“Pergilah ke alamat ini! Ungkap semua rahasia tentang jati dirimu. Dia pasti tidak akan menolak untuk membantumu!”
Kilas ucapan menggema di atas kepala.
Seorang perempuan cantik berdiri di depan gerbang sebuah rumah mewah dengan secarik kertas bertuliskan alamat.
“Jika aku mengungkap siapa diriku yang sebenarnya. Apa benar dia akan membantu menyelesaikan masalahku!” gumamnya ragu. Netranya meneliti situasi di area sekitar rumah.
“Aku harus mencobanya. Ini jalan terakhirku,” ucapnya yakin.
Setelah tarikan napas panjang perempuan itu kemudian mulai mencoba untuk masuk.
Melalui beberapa rangkaian kini perempuan itu telah berada di dalam rumah mewah. Seorang lelaki paruh bayah duduk di kursi seolah telah menunggu kedatangannya.
Perempuan cantik bernama Adira Kirani ini telah berdiri di depan lelaki yang akan ia temui. Tangan Adira saling bertaut erat. Dia sungguh gugup berhadapan dengan lelaki yang bernama Wisnu. Namun dia tidak punya pilihan lain selain bicara.
“Tuan saya Adira,” ucapnya memperkenalkan diri.
Wisnu hanya diam, tak membalas ucapan Adira. Netranya menatap Adira dengan tatapan sulit terbaca.
“Sa ... saya anak yang berkaitan dengan kejadian 13 tahun yang lalu,” tambah Adira lagi sembari menundukkan kepala.
“Akhirnya setelah sekian lama, kau datang padaku!” Suara Wisnu menggema membuka kata.
Tangan Adira mengepal erat. Seketika kepingan-kepingan kenangan masa 13 tahun yang lalu terlintas di pikiran Adira. Ah, Sangat menyayat hati.
“Katakan, kau ingin aku melakukan apa untukmu!” ucap Wisnu seakan telah tahu tujuan perempuan bernama Adira ini menemuinya.
Kepala Adira terangkat, cukup terkejut. Padahal Adira belum bicara apa tujuannya. Lelaki itu malah telah menawarkan.
Dengan ragu Adira mulai menjelaskan. Perihal masalah besar yang ia hadapi. Adira tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi.
“Aku memiliki dua adik lelaki yang kini sedang terlibat masalah besar. Dua adikku di tahan di kepolisian karena berkelahi dengan beberapa teman kampusnya yang salah satunya adalah anak seorang pejabat tinggi,” beber Adira.
“Kenakalan remaja. Ini mengingatkanku padanya ... ” wajah Wisnu berubah sendu. Ada kesedihan yang coba ia tahan.
Tak lama mencoba mengikis perasaan itu.
“Kau ingin aku membebaskan adikmu!” terang Wisnu menangkap masalah yang di ungkapkan Adira.
Adira mengangguk ragu. Ternyata Wisnu tahu apa yang ia inginkan.
“Baiklah aku akan membantumu!” putus Wisnu.
Adira tercengang. Semudah itu dia mengiyakan.
"Anda bisa membebaskan adikku. Anda bisa membatalkan laporan pejabat tinggi itu!” cecar Adira sangsi.
Ya. Biasanya jika sudah menyangkut dengan kasus dengan pejabat tinggi. Tidak akan mudah diselesaikan, mereka punya kuasa.
“Tentu, itu sangat muda bagiku. Aku bisa melakukannya hanya dengan satu sambungan telepon!” papar Wisnu santai.
Senyum penuh kelegaan menghiasi wajah Adira. Harapan besar adiknya bisa di bebaskan. Lelaki itu benar hebat, bisa membatalkan kasus dengan para petinggi.
“Tapi aku punya satu syarat!” sambung Wisnu.
Senyum Adira surut, keningnya mengerut. Bantuan ini tidak Cuma-Cuma.
Syarat. Ada syarat? Apa dia harus membayar? Tanya Adira dalam hati.
“Apa tuan ingin saya membayar?” tanya Adira.
“Aku tidak meminta bayaran. Tapi ....” Wisnu terhenti sejenak.
“Menikahlah dengan putraku. Sebagai timbal balik aku akan membantu,” ucap Wisnu.
Menikah
Adira membeku, aliran darahnya seakan terhenti. Bagaimana-bagaimana tadi? Adira seakan tak percaya.
“Me ... menikah,” ulang Adira tergagap.
“Ia, menikah dengan putraku. Maka aku akan membantumu,” balas Wisnu.
Oh ya ampun, ini gila.
“Jika kau menikah dengan putraku maka semua masalahmu akan selesai, kau akan hidup dengan tenang,” papar Wisnu.
“Tapi tuan ....”
“Adik-adikmu tidak akan bisa sepenuhnya bebas dari masalah ini. Kelak mereka akan kembali mengusik adik-adikmu mencari masalah baru. Jika kau menikah dengan putraku. Maka masalah seperti ini bisa di atasi, nama keluargaku akan melindungimu dan adik-adikmu,” jelas Wisnu.
Adira mematung bergulat dengan pikiran. Ahh, kenapa juga Adiknya berurusan dengan orang yang memiliki kuasa. Dia menjadi tak bisa berbuat apa-apa. Dan benar ucapan lelaki paruh bayah itu. Anak pejabat tinggi itu akan terus mengusik adik-adiknya.
Adira mengepalkan tangannya. Sungguh dia tidak berdaya. Mengapa harus seperti ini. Tiga belas tahun yang lalu juga dia tidak berdaya melawan pemilik kuasa. Dan sekarang terjadi lagi. Haruskah dia menikah demi kebebasan dua adik lelaki kesayangannya.
“Adikmu akan mendekam lama, dia berseteru dengan anak pejabat,” tekan Wisnu mengingatkan.
Wajah Adira menjadi memucat, adiknya akan mendekam lama. Bagaimana nanti dengan masa depan dua adik lelakinya. Hidupnya akan sulit.
Ahh. Adira tidak ingin itu terjadi. Ia ingin adiknya hidup dengan baik dan meraih kesuksesan. Cukup dia yang hidup memikul beban.
“Maafkan aku ibu. Aku tidak bisa bertahan,” batin Adira dengan jutaan rasa bersalah menaungi hatinya.
Adira menarik napas berat, mencoba mengambil keputusan.
“Baiklah tuan saya bersedia, saya akan menikah dengan putra tuan,” ucap Adira meyakinkan.
“Bagus. Aku akan mengurus kebebasan adikmu. Secepatnya!”
Adira hanya terdiam lemah, bergulat dengan pikirannya.
“Kembalilah kemari tiga hari lagi. Aku akan menikahkan kalian!”
Deg ....
Jantung Adira seakan terjun bebas. Ini gila menikah dalam tiga hari lagi.
“Ti ... Tiga hari!” sentak Adira tak percaya secepat ini.
“Ya. Semakin cepat. Semakin baik."
Suasana seketika hening tak ada kata dari Adira.
“Aku tahu ini tidak adil untukmu. Tapi ini akan menebus kejadian tiga belas tahun lalu,” batin Wisnu menatap Adira yang mematung.
Sedangkan Adira gelombang risau menaungi perasaannya. Dia akan menjalani pernikahan terpaksa? Bagaimana dengan hidupnya nanti. Ya ampun pernikahan ini tinggal tiga hari lagi. Dan astaga, bagaimana bentuk lelaki yang akan di nikahkan dengannya? Adira tidak mengenalnya!
Hai Sya kembali dengan cerita baru. Maaf hiatus lama.
Setelah baca jangan bengong aja kaya kang siomay kehilangan garpu. Jangan lupa
Like
Coment
Vote
Adira telah kembali ke rumah. Setelah mengambil keputusan menikah pikirannya semakin kacau. Bagaimana tidak tiga hari lagi. Ini gila.
Adira mengerutkan alis saat meraih gagang pintu lalu memutar. Tak terkunci. Dengan cepat perempuan itu masuk ke dalam rumah.
Adira membatu menatap tak percaya melihat dua orang pemuda tampan, bertubuh tinggi berdiri dengan senyuman.
“Kakak,” sapa dua lelaki itu kompak.
Astaga secepat itu prosesnya.
Adira tidak menyangka. Baru saja meminta bantuan, adiknya telah berada di rumah. Lelaki itu benar-benar hebat. Bagaimana caranya dia melakukannya? Apa benar hanya dengan satu sambungan telepon? Batin Adira bertanya.
Ya, mereka adalah Askara dan Andara adik Adira. Ya tuhan. Adiknya telah kembali.
Raut bahagia penuh kelegaan menghiasi wajah Adira di sertai tatapan penuh haru.
“Aska, Andra. Kalian sudah kembali. Kalian benar-benar bebas,” ujar Adira berhambur memeluk adiknya.
“Iya. Kak,” balas Adik Adira.
Ketiganya berpelukan penuh haru. Meluapkan perasaan rindu setelah beberapa hari tak bercengkerama.
“Kakak senang sekali. Kalian kembali ke rumah.” Adira semakin mengeratkan pelukannya pada dua pemuda tinggi itu. Betapa leganya, air matanya terus mengalir deras. Tidak sia-sia meminta bantuan.
Hingga tak lama Adira tersadar, melepaskan pelukannya. Tunggu dulu. Anak ini!
Dalam sekejam wajah Adira berubah mengerikan, di penuhi amarah.
“Kalian. Lagi-lagi membuat ulah,” sentak Adira menghapus air mata.
Suara ludah di telan terdengar dari Aska dan Andra, saling melirik satu sama lain saat melihat kakaknya yang kini berubah mengerikan.
Oh astaga, habislah mereka.
Kakak galaknya akan mengamuk membuat perhitungan atas kesalahan yang telah mereka lakukan.
Adira lalu beralih meraih sapu yang terletak di belakang pintu.
Ya ampun, keduanya semakin panik. Mereka memang sering di hajar habis-habisan oleh sang kakak saat melakukan kesalahan besar.
“Kak. Jangan kak. Kami janji tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Aska anak ke dua dalam rumah ini.
“Aku akan memberi kalian pelajaran! Aku akan menghajar kalian!” seru Adira mulai mengarahkan sapu ke tubuh Aska dan Andra secara bergantian.
Buk ... Buk
Adira memang cukup keras mendidik adiknya. Agar adiknya terus berada di jalan yang benar. Karena didikan dan pengasuhan extra itulah dua adiknya tumbuh dengan baik.
“Aw ... Ampun kak!” pekik Andra si anak bontot menggeliat tubuh, menghindari pukulan kakaknya.
“Aw ... kak.” Suara teriakan Aska menggema.
“Kalian lagi-lagi membuat ulah, berani-beraninya membuat masalah dengan anak pejabat!” omel Adira sangat kesal.
“Aska mengapa kau menggoda pacar anak itu. Apa tidak ada perempuan lain,” tambah Adira mengomel mengenai sumber masalah awal sembari tangannya terus mengayun sapu ke tubuh pemuda itu.
“Aku tidak menggodanya. Perempuan itu yang terus mengejarku!” balas Aska menghalau serangan kakaknya dengan tangan.
“Apa kau tidak bisa menghindar. Kau malah mencari masalah!” oceh Adira.
“Kakak lupa aku punya wajah tampan, sejak dulu banyak perempuan yang mengejarku!” ucap Aska membela diri.
“Oh ... astaga masih banyak bicara!” semakin kesal saja Adira dengan adiknya ini sangat narsis walau pun benar adanya.
Ya, Askara memiliki wajah tampan, di dukung tubuh tinggi 182 cm. Di tambah lagi penyuka olahraga bahkan menjadi kapten basket. Ah idaman para wanita, namun wajah itu selalu saja menjadi masalah untuknya. Banyak lelaki yang menganggapnya sebagai ancaman atau rival dalam percintaan.
“Dan kau Andra, kenapa kau tidak bisa menahan diri. kau ingin menjadi preman pasar. Semua orang ingin kau pukuli!” kali ini Adira menyerang si bontot Andra.
Untuk Andra dia memiliki pengendalian emosi yang buruk gampang terpancing hingga berujung perkelahian. Sungguh Adira selalu di pusingkan dengan kelakuan si bontot ini.
“Aw ampun. Kak mereka yang lebih dulu mencari masalah! Aku tidak mungkin diam melihat Aska di keroyok,” teriak Andra membela diri semakin mendekat ke arah Aska.
“Aduh sakit kak. Hubungi kak Seto minta perlindungan anak!” teriak Andra putus asa karena menerima pukulan sapu dari kakaknya.
“Apa! Perlindungan anak katamu, ingat berapa usiamu. Kau sudah bukan anak-anak!” Uhg, semakin kesal saja Adira.
“Ah ... Lebih baik kita serahin diri lagi ke polisi,” sahut Aska frustasi.
“Apa! Mau di tahan lagi iya!” Adira semakin tak terkendali memukul adiknya.
“Ampun kak!” mohon keduanya.
“Ambil pulpen? Lebih baik kalian coret sendiri nama kalian di kartu keluarga. Setelah itu langsung serahin diri ke panti asuhan!” geram Adira.
“Kakak. Tega sekali,” protes Andra.
“Dia menghina mendiang ibu kita ... Dia mengatakan ibu kita gila!” ungkap Andra.
Deg ...
Tangan Adira seketika menggantung, ia terhenti saat mendengar ucapan Andra. Wajah Adira berubah sayu.
Ya, itu benar mendiang ibunya yang meninggal beberapa tahun yang lalu memang mengalami gangguan mental.
Sejak usia 12 tahun Adira telah kehilangan ayah yang meninggal karena kecelakaan. Sedangkan Aska dan Andra masih berusia 6 dan 7 tahun. Kerasnya kehidupan membesarkan tiga anak yang masih kecil tanpa suami membuat beban mental ibunya terganggu. Ibu Adira juga belum merelakan ayah Adira pergi karena kecelakaan itu, semua begitu cepat. Hidup mereka seketika terasa jungkir balik.
Adira duduk lemas di kursi, denyut sakit merayapi hatinya. Kalau sudah seperti ini mau apalagi. Sebenarnya dua adik Adira begitu manis dan baik, namun ejekan kegilaan ibunyalah selalu menjadi titik lemah adiknya.
Mereka akan menghajar semua yang mengatakan ibu mereka gila. Dan Adira memaklumi itu. Adiknya begitu terluka jika sudah membawa nama ibu karena mereka sangat menghargai bagaimana perjuangan ibu untuk mereka.
“Kak, maafkan kami,” ujar lembut Aska duduk di lantai meraih tangan kakaknya.
“Kami tidak akan mengulanginya lagi,” bujuk Andra.
Adira menarik napas panjang. Ya sudahlah. Adira yakin adiknya pasti hanya membela diri. Adiknya tidak pernah memulai kekacauan lebih dulu. Tidak ada asap kalau tidak ada api.
“Kakak akan menikah!” ucap Adira lemah.
“Ha. Menikah!” kompak Aska dan Andra tersentak kaget dengan ucapan kakaknya.
“Kenapa tiba-tiba menikah?” tanya Aska.
“Menikah ... menikah dengan siapa?” Andra tak kalah tercengang.
“Kakak akan menikah dengan anak lelaki yang telah membantu kakak membebaskan kalian,” jelas Adira.
“Kenapa seperti itu?” sambar Andra tak terima.
Adira menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa menatap kosong. Seolah ia kehilangan tenaga.
“Kakak tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk membebaskan kalian. hingga Akhirnya kakak bertemu dengan orang yang bisa membantu kakak. Tapi setelah meminta bantuan dia bersedia membantu membebaskan kalian Tapi dengan syarat setelah kalian bebas kakak harus menikah dengan putranya. Dan sekarang kalian telah kembali,” jelas Adira jujur.
“Kenapa kakak mengiyakan!” decak Aska tak terima.
“Kalian pikir kakak bisa melawan pejabat tinggi. Jika tidak mengiyakan kalian bisa mendekam bertahun-tahun!” sembur Adira lagi-lagi kesal. Ahg, sapunya ingin melayang lagi rasanya.
Aska dan Andra tersenyum miris. Semua ini karenanya.
“Kak kami lebih baik di tahan dari pada kakak harus menjalani pernikahan secara paksa. Kakak tidak akan bahagia!” tutur Aska.
“Kebahagiaan kakak lebih penting untuk kami. Kak sudah banyak berkorban untuk kami,” sambut Andra.
“Sudahlah, kakak telah membuat kesepakatan. Kakak akan menikah. Tiga hari lagi!”
“Apa! Tiga hari lagi!” kompak keduanya tersentak kaget.
“Secepat itu! Kenapa kakak mengiyakan!”
“Kakak tidak mengenalnya, sifatnya, rupanya. Bagaimana kakak menjalani pernikahan dengan orang yang tidak kakak kenal. Kakak tidak mencintainya,” papar Aska kali ini dia tidak bisa tenang. Adira adalah kesayangan mereka.
“Kak batalkan kesepakatan ini!” bujuk Andra.
“Kakak tidak boleh melanggar kesepakatan,” terang Adira.
“Bagaimana jika dia hanya lelaki tua rentah, yang usianya lebih pantas menjadi ayah untuk kakak,” beber Aska.
“Atau duda anak 6 anak,” timpal Andra singkat.
“Atau lelaki tua yang terkena stroke yang butuh perawatan,” sambung Andra lagi.
“Atau kakak di nikahi untuk menjadi pembantu.”
“Atau kakak di akan di jual ke luar negeri.”
“Atau lelaki tukang kawin dan kakak akan di jadikan istri ke 13,” sahut Andra lagi.
Oh ya ampun.
Adira terus meringis mendengar ucapan adik-adiknya yang saling menimpali menebak lelaki yang kelak akan menikah dengannya.
Oh Tuhan, Adira di kepung gelisah. Bagaimana ini? Seperti apa rupa yang akan menikah dengannya. Apakah ada salah satu ciri yang di sebut oleh adiknya.
Karena berpikir ingin membebaskan adiknya. Adira tidak memikirkan seperti apa lelaki yang akan menikah dengannya. Ah ... Dia benar-benar telah mengorbankan masa depannya.
“Habislah aku,” gumam Adira.
Adira bisa darah tinggi nih karena adiknya. Serukan keluarga Adira. Jadi pawang dua cowok ganteng.
Di sebuah ruang kamar, seorang perempuan berkebaya putih duduk di depan cermin rias, menatap wajahnya yang telah berubah begitu memukau berkat make dari Mua berpengalaman.
Adira terpaku menatap pantulan dirinya, sungguh dia tidak pernah menyangka akan menjalani pernikahan seperti ini.
Ya, hari ini adalah moment sakral untuk Adira. Namun, bukan kebahagiaan bersanding yang ia rasakan selayaknya pengantin pada umumnya, akan tetapi hanya ada rasa risau, galau.
Sungguh sejak tadi irama jantung Adira tak henti bertalun kuat memikirkan akan nasibnya menikah dengan lelaki yang tidak tahu bagaimana rupanya. Ah, bagaimana masa depannya kelak?
“Kakak yakin akan menjalani pernikahan ini?” tanya sang adik dari arah belakang membuat Adira berbalik menatap dua pemuda tampan yang terlihat memukau dengan setelan jas berwarna hitam yang di siapkan khusus juga untuk mereka. Melihat dua adiknya ada rasa bangga menyeruak dari hati Adira memiliki dua adik yang tumbuh tinggi, tampan dan selalu menjaganya.
Akan tetapi wajah tampan itu terlihat terbalut cemas.
“Ini belum terlambat. Kakak masih bisa membatalkan pernikahan ini,” ucap Aska si anak ke dua yang masih mencoba tenang di tempat.
“Aku akan membawa kakak kabur dari tempat ini,” sulut Andra si bontot yang jiwa berontaknya bergejolak sejak tadi sangat gelisah dengan pernikahan kakaknya. Andra memang berbeda dengan Aska yang tenang.
“Kakak sudah tidak bisa mundur lagi,” ujar Adira.
“Kak bagaimana jika dia sama dengan tebakan kami,” cecar Andra putus asa.
“Kakek tua bau tanah.”
“Jadi istri ke 13.”
“Duda 6 anak.”
“Lelaki lumpuh.”
“Tukang kawin.”
Adira menarik senyum kecil untuk menenangkan adiknya.
“Mungkin ini jodoh kakak. Ini takdir yang sudah di gariskan untuk kakak,” jawab Adira tenang padahal dalam hati. Perasaannya campur aduk. Kakinya bahkan lemas bak bertulang. Bagaimana tidak dia menikah dengan orang yang tidak ia kenal.
“Kak, ini takdir buruk,” protes Andra merasa bersalah. Ini semua karena ulah mereka. Kakaknya yang mendapat masalah dari perbuatan mereka.
Suara ketukan di pintu terdengar, tak lama seorang perempuan cantik masuk ke dalam kamar. Entah siapa dia mungkin keluarga dari pihak mempelai laki-laki.
“Silahkan keluar. Semua telah siap. Pernikahan akan segera di mulai,” ucap perempuan itu cantik itu memasang wajah dingin. Setelahnya berlalu pergi meninggalkan kamar.
Irama jantung Adira berpacu dua kali lebih cepat. Ini waktunya. Setelah menarik napas panjang. Adira pun bangkit dari duduknya keluar dari ruangan di apit oleh dua adik lelakinya.
Adira melangkah ragu. Oh rasanya ia tidak ingin semakin maju menuju meja tempat ikrar pernikahan. Bolehkah ia mundur? Tapi semua telah terlambat. Ah. Masa depan Adira di pertaruhkan.
Adira mengedarkan padangannya melihat suasana pernikahan yang hanya di hadiri beberapa orang. Bagaimana tidak pernikahan ini begitu mendadak hanya di persiapkan dalam tiga hari.
Kini Adira sudah semakin dekat dengan tempat ikrar pernikahan. Netranya menangkap Wisnu telah duduk dekat dengan perempuan cantik yang memanggil Adira di kamar tadi.
Pandangan Adira semakin bergeser sedikit hingga tertuju pada.
Adira menelan salivanya kelat saat melihat bayangan punggung seorang lelaki berjas putih telah duduk di kursi, menunggu kedatangannya.
Ya ampun. Dia lelaki itu. Calon suami Adira. Bagaimana rupanya?
Adira telah duduk sejajar di samping lelaki yang tinggal menunggu waktu beberapa menit lagi telah menjadi suaminya.
Adira mencoba memiringkan wajahnya, menatap lelaki yang duduk bersanding dengan dirinya. Dan ternyata.
Terkejut. Itu adalah raut wajah Adira saat melihat lelaki itu pertama kalinya.
Adira membeku di tempat. Apa benar ini lelaki yang akan menikahinya.
“Dia ... tidak seperti yang di bayangkan,” batin Adira berkecamuk.
Sama dengan sang kakak dua pemuda yang sejak tadi mendampingi Adira tersentak kaget tak kalah tercengangnya. Semakin meneliti.
“Aska, dia tidak seperti yang kita tebak,” bisik Andra tanpa mengalihkan perhatian pada calon suami kakaknya.
“Dia sepertinya normal. Punya kaki. Tidak ada yang aneh! Tak ada tongkat dan kursi roda itu berarti dia bisa berjalan, tidak lumpuh,” balas Aska tak kalah terkejut.
“Dia bukan lelaki tua. Dari usia dia terlihat matang,” balas Andra.
"Wajahnya tampan. Diatas rata-rata, kulitnya putih bersih dan lebih tinggi sekitar 6 cm dari kita, dari posturnya dia suka olahraga,” papar Aska meneliti.
“Secara fisik dia sempurna!” ujar Andra.
Untuk sesaat Aska dan Andra menarik napas lega. Setidaknya lelaki yang bersanding dengan kakaknya, tidak seburuk yang mereka bayangkan.
Kedua jari tangan Adira bertaut di bawah meja saat duduk bersanding. Sesekali netranya melirik wajah pemuda yang terlihat sempurna tanpa cela. Sorot mata tajam berbingkai alis tebal, hidung mancung, bibir seksi bervolum, kulit wajah putih, licin.
Ah. Kenapa pemuda setampan ini setuju menikah dengannya? Tidak adakah wanita lain? Batin Adira bertanya.
***
Setetes air mata haru menetes di kedua netra dua pemuda yang baru saja menyaksikan pernikahan kakak tersayangnya.
Kini Adira telah sah menjadi istri dari pemuda yang bernama lengkap Elgi Nayaka.
“Selamat atas pernikahan kalian,” ucap Wisnu.
Adira hanya membalasnya dengan menarik senyum kaku di paksakan.
“Adira, kau telah menjadi istri dari Elgi, ke depannya dia yang akan menjagamu dan jika ada sesuatu katakan padanya. Dia akan selalu ada untukmu dan melindungi adikmu,” ucap Wisnu lagi.
“Baik tuan,” balas Adira penuh kecanggungan.
“Tuan ... jangan panggil Tuan. Kau sudah menjadi menantuku, panggil papa sama seperti Elgi,” sela Wisnu.
“Pa ... pa,” ulang Adira dengan kikuk dia bak patung.
Wisnu kini mengarahkan padangannya pada Elgi yang sejak tadi berdiri di samping Adira memasang wajah datar, tak ada satu kata pun yang keluar dari lelaki itu.
“Elgi jaga istrimu baik-baik. Sayangi dia. Dia perempuan baik, dia akan jadi istri yang terbaik untukmu,” pesan Wisnu.
Pemuda itu hanya menganggukan kepala tanda mengiyakan pesan sang papa. Enggan membalas ucapan papanya.
Kedua adik Adira pun maju mendekat.
“Selamat atas pernikahan kalian. Tolong jaga kakakku,” ujar Aska melengkungkan, senyuman dengan mata berkaca haru, mencoba menerima jika pemuda yang ada di hadapannya telah menjadi suami kakaknya.
Namun berbeda dengan Aska. Andra memasang wajah tak suka. Dia belum rela dengan pernikahan kakaknya.
“Aku titipkan kakak kesayanganku padamu!” tekan Andra tentang kata kesayangan.
“Awas jika kau menyakitinya. Aku akan menghajarmu,” ancamnya tegas dengan mata memicing tajam.
“Andra!” protes Adira melihat tingkah si bontot.
Elgi hanya membalas dengan mendengkus, lalu tersenyum miring mendengar ucapan Andra.
Tatapan kilat terpancar dari keduanya, membuat suasana serasa membeku. Seperti akan ada pertarungan antara kakak dan adik ipar ini.
Wisnu yang masih berada di antara keduanya menghela napas, karakter mereka terlihat sama.
“Adira, ikutlah dengan Elgi. Mulai hari ini kau akan tinggal bersamanya.” Suara Wisnu membelah suasana menghentikan ketegangan.
Adira tersentak kaget.
Hah! Apa ... ikut bersama.
Gurat wajah Adira memucat, seketika gelagapan.
Tinggal bersama dengan orang asing ini! Bagaimana ini? Mereka tidak saling kenal
Like
Coment
Makasih buat kalian yang udah ngikuti, terharu aku tuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!