...***...
"Kamu rendahan Kanaya!"
Suara pekikan keras itu membuat Kanaya membuka matanya. Tepat di depan matanya, pria yang dia cintai berdiri menatapnya dengan tajam.
Kanaya baru terbangun dari tidurnya, tapi bukan berada di kamarnya, kini dia berada di sebuah kamar asing, bersama pria yang dia cintai sejak kecil.
"Apa maksud kamu Vier?" Naya tidak mengerti apa yang terjadi.
"Kau menjijikan Kanaya, aku tau kau rendahan, tapi aku tidak tau kau melakukan cara menjijikan seperti ini untuk tidur dengan ku."
Ingatan Naya kembali secara perlahan, malam kemarin dia menghabiskan satu malam penuh menggairahkan dengan pria yang sangat dia cintai.
"Vier! Aku memang rendahan! Aku memang mencintai mu dan selalu mengejar mu sejak lima belas tahun yang lalu, tapi aku tidak akan melakukan jebakan rendahan seperti ini untuk mendapatkan mu! Yang aku mau cinta dan hati mu! Bukan tubuh mu! Untuk apa--"
"Omong kosong! Kau sendiri yang mengaku kau rendahan kan? Kau juga selalu mengejar ku, kau mengganggu ku dan ketenangan hidup ku. Tapi aku membiarkannya karna kita berteman, tapi aku tidak lagi bisa memaafkan kesalahanmu yang ini! Harusnya malam ini aku tidur dengan Bia! Wanita yang kucintai!"
"Jaga ucapan mu Vier! Aku masih punya harga diri!"
"Kau tidak punya Kanaya. Kau memalukan, kau perempuan paling rendah yang pernah aku kenal. Kau mengacaukan malam ku dengan Bia. Kau perempuan paling jahat, kau coba merebut pria yang mencintai sahabat mu, kau iri dengan Bia kan?!"
"Tapi a--!!"
"Lupakan! Mulai sekarang jangan pernah muncul di hadapan ku lagi! Jangan pernah terlihat di mataku, jangan pernah temui aku, menyentuh ku, atau sekadar melihat ku! Berhenti menjadi stalker ku! Aku membenci mu Kanaya, di dunia ini aku paling benci kamu! Aku harap kamu tidak pernah terlatih ke dunia ini! Kalau gak ada kamu! Hidup aku jauh lebih tenang dan bahagia!"
Brak!!
Xavier menutup pintu itu rapat akurat, dia pergi setelah meninggalkan kata-kata yang begitu menyakitkan untuk Kanaya.
"Tapi Bia yang menyuruhku untuk masuk ke kamar ini .... "
Kanaya menatap kosong ke arah pintu yang tadi dibanting Xavier. Hatinya terasa begitu sakit, kata-kata dan penghinaan itu keluar dari mulut pria yang dia cintai.
"Apa usaha ku selama ini sia-sia? Apa usaha ku di matamu tidak ada harganya Vier? Aku mencintai mu, sangat mencintai mu, aku lakukan semua hal yang bisa menunjukkan betapa besar cinta ku pada mu."
Benar
Xavier adalah pria yang Kanaya cintai secara terang-terangan. Apa itu cinta dalam diam? Kanaya mencintainya secara brutal dan melakukan apa saja agar Xavier melirik ke arahnya, dia akan melakukan apa saja agar perhatian Xavier tertuju hanya padanya.
Naya melakukan banyak hal sesuai saran dari Bia--Sahabatnya, sekaligus sekretaris Xavier.
"Padahal aku sudah melakukan segala hal yang Bia bilang, kamu suka perempuan yang manja, aku jadi perempuan manja. Kamu suka perempuan menangis, aku merengek menangis di dekat mu! Kamu suka perempuan yang bisa masak, Aku belajar masak dengan baik sampai tangan ku terluka! Semua itu aku lakukan agar kau mencintai ku, Tapi kau malah mencintai Bia?! Xavier kau kejam!"
Kanaya menjalin pertemanan sejak lima belas tahun yang lalu, ketika usianya tujuh tahun, dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Xavier. Awalnya Naya menyimpan rasa cintanya itu dalam diam, tapi setelah dia kenal dengan Bia--Sahabatnya. Bia selalu bilang untuk menarik perhatian Xavier, Naya tidak boleh diam saja dan harus menunjukkan cintanya di depan umum, tidak peduli jika itu memalukan.
Naya meringkuk, dia mengecup lututnya, tubuhnya lemas, pinggangnya sakit. Bahkan dia tidak sanggup sekedar bergerak untuk memakai pakaiannya sekarang. Ingatan kemarin malam semakin menyakitkan hatinya, jejak kecupan di sekujur tubuhnya yang Xavier tinggalkan menjadi sebuah hukuman, tatkala Naya tau, bahwa Xavier sangat bersemangat tadi malam ketika dia mabuk, itu semua karna dia pikir, Naya adalah Bia.
"Aku tidak tau akan terjadi hal seperti ini, aku juga tidak mau tidur dengan mu secara paksa seperti ini, aku ingin mendapatkan hati mu, aku mau cinta mu yang murni, aku mau menjadi pengantin mu, aku mau menjadi istri mu yang melayani mu setiap malam, aku mau itu. Bukan menjadi pengganti seseorang di ranjang seperti ini."
"Aku juga masih punya harga diri, Vier. Aku sungguh tidak menjebak mu, Bia yang meminta ku kemari." Naya menangis sejadi-jadinya.
Kata-kata kejam Vier terlalu menusuk hatinya, kata-kata dari pria yang dia cintai sejak lama. Padahal kemarin malam Naya pikir esok akan lebih cerah, pasti akan ada yang berubah.
Tapi yang Naya dapat. Pagi ini memang berubah, tapi tidak lebih cerah, mendungnya lebih gelap.
Naya ingat kemarin malam, dia makan dengan Bia. Dia sepakat ingin tidur dan menginap di hotel ini bersama Bia. Bia meminta Naya masuk ke kamar ini duluan, Bia akan menyusul.
Tapi di dalam kamar, sudah ada Xavier dalam keadaan mabuk, dan mungkin sudah dicekoki obat perangsang. Sementara Naya yang setengah mabuk, terbuai akan malam yang panas menggairahkan dengan pria yang dia cintai.
Rasanya sakit, dadanya sesak, bahkan untuk bernafas saja Naya sudah kesulitan. Pria itu, sungguh Naya sangat mencintainya walau dia sangat dingin.
"Kamu mencintai Bia, Vier?"
......................
Selama dua Minggu, Naya terus mengurung dirinya di kamar. Rasa sakit itu masih teras begitu nyata, kenikmatan malam itu menyiksanya. Kenikmatan yang dia rasakan dengan Xavier yang menganggap dirinya Bia.
Naya hanya makan dan minum satu kali sehari. Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun, bahkan dengan Bia yang beberapa kali mengunjunginya ke rumah.
Naya dirundung stress parah, dia tidak mau mendengarkan siapapun. Dia juga tidak mau bercerita pada siapapun.
Rasa sakitnya tak terbendung, rasa kecewa, rasa lelah. Naya terus merasa rendah diri, dia benar-benar merasa menyedihkan seperti yang Xavier katakan.
Naya tidak punya lagi harga diri untuk dipertahankan. Rasa lelahnya semakin bertumpuk saat sadar 15 tahun usahanya sia-sia. Dia mengejar Xavier yang terus menjauh darinya.
Depresi, rasa rendah diri, patah hati, tampaknya Semesta belum puas setelah membuat Naya terbang lalu jatuh, terjungkal, terpelanting. Karna pagi ini, Naya menerima sebuah berita yang semakin membuat dirinya terpuruk.
"Nak, sayang, maafin Papa oke? Kita harus beberes, kita mulai pindah Minggu depan. Rumah ini disita, perusahaan papa bangkrut Nak. Maafin papa yaa, maafin papa, karna udah buat kamu susah."
Perusahaan sang ayah bangkrut, seketika Naya jatuh miskin! Dia hanya punya sang ayah, karna sang ibu sudah lama tiada.
Naya benar-benar depresi saat ini.
......................
"Gila, aku muntah berapa kali hari ini."
Naya memegang perutnya, dadanya sesak, perutnya masih mual sejak beberapa hari yang lalu.
Dia menuju ke arah dapur, untuk mengambil minuman dingin di kulkas.
Detik ketika air itu tertenggak, Naya bisa melihat isi rumahnya sudah kosong melompong. Semua pelayan dan penjaga kebun sudah dipecat.
Naya tidak begitu memperhatikan rumahnya tadi, karna perutnya yang sakit dan terus mual. Tapi saat dia sadar, hilang sudah.
Naya menarik napasnya, ini tidak mudah untuk dirinya, tidak juga untuk sang ayah. Besok mereka akan mulai pindah ke rumah yang ada di desa terpencil, peninggalan neneknya Naya.
Naya diam sebentar, terlalu banyak yang dia pikirkan, hingga dia tidak tau mana masalah yang harus dia selesaikan dulu, belum lagi rasanya tubuhnya begitu lemas, nafsu makannya kurang.
"Sarapan Nak?" Tanya sang papa saat melihat Naya hanya meminum air mineral saja.
"Engga Pa, lagi ga laper."
"Maaf ya sayang, pagi ini kita cuma bisa sarapan roti sama selai aja, ga ada jus juga, buah di rumah habis. Maafin papa juga, karna papa kita gak punya pelayan, kamu harus sampe ambil air sendiri ke bawah." Pak Hanusi--nama papa Kanaya, seorang mantan konglomerat yang sukses, tapi sekarang sudah bangkrut. Dia duduk di depan Naya, dengan mata yang menahan kantuk dan kesedihan. Dia merasa sangat sedih dan bersalah, pada putri tunggalnya yang harus meninggalkan kehidupan mewahnya, karna bisnisnya bangkrut.
"Apa yang papa bilang? Tolong jangan minta maaf Pa. Naya punya papa itu udah cukup, asal papa ada sama Naya, Naya gak apa-apa, yang penting cuma papa okee? Kita punya rumah kan? Nanti Naya bakal kerja bantuin papa buat penuhin kebutuhan kita, jangan sedih ya Pa. Salahin aja Naya, Naya boros, coba aja kalau Naya punya tabungan, Naya bisa bantu papa."
Tak hanya Pak Hanusi, Naya pun merasa sedih, dia merasa bersalah karna selama ini, dia merasa kegagalan sang papa adalah ulahnya. Dia harus akui selama ini dia adalah gadis yang boros, dan tidak kenal apa itu menabung. Naya mulai menyesali tindakannya menghamburkan uang.
"Uang Naya yang papa kasih, kalau aja Naya tabung, pasti udah bisa buat kita beli rumah di perumahan kota Pa, ga perlu ke desa." Naya menunduk sedih.
Dan yang membuat dia merasa lebih sedih dan terpuruk adalah, uang itu dia gunakan untuk menarik perhatian Xavier. Uang itu dia sia-siakan hanya untuk sekedar lirikan Xavier. Entah untuk perhiasan, tas mahal, mobil yang mewah, semuanya demi menyita perhatian Xavier yang bahkan tidak pernah dia dapatkan.
Naya bodoh! Mati aja kamu!
"Uang yang papa kasih untuk Naya, memang papa kasih buat Naya habiskan. Jadi jangan sedih apalagi menyesal yaa, semuanya salah papa."
"Bukan, salah Naya Pa."
"Salah Papa, Nak."
"Salah Naya Pa."
"Salah papa."
"Iya salah papa deh."
Naya menyerah, papanya memang orang yang seperti itu. Pak Hanusi sangat menyayangi Naya, dia juga sangat mencintai mendiang istrinya, itulah kenapa Pak Hanusi tidak menikah lagi setelah lima belas tahun yang lalu istrinya meninggal. Pak Hanusi begitu menyayangi Naya, dia memanjakannya, menjadikan Naya tuan putri yang tidak kehilangan apapun.
"Nah, ayo sarapan Nak. Kamu sakit ya? Kok pucat?"
"Engga Pa, cuma kurang tidur aja. Oh iya Pa, Xavier ga bantuin perusahaan papa waktu dia tau papa bangkrut. Dulu mendiang Om Hadi kan sahabatnya papa, dia masa ga mau bantu?" Naya baru sadar, bahwa pria dingin yang dia cintai itu juga seorang Presdir yang hebat. Perusahaannya jauh lebih besar dibanding perusahaan Pak Hanusi.
Alasan Naya bisa mengenal Xavier juga, karna kedua ayah mereka bersahabat sejak kecil.
"Kamu sakit Nak? Mau papa beliin obat?" Pak Hanusi tampak sedikit panik, matanya tak bisa menatap retina Naya, kelakuannya aneh, beliau mulai tidak tenang.
Naya melirik datar tingkah sang papa yang aneh. Sesaat kemudian dia tampaknya sadar apa yang sudah terjadi.
"Apa karna Xavier papa bangkrut?" Naya tau, Xavier adalah klien penting sang papa. Dia adalah investor terbesar dari perusahaan sang papa.
"Makan di luar yuk nak? Mau apa?" Lagi dan lagi, Pak Hanu masih mencoba mengalihkan perhatian Naya, padahal Naya sudah tau ada yang aneh disini.
"Pa ... Naya mohon Pa, jawab pertanyaan Naya. Apa papa bangkrut karna Xavier?"
Pak Hanu diam sebentar, sebelum akhirnya dia menghela napas panjang dan menatap lurus ke arah putrinya.
"Bukan karna Xavier nak, tapi karna kelalaian papa. Jangan salahkan Xavier, dia ga salah. Dia cuma berhenti jadi investor di perusahaan papa, karna kurang investor, perusahaan kita kekurangan dana buat para pekerja. Yaa, akhirnya jadi begini deh. Maafin papa ya sayang." Pak Hanu tersenyum, meski begitu Naya tau, pasti ada banyak luka yang beliau tahan di balik senyumannya yang ramah.
Karna Naya tau dengan benar, bahwa bisnis itu adalah usaha sang papa sejak muda, perusahaan itu dibangun dari jerih payah sang papa. Banyak keringat yang tercurah pada usaha itu.
"Dia tau, dia investor terbesar di perusahaan Papa. Almarhum Pak Hadi yang amanahin buat jadi investor tetap di Perusahaan papa? Kenapa dia seenaknya ngundurin diri gitu?! Apa dia ga tau, perusahaan papa bisa hancur karna itu? Dia tau kan? Kenapa dia lakuin itu? Papa sama Pak Hadi sahabatan dari kecil! Dan ...."
Naya terdiam sebentar, sebelum akhirnya air matanya jatuh tak tertahan, saat ia sadar kenapa dan alasan Xavier melakukan itu. Dada Naya sesak, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, suaranya tercekat di tenggorokan.
Pak Hanu mendekati putri kecilnya, dia rangkul, dia peluk dengan hangat tubuh kecil anaknya. Dia usap rambut panjang Naya perlahan, memberikan pelukan ketenangan yang bisa keluarga berikan.
"Papa udah tau Nak, Xavier yang bilang. Kamu jangan sedih, ini bukan salah kamu, ini salah papa yang nggak kompeten. Pa--"
"Pa! Naya bersumpah, Naya nggak lakuin itu Pa! Naya gak jebak Xavier! Untuk Naya itu juga kecelakaan Pa! Maafin Naya Pa! Semua salah Naya!" Naya menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan sang papa. Pelukan hangat yang menenangkan, membuat Naya merasa bisa menumpahkan segala beban hatinya yang sudah dia tahan selama ini.
"Papa tau, jelas papa tau, karna Naya itu putrinya papa."
Pak Hanu memeluk erat tubuh putrinya yang menangis hebat, dia tetap menjadi sandaran utama ketika sang putri tercinta terpuruk begitu dalam. Rasanya semesta terlalu kejam padanya, takdir terlalu keras untuk gadis 22 tahun sepertinya.
......................
Naya menatap kosong ke arah tali yang sudah menggantung di udara, membentuk lingkaran yang cukup besar, muat untuk kepala Naya. Tangannya menggenggam sebuah test pact dengan dua garis biru yang samar, yang artinya kemungkinan kehamilan.
Aku lebih bahagia kalau kamu nggak pernah ada di dunia ini!
"Aku jahat, aku rendahan, pria yang kucintai gak mau aku hidup, aku cuma beban buat papa, dan sekarang lebih baik aku mati kan? Daripada anak yang aku lahirin nantinya mengalami penderitaan. cukup sudah, aku gak mau lagi ada orang yang menderita karna aku."
Aku lebih bahagia kalau kamu nggak pernah ada di dunia ini!
"Aku jahat, aku rendahan, pria yang kucintai gak mau aku hidup, aku cuma beban buat papa, dan sekarang lebih baik aku mati kan? Daripada anak yang aku lahirin nantinya mengalami penderitaan. cukup sudah, aku gak mau lagi ada orang yang menderita karna aku."
Naya sedikit mendongak ke atas untuk menatap tali itu.
Dia perlahan menaiki kursi, dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepalanya, dia dirundung stress parah.
Dia ingat, dari kemarin dia sudah curiga kalau dirinya hamil, karna datang bulannya telat, dan dia sering merasa mual, ada bau-bau tertentu yang membuatnya sangat mual, sebagai contoh saja parfum biasa yang paling dia sukai harumnya, tapi tiba-tiba Naya mual karenanya?
Karna itu Naya mencoba alat tes kehamilan itu, dia melihat dua garis biru disana, pertanda bahwa dia hamil.
Naya sudah berdiri diatas kursi, kedua tangannya bersiap memasukkan kepalanya.
Tiga detik kemudian, kepala Naya sudah ada ditali, dia bersiap gantung diri.
Maafin aku, yang udah terlahir ke dunia ini, maafin aku karna terlalu mencintai kamu Xavier, maafin Naya Pa, karna Papa harus punya putri kayak Naya. Naya harap, papa yang sangat baik ini, harusnya diberi putri yang jauh lebih baik dari Naya, mungkin gadis baik cantik dan sederhana seperti Bia.
Maafin Naya, Pa. Naya nyusul mama duluan yaaa.
Dugh!
Kursi yang Naya naiki sudah dia tendang, Naya sepenuhnya tergantung ditali sekarang, sebelum akhirnya
Brak!
Tali itu putus, tidak bisa menahan beban tubuh Naya. Barangkali Naya tidak terlalu kuat mengikat talinya, atau tali takdir yang tidak mengizinkan Naya mati.
Mungkin Semesta tidak setuju Naya mati, mungkinkah dia mempersiapkan kebahagiaan diujung jalan Kanaya? Ataukah Semesta memaksa Naya menjalani hari-hari lebih menyakitkannya untuk hidup.
Ah, yang manapun takdir di depan, yang jelas takdir sekarang tidak mengizinkan Naya untuk mati.
"Naya! Apa itu tadi Nak?!" Sang papa mendobrak paksa kamar Naya yang sudah terkunci.
Saat pintunya terbuka, wajah terkejut Pak Hanu tidak bisa disembunyikan. Pak Hanu melihat ada tali yang putus, ada kursi yang jatuh, kamar yang acak, dan disana yang paling menyita perhatian pak Hanu adalah, Naya yang sudah tersungkur dengan wajah penuh air mata.
Tidak perlu dijelaskan panjang lebar pun Pak Hanu sudah tau, kalau baru saja putrinya mencoba melakukan percobaan bunuh diri dan gagal karna talinya terputus.
Pak Hanu tau putrinya sedang depresi berat.
Demi apapun, dia bersyukur pada takdir yang membuat tali itu putus, hingga Naya masih bersama Pak Hanu sekarang.
"Nak, maafin papa yaa, kamu pasti terbe--"
"Cukup Pa! Jangan minta maaf terus, Naya merasa jadi anak yang gak berguna, Pa. Kalau papa minta maaf, padahal papa gak salah, dan papa udah lakuin yang terbaik." Naya menangis sejadi-jadinya lagi, di pelukan sang ayah.
Naya bangkit, dia bersimpuh di bawah kaki sang ayah dengan air mata yang tak henti. Kaki sang ayah pun bisa merasakan bulir hangat itu.
"Maafin Naya Pa, Maafin Naya udah jadi beban papa, Naya gak berguna, Naya nyusahin papa, karna Naya usaha papa hancur, maafin Naya Pa, papa pasti nyesel punya anak kaya na--"
"Yang papa sesali Nak, kalau kamu pergi dengan cara seperti ini, papa gagal buat kamu bahagia. kamu lahir dari papa dan mama. Artinya, sampai kapan pun kamu tetap tanggungjawab papa, kebahagiaan kamu adalah tujuan hidup papa. Papa tidak pernah menyesal memiliki putri seperti kamu Nak, Papa bahkan sangat bersyukur. Papa ragu, apakah papa bisa sesayang ini jika bukan kamu putri papa." Pak Hanu memeluk Naya dengan sangat erat, dia begitu mencintai putrinya ini.
Deg
Naya terdiam, dia baru sadar, ternyata arti hidupnya jauh lebih penting. Naya baru sadar, betapa bodohnya dirinya, kenapa dia harus membuang nyawanya hanya karna kalimat benci yang Xavier ucapkan? Disini masih ada Pak Hanu, papanya Naya yang begitu mencintainya, yang menganggap Naya adalah dunianya. Kehadiran Naya adalah arti hidup Pak Hanu, kebahagiaan Naya adalah tujuannya.
Naya menarik napasnya dalam-dalam, isakan tangisnya begitu lirih terdengar di telinga siapa saja.
"Maafin Naya Pa, Naya bodoh, Naya salah, Naya tau Naya jahat, maafin Naya Pa. Naya janji gak akan lakuin ini lagi Pa, Naya janji."
Pelukan erat yang dalam dan hangat, Naya merasa nyaman, dia tidak sendiri di dunia ini, dia punya papanya yang hebat, dia punya rumah untuk pulang, Naya punya banyak hal, kenapa dia harus mati? Hanya karna omong kosong pria itu?
Naya tau, dia sadar, bahwa yang dia punya adalah papa, dan anaknya saat ini. Melihat tanggungjawab besar orangtua, Naya tau akan berat membesarkan anaknya seorang diri, tapi dia akan berjanji memberikan seluruh cinta dan kasih sayangnya pada anaknya, sebagaimana sang ayah sangat mencintainya.
Mama janji, mama akan beri kebahagiaan buat kamu Nak, kamu tujuan baru hidup mama.
...----------------...
"Sudah Nak?"
Tanya Pak Hanu pada putrinya, yang sudah membawa beberapa tas besar dan satu buah koper.
"Sudah Pa, ayo."
Mereka berdua meninggalkan rumah mewah yang megah itu, dengan senyum dan tawa. Naya tau, rumah masa kecilnya itu sangat berharga, banyak kenangan indah dan manis sejak Naya kecil bersama orangtuanya. berat pasti untuknya, tapi ini sudah takdir, mau bagaimana lagi?
Pak Hanu menatap rumahnya sekali lagi, rumah yang ia bangun bersama istrinya, harus dijual demi bisa menutupi hutangnya. Pak Hanu begitu berat kehilangan rumah itu, tapi dia merasa lebih berat lagi kalau hanya hidup di rumah mewah itu tapi sendiri.
Lebih baik dia hidup di rumah sederhana di pelosok desa dengan putrinya, dan cucunya yang akan lahir beberapa bulan ke
depan.
Sama-sama berat, tapi itulah hidup, manusia tidak bisa menetap terus dimasa lalu, karna hidup berjalan ke depan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tujuh tahun sudah berlalu.
"Maura, ayo minum obat sayang."
Naya yang plin-plan dan gadis sembrono itu kini sudah menjadi wanita yang cantik dan elegan, baik dan lembut, karna dia kini sudah menjadi seorang ibu dari anak perempuan berusia enam tahun bernama Maura Diandra. Dia gadis yang boros menjadi sosok wanita yang hemat, demi masa depan putrinya.
Karna Maura, terlahir dengan jantung lemah bawaan. Karna itu Naya bekerja sangat keras, mengumpulkan uang untuk pengobatan Maura, sekaligus untuk membeli donor jantung di kemudian hari jika ada yang cocok dengan Maura.
"Mama cantik banget hari ini." Maura, anak enam tahun yang sangat cantik. Karna wajah Maura, mirip sekali dengan ayah biologisnya yang tampan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!