Perlahan-lahan, mata remaja berusia 15 tahun itu terbuka lebar, hingga memperlihatkan bola mata biru mudanya yang indah. Terbangun di tengah hutan, di samping sungai deras, ia merasakan kedamaian dari suara gemericik air dan angin yang berembus kencang.
Bingung dengan keadaannya, pemuda itu mengedarkan pandangannya dan mencoba mengenali sekitarnya, tapi hanya asing yang ia ketahui. Satu pertanyaan muncul di benaknya. 'Kenapa aku bisa ada di tempat ini?'
Tak ada yang dapat menjawab pertanyaannya itu, hanya alam yang mengetahuinya bagaimana ia dapat berada di tengah hutan. Sayangnya alam pun tak bisa memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Alam hanya menjadi saksi bisu untuknya.
Ia berusaha berdiri, namun seluruh tubuhnya kaku dan tak berdaya. Menggenggam rumput dengan susah payah, ia merintih saat rasa sakit menyerang anggota tubuhnya. Sesuatu keajaiban tiba-tiba muncul, energi magis berwarna biru muda menyelimuti kulit tubuhnya dan mengubahnya secara ajaib menjadi lebih cerah dan putih, dari sebelumnya ia berkulit sawo matang. Pemuda itu tersadar, kulitnya berubah, dan hanya tersisa kain lebar yang menyelimuti bagian bawah tubuhnya.
"Aku kenapa!? Kemana pakaianku!?" monolognya sangat panik.
"Aarrgghh, kenapa aku sulit berdiri!?" erangnya sambil berusaha berdiri, tapi sangat sulit.
Rumput-rumput di bawah tubuhnya seakan mencengkeramnya sangat erat. Semakin dia bergerak, tubuhnya semakin kaku dan keras. Pemuda itu pasrah dan napasnya terengah-engah.
Sesuatu yang ajaib kembali menyelimuti tubuh pemuda itu. Energi magis berwarna biru, mengangkat tubuhnya ke udara secara perlahan-lahan. Pemuda itu kebingungan saat melihat tubuhnya yang diselimuti kekuatan ajaib. Melayang di udara, dia melihat tubuhnya perlahan-lahan diselimuti oleh jubah indah berwarna biru muda dengan aksen warna putih di bagian dalam.
Antara bingung dan kagum menciptakan sesuatu yang berdesir di hatinya. "Wow, apakah ini keajaiban?" monolognya sambil memerhatikan jubah biru muda yang menutupi tubuhnya sampai mata kaki.
Lalu dia tidak sengaja menggerakkan tangan kanannya bertepatan dengan arah sungai di dekatnya. Keajaiban muncul, air sungai yang semula tenang tiba-tiba beriak mengikuti gerakan tangan kanan pemuda itu.
"Apa ini!?" Dia terkejut mengetahui bola air yang mengapung di atas telapak tangannya. "Kenapa air ini mengikuti gerakan tanganku? Sangat menakjubkan!" ungkapnya dengan mata berbinar cerah.
Lalu terbesit sebuah ide di otaknya, dia ingin mencoba melakukan gerakan seperti seorang ahli sihir ketika melakukan ujicoba kekuatan. Anak remaja itu melakukan gerakan dengan indah di atas udara, tubuhnya masih mengapung di udara tapi ia tak menyadari hal tersebut. Rasanya seperti menginjak tanah.
Dua bola air kini bergerak mengikuti gerakan tangannya, dari sisi kanan, kemudian ke sisi kiri. Dengan menutup mata dan fokus anak remaja itu dapat membuat pola air yang indah, membentuk lingkaran yang mengelilingi tubuhnya. Saat matanya terbuka, dia terkejut karena melihat bola air di tangannya sudah membentuk lingkaran di badannya.
"Wow, ini ajaib sekali. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana ini bisa terjadi? Apakah aku mempunyai kekuatan air?" monolognya sambil memperhatikan kedua telapak tangannya yang samar-samar berwarna biru cerah.
"Tapi bagaimana mungkin?" ucapnya masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia percaya kalau ini bukan mimpi, karena ia bisa merasakan kelembutan udara yang menerpa wajahnya.
Saat anak laki-laki itu menunduk ke bawah seketika ia terkejut, baru menyadari jika ia masih melayang di udara.
"Astaga!! Aaaa." Ia jatuh ke bawah, saat akan menyentuh rumput, tiba-tiba tercipta gelembung air yang menjadi alas tubuhnya agar tidak berbenturan langsung dengan tanah yang keras. Jantungnya berdegup kencang tapi juga lega. "Huuhh, selamat."
"Apa aku harus mencobanya lagi? Aku masih tidak percaya." Kemudian anak remaja itu bangkit dari rerumputan. Dia berlari ke arah Timur, mendekati tepi sungai. Untuk mempercayai apakah kekuatannya benar-benar nyata, dia harus membuktikannya langsung di depan mata.
"Baik, aku akan melakukan gerakan asal-asalan," monolognya. Kemudian dia menggerakkan tangan kanannya ke arah sungai lalu mengarahkan ke atas, dan 'Boomm', air sungai beriak dan membentuk gelombang air yang mengarah ke atas sesuai gerakan tangan pemuda itu.
"Sungguh ajaib," kagumnya melihat kekuatannya.
"Akan aku coba lagi!" ungkapnya dengan semangat. Kemudian ia melakukan gerakan menari-nari. Sangat ajaib, air sungai kembali mengikuti gerakan kedua tangan pemuda itu dan menari-nari di udara dengan indah. Sesekali wajah pemuda itu terciprat air yang bergerak di udara.
"Hei, aku tak percaya, ini sungguh nyata!!" teriaknya sangat senang sebelum akhirnya...
"BANGUN!! Cepat bangun!!" teriak seorang wanita paruh baya yang berpakaian ala kadarnya seraya memukul-mukul kaki pemuda yang tidur di atas ranjang lapuk.
Seketika pemuda berusia lima belas tahun yang masih menikmati mimpinya terbangun dengan terpaksa dan napasnya tidak beraturan. Wanita paruh baya yang melihat hal tersebut pun menjadi murka.
"Jualkan manggamu dengan cepat. Jangan malas-malasan!" teriaknya lagi seraya membanting sekeranjang buah mangga ke atas meja yang berdekatan dengan kasur pemuda itu.
"Iya, Bu. Aku baru bangun. Sebentar, aku ke kamar mandi dulu." Pemuda itu menjawab ucapan ibunya dengan jengkel.
Begitulah nasibnya setiap hari, ibunya selalu berbicara dengan keras dan membentaknya setiap kali berbicara dengannya. Sangat jarang ibunya bersikap lembut kepadanya. Pemuda itu dan ibunya hidup dalam serba kekurangan. Dari kecil anak remaja laki-laki bernama Roni itu tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Dia yatim sejak bayi.
Roni dan ibunya tinggal di pinggiran Kota Eldoria's Reach yang masuk ke dalam wilayah Kerajaan Eldoria. Kerajaan yang dipimpin oleh Raja Aric Shadowcaster. Pemimpin yang kejam dan egois, lebih mementingkan diri sendiri dan para bangsawan dibanding mementingkan rakyat kecil seperti Roni dan ibunya. Maka dari itu, pusat Kota Eldoria hanya dihuni oleh para bangsawan, rakyat dengan ekonomi menengah ke atas masih diperbolehkan mengunjungi pusat kota tapi tidak boleh tinggal di sana. Sedangkan rakyat jelata dan rakyat miskin sangat dilarang mengunjungi apalagi tinggal di pusat kota, mereka semua diasingkan ke pinggiran Kota Eldoria dan diberi batasan-batasan, wilayah mana saja yang boleh dijamah.
Kerajaan Eldoria dibagi menjadi tiga wilayah yang mana masing-masing wilayah dihuni oleh para bangsawan, rakyat ekonomi menengah ke atas, dan rakyat jelata. Para bangsawan tinggal di pusat kota, rakyat menengah tinggal di tengah perbatasan antara pusat kota dan pinggiran kota. Rakyat jelata dan miskin bertempat tinggal di pinggiran kota.
Roni bukan satu-satunya pemuda yang tinggal di pinggiran Kota Eldoria. Ada lima belas pemuda yang rata-rata berusia lima belas tahun, mengadu nasib di pinggiran kota yang tidak banyak membuat nasib mereka berubah dalam segi ekonomi.
Roni dan dua temannya yang lain setiap hari terpaksa menjual buah-buahan di pasar yang terletak di wilayah rakyat menengah. Beruntung mereka masih memperbolehkan rakyat jelata untuk berkunjung ke tempat mereka. Roni mempunyai ladang pohon mangga yang tidak seberapa luas, tapi cukup untuk membantunya dan ibunya agar bisa membeli kebutuhan setiap hari.
"Aku gerah sekali, bisakah kita pergi ke sungai sebentar?" ucap Roni kepada dua temannya yang bernama Evelyn dan Elan.
Putri Evelyn adalah anak perempuan berumur empat belas tahun, dan Elan Airlangga adalah anak laki-laki berumur lima belas tahun, seusia Roni. Mereka bertiga sudah berteman sejak kecil. Pertemanan mereka sampai sekarang tetap terjalin dengan baik.
"Tentu saja, aku juga sangat gerah," ucap Evelyn seraya menggulung rambutnya yang panjang.
"Aku siap berenang di air sungai yang dingin. Ahahah," ungkap Elan membuat candaan.
"Hahah, tentu saja," balas Roni dengan gurauan juga.
Sore hari setiap selesai berdagang di pasar, Roni, Evelyn dan Elan selalu menyempatkan waktu mereka untuk bermain bersama di sungai yang masih masuk ke dalam wilayah rakyat menengah. Di pinggiran kota tak ada sungai, yang ada hanyalah tempat yang kumuh.
"Hei, apa kalian percaya? Semalam aku bermimpi bisa mengendalikan air," ucap Roni sambil melepas pakaiannya dan meninggalkan kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Dia bersiap akan berenang di air sungai yang cukup jernih.
"Hahah, aku tak percaya sama sekali," jawab Evelyn tertawa.
"Kalau kamu bermimpi, aku percaya saja, tapi kalau itu kenyataan aku tidak percaya, hahahha..." Elan pun membalas dengan bercanda. Lalu remaja laki-laki itu melepas pakaiannya, sama halnya seperti Roni.
"Memang, aku hanya bermimpi. Tapi bagaimana kalau kenyataan?" ujar Roni.
"Tidak mungkin," jawab Evelyn seraya bermain air di tepi sungai.
"Sudahlah, ayo kita berenang saja. Aku sudah tak sabar," ucap Elan lalu melompat masuk ke dalam air, menciptakan riak air yang bergelombang.
"Lihat saja kalau kalian tidak percaya. Lihat ini!" Roni hanya main-main menggerakkan tangannya ke arah sungai lalu mengarahkannya ke atas, sama halnya seperti yang dilakukan di mimpinya. Tak disangka-sangka, sesuatu yang ajaib muncul, air sungai sedikit bergelombang ke atas mengikuti gerakan tangannya.
Hal tersebut menimbulkan reaksi yang amat tercengang di antara Evelyn dan Elan. "Bagaimana kamu bisa melakukannya!?"
Roni pingsan karena sesuatu yang tidak terduga tersebut. Itu semua di luar perkiraannya.
"RONI!!" Evelyn dan Elan panik.
****
"RONI!!" Evelyn dan Elan panik mengetahui Roni pingsan tanpa sebab yang jelas. Kedua remaja itu lantas bergegas mendekati Roni yang tergeletak di tepi sungai. Elan dengan cepat memakai pakaiannya kembali, tidak peduli celana pendeknya masih basah.
"Bagaimana dia bisa pingsan?" tanya Elan saat dia sampai di tepi sungai. Lalu mengusap-usap wajahnya yang basah.
"Karena dia terkejut, aku melihat matanya melotot," balas Evelyn saat mengingat detik-detik sebelum Roni pingsan. Mata Roni sempat melotot sebelum akhirnya jatuh di rerumputan.
"Terkejut karena apa? Karena dia bisa mengendalikan air? Bisa saja tadi hanya kebetulan," ujar Elan berpikir realistis. Meski dia tinggal di wilayah kerajaan sihir tapi Elan tidak percaya bahwasannya anak rakyat jelata seperti Roni mempunyai kekuatan semacam itu. Kekuatan sihir hanya dimiliki oleh Raja Aric Shadowcaster dan keluarga kerajaan.
Bahkan para bangsawan tidak memiliki kekuatan berupa sihir. Mereka hanya memiliki kemampuan bela diri dan bermain senjata. Keluarga bangsawan di sini bukan termasuk anggota kerajaan, tapi rakyat yang mempunyai jumlah kekayaan tinggi dan satu tingkat lebih rendah dengan jumlah kekayaan Raja Aric Shadowcaster.
"Lupakan saja itu, ayo kita harus mencari pertolongan," ucap Elan. "Bantu aku mengangkat tubuh Roni ke atas."
Tanpa menjawab, Evelyn dengan cekatan membantu Elan mengangkat tubuh Roni ke tempat yang lebih tinggi, membawa Roni dengan susah payah ke tepi jalan yang biasanya dilewati para pedagang dengan menaiki sapi serta gerobak untuk mengangkut barang dagangan. Elan akan meminta pertolongan untuk mengantarkan Roni pulang ke rumahnya.
"Kita tunggu sampai ada pedagang yang lewat, kita akan meminta bantuan mereka," ucap Elan seraya memerhatikan ke arah kiri dan kanan.
Evelyn tersenyum lebar tatkala melihat seorang pedagang yang sedang menaiki gerobak dan seekor sapi yang menarik gerobak tersebut. Pedagang itu kebetulan mengarah ke jalan yang menjadi tempat Evelyn dan Elan berdiri, tepat di bawah pohon mangga yang rindang.
"Hei lihat!" Evelyn menunjuk pedagang tersebut dengan gembira.
Elan tersenyum lega. "Iya, kita akan meminta bantuan."
Saat pedagang dengan sapinya itu akan mendekat, Evelyn melambai-lambaikan tangannya supaya pedagang tersebut menyadari keberadaannya. Lambaian tangan Evelyn berhasil menarik perhatian pedagang itu, kemudian pedagang itu memukul sapinya dan berjalan lebih cepat mendekati tempat Evelyn, Elan, dan Roni yang masih pingsan.
"Perlu bantuan anak muda?" tanya pedagang itu dengan ramah sambil turun dari pedatinya yang berisi sayuran dan buah-buahan.
"Iya Tuan, kami perlu bantuan Anda. Bisakah Anda mengantarkan kami pulang? Teman kami pingsan di sini," ucap Elan dengan bahasa formal dan sopan. Elan mendekati tubuh Roni lalu berjongkok di sampingnya.
"Bagaimana awalnya anak muda ini bisa pingsan? Kalian bermain terlalu lelah?" tanya pria paruh baya itu seraya mengecek detak jantung Roni dan mengecek denyut nadi tangan Roni. Pria itu lega, Roni hanya pingsan.
"Kami tadi hanya berenang di sungai itu Tuan, kami tidak tahu bagaimana teman kami pingsan," jelas Elan seraya menunjuk sungai yang terletak di bawah tebing yang rendah.
Pedagang itu tidak banyak bertanya. Ia secepatnya harus menyelamatkan remaja laki-laki yang pingsan itu. "Baiklah, kita angkat temanmu ke pedatiku. Aku akan mengantarkan kalian pulang."
Kemudian pria itu mengangkat tubuh Roni dibantu oleh Elan dan membawa tubuh Roni ke atas pedati, di antara tumpukan buah dan sayuran. Pria itu sedikit menepikan buah dan sayuran untuk memberikan tempat bagi Evelyn dan Elan duduk.
"Kalian bisa duduk di sini." Pedagang itu menunjuk tempat yang kosong untuk dua anak muda di sampingnya.
"Terimakasih Tuan," ucap Evelyn dan Elan.
"Iya. Kita secepatnya antar temanmu ke rumahnya, sebelum matahari terbenam," jelas pria itu seraya naik ke pedati. Ada tempat khusus untuknya duduk supaya nyaman saat menginstruksi sapi yang sedang menarik pedati.
"Kalau boleh kami tahu, Tuan namanya siapa?" tanya Evelyn saat sapi sudah mulai berjalan.
"Kalian tidak perlu tahu namaku sebenarnya, panggil aku Tuan Sam saja," jelas pria bernama Sam itu. Ia hanya menyebutkan nama panggilan kecilnya.
"Baik Tuan Sam," balas Evelyn lalu tersenyum.
"Kalian berdua, siapa namanya?" Sam bertanya balik sambil terus fokus ke depan, memerhatikan jalanan yang cukup becek.
"Aku Evelyn. Dan ini Elan, Tuan. Teman kami yang pingsan namanya Roni, Tuan. Dan kami sahabat sejak kecil."
"Persahabatan kalian luar biasa," puji Sam seraya tersenyum lebar. Wajahnya yang cukup tampan terbias sinar matahari sore yang berwarna jingga.
"Terimakasih Tuan," balas Evelyn.
Tuan Sam, Evelyn dan Elan terus mengobrol selama perjalan menuju ke wilayah pinggiran Kota Eldoria. Sesekali mereka bertiga bercanda untuk menghilangkan rasa jenuh. Sam juga bercerita bahwasanya ia akan pergi ke Kota Andora untuk berdagang. Kota Andora merupakan kota dengan peradaban yang lebih maju dibanding Kota Eldoria. Jika di Kota Eldoria masih memakai kuda, sapi, dan gajah untuk kendaraan, maka di Kota Andora sudah menggunakan mobil. Kemudian sistem kerajaan di Andora juga lebih baik dibandingkan di Eldoria. Ratu Andora selalu bersikap bijaksana dan adil kepada semua rakyatnya. Kehidupan di sana jauh lebih baik daripada kehidupan di Eldoria yang keras dan tidak adil bagi rakyat jelata.
"Wow, aku ingin pergi ke Andora." Evelyn merasa kagum saat mendapat penjelasan tentang Kota Andora dari Tuan Sam.
"Tidak semudah itu pergi ke Andora. Kalian harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Ratu Andora. Di sana keamanannya sangat ketat, tidak sembarang orang boleh masuk ke wilayah Andora," jelas Tuan Sam.
"Lalu bagaimana Tuan dapat masuk ke wilayah Andora?" tanya Elan yang penasaran.
"Karena aku hanya berdagang dan tidak ada niat ingin merusak di wilayah Andora. Ratu Andora memperbolehkan orang asing masuk ke wilayahnya jika untuk tujuan positif," jelas Sam. Lalu ia menoleh ke belakang, melihat sekilas kedua wajah anak remaja yang duduk di pedatinya. Kemudian Tuan Sam kembali bicara, "Kalian bisa datang ke sana, asalkan kalian datang dengan tujuan positif."
"Iya Tuan, terimakasih sudah memberi tahu kami," jawab Elan lalu tersenyum.
Setelahnya tidak ada obrolan antara mereka bertiga. Tuan Sam fokus menginstruksi sapinya. Evelyn dan Elan termenung, sedang membayangkan bagaimana bahagianya kehidupan di Andora yang makmur dan terjamin. Mereka berdua juga ingin merasakan kehidupan yang bahagia dan adil.
Waktu telah berganti petang, kini matahari sudah tenggelam di ujung barat, sedikit menampakkan sinarnya yang berwarna jingga pekat dan tergantikan cahaya bulan yang temaram.
"Baiklah sampai di sini, teman kalian sepertinya sudah siuman," ujar Tuan Sam seraya menghentikan laju sapinya di perbatasan wilayah rakyat jelata dan wilayah rakyat menengah. Tuan Sam akan melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah kerajaan Andora.
"Terimakasih Tuan atas tumpangannya," kata Evelyn lalu turun dari pedati. Elan mengajak Roni untuk turun. Keadaan Roni masih seperti orang linglung karena saat bangun ia mendapati dirinya ada di pedati.
"Bagaimana aku bisa ada di sini?" tanya Roni seraya melihat ke sekelilingnya. Ia kemudian menatap wajah Elan untuk meminta jawaban.
"Sudahlah, nanti akan aku ceritakan. Sebaiknya kita segera turun. Tuan akan melanjutkan perjalanannya," jelas Elan seraya menggandeng tangan Roni. Kemudian mereka berdua turun dari pedati.
"Kalian sudah turun. Baiklah, aku akan kembali melanjutkan perjalanan," kata Sam kepada tiga remaja yang berdiri di samping pedatinya.
"Iya, Tuan. Terimakasih tumpangannya," jawab Elan dan Evelyn bersamaan. Sedangkan Roni masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tiba-tiba ia terbangun di atas pedati? Itulah pertanyaan yang masih mengganggu otaknya.
Saat melihat tubuhnya, Roni sangat panik, mengetahui ia tidak memakai pakaian, hanya memakai kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya.
"Hei, di mana pakaianku?"
****
"Hei di mana pakaianku?" Roni meraba-raba tubuhnya yang setengah tidak berpakaian. Dia sangat malu saat ini.
Elan menyodorkan jubah kelabu milik Roni. "Ini pakaianmu. Kamu sempat pingsan di sungai. Lalu aku tak sempat memakaikan kamu pakaian."
"Berikan kepadaku. Aku malu tidak berpakaian seperti ini," ujar Roni sambil menyambar jubah miliknya di tangan Elan. Lalu Roni dengan cekatan memakai baju serta rok jubahnya, dan membiarkan baju jubahnya terbuka sehingga terlihat perutnya yang sedikit berotot.
"Kita berdua sudah terbiasa melihatmu tanpa pakaian saat mandi di sungai. Lalu kenapa tiba-tiba kamu malu?" ejek Elan sambil memutar kedua bola matanya.
"Hei, bukan itu yang aku maksud. Aku malu karena tidak berpakaian di depan Tuan tadi," ujar Roni mengelak.
"Kamu pingsan, Tuan tadi sudah mengerti kenapa kamu tidak berpakaian," jelas Evelyn yang mencoba menenangkan Roni. "Elan menjelaskan jika kamu pingsan setelah berenang di sungai." Lanjutnya seraya menunjuk Elan.
"Baiklah, aku percaya pada kalian. Setidaknya Tuan tadi bukan seorang perempuan dewasa," jawab Roni. "Setidaknya aku tidak terlalu malu karena dilihat wanita dewasa."
"Mari kita pulang, sebelum hari semakin malam. Ini keranjang buahmu, aku yang membawanya tadi." Evelyn menyerahkan keranjang buah milik Roni yang sudah kosong.
"Terimakasih Evelyn," balas Roni sambil mengambil keranjangnya di tangan Evelyn.
"Bukankah seharusnya kamu juga berterimakasih kepadaku, aku sudah membawa pakaianmu dengan ikhlas." Elan menyahut karena menurutnya Roni tidak bersikap adil kepadanya.
Seketika Roni tertawa, "Hahah, terimakasih kawan. Aku tak sempat mengucapkan terimakasih karena tadi aku panik."
Evelyn dan Elan pun tertawa sebab ucapan Roni yang jenaka. "Sudahlah, ayo kita pulang. Aku sudah lapar," ucap Elan sambil berjalan melewati jalan setapak yang menghubungkan ke arah perkampungan tempat tinggal rakyat jelata.
"Hei tunggu!" teriak Evelyn lalu mengejar langkah Elan. Roni ikut berlari di belakang Evelyn.
Roni sekarang berjalan di samping Evelyn, kemudian ia bercerita, "Aku ingat, sebelum aku pingsan. Aku bisa mengendalikan air. Tapi rasa-rasanya mana mungkin aku punya kekuatan."
"Mungkin kamu hanya halusinasi saja," sahut Elan yang tidak ingin membuat Roni mempercayai kekuatannya. Sejujurnya Elan juga tidak menyangka bahwa Roni mempunyai kekuatan sihir yang ajaib. Kemungkinan yang pertama, itu hanya suatu kebetulan. Kemungkinan yang kedua, Roni memang mempunyai kekuatan sihir. Tetapi yang pasti Elan tetap percaya pada opsi yang pertama bahwa Roni bisa mengendalikan air hanya suatu kebetulan saja, artinya tidak benar-benar dilakukan secara sadar.
"Kemungkinan seperti itu," balas Evelyn.
"Tapi aku merasa itu nyata sekali. Dan aku tidak berhalusinasi," jawab Roni sambil mengingat-ingat kejadian yang di luar dugaannya itu.
"Kamu hanya sedang lelah." Elan lagi-lagi berusaha meyakinkan Roni bahwa kejadian tadi siang saat di sungai tidak benar-benar nyata.
"Mungkin." Roni mengangkat kedua bahunya seraya menggeleng pelan. Ia ingin mempercayai keajaiban pada dirinya, tapi hatinya mengatakan ragu-ragu bahwa ia memang mempunyai kekuatan sihir. Entahlah, Roni akan mencari tahu sendiri tentang kemampuannya yang ajaib tanpa mengikutsertakan Elan ataupun Evelyn.
"Tidak usah memikirkan hal itu, sekarang mari kita pulang. Hari sudah semakin malam," ujar Evelyn yang berjalan di depan kedua laki-laki di belakangnya.
Evelyn dan Elan sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini tinggal Roni yang berjalan seorang diri melewati jalan setapak yang menghubungkan ke arah rumahnya. Beberapa meter lagi ia akan sampai di rumah. Tetapi Roni seakan tidak bahagia, raut wajahnya menunjukkan kegelisahan, penyebabnya karena ibunya yang selalu marah kepadanya. Lihat saja, setelah ini pasti Roni akan mendapat omelan dari ibunya.
"Kemana saja? Kenapa baru pulang!?"
Benar dugaannya, baru saja Roni berdiri di depan pintu, ibunya sudah menyambutnya dengan omelan.
"Maaf, Bu, aku--." Roni tak melanjutkan perkataannya, tiba-tiba ibunya menyambar keranjang buah di tangannya.
"Di mana uang hasil kamu berdagang? Berikan sama Ibu," ucap ibunya dengan kasar.
"Ini Bu. Tapi Ibu bisa sisakan sedikit untuk aku?" ujar Roni dengan ekspresi memelas. Lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku rok jubahnya.
"Enak saja, tidak bisa. Ini uang Ibu," balas Rosmala sembari menyabet uang dari tangan Roni. Kemudian Rosmala berlalu pergi dan masuk ke kamarnya.
Menghela napas berat, Roni ingin mencegah ibunya tapi ragu-ragu. Ia begitu takut dan tak berani melawan ibunya. Bagaimana pun juga ibunya yang telah melahirkannya. Akhirnya Roni masuk ke rumah dalam keadaan letih dan pasrah. Remaja laki-laki itu melepas baju jubahnya dan hanya memakai rok jubahnya, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ibu Roni bernama Rosmala. Wanita yang selalu bersikap kasar semenjak kepergian suaminya tiga belas tahun yang lalu. Bahkan saat Roni masih berumur tiga tahun, Rosmala sering memarahi Roni karena hal sepele, seperti saat Roni tak sengaja menumpahkan air minumnya. Rosmala juga sering frustrasi tiap kali mengingat suaminya yang begitu ia cintai. Dulu hidupnya terjamin dengan layak dan sederajat dengan bangsawan, karena suaminya berkerja di dalam lingkungan kerajaan sebagai seorang prajurit. Akan tetapi takdir berkata lain, saat di medan perang, suaminya gugur dalam peperangan dan membuat Rosmala menangis selama berhari-hari, dan waktu itu Roni masih berumur dua tahun. Rosmala mungkin tidak bisa mengikhlaskan kepergian suaminya hingga saat ini. Amarahnya selalu dilampiaskan kepada Roni, anak laki-laki satu-satunya. Terlebih saat ekonominya turun drastis sejak kepergian suaminya, Rosmala dan Roni diasingkan ke pinggiran kota oleh prajurit kerajaan atas perintah Raja Aric yang kejam, Rosmala menjadi semakin frustrasi.
Roni keluar kamar mandi dalam keadaan setengah telanjang atau telanjang dada. Ia sudah mandi, tubuhnya jadi segar kembali. Kemudian ia pergi ke dapur untuk makan. Meski selalu bersikap kasar kepadanya, tapi Rosmala tidak akan membiarkan anaknya kelaparan. Ia tetap memasakkan makanan untuk anaknya walaupun hanya sekedarnya.
"Malam ini kamu makan singkong saja," ucap Rosmala saat melihat anaknya masuk ke dapur. "Beras sudah habis. Uang hasil berdagang kamu, besok Ibu belikan beras."
"Iya Bu." Roni mengangguk dan tersenyum. Lalu remaja laki-laki itu mengambil singkong yang berukuran besar agar puas untuk mengganjal perutnya yang meronta-ronta.
Sementara Roni makan di dapur. Rosmala pergi ke gudang untuk mengecek persediaan mangga yang besok akan dijual kembali. Banyak mangga yang masih muda dan belum matang. Sebagian kecil sudah layu dan tidak layak dijual, Rosmala memilah-milah buah mangga mana saja yang layak dijual, dimakan sendiri, dan yang masih mentah. Untuk mangga yang sudah layu atau terlalu matang, Rosmala akan memberikannya kepada Roni untuk dimakan sendiri.
Selesai memilah-milah buah mangga, Rosmala mengambil dua buah mangga yang terlalu matang, membawanya ke dapur lalu diberikan kepada Roni. Walaupun sudah layu tapi tetap layak dimakan. Rosmala tidak ingin rugi dan mubazir karena membuang-buang buah mangga dari hasil kebunnya. Lebih baik diberikan kepada anaknya.
"Ini ada buah mangga yang sudah layu, kamu makan sendiri saja, Ibu sudah bosan memakannya," ujar Rosmala sembari menaruh dua buah mangga di atas meja, tepat di samping Roni.
"Terimakasih, Bu." Roni tersenyum senang. Hampir setiap hari ia makan buah mangga tapi ia tak pernah bosan. Buah mangga adalah favoritnya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Rosmala berlalu pergi ke kamarnya.
Roni selesai memakan dua buah singkong yang berukuran besar-besar, sekarang perutnya sudah cukup kenyang. "Syukurlah, aku kenyang," ucapnya. Kemudian ia minum air putih dari dalam kendi. Air putih yang segar membuatnya lega.
Usai makan dan minum, Roni berjalan ke kamarnya untuk berganti pakaian. Pakaian Roni bermodel seperti jubah ala-ala hanbok. Yang mana pada bagian baju hanya berupa kain lebar dan panjang untuk menutupi tubuh bagian atas, termasuk kedua tangan, dan dilengkapi kain panjang untuk ikat pinggang. Sedangkan untuk bagian bawah berupa rok panjang sebatas tumit. Pakaian hanbok tidak hanya dimiliki oleh Roni tapi semua rakyat Kota Eldoria, baik raja, bangsawan, rakyat menengah ataupun jelata. Pakaian hanbok sudah menjadi ciri khas rakyat Kota Eldoria sejak kepemimpinan raja pertama Kerajaan Eldoria hingga kepemimpinan ke sepuluh, yaitu Raja Aric Shadowcaster.
Roni hanya memiliki tiga macam pakaian hanbok karena keterbatasan ekonomi. Ibunya tidak punya banyak uang untuk membelikannya jubah baru. Dari hal tersebut, Roni sering memakai satu jubah selama berhari-hari, atau saat keadaan terpaksa, ia hanya memakai penutup tubuhnya bagian bawah berupa kain lebar saat hanya di rumah. Ibunya tak mempermasalahkan hal tersebut, karena baginya Roni masih kecil walaupun sudah berusia remaja. Untuk ukuran remaja berusia lima belas tahun, Roni berbadan lebih tinggi dan besar daripada teman-teman seusianya. Badan Elan pun tak sebanding dengan badan Roni yang tinggi.
Karena bosan di dalam rumah, Roni memutuskan untuk pergi ke gubuk di belakang rumahnya sambil membawa obor sebagai penerangan. Suara jangkrik dan hewan malam saling bersahutan seakan menyemarakkan suasana malam yang sunyi. Roni memasang obor di atas gubuk. Dengan ditemani sebuah obor, ia dapat melihat keadaan kebun meskipun remang-remang. Roni termenung, memikirkan cara bagaimana agar kehidupannya menjadi layak dan tidak terus-menerus hidup dalam kekurangan. Ia kasihan kepada ibunya yang semakin tua, sedangkan dirinya semakin bertumbuh dewasa. Dan tidak mungkin ia hidup hanya menggantungkan hasil berdagang buah mangga yang tidak banyak membantu. Roni berjanji pada diri sendiri, akan berusaha untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan bisa membahagiakan ibunya.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!