NovelToon NovelToon

Sadar Setelah Harta Terkuras

Numpang Secara Gratis

Zarina telah menyelesaikan pendidikannya di bangku kuliah dengan nilai yang biasa-biasa saja, tidak terlalu tinggi tapi juga tidak terlalu rendah. Ia berada pada posisi yang biasa-biasa saja.

Sebagai anak yang ke-empat dari sembilan bersaudara, ia tumbuh menjadi seorang gadis yang mandiri karena sejak dari kecil dididik oleh kedua orang tuanya agar tidak terlalu berharap kepada orang lain.

Pak Adnan adalah salah seorang anggota Tentara Nasional Indonesia yang punya sikap tegas dan berwibawa. Karakter itu pulalah yang dimiliki oleh Zarina tapi bedanya, ia sedikit keras kepala.

Orang tuanya punya lahan yang luas dan ternak yang banyak sehingga mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga meraih gelar sarjana.

Kedua kakaknya, Samsul dan Gedi juga sudah bergelar sarjana dan telah menjadi ASN. Keduanya sama-sama menjadi seorang guru dan mengajar di tingkat SMA tapi ditempatkan di sekolah yang berbeda dan lokasinya berada di luar kota. Sementara Mira, kakak tertua hanya tamat SMA dan kini telah menikah bahkan sudah punya tiga orang anak.

Sementara itu, adik-adiknya ada yang kuliah dan juga masih ada yang duduk di bangku SMA dan SMP.

Gelar sarjana telah disandangnya dan dijadikan modal untuk merantau ke kota Jakarta karena di sana ada kerabat dekat, yakni saudara kandung ayahnya yang akan mengurus segala sesuatu sehubungan dengan pekerjaan yang akan digeluti.

Pak Adnan dan Ibu Dina, orang tua Zarina mengiklaskan kepergian anaknya yang berwatak keras itu karena di kampung tempat tinggal mereka tidak ada lowongan pekerjaan kecuali melamar di sekolah-sekolah untuk menjadi tenaga honorer yang besaran insentifnya tidak sesuai dengan beratnya pekerjaan dan biasa diistilahkan dengan guru suka rela.

Tiba di Jakarta Zarina tidak bekerja sebagai guru sesuai dengan ilmu yang telah diperolehnya tetapi ia malah melamar pekerjaan di beberapa kantor dan setelah menunggu sekian lama akhirnya ia mendapat surat panggilan dan diterima pada salah satu kantor sebagai staf administrasi setelah menganggur kurang lebih enam bulan.

Hampir saja ia putus asa dalam penantian yang panjang. Ditambah lagi dengan hanya menumpang secara gratis di rumah sanak saudara, sungguh membuat dirinya kurang nyaman, apalagi tantenya ini juga punya anak perempuan yang hampir seumuran dengan dirinya karena hanya beda setahun dan sekarang ini sudah hampir juga menyelesaikan studynya di bangku kuliah.

Tini, adik sepupunya ini punya sifat pendiam dan kadang-kadang menampakkan wajah yang kurang bersahabat. Ingin rasanya minggat saja dari rumah itu seandainya tidak merasa berhutang budi karena telah mendapat tumpangan yang gratis selama beberapa bulan.

Zarina sangat senang ketika sudah bisa bekerja karena separuh waktunya ia habiskan di kantor. Walaupun demikian, tak lupa ia selalu bangun subuh dan membereskan pekerjaan di rumah kemudian berangkat ke kantor. Sore hari ia pulang dan selalu disambut dengan cucian piring yang sudah menggunung.

Ibu Elis mempunyai tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Tini merupakan anak pertama. Ibunya tidak pernah menyuruh atau menegur anaknya agar melakukan pekerjaan di rumah sehingga terkadang Zarina merasa bahwa dirinya benar-benar dijadikan pembantu di rumah tersebut.

Ibu Elis dan Pak Gunawan adalah pasangan yang sibuk bekerja. Pak Gunawan mengajar di salah satu universitas di kota Jakarta dan istrinya juga bekerja sebagai guru di SMA Negeri Makmur. Keduanya juga sangat aktif di beberapa organisasi sehingga mereka jarang berada di rumah.

Mau tak mau Zarina harus menyiapkan juga makanan untuk malam keluarga karena orang di rumah akan menunjukkan wajah yang kurang senang jika tidak ada makanan yang siap di meja.

Sejak Zarina bekerja dan sudah terima gaji pada bulan pertama, Ibu Elis sengaja tidak menyiapkan bahan makanan di rumah sehingga Zarina menggunakan uangnya untuk berbelanja kebutuhan dapur.

"Waduuhhh, ponakan Tante udah gajian, yah!" ucap Ibu Elis dengan senyum merekah melihat kulkas sudah berisi dengan aneka sayur, ikan, dan daging.

"Iya Tante," sahut Zarina sambil tersenyum.

"Lain kali nggak usah repot-repot belanja, simpan aja uangnya buat modal usaha nantinya. Nih, Tante baru rencana mau keluar untuk belanja, ehhh... ternyata kulkas sudah penuh," ujar Ibu elis basa-basi.

"Iya Tante," sahut Zarin lagi.

Ia pun kembali sibuk menata makanan di meja makan lalu memanggil semua penghuni rumah untuk menikmati masakannya.

Satu per satu mereka datang mendekat ke meja makan lalu mengambil makanan sesuai selera.

"Terima kasih Zarina, sudah belanja dan masak yang enak malam ini!" ucap Ibu Elis.

"Wajar dong Bu, Zarina belanja, dia 'kan udah lama numpang gratis di rumah kita!" ucap Tini dengan ketus. Ia tidak senang melihat ibunya memuji kakak sepupunya itu.

"Jaga omonganmu, Tini! Tidak baik loh, ngomong begitu!" hardik Pak Gunawan.

"Ohh, jadi begitu yah, semua orang di dalam rumah ini lebih perhatian kepada Zarina dibanding anak sendiri!" kata Tini dengan kesal. Ia berdiri dan mendorong tempat duduknya dengan kasar lalu pergi meninggalkan mereka.

Zherin yang sudah menghadapi makanan di piring jadi sedih. Matanya mulai berkaca-kaca tapi ia berusaha untuk menahan agar bulir,bulir bening itu tidak lolos dan selera makannya juga sudah hilang.

"Maaf Zarina, omongan adikmu jangan diambil hati yah!" kata Pak Gunawan.

"Iya, nanti kalau dia sudah lapar pasti akan kembali ke sini," sambung Ibu Elis.

Zarina hanya mengangguk karena ia tidak sanggup lagi berkata-kata.

"Ayo, kita makan, Kak!" ajak Fajar, si anak bungsu.

Fajar punya karakter yang berbeda dengan kedua kakaknya, Tini dan Irfan yang pendiam. Fajar sering berbagi cerita tentang pengalamannya di sekolah kepada Zarina sehingga keduanya tampak akrab.

Zarina mengulas senyum dengan paksa dan mencoba menyendok nasi ke dalam mulutnya. Walau susah tertelan tapi ia juga merasa kurang sopan jika langsung berhenti dan meninggalkan meja makan.

Irfan tampak sangat menikmati makanannya tapi ia tidak pernah berkomentar hingga perutnya kenyang kemudian berlalu meninggalkan meja makan setelah meneguk segelas air putih.

Pak Gunawan dan Ibu Elis juga sudah kenyang dan keduanya pun meningalkan meja makan dan masuk ke ruang tengah untuk beristirahat sambil menikmati acara TV.

Tinggal Zarina dengan Fajar yang masih berada di meja makan. Fajar masih makan dan Zarina menunggunya dengan sabar.

"Kakak yang sabar, yah!" kata Fajar dengan sedih. Ia iba melihat kakak sepupunya disakiti oleh Kak Tini.

"Iya Dek, nggak apa-apa kok, udah biasa," sahut Zharin yang berusah terlihat santai padahal dalam hati ia ingin cepat-cepat mencuci piring dan masuk ke kamar untuk melampiaskan keluh kesahnya

Fajar tersenyum lalu pamit dan menyusul ke ruang tengah.

Zherin mengumpulkan piring dan perabot lainnya bekas makan dan mencucinya dengan bersih dan setelah semua pekerjaan di dapur selesai ia pun masuk ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Bayangan kedua orang tua dan saudara-saudaranya di kampung halaman semakin membuat hatinya sedih.

Mengorek Data Pribadi

Memasuki bulan ke-dua, Zarina semakin bersemangat untuk bekerja dan terkadang lembur karena ia ingin mengumpulkan rupiah lebih banyak lagi.

Melihat cara dan semangat kerja yang dimiliki oleh Zarina, menjadi perhatian bagi Pak Alga, pemimpin perusahaan tersebut. Ia adalah anak tunggal dari pasangan Pak Rafi dengam Ibu Gita, pemilik perusahaan itu.

Diam-diam Pak Alga mulai merasa tertarik kepada bawahannya itu tanpa sepengetahuan dengan yang bersangkutan karena ia tahunya harus bekerja dan fokus dengan pekerjaannya.

Pak Alga mulai mengorek data-data pribadi Zarina dengan memeriksa berkas yang digunakan saat melamar pekerjaan di tempat itu. Tak lupa juga ia menyimpan nomor ponsel yang ditemukan dalam map yang berisi data-data pribadi milik Zarina. "Ohh, ternyata dia adalah gadis yang berasal dari kampung," gumamnya dalam hati lalu menyimpan kembali map itu di tempat semula.

Pada malam hari, Pak Alga sangat sulit untuk tidur, pikirannya selalu dibayang-bayangi oleh wajah Zarina yang sederhana tapi cantik dan menarik. Pakaian yang dikenakan saat ke kantor juga sangat sederhana bila dibandingkan dengan pegawai lainnya tapi bagi Alga, penampilan Zarina sangat menggoda. Pakaiannya bersih dan rapi serta riasan wajahnya tidak mencolok.

(Selamat malam!) Pak Alga mengetik pada layar ponsel dan berniat untuk mengirim kepada Zarina tapi setiap kali jarinya hendak menyentuh tanda panah, hatinya dag, dig, dig dan gemetaran tak karuan.

Ia pun tarik nafas dan menghembuskan secara perlahan lalu mengirim pesan tersebut. Namun hatinya kembali galau karena pesan itu terkirim tapi hanya centang satu, artinya nomor yang dituju sedang tidak aktif. "Mungkin ponselnya sedang diisi daya," pikirnya.

Pak Alga berbaring di kasurnya yang empuk dan menatap langit-langit kamar. Sebentar-sebentar melirik layar ponsel, apakah pesan yang dikirim sudah terbaca atau belum?

Satu jam sudah berlalu tapi masih tetap centang satu membuat Pak Alga kembali tarik nafas dengan berat. Ingin rasanya ia menelepon dan bicara langsung tapi ia bingung mau ngomong apa.

Ada beberapa pesan dan telepon yang masuk di ponselnya tapi ia tidak mengubrisnya, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Zarina, Zarina, dan Zarina. Mengingat nama gadis itu saja ia sudah mampu mengulum senyum yang manis.

Malam semakin larut, Alga mencoba memenjamkan mata dan berharap malam segera berlalu dan pagi segera tiba agar bisa cepat-cepat berangkat ke kantor untuk bertemu dengan gadis dari kampung yang telah membuat hatinya selalu gelisah, hingga akhirnya ia tertidur juga setelah capek merangkai kata-kata yang akan diungkapkan besok ketika bertemu dengan Zarina.

Keesokan harinya Zarina sudah berada di kantor dua puluh menit sebelum jam kerja. Ia menyiapkan semua perangkat yang akan digunakan nanti saat bekerja dan setelah semuanya siap, ia melirik jam pada layar ponsel dan masih ada waktu sepuluh menit.

Ia pun iseng-iseng membuka aplikasi WhatsApp karena sudah aktif setelah disambungkan dengan Wifi kantor.

Ada nomor baru yang mengirim pesan. Sejenak ia berpikir, siapa gerangan yang mengirim ucapan selamat malam kepadanya?

"Selamat pagi!" sapa Alga yang tiba-tiba muncul di pintu. Zarina segera meletakkan ponselnya di meja dan berdiri menyambut kedatangan Alga dengan sopan dan hormat.

"Selamat pagi, Pak! Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya Zarina. Bagi Alga, suara Zarina bagai alunan musik nan merdu.

"Oh, eh, ehh... " sahut Alga dengan terbata karena gugup. Ia merutuki dirinya dalam hati karena tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh bawahannya. Kalimat yang sudah dihafalkan semalam hilang begitu saja setelah berhadapan dengan Zarina.

"Ada apa, Pak? Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Zarina lagi dengan heran tapi ia tetap tersenyum manis membuat Alga semakin gugup.

"Tolong ke ruangan saya sebentar!"

"Sekarang, Pak?"

"Sebentar setelah jam istirahat,"

"Siap, Pak!"

Alga segera membalikkan tubuh dan melangkah lebar-lebar meninggalkan ruangan tersebut karena menghindari tatapan dari gadis desa itu yang mampu menggetarkan kalbunya.

Tiba di ruang pribadinya, Alga menghempaskan tubuhnya di kursi yang empuk lalu kembali memikirkan kata-kata apa yang akan ia sampaikan nanti kepada Zarina.

Alga tidak fokus bekerja menunggu jam istirahat tiba. Sebentar-sebentar ia melirik ke arah Jam yang tergantung di dinding. Ia merasa jam itu berputar sangat lambat dan seandainya bisa ia akan memutar lebih cepat agar Zarina segera datang menemuinya.

Tidak lama kemudian suara ketukan terdengar di pintu dan Alga sudah memastikan bahwa yang datang adalah Zarina.

Jantungnya berdegup sengan kencang dan ia pun memasang wajah yang sebaik mungkin.

"Iya, silahkan masuk!" ucapnya dengan suara merdu.

Mendengar suara Alga yang mempersilahkan dirinya untuk segera masuk ke ruangan itu, Seyla, salah seorang karyawan memutar gagang pintu yang tidak terkunci lalu masuk sambil membawa dua bungkus makanan.

Wajah Alga langsung berubah karena dugaannya salah. Bukan Zarina yang datang melainkan Seyla yang selalu tergila-gila padanya dan perempuan ini tidak pernah kapok meskipun terkadang dicuekin oleh Alga.

Seyla selalu mengenakan pakaian yang ketat saat datang ke kantor sehingga lekuk-lekuk tubuhnya tergambar dengan jelas. Ia memang sangat cantik dan memiliki kulit yang putih dan bersih. Bodynya bak gitar spanyol kata orang, tapi sedikit pun tak pernah membuat Alga tertarik.

"Terima kasih Sayang, udah mengizinkan saya masuk ke sini!" ucap Seyla dengan suara dibuat manja.

"Hei, yang sopan dong, bicara dengan atasan tidak boleh pakai kata 'sayang-sayangan' dan tolong perbaiki cara dudukmu!" ujar Alga dengan kesal. Ia tidak suka mendengar dirinya dipanggil 'sayang' oleh Seyla dan juga merasa kikuk melihat paha mulus yang sengaja dipamerkan oleh perempuan itu.

"Maaf, Sayang!" ucap Sheyla sambil merapatkan kakinya dan bersamaan dengan itu Zarina muncul di pintu yang masih terbuka. Ia mendengar dengan jelas suara Seyla yang mengucapkan kata 'sayang' sehingga ia langsung membalikkan tubuh karena merasa telah mengganggu atasannya. Ia takut jika dirinya sampai dipecat dan kehilangan pekerjaan karena sudah lancang masuk ke ruangan Pak Alga yang sedang berduaan dengan kekasihnya.

"Hey, Zarina, ayo masuk!" panggil Alga dengan cepat.

Zarina tidak mendengar suara Alga karena ia melangkah dengan terburu-buru meninggalkan ruangan tersebut. Nafasnya sampai tak beraturan ketika tiba di ruangannya. "Mudah-mudahan Pak Alga tidak melihat kedatanganku tadi," gumamnya dalam hati.

Setelah nafasnya sudah normal ia membuka tempat bekal yang dibawahnya tadi dari rumah lalu makan.

"Trrdd, trrdd, trrdd!" ponsel miliknya berdering.

"Halo, segera ke ruangan saya sekarang!"

Zarina mengamati layar ponselnya yang langsung mati sebelum ia menjawab apa-apa dan kembali memeriksa siapa yang barusan meneleponnya dengan cara melihat foto profil dari nomor tersebut.

"Astaga, Pak Alga! Pasti dia akan menghukumku. Tuhan tolonglah hambaMu ini!" Zarina berdoa dalam hati. Ia pun menutup kembali tempat bekalnya yang isinya baru berkurang dua sendok makan lalu buru-buru menuju ke ruangan Alga dengan perasaan takut.

Beda Level

Zarina mengetuk pintu dengan perasaan was-was dan beberapa saat kemudian pintu terbuka dengan lebar. Sosok Alga berdiri di situ dengan senyum yang manis dan sorot mata yang teduh sambil mempersilahkan tamunya untuk duduk di sofa empuk.

"Terima kasih sudah datang!" ucap Alga dengan senang. Ia kembali duduk di kursi kebesarannya tepat berhadapan dengan tempat duduk Zarina saat ini.

"Ada apa Bapak memanggilku ke sini?" tanya Zarina dengan ragu-ragu namun perasaan takutnya sudah berkurang setelah melihat sikap Pak Alga yang tampak santai dan bersahabat. Tidak seperti yang ia bayangkan tadi ketika sedang menuju ke ruangan ini. Dalam bayangannya tadi, ia akan disambut dengan wajah garang karena murka.

"Ingin mengajakmu keluar untuk makan siang," sahut Alga membuat Zarina kaget dan seolah tak percaya.

"Maaf, Pak, saya punya bekal dari rumah tadi, nanti mubazir kalau nggak dimakan!" kata Zarina dengan jujur.

Alga tersenyum mendengar perkataan Zarina. Dalam hati ia semakin mengagumi kepribadian yang dimiliki oleh gadis desa ini. Ia membayangkan seandainya gadis lain yang diajak oleh bosnya untuk makan di luar, sudah pasti tidak akan menolak.

"Kalau begitu, silahkan kembali untuk mengambil bekalmu dan kita makan di sini!" pinta Alga.

Zarina bangkit dari tempat duduknya dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Alga dan setelah ia menghilang di balik pintu, Alga segera meraih ponsel di meja dan menghubungi seseorang.

"Tolong antar makanan kesukaanku dua porsi ke ruanganku sekarang dan ingat, jangan pake lama!"

Tanpa menunggu respon dari seberang sana ia langsung memutuskan sambungan secara sepihak.

Tak lama kemudian Zarina muncul di pintu dan di tangannya sudah ada wadah segi empat berwarna biru yang berisi bekal untuk makan siang. Belum juga ia duduk, seorang pria yang berkumis tipis datang pula membawa makanan yang dipesan oleh Alga.

"Terima kasih, kamu memang patut diandalkan!" ucap Alga memuji Bang Kardi, langganan yang berjualan makanan.

"Sama-sama Pak Bos," jawabnya dengan senyum sumringah sambil menerima uang yang disodorkan oleh Alga. Bang Kardi selalu melayani Alga dengan baik karena ia selalu mendapatkan bayaran yang lebih dari harga yang sebenarnya.

Alga menutup dan mengunci pintu lalu mengajak Zarina untuk makan.

"Kenapa pintunya dikunci segala, Pak? Saya takut kekasih Bapak akan marah dan melabrakku habis-habisan jika tahu kita hanya berduaan dalam ruangan yang terkunci,"

"Percayalah, tidak akan ada yang marah padamu karena saya tidak punya kekasih!"

"Trus, tadi yang menemani Bapak di sini, siapa yah?"

"Ohh, itu, anggaplah perempuan yang tidak penting dan tidak punya malu,"

Zarina diam namun pikirannya tidak tenang. Ia melirik ke arah Pak Alga yang sementara membuka kotak makanan yang diantar oleh pria berkumis tadi.

"Coba saya lihat bekalmu!"

"Maaf, Pak, nggak usah soalnya makanan olahan saya ini kurang enak!"

Alga meraih kotak makanan itu dan ia suka dengan aromanya.

"Boleh nggak, saya makan bekalmu?"

"Jangan Pak, tadi saya udah sempat menyendok dua kali ke mulut tapi langsung berhenti karena harus mengangkat telepon dari Bapak, trus disuruh menghadap ke sini!"

"Nggak apa-apa... saya makan sekarang, yah?"

Tanpa menunggu jawaban dari yang empunya bekal ia mulai makan setelah menyodorkan satu bungkus makanan yang dipesan tadi kepada Zarina sebagai ganti bekalnya.

Zarina memperhatikan Alga yang makan dengan lahap padahal isi kotak tersebut hanya nasi biasa, ikan teri sambal yang tidak terlalu pedas dan sayur kacang panjang yang dimasak dengan campuran tempe. Ia jadi heran karena bosnya itu tidak lagi menghiraukan makanan yang dipesannya tadi.

"Ayo, makan!" ajak Alga untuk kesekian kalinya karena melihat Zarina masih ragu-ragu.

"Atau kamu nggak suka dengan lauk daging ayam goreng? Trus kamu sukanya makan apa, biar saya pesan sekarang!"

"Nggak usah, Pak, saya suka kok, makan daging ayam goreng!"

Zarina memang sangat suka makan ayam goreng. Ia pun mulai makan karena sesungguhnya perutnya sudah merontah-rontah minta untuk segera diisi.

Alga pun semakin bersemangat untuk menyantap makanan yang masih tersisa di hadapannya apalagi makan ditemani oleh seorang gadis yang cantik dan sederhana.

Tak ada suara tapi sesekali mata keduanya saling tatap dan melempar senyum. Zarina selalu menunduk ketika matanya beradu dengan mata teduh milik Alga karena sesuatu di dalam sana bergetar dan jantung pun bertalu-talu tapi Zarina menahan diri karena ia sadar levelnya jauh di bawah bahkan sangat jauh.

"Besok-besok kita makan bareng lagi, yah!" kata Alga dengan senang.

Zarina mengangguk ragu. Ia tidak yakin bisa masuk keruangan ini sesering mungkin karena sudah mendengar dari rekan kerja bahwa ada banyak perempuan yang berlomba untuk mendapatkan simpati dari Pak Alga.

"Terima kasih Pak, saya pamit dulu karena tidak lama lagi waktu istirahat selesai!" ucap Zarina setelah membuang bungkus makanan pada tempat sampah yang telah tersedia.

"Terima kasih juga atas makanannya yang sangat pas di lidah saya!" ucap Alga pula dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.

"Sama-sama, Pak," sahut Zarina dengan sopan.

Zarina keluar dengan membawa tempat bekalnya yang sudah kosong dan ketika melewati beberapa ruangan, ia menjadi pusat perhatian dari rekan-rekan yang lain membuatnya jadi kikuk, apalagi melihat tatapan tajam dari Seyla.

Seyla menghadang tepat di depan pintu ruangannya dengan wajah memerah karena marah dan merasa tersaingi oleh perempuan yang berasal dari desa.

"Kamu sengaja yah, mau merusak hubungan saya dengan Bos?" gertaknya.

"Nggak, kok, Mbak, saya tadi ke sana karena dipanggil oleh Pak Alga,"

"Pasti kamu berbohong, nggak tahu malu! Tidak mungkin Pak Alga akan tertarik kepada gadis desa yang kampungan,"

"Saya minta maaf, Mbak, tapi benar, tadi Pak Alga yang menyuruhku datang ke ruangannya,"

"Gara-gara kamu, acara makan siang saya dengan Pak Alga jadi batal. Awas yah , kalau kamu masih berani mendekati calon suamiku, akan kubuat perhitungan denganmu!"

Para karyawan yang menyaksikan kejadian tersebut hanya diam karena takut kepada Shyla yang suka melapor kepada Pak Rafi dan Ibu Gita, orang tua Alga. Seyla dekat dengan kedua orang tua Alga karena ia sendiri yang selalu cari-cari muka agar keinginannya bisa tercapai untuk menjadi kekasih Alga.

Hampir semua karyawan yang bekerja di kantor tersebut tidak menyukai sikap Seyla yang sombong. Ia memang sangat cantik seperti artis korea tapi sikapnya yang semena-mena membuat dirinya dijauhi oleh teman-teman.

Zarina meneruskan langkah kakinya hingga tiba di ruangan kerjanya. Ia merasa sedih dengan perlakuan Seyla yang memaki-maki dirinya dengan kata-kata hinaan. Tak terasa air matanya mengalir di pipi.

Erni, yang ruangan kerjanya berdekatan dengan Zarina datang menghampiri karena kasihan melihat temannya yang sedang bersedih.

"Jangan diambil hati, dek, Seyla itu memang sudah begitu orangnya!" kata Erni menghibur Zarina.

"Terima kasih atas perhatiannya!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!