernapas selamanya.

Dengan hati yang penuh emosi, Leo menembak sosok hitam itu dengan sekali tembakan di kepala. Peluru melesat dengan cepat hingga menembus tengkoraknya, sosok itu roboh kebelakang dan mengotori lantai dengan cairan hitam pekat yang mengalir keluar dari kepalanya.

Leo menghembuskan napas lega. Namun, semuanya belum berakhir, mereka tiba-tiba dikagetkan dengan suara langkah kaki yang menggelegar muncul dari berbagai arah. Dari kamar-kamar di koridor itu, makhluk yang sama seperti yang baru saja mereka temui muncul dengan gerakan yang mencekam, merangkak dan berlari secara berdesakan kearah Leo dan Alisha.

Alisha tidak tinggal diam. Dengan mata berkaca-kaca, dia mengangkat pistolnya dan mulai menembak, berusaha menghentikan serangan makhluk-makhluk itu. Namun, jumlah mereka terlalu banyak, dan tidak peduli seberapa banyak peluru yang ditembakkan, makhluk-makhluk itu terus saja mendekat seakan tidak ada habisnya.

Leo dan Alisha saling bertukar pandang, dan dalam pandangan mata mereka, mereka tahu bahwa mereka harus mencari jalan keluar dari situasi ini. Mereka tidak bisa mengandalkan senjata mereka sendirian. Pistol Glock 17 dengan kaliber 9 mm yang mereka pakai sebenarnya bekerja cukup baik, namun jumlah musuh yang terlalu banyak membuat mereka harus berpikir dua kali jika harus terus melawan mereka.

"Ikut aku!" teriak Leo kepada Alisha, sambil menarik lengan Alisha dan berlari menuju pintu keluar koridor.

Dengan mata berkaca-kaca karena teringat kematian Neil didepannya, Alisha melangkah lebih cepat untuk mengimbangi langkah Leo yang masih berlari di depannya. Dia menghapus air mata dengan punggung tangan, memaksa dirinya untuk fokus pada perjalanan mereka.

Leo dan Alisha berlari melewati belokan demi belokan, dengan kejaran musuh yang terus menghantui mereka. Dalam setiap langkah yang mereka ambil, mereka terpaksa menghadapi ancaman yang terus mendekat, dan peluru mereka menembus udara malam dalam usaha untuk melindungi diri. Suasana malam yang sunyi memperbesar resonansi suara tembakan, suara tersebut merayap di setiap koridor dan ruangan hotel, menembus kegelapan yang menyelimuti setiap sudut hotel.

Ketika pintu lift akhirnya tampak di ujung koridor, Leo berpikir untuk menyelamatkan diri mereka dengan masuk ke sana ,"Buka pintunya! Aku akan halangi mereka!" Leo berhenti beberapa kali untuk menembak mundur ke arah musuh yang terus mengejarnya.

Alisha berlari dengan cepat ke arah lift, tekadnya untuk selamat dan menyelamatkan Leo membuatnya tetap bergerak maju.

Disisi lain, Leo terkejut setengah mati saat dia menarik pelatuk pistolnya dan menyadari bahwa senjatanya telah kehabisan peluru. "Sial, kenapa harus sekarang?" Bisik Leo sambil tersenyum getir.

Namun, sebelum rasa putus asa sempat mengambil alih sepenuhnya, suara teriakan Alisha memecah keheningan. "Leo!" seruan itu menggelegar di udara, mengundang perhatian Leo yang segera berbalik melihat Alisha. Suara tembakan yang tiba-tiba memenuhi udara, dan sosok hitam yang hampir saja menyambar Leo seketika langsung ambruk.

Leo terkejut hingga terjatuh ke posisi duduk dengan cepat, napasnya tersengal-sengal karena reaksi refleknya yang memaksa tubuhnya terduduk. Wajahnya tegang dan pucat, matanya memandang Alisha dengan campuran kagum dan terima kasih atas aksi cepat dan tepat yang telah dilakukan oleh Alisha.

Alisha langsung bergerak, membantu Leo untuk berdiri dengan cepat. Dia merasa kekuatan dalam genggaman tangannya saat dia membantu Leo bangkit. Tanpa banyak kata, keduanya berlari menuju pintu lift yang sudah terbuka, dengan jantung yang berdebar kencang dan napas yang terengah-engah.

Mereka melangkah masuk ke dalam lift dengan cepat, dan Alisha menekan tombol untuk menggerakkannya. Pintu lift perlahan tertutup, menghalangi pandangan mereka dari ancaman yang berada di luar. Saat pintu lift tertutup, mereka mendengar suara berisik dari luar. Leo dan Alisha saling pandang dengan ekspresi kecemasan, dan sebelum mereka bisa merespons lebih jauh, sosok hitam yang layak disebut monster itu telah berlari mendekat dan memukul pintu lift dengan kekuatan yang menggetarkan.

Alisha merasa jantungnya akan copot, dia meraih pistolnya dengan tangan gemetar dan menodongkannya ke arah pintu lift yang sedikit terbuka akibat pukulan itu. Dia mencoba untuk menghadapi ancaman itu dengan tekad yang tetap kuat, tetapi ketakutan juga tergambar jelas dari matanya. Leo dan Alisha merasakan tekanan dan ketegangan yang terus bertambah saat sosok hitam itu terus berusaha menerobos pintu lift.

Beruntung, lift akhirnya mulai bergerak turun dengan perlahan. Meskipun pintu lift masih terbuka sedikit akibat serangan tadi, untungnya dengan berjalannya lift, mereka dapat memutuskan kontak dengan sosok hitam yang berusaha menerobos masuk. Leo dan Alisha bisa merasakan sedikit kelegaan di dada, setelah mendapatkan jarak dari ancaman yang mengerikan.

Dalam gelapnya ruang lift, mereka merasakan adrenalin masih berdenyut dalam darah mereka, tetapi juga rasa bersyukur karena berhasil menyelamatkan diri dari bahaya. Walaupun mereka tahu, bahwa ini belum berakhir.

CH 3 - Monster Tiga Mulut

Dalam keadaan yang penuh kelelahan dan ketegangan, Leo dan Alisha duduk di lantai lift yang sempit, saling berhadapan. Napas mereka masih terengah-engah setelah melalui serangkaian peristiwa berbahaya.

Leo melihat ke arah Alisha dengan kekhawatiran di matanya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Leo dengan suara lembut, mencoba untuk memeriksa keadaan Alisha.

Alisha tertawa kecil, senyuman samar muncul di bibirnya. "Aku baik-baik saja," jawab Alisha sambil meluruskan kedua kakinya, "Bagaimana denganmu, Leo?"

Leo awalnya terkejut oleh respon santai dari Alisha, tetapi kemudian menjawab alisha dengan tersenyum.

Mata mereka saling bertemu dalam pandangan yang penuh makna. Leo menghela napas, merasakan bagaimana kekhawatiran mereka mengendur sejenak dalam kebersamaan ini.

Namun, tidak berselang lama, lift berhenti bergerak dan lampunya mati sepenuhnya. Keadaan menjadi gelap dan sunyi, hingga senyuman mereka berdua lenyap seketika.

Dengan langkah hati-hati, Leo berdiri dan mengeluarkan senter dari saku jaketnya. Cahaya senter perlahan-lahan menerangi ruangan gelap dan mengungkapkan keadaan di luar lift. Benar saja, lift ternyata belum berhenti di lantai semestinya, diluar pintu yang terbuka sedikit itu hanya menampilkan sebuah dinding beton yang usang.

Sebelum Leo menyelidiki lebih jauh keluar lift, dia merasa ujung celananya ditarik oleh Alisha. Leo menoleh ke arah Alisha yang masih terduduk, dan tanpa banyak bicara, Alisha memberikan pistolnya kepada Leo. Wajahnya penuh dengan ketakutan yang terbaca jelas di matanya.

Leo memang jauh lebih unggul dari Alisha dalam hal menembak. Jadi dia tidak merasa aneh jika Alisha memberikan pistolnya.

Leo menerima pistol dari Alisha, merasa sensasi hangat dan lembab di tangannya. Dia merasa tanggung jawab yang lebih besar dan juga rasa kepercayaan yang diberikan oleh Alisha. Leo menggenggam pistol dengan erat, walaupun sedikit getaran masih terasa di tangannya.

Karena merasa pintu lift terlalu sempit, Leo mencoba untuk membukanya sedikit lebih lebar. Dengan jantung yang berdetak kencang, dia memberanikan diri untuk membuka pintu lift dengan paksa.

Suara langkah kaki mulai terdengar dari atap lift membuat jantung Leo berdetak lebih cepat. Dia seketika berhenti memaksakan untuk membuka pintu lift dan memutar kepalanya ke sumber suara itu.

Mendengar suara langkah gaduh yang semakin mendekat dari atas lift, Leo merasakan alarm dalam dirinya. Dia sudah dapat menebak, pasti yang sedang berada diatas mereka adalah makhluk hitam yang mengerikan itu. Dengan cepat, dia mengambil beberapa langkah mundur dari pintu lift dan dengan perlahan mematikan senternya. Matanya tetap fokus pada pintu.

Untung saja lift ini tidak memiliki pintu darurat di atap yang dapat di jebol kapan saja.

Leo memberikan isyarat untuk diam kepada Alisha dengan meletakkan jari telunjuknya didepan bibir, matanya masih tetap fokus pada pintu lift yang mungkin akan segera terbuka. Dia ingin memastikan bahwa mereka tidak mengeluarkan suara yang dapat mengkhawatirkan ancaman yang ada di luar sana.

Alisha mengangguk dengan cepat, memahami pentingnya menjaga ketenangan dalam situasi ini.

Dengan perlahan, Leo menempatkan dirinya di antara Alisha dan pintu lift. Tangannya yang menggenggam pistol terangkat, siap untuk bertindak jika perlu. Dia menatap Alisha dengan tekad yang mantap, berusaha memberikan rasa keamanan.

Alisha dengan cemas memindahkan posisinya mendekati Leo dari belakang. Napas mereka mulai sesak dan keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh. Mereka siap tidak siap harus menghadapi apa pun yang mungkin muncul di depan pintu lift.

Saat mereka berdua berusaha untuk tetap tenang, sesuatu yang mereka harapkan untuk tidak muncul ternyata mulai menampakkan diri dengan perlahan. Tangan-tangan yang kelam mulai merayap dan merobek beberapa bagian lift dengan paksa, seperti halnya merobek sepotong roti, itu sungguh terlihat mudah, menciptakan suara yang menusuk telinga.

Penampakan yang sudah tidak asing lagi bagi mereka. Tangan-tangan itu, hitam dan kusam, tampak tak berbentuk seperti tangan manusia biasa. Kuku panjang yang tajam memanjang dari setiap ujung jarinya.

Alisha mencengkram bagian belakang jaket Leo dengan ketakutan yang semakin mendalam. Tangannya menggenggam kain jaket hitam yang bertuliskan POLISI itu erat-erat. "L-Leo," bisik Alisha dengan suara gemetar, matanya terpaku pada tangan-tangan kelam yang mulai merayap di pintu lift yang sedikit terbuka.

Ketakutan telah menguasai Alisha sepenuhnya, hingga dia tidak sengaja melupakan pangkatnya sebagai perwira polisi. Dia hanya merasakan ketakutan dalam dirinya.

Leo merespons cengkraman Alisha dengan mengangkat pistolnya lebih tinggi ke arah monster yang semakin menampakkan wujudnya. Meskipun dia berusaha untuk tetap tenang, kenyataannya dia tetap merasakan ketegangan dan ketakutan yang tak terelakkan.

Tangan Leo yang memegang pistol terasa gemetar dengan lembut. Dia merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri sambil berdiri di hadapan pintu lift yang mulai melebar dengan perlahan.

Pintu lift hampir sepenuhnya terbuka, mengungkap pemandangan yang mengerikan di depan mereka. Wajah monster itu terlihat jelas dalam cahaya senter yang barusaja dinyalakan oleh Alisha. Monster tersebut memiliki kepala yang menyerupai manusia, hanya saja berwarna hitam legam yang menambahkan kesan kegelapan pada penampilannya. Tetapi, yang paling mencolok adalah ciri-ciri wajahnya yang sangat aneh.

Monster itu memiliki tiga mulut berwarna keunguan yang terletak di wajahnya. Satu mulut terletak seperti halnya manusia, tetapi dua mulut lainnya berada di posisi yang seharusnya menjadi tempat mata berada. Kedua mulut di posisi mata itu terbuka lebar, tampak menciptakan ilusi bahwa mata itu sendiri yang berbicara. Monster itu menyeringai dengan ketiga mulutnya, membuat suatu tatapan penuh dengan ancaman yang menakutkan. Rambut monster itu rontok dan berantakan, memberikan tampilan yang semakin mengerikan. Telinga monster yang panjang dan meruncing menambahkan kesan yang tidak manusiawi pada penampilannya. Semua detil ini menciptakan gambaran yang benar-benar menakutkan, sesuatu yang jauh dari dunia manusia yang mereka kenal. Leo dan Alisha harus menghadapi ancaman yang tak terduga ini, monster dengan tiga mulut yang menyeringai ke arah mereka dengan penuh kebencian sekaligus merendahkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!