NovelToon NovelToon

LET ME DOWN SLOWLY

Kembalinya Chandra

Seorang pria baru saja keluar dari pintu lobi bandara internasional Soekarno-Hatta. Pria itu melepas kacamata hitamnya, ia  berjalan sambil fokus pada layar ponselnya. Karena terlalu fokus mencari kontak yang ingin dihubungi, tanpa sengaja pria itu menabrak seseorang. 

[Brug…] 

"Aww," rintih orang itu. 

Chandra cukup terkejut saat melihat seorang wanita sudah jatuh di depannya. Chandra pun segera membantu wanita itu. Namun sepertinya wanita itu enggan menerima bantuan dari Chandra yang tulus. Bahkan wanita itu menepis tangan Chandra. 

"Punya mata gak, sih?" ucap  wanita itu sambil berdiri.

Chandra merasa bersalah pada wanita itu. "Maaf, Nona. Saya tidak sengaja," jawab Chandra. 

Wanita itu hanya berdecak kesal, lalu ia mengibaskan rambutnya dan berbalik sambil mengambil kopernya. 

"Menyebalkan!" celetuk wanita itu dengan memberi tatapan sinis pada Chandra. 

Chandra bergeming dengan pikiran bingungnya. Pria itu menggelengkan kepalanya sambil menatap punggung wanita itu yang berlalu meninggalkan dirinya. 

Chandra menghela nafasnya. "Wanita itu angkuh sekali," gumamnya. 

Chandra kembali meraih ponselnya dan mencoba menghubungi seseorang. Namun saat baru saja menempelkan ponselnya, ia merasakan sebuah tepukan di pundaknya. 

"Ternyata kau  disini, Chand. Kenapa gak menghubungi aku?" ucap seorang pria yang sudah berdiri di sebelah Chandra. 

Chandra tersenyum. "Mana Langit, Vin?" bukannya menjawab pertanyaan Marvin, dia malah balik bertanya. 

"Langit lagi temenin Bokap meeting," jawab Marvin. 

Chandra hanya menganggukkan kepalanya saja. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok wanita yang tadi ditabrak olehnya. 

"Ayo!" ajak Marvin yang menyadarkan Chandra. 

"Iya," jawab Chandra. 

Mereka pun pergi dari bandara dan menuju mobil Marvin. Marvin memang sengaja menjemput Chandra, karena pria itu juga sangat merindukan sahabatnya itu. 

Kini mereka berdua telah berada di dalam mobil Marvin. Jalan raya siang ini cukup padat. Chandra menoleh ke sisi kiri memperhatikan setiap sudut kota Jakarta setelah hampir tiga bulan ia tinggalkan. 

"Aku pikir selama di Yogyakarta kota ini ada sedikit perubahan. Ternyata tidak ada sama sekali," ujar Chandra. 

Marvin menahan tawanya. "Kau hanya beberapa bulan saja meninggalkan kota ini. Bukan bertahun-tahun, Chan." Marvin menggelengkan kepalanya sambil terkekeh kecil.

Chandra pun tertawa kecil. "Ah, iya. Aku lupa kalau aku hanya tiga bulanan disana," ucap Chandra membenarkan apa yang dikatakan Marvin. 

"Bagaimana kabar Sagara, Vin? Selama aku di Yogyakarta, aku tidak pernah berkomunikasi padanya," tanya Chandra. 

Marvin melirik Chandra sekilas yang sedang menatap ke arah jendela samping. Marvin tahu kalau hubungan kedua sahabatnya itu masih renggang. 

"Dia baik-baik saja. Sepertinya ia sedang berusaha untuk kembali bersama Vesha," jawab Marvin yang kembali fokus pada kemudinya. 

Chandra menghela nafasnya pelan. Tatapannya tiba-tiba saja terlihat begitu sendu, ada rasa tidak suka saat Marvin mengatakan kalau Sagara sedang berusaha mendekati Vesha lagi. 

"Ada apa denganku, ya Allah?" monolog Chandra dalam hatinya. 

Sementara itu di kediaman keluarga Heinzee terdengar suara cempreng dari seorang wanita yang baru saja masuk kedalam rumah besar itu. 

"Assalamualaikum," suara yang begitu lantang seketika memenuhi ruangan dalam rumah itu. 

Seorang wanita paruh baya menuruni anak tangga, ia menggelengkan kepalanya saat melihat siapa orang yang telah membuat kegaduhan di rumahnya itu. Nyonya Naura Heinzee adalah istri dari Sean Heinzee. Orang tua Bryan dan juga Gricella. 

"Mommy," pekik Gricella. 

Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas sambil menghela nafasnya. 

"Dasar anak nakal! Tidak bisakah kamu bersikap lembut saat memasuki rumah," Naura menjewer telinga Gricella. 

"Aww, lepas, Mom!" Gricella mengusap telinganya yang sedikit sakit. 

Naura menghela nafasnya lagi, sungguh ia bingung dengan putrinya ini yang tidak seperti wanita lainnya yang selalu bersikap ramah dan lembut. Putrinya ini bisa dibilang memiliki sikap cuek dan masa bodo, yang penting dia bahagia. 

"Aku merindukan, Mommy." 

Gricella langsung memeluk Naura. Naura pun sangat merindukan putri semata wayangnya itu. 

"Jadi hanya rindu dengan Mommy saja, hmm?" 

Suara barito itu mengalihkan perhatian Naura dan Gricella yang masih berpelukan. Kedua wanita beda usia itu pun menoleh dan tersenyum. 

"Daddy!" pekik Gricella. 

Wanita itu berlari menghampiri Sean yang baru saja pulang bersama Devano. Sean hampir saja terhuyung saat tubuh Gricella menabrak tubuh Sean. Tawa keduanya pun pecah. Sean sama hal nya seperti Naura yang sangat merindukan putrinya itu.  

Mereka pun melepaskan pelukan keduanya. Gricella melirik ke arah pria yang ada di sebelah Sean. 

"Kau tidak merindukanku, Kak?" tanya Gricella sedikit cemberut. 

Devano memutar bola matanya malas. "Sebenarnya tidak, tapi karena kamu sudah datang, ya mau tidak mau aku merindukanmu." 

Gricella semakin mengerucutkan bibirnya. "Kau menyebalkan sekali!" Gricella memukul lengan Devano cukup keras. 

Gelak tawa Devano, Sean dan Naura pun pecah. Sedangkan Gricella masih saja cemberut. Tidak lama Bryan pun datang, dan mereka saling bercengkrama di ruang keluarga. 

"Apakah selama perjalanan kembali ke rumah, kau baik-baik saja?" tanya Bryan. 

Gricella mencebikkan bibirnya. "Tadi sempat sedikit kesal sama seseorang di bandara," jawab Gricella. 

Bryan menaikkan satu alisnya. "Siapa?" tanyanya. 

Gricella tersenyum miring sambil mengangkat kedua bahunya. "Entah! Aku tidak kenal, aku sangat kesal dengannya. Memangnya itu bandara miliknya, jalan tidak pakai mata!" omel Gricella yang kesal mengingat kejadian saat di bandara tadi. 

Semuanya tertawa kecil, dan menggelengkan kepalanya mendengar cerita dari Gricella. 

"Kenapa tidak berkenalan dengannya saja? Siapa tahu dia bisa berjodoh denganmu," celetuk Devano. 

Gricella tersenyum sinis. "Ih, amit-amit!" sahut Gricella. 

"Jangan seperti itu, kalau beneran berjodoh bagaimana?" Bryan pun ikutan menggoda sang adik. 

Gricella melototkan matanya. "Ih, Kakak gak usah ikut-ikutan Kak Devan deh. Bikin kesel aja, iisshh!" 

Keakraban keluarga itu semakin menghangat dikala Bryan dan Devano terus saja menggoda sang adik. Naura dan Sean hanya bisa ikut tertawa sambil sesekali membela Gricella, karena merasa tidak tega melihat putri mereka terpojokkan. 

Sementara itu Chandra dan Marvin baru saja tiba di depan rumah minimalis. Chandra tersenyum pada Marvin sambil melihat ke arah rumah di hadapannya itu. 

"Bagaimana, kau suka?" tanya Marvin. 

Chandra mengangguk. "Sangat suka, sesuai dengan apa yang aku inginkan." jawab Chandra.

Chandra mengepalkan tangannya di depan Marvin, dan disambut kembali dengan kepalan tangan Marvin. 

"Thanks, Bro." ucap Chandra. 

"Your welcome," jawab Marvin. 

"Ayo, masuk!" ajak Marvin seraya menepuk lengan Chandra. 

Keduanya pun memasuki rumah tersebut. Chandra semakin tersenyum lebar melihat setiap sudut dalam ruangan rumah tersebut. Chandra menahan rasa harusnya, akhirnya setelah perjuangan kerasnya ia berhasil membeli rumah sendiri dari hasil kerja kerasnya selama dua tahun terakhir. 

Chandra merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Marvin. Ya, Marvin juga ikut andil dalam membantu usaha perkebunan dan peternakannya di Yogyakarta. 

"Tinggal kamu isi barang-barang sesuai dengan yang kamu inginkan, Chan. Aku juga sudah bertemu dengan pemilik bangunan yang akan menjadi kantor untuk memasarkan hasil perkebunan dan peternakan kamu itu," ucap Marvin. 

Chandra pun menoleh sekilas. "Terimakasih, Vin. Kamu sudah banyak membantu aku sampai di titik ini," jawab Chandra. 

"Issh, itulah gunanya sahabat. Aku sudah menganggap kau dan yang lainnya sebagai saudaraku. Jadi tidak perlu sungkan untuk minta bantuan padaku," jawab Marvin. 

"Untuk sementara kau tinggallah di apartemenku," pinta Marvin pada Chandra. 

Chandra mengangguk. "Baiklah," jawabnya. 

Nyatanya Luka Itu Masih Terasa

Chandra dan Marvin pun kembali keluar dari rumah baru Chandra. Sementara waktu Chandra akan tinggal di apartemen Marvin. Sambil menunggu orang interior datang dan membawakan furniture yang sudah dipesan oleh Marvin.

"Mungkin besok atau lusa mereka akan datang merenovasi rumahmu," ujar Marvin.

"Hmm, baiklah. Kau sudah memberikan nomor ponselku pada mereka kan?" tanya Chandra.

Marvin pun mengangguk. "Sudah," jawabnya.

"Mau gantian mengemudi?" tanya Chandra.

Marvin menggelengkan kepalanya. "Tidak usah!" tolak Marvin.

"Oke,"

Mobil pun melaju meninggalkan perumahan tempat tinggal baru Chandra. Perumahan itu masih sangat sepi, karena perumahan tersebut sangatlah baru. Jadi baru ada beberapa rumah yang sudah dihuni, dan selebihnya masih banyak yang kosong.

"Sebaiknya kita makan siang dulu, Vin. Aku sudah sangat lapar," ucap Chandra.

"Oke, kita mau makan dimana?" tanya Marvin.

"Terserah kau saja! Tempat biasa kita nongkrong juga boleh," jawab Chandra.

Marvin mengangguk. "Kita ke tempat biasa saja," ucap Marvin pada akhirnya.

Marvin terus melajukan kendaraannya menuju cafe tempat biasa mereka berkumpul. Selama perjalanan mereka terus berbincang mengenai bisnis masing-masing. Mereka juga diam-diam membicarakan Sagara dan Vesha, bahkan dengan terang-terangan Marvin mengatakan kalau dirinya menyukai sahabatnya Vesha.

"Wanita jutek dan galak itu?" tanya Chandra yang tidak percaya dengan sahabatnya itu.

Marvin mengangguk seraya tersenyum. "Kenapa, apa ada yang salah?" tanya balik Marvin.

"Ya, tidak ada sih! Hanya saja…" Chandra menjeda ucapannya, nampaknya ia sangat ragu untuk mengatakannya.

Dagi Marvin berkerut. "Hanya saja apa?" desak Marvin.

Chandra menghela nafasnya. "Apa kau yakin dengan perasaanmu itu?" tanya Chandra.

Marvin menaikkan satu alisnya. "Apa kau meragukanku?"

Chandra tertawa kecil. "Jujur saja iya, aku meragukan perasaanmu itu yang menyukai Shena. Karena setahu aku, tipikal wanita yang kau inginkan itu tidak ada di Shena. Makanya aku bertanya apa kau yakin dengan perasaanmu itu?" cetus Chandra dengan ekspresi wajah yang tidak yakin.

Marvin berdecak kesal. "Aku sangat yakin dengan perasaanku ini, Chan. Entah kenapa aku merasa kalau Shena itu wanita yang berbeda dari wanita yang pernah aku kenal dan dekat denganku," jawab Marvin dengan ekspresi wajah penuh keyakinan dalam dirinya.

Chandra mengempotkan pipinya, lalu ia tersenyum miring. "Oke, kalau memang kamu sudah yakin dengan perasaanmu itu. Aku hanya bisa mendukungmu saja," Chandra menepuk pundak Marvin.

"Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, Vin." tambah Chandra.

"Apa?" tanya Marvin seraya mengerutkan keningnya.

"Apa kamu tahu kalau cinta itu begitu abstrak? hingga semua orang bisa membicarakannya. Namun sayangnya sedikit sekali yang benar-benar bisa melihatnya," tanya Chandra.

Marvin melirik sekilas ke arah Chandra. Lalu ia membasahi bibirnya yang terasa kering dengan lidahnya sebelum menjawab pertanyaan Chandra.

"Hmm, aku tidak tahu tentang hal itu. Tapi yang aku tahu, bahwa orang-orang yang sedang jatuh cinta memiliki kondisi psikologis yang berwarna. Sampai terkadang mereka juga lupa bahwa cinta bisa memberikan keterpurukan," jawab Marvin.

Chandra mengangguk pelan. "Iya, kau benar. Saat kau memutuskan untuk melabuhkan cintamu kepada seseorang, maka kamu juga harus mempersiapkan segalanya. Karena kemungkinan bisa terjadi cinta tersebut akan berbalik menyakitimu," ucap Chandra terdengar begitu lirih, bahkan tatapannya pun terlihat begitu nanar memandang arah kaca depan mobil.

Marvin bergeming mendengar ucapan Chandra yang mencelos hatinya. Marvin pun melirik dan menatap ke arah Chandra. Marvin dapat menangkap raut sedih dari sahabatnya itu.

"Kau baik-baik saja?" tanya Marvin seraya menyentuh pundak Chandra.

Chandra tersadar dari lamunannya. Ia pun tersenyum dan menoleh ke arah Marvin. "Ya, aku baik-baik saja." Chandra menepuk tangan Marvin yang masih ada di pundaknya.

Chandra segera mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela saat matanya mulai terasa panas. Chandra tidak ingin Marvin tahu kalau saat ini dirinya sedang tidak baik-baik saja.

"Nyatanya rasa sakit itu masih begitu terasa hingga saat ini. Bahkan aku baru tersadar bahwa luka di hati ini begitu dalam," lirih Chandra dalam hatinya.

Mereka telah tiba di sebuah cafe tempat biasa mereka berkumpul. Kedua pria itu langsung keluar dari mobil setelah Marvin memarkirkan mobilnya.

Chandra dan Marvin duduk di tempat biasa, entah kebetulan atau memang sudah menjadi tempat duduk favorit mereka di restoran tersebut. Tempat itu selalu kosong, dan hanya mereka saja yang mengisi kursi tersebut.

Mungkin memang benar tempat itu memang selalu di khususkan untuk menyambut kedatangan Marvin dan teman-temannya. Karena nyatanya pemilik cafe tersebut adalah salah satu kerabat Marvin. Jadi pria itu sangat mengenal pemilik cafe & resto tersebut. Mereka pun memesan makanan seperti biasanya.

"Kau sudah bertemu dengan pemilik cafe ini, Vin?" tanya Chandra.

Marvin mengangguk. "Sudah, dia bahkan ingin bertemu denganmu." Jawab Marvin.

"Oke, kabari aku saja untuk kelanjutannya seperti apa," ucap Chandra.

"Siap!"

Mereka kembali berbincang-bincang hal ringan dan sesekali membahas bisnis otomotif yang sedang digeluti oleh Marvin.

"Oh, ya! Motorku masih ada di apartemen kamu kan, Vin?" tanya Chandra.

"Hmm, baru saja aku servis sekalian ganti oli." Jawab Marvin.

"Thanks, nanti tagihannya kau kirim saja ke WhatsApp."

Marvin hanya mengangguk, dan tidak lama pesanan mereka pun tiba. Mereka makan begitu lahap, sepertinya cacing dalam perut mereka sudah sangat lapar.

Marvin dan Chandra sudah selesai dengan makan siang mereka. Lalu keduanya pun keluar dari cafe tersebut dan kembali menuju apartemen Marvin.

Beberapa menit kemudian, mobil Marvin sudah tiba di parkir gedung apartemen. Mereka berdua pun masuk ke dalam menuju lantai 10 dimana unit tempat tinggal Marvin berada. Marvin pun membantu membawa barang bawaan milik Chandra.

"Apa yang kamu bawa sih, Chand?" tanya Marvin.

Chandra mengulum senyumnya. "Kenapa, berat ya?" tanya balik Chandra.

Marvin berdecak kesal. "Kamu tuh habis balik kampung atau habis pindahan sih? Bawa barang sampai berat begini," keluh Marvin.

Chandra terkekeh melihat sahabatnya yang kesulitan membawa barang bawaannya.

"Itu isinya oleh-oleh," jawab Chandra.

Mata Marvin berbinar ceria. "Serius?"

Chandra hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Wah," Marvin langsung mengangkat kardus yang berisikan oleh-oleh.

Chandra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat kelakuan sahabatnya itu.

Marvin segera meletakkan kardus yang cukup berat itu, lalu ia menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa sambil merenggangkan otot-otot nya yang mulai terasa kaku.

Tidak lama ia pun berdiri dan berjalan menuju laci yang ada di dekat televisi. Chandra hanya bisa memperhatikannya saja sambil menggelengkan kepalanya saat Marvin tidak sabaran membuka kardus tersebut.

"Wah, ini banyak banget!" Marvin berkata begitu bahagia.

"Aku sengaja membawa banyak untuk kau dan yang lainnya," cetus Chandra.

Marvin menoleh sekilas ke arah Chandra. "Kau mau bagi buat siapa saja?" tanya Marvin.

"Kamu, Langit, Sagara, Vesha, Tuan Bryan dan orang tuamu." Jawab Chandra.

"Sebaiknya kamu bantu aku untuk membaginya rata biar semuanya kebagian," tambah Chandra.

Marvin pun mengangguk dan langsung membaginya sama rata. Dalam kardus berisikan oleh-oleh khas Yogyakarta itu, ada coklat monggo, keripik tempe sagu, bakpia pathok basah dan tas kerajinan berbahan dasar kulit.

"Sepertinya kau sudah mempersiapkannya dengan sangat baik," cetus Marvin saat melihat goodie bag yang sudah disiapkan oleh Chandra.

Chandra tersenyum. "Aku tidak ingin repot dan merepotkan orang lagi," jawab Chandra.

"Kapan kau akan kerumah Vesha?" tanya Marvin.

Chandra mengangkat kedua bahunya. "Mungkin nanti malam," jawabnya.

Kenapa Begitu Sulit?

Marvin hanya mengangguk saja, ia tidak berkomentar atau bertanya lagi. Karena ia sedang sibuk memasukkan oleh-oleh tersebut ke dalam goodie bag. Namun tiba-tiba saja Marvin menghentikan gerakannya saat ia teringat sesuatu. 

"Oh, iya. Aku hampir lupa kalau waktu itu Vesha mengajak kita berkumpul," ucap Marvin. 

Chandra pun langsung menghentikan pergerakannya. "Ayo! Sudah lama juga kita tidak berkumpul seperti dulu," ajak Chandra. 

"Hmm, terlebih kita sudah semakin sibuk dengan urusan pribadi dan pekerjaan. Nanti akan aku atur waktu yang tepat untuk kita berkumpul," jawab Marvin. 

"Atau nanti malam aku akan membahasnya bersama Vesha," usul Chandra. 

Marvin mengangguk. "Boleh, beritahu aku kapan Vesha bisa ikut berkumpul bersama kita. Biar aku juga bisa mengatur jadwalku dan juga Langit," jawab Marvin. 

"Ah, ngomong-ngomong soal Langit. Kenapa kamu menyuruhnya untuk menemani Bokap meeting. Bukankah seharusnya itu tugasmu?" tanya Chandra. 

"Kalau aku ikut meeting dengan Bokap, terus siapa yang menjemput kamu di bandara?" Marvin bertanya balik pada Chandra.

Chandra terkekeh dan mengangguk, benar juga apa yang dikatakan Marvin. Tapi sebenarnya Chandra tidak mempermasalahkan kalau dirinya tidak ada yang menjemput di bandara. Pulang dengan taxi pun juga bisa. 

Chandra kembali menatap ke arah Marvin yang kembali sibuk dengan oleh-oleh bawaannya. Chandra merasa begitu bersyukur karena dipertemukan oleh Marvin dan kedua sahabatnya itu. Mereka selalu membantu dan bahkan tidak pernah membedakan status sosial Chandra. Kecuali saat Sagara yang emosi padanya dulu. Namun Chandra sudah melupakan dan memaafkan Sagara. 

Malam pun tiba, sesuai dengan ucapan Chandra tadi siang. Ia akan menemui Vesha di rumahnya, Chandra tidak memberitahukan Vesha kalau dirinya akan datang ke rumahnya. 

Chandra sudah keluar dari apartemen Marvin. Malam ini Marvin tidak menginap di apartemen, karena kedua orang tuanya meminta dirinya untuk pulang ke rumah. Chandra tersenyum saat melihat motornya yang sudah sangat lama tidak digunakannya. 

"Aku merindukanmu," gumam Chandra seraya menepuk body tangki motornya. 

Pria itu pun segera menyalakan mesin motornya,  selang beberapa menit Chandra pun menggunakan helm dan segera melajukan kendaraannya keluar parkir apartemen. 

Beberapa menit Chandra melaju di jalan raya, kini ia tiba di depan rumah Vesha. Chandra pun menekan bel rumah Vesha sambil mengucapkan salam. Tidak lama Vesha pun keluar, ia  tersenyum saat melihat Chandra ada di depan rumahnya. 

"Chandra," Vesha langsung segera membuka pintu pagar rumahnya. 

"Hai, apa kabar?" tanya Chandra seraya tersenyum. 

"Alhamdulillah, baik Chan. Kamu juga apa kabar? Bukannya kamu ada di Yogyakarta?" Vesha berbalik bertanya. 

Chandra tersenyum. "Aku juga baik. Iya, aku baru kembali ke Jakarta tadi siang." Jawab Chandra. 

Vesha nampak terkejut mendengarnya. "Lho, kamu itu bukannya istirahat malah mampir ke sini. Memangnya kamu gak capek, Chand?" tanya Vesha. 

Chandra menggelengkan kepalanya. "Tadi siang aku sudah istirahat, Sha. Oh, iya ini untukmu!" Chandra menyodorkan goodie bag pada Vesha. 

"Untuk aku?" 

Chandra mengangguk cepat. "Oleh-oleh untukmu, dan aku juga titipkan ini untuk kekasihmu itu." ucap Chandra. 

Vesha pun menerima goodie bag untuk Bryan. "Wah, terima kasih." jawab Vesha dengan wajah berbinar. 

"Tunggu sebentar, ya! Aku buatkan minum dulu," tambah Vesha. 

"Jangan repot-repot, Sha. Aku juga tidak lama," ucap Chandra. 

Vesha tersenyum. "Tunggulah sebentar!" pinta Vesha. 

Chandra pun akhirnya hanya bisa pasrah dan mengangguk menuruti keinginan Vesha. Benar saja, gadis itu tidak lama keluar dengan dua gelas es sirup dan juga dua toples cemilan untuk mereka. 

"Terima kasih," ujar Chandra sambil membantu Vesha. 

"Sama-sama, ayo diminum. Aku tahu kamu juga haus," jawab Vesha menggoda Chandra yang hanya ditanggapi tawa dari pria itu. 

"Bagaimana hubunganmu dengn Tuan Heinzee?" tanya Chandra. 

Vesha bergeming, seketika tatapannya terlihat begitu sendu. Tidak ingin Chandra mengetahui masalah tentang dirinya dan Bryan, akhirnya ia pun tersenyum palsu di depan Chandra. 

"Kami baik-baik saja," jawab Vesha yang masih tersenyum. 

"Kau sendiri bagaimana? Apakah masih betah menjombie?" Vesha terkekeh menggoda Chandra. 

"Kau ini!" kesal Chandra yang juga ikut terkekeh. 

Chandra akhirnya menggelengkan kepalanya. "Belum ada semenjak kamu menolak cintaku," jawab Chandra. 

Tawa Vesha pun terhenti, jujur saja Vesha merasa begitu bersalah pada Chandra. "Maafkan aku!" ucapnya bernada lirih. 

"Eh, b-bukan maksudku begitu, Sha. Aku hanya bercanda, aku bahagia jika kamu juga bahagia dengan Bryan." sahut Chandra. 

Chandra pun meraih tangan Vesha. "Sha, bukankah cinta itu tidak harus memiliki. Aku bahagia melihat kamu bahagia, walau bukan denganku. Berjanjilah padaku untuk selalu bahagia," tambah Chandra seraya mengusap punggung  tangan Vesha dengan lembut. 

Vesha tersenyum lebar dan mengangguk. "Doakan aku, agar aku selalu bahagia bersama dengan pilihan hatiku.  Begitupun sebaliknya, aku akan mendoakanmu agar cepat mendapatkan jodoh." 

Chandra pun tertawa, begitupun dengan Vesha. Memang pada dasarnya kita harus saling mendoakan untuk sesama. Karena mendoakan kebaikan untuk orang lain merupakan bukti terkuat jika kita menghendaki kebaikan itu untuk orang lain sebagaimana menghendakinya untuk diri kita. 

Apalagi di tengah tantangan kehidupan yang semakin beragam dan berbobot. Kali ini Vesha butuh kerjasama dengan Chandra dalam mengatasinya. Karena  kerja sama itu tidak saja dalam hal yang sifatnya lahiriah, tetapi juga dalam perkara doa. Semoga saja Tuhan mendengarkan doa-doa mereka.

Tapi tetaplah yakin, kalau kita saling mendoakan. Maka akan tertunaikan secara istiqamah dan berpijak kepada ketulusan dan keikhlasan, maka beragam janji Tuhan kita dapatkan. Yang sangat terasa berupa hadirnya kemudahan di tengah banyak dan beragamnya kesulitan.

"Sha, kapan kita dan yang lainnya bisa berkumpul bersama seperti dulu?" tanya Chandra. 

Vesha nampak berpikir sejenak. "Eum, Sabtu atau Minggu aku bisa. Nanti aku izin dengan Bryan," jawab Vesha.

Chandra mengangguk. "Oke, nanti aku tanyakan pada yang lainnya juga. Aku sangat merindukan masa-masa itu," ucap Chandra. 

"Hmm, masa dimana kita bisa berkumpul bersama kawan lama." Tambah Chandra. 

Malam pun semakin larut, Chandra sudah kembali menuju apartemennya Marvin. Setibanya di apartemen, Chandra langsung mengganti bajunya dan membersihkan wajah serta menggosok giginya. 

Chandra berjalan sambil mengusap wajahnya dengan handuk kecil untuk mengeringkan wajahnya yang masih basah. 

Chandra meraih laptopnya dan menyalakannya. Namun seketika itu juga tatapannya begitu sendu saat melihat layar laptop yang menampilkan sebuah foto dirinya bersama seorang wanita. 

Saat itu juga ia teringat ucapan Ari, teman Chandra saat masih di sekolah menengah atas dulu. 

"Aku dengar sekarang Kanza sedang dalam proses perceraian dengan suaminya," ujar Ari

Chandra mengusap wajahnya saat mengingat ucapan Ari. Entah apa yang dirasakan Chandra saat ini, haruskah ia senang mendengar kabar perceraian mantan kekasihnya itu. Ataukah ia harus ikut prihatin atas apa yang menimpa mantan kekasihnya itu. 

Chandra menyandarkan kepalanya di headboard tempat tidur. Tatapannya lurus ke luar jendela apartemen. 

"Kenapa dengan perasaanku ini, ya Allah?" gumam Chandra seraya mengusap wajahnya dengan kasar.

Telapak tangannya yang satu terkepal kuat, lalu terangkat untuk memukul-mukul pelan keningnya. 

"Astaghfirullah, kenapa seperti ini? Apakah aku masih belum bisa mengikhlaskan kejadian masa lalu? Atau aku masih belum bisa melupakanmu, Khanza?" 

Chandra memejamkan matanya seraya menghela nafas gusarnya. Tidak seharusnya Chandra kembali larut dalam kesedihan tentang masa lalu. Seharusnya Chandra lebih bisa menyayangi diri sendiri ketimbang orang lain agar dipertemukan dengan orang yang tepat dan mampu menyayanginya. Chandra tidak seharusnya berlama-lama larut dalam kesedihan, karena diri sendiri lah yang rugi. Kanza sudah bahagia dengan orang lain, walau berita terakhir yang Chandra tahu, wanita itu akan bercerai dengan sang suami.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!