"Leukemia," gumam Vani dengan mata berkaca-kaca. Kertas yang dibawanya hampir jatuh karena tangannya gemetar hebat. Cobaan apa lagi ini, belum cukupkah selama ini Tuhan memberi cobaan pada keluarganya.
"Leukimia memang penyakit yang bisa dibilang berbahaya, tapi bisa diobati. Salah satunya dengan transplantasi sumsum tulang. Biayanya memang cukup mahal, apalagi tidak semua bisa dicover dengan asuransi dari pemerintah." Sebenarnya bukan hanya masalah biaya yang dipikirkan Vani, tapi tentang siapa yang akan mendonorkan sumsum tulang untuk Sisi.
Keponakannya itu sudah ditinggal pergi selamanya oleh ibu kandungnya. Dan ayah biologisnya, entah siapa dan seperti apa kabarnya saat ini, dia tidak tahu. Rani, kakaknya itu pulang dari Jakarta dalam kondisi hamil. Tak tahu siapa ayah si jabang bayi karena wanita itu sama sekali tak mau mengatakannya.
"Apa tidak ada alternatif pengobatan lainnya, Dok?"
"Tentu saja ada. Tapi Sisi masih terlalu kecil, kasihan jika harus menjalani kemoterapi. Jadi saya anjurkan untuk terapi imun atau imunoterapi terlebih dulu saja."
Setelah mengobrol dengan Dokter, Vani kembali ke ruang perawatan Sisi. Gadis kecil itu harus berbagi kamar dengan yang lain karena dirawat dikelas 3, menggunakan asuransi kesehatan gratis dari pemerintah.
"Bagaimana Van, Dokter bilang apa?" tanya Bu Mia. Raut wajah wanita paruh baya itu terlihat cemas. Sejak tadi, dia sudah tak sabar menunggu kedatangan Vani. Sudah seminggu lebih Sisi dirawat. Menjalani banyak sekali pemeriksaan yang membuatnya khawatir, takut sesuatu yang buruk menimpa cucu semata wayangnya. Selain itu, sudah 3 kali ini Sisi masuk rumah sakit, tapi belum ketahuan sakitnya.
"Sisi..." Vani menatap gadis kecil berusia 6 tahun yang sedang terbaring diatas ranjang dengan selang infus terpasang dipergelangan tangannya. Kejam sekali takdir pada gadis kecil itu. Tak hanya tak memiliki kedua orang tua, sekarang masih ditambah harus mengidap penyakit yang tak bisa dianggap remeh.
"Sisi kenapa, Van?" desak Bu Mia sambil menarik-narik lengan Vani. Dia sungguh tak sabar ingin tahu kondisi cucunya. Matanya berkaca-kaca, feelingnya mengatakan jika terjadi sesuatu yang buruk pada Sisi. Apalagi saat ini, raut wajah Vani tampak kacau.
"Sabar Bu, sabar," Pak Cholis menepuk punggung istrinya. Sebenarnya dia juga ingin tahu, tapi masih bisa bersabar, tak mendesak seperti istrinya.
"Sisi...." Ternggorokan Vani seperti tercekat. Rasanya berat sekali harus mengatakan kabar buruk ini pada kedua orang tuanya. "Sisi didiagnosa leukemia."
Bu Mia langsung syok. Hampir saja dia terjatuh karena kakinya lemas. Beruntung sang suami yang ada disebelahnya menahannya. Meski sudah tua dan orang kampung, dia paham penyakit apa itu. Dia sering mendengar penyakit semacam itu di TV. Ini lebih buruk dari perkiraannya.
Tangis Bu Mia pecah dipelukan suaminya. Membungkam mulutnya dengan telapak tangan agar suaranya tak terdengar. Sisi sedang tidur, dia tak mau bocah kecil itu terganggu dengan tangisannya. Selain itu, diruangan ini juga ada orang lain selain mereka.
...----------------...
Setelah beberapa hari dirawat dirumah sakit, tadi siang Sisi sudah diizinkan pulang. Beberapa hari ini, Vani terus mencari tahu tentang donor sumsum tulang diinternet. Sumsum tulang yang cocok, biasanya berasal dari orang tua atau saudara kandung, persis dengan apa yang dijelaskan dokter kala itu. Dan saat ini, satu-satunya harapan Sisi, adalah ayah kandungnya. Tapi dimana dia harus mencari pria itu.
Vani membuka diary milik alm. kakaknya. Tak ada informasi apapun disana. Sebelum meninggal, Rani mengalami baby blues berat. Hingga akhirnya, wanita malang itu meninggal karena maag kronis. Itu hasil diagnosa dokter. Saat hamil, Rani sudah mengalami depresi berat. Tak mau melakukan apa-apa, hanya diam saja, mengurung diri didalam kamar. Bahkan tak jarang tertawa atau menangis sendiri. Sekalipun, tak pernah mau mengatakan siapa ayah dari anak yang dia kandung. Selain kondisi mentalnya yang bisa dibilang sakit, kondisi fisik Rani juga mengalami penurunan. Dia jadi sering sakit-sakitan.
Vani menatap foto yang dia temukan di buku diary milik Kakaknya. Foto seorang pria muda yang tampan. Dibelakang foto itu, ada tulisan I Love you. Feeling Vani mengatakan jika pria itulah ayah kandung Sisi. Karena jika diperhatikan, wajah Sisi dan pria itu cukup mirip. Saat awal jadi ART di Jakarta, Rani pernah bercerita padanya yang saat itu masih SMP, jika dia menyukai anak majikannya. Mungkinkah pria itu adalah anak majikannya di Jakarta?
...----------------...
"Apa kamu bilang, mau kerja di Jakarta?" pekik Bu Mia sambil melotot. "Ibu tidak setuju." Dia masih trauma atas kehilangan Rani. Tak ingin sesuatu yang sama terjadi juga pada putri keduanya, Vani.
"Tapi hanya dengan cara itu, kita bisa tahu siapa ayah kandung Sisi, Bu. Vani sudah minta alamat majikan Mbak Rani dulu pada Mbak Susi." Susi adalah tetangga yang dulu mengajak Rani kerja di Jakarta. Mereka kerja di komplek perumahan yang sama. Dan sampai sekarang, Susi masih bertahan kerja di Jakarta.
"Apa gak ada cara lain, Nduk?" tanya Pak Cholis.
"Gak ada, Pak." Dengan mata berkaca-kaca, Vani menggenggam tangan Bapaknya yang ada dipankuan. "Dulu kita hanya bisa pasrah saat Mbak Rani mendapatkan ketidak adilan. Sudah saatnya kita tahu siapa ayah dari Sisi. Sisi harus sembuh, Pak, Bu." Sambil berderai air mata, Vani menatap kedua orang tuanya bergantian. "Selain itu, kita juga harus menuntut keadilan untuk Mbak Rani."
"Enggak, Ibu gak setuju." Bu Mia kekeh menolak. "Rani sudah tenang disana. Allah yang akan membalas bajingan itu, bukan kita. Ibu tak mau kamu mengalami hal yang sama dengan Rani."
"Insyaallah, Vani akan baik-baik saja, Bu." Vani menggenggam kedua tangan ibunya, berusaha meyakinkannya. "Kata dokter, pengobatan di Jakarta lebih bagus. Jadi tak ada salahnyakan, Vani membawa Sisi ke Jakarta."
"Sisi?" seru Bu Mia. "Maksud kamu, Sisi akan kamu ajak ke Jakarta?" Vani mengangguk yakin.
"Vani percaya, jika darah lebih kental daripada air. Dan ikatan darah itu, akan membuat Sisi memiliki ikatan batin dengan ayah kandungnya. Kita akan lebih mudah mengetahui siapa ayah Sisi dengan mengajaknya ikut ke Jakarta. Kita harus segera menemukan ayah Sisi secepatnya."
"Ayah Sisi?"
Ketiga orang yang sedang berada didalam kamar itu langsung menoleh kearah pintu yang terbuka setengah. Entah sejak kapan, Sisi ada di sana.
"Bibi bilang, mau nyari ayah Sisi?" gadis kecil itu kembali bertanya sambil berjalan masuk. "Bukankah ayah Sisi sudah meninggal?" Sejak dulu, Sisi sudah diberi tahu jika ayahnya telah meninggal.
Ketiga orang dewasa itu langsung kelabakan mendapat pertanyaan seperti itu. Rasanya terlalu sulit untuk menjelaskan detailnya pada Sisi yang masih berusia 6 tahun.
"Kenapa diam? Ayah Sisi masih hidup?"
"Ma-maksud Bibi, nyari makam ayahnya Sisi," sahut Bu Mia. Selama ini, Sisi sering sekali bertanya dimana makam ayahnya. Karena setiap kali diajak ke makam, dia hanya mengunjungi makam ibunya.
"Sisi ikut, Bi." Rengek bocah itu sambil memegangi lengan Vani. "Sisi ikut nyari makamnya Ayah. Sisi pengen ngasih bunga dan doain Ayah."
"Sisi," Bu Mia mendekati Sisi dan menyentuh kepalanya. "Selama ini, Sisi kan udah doain ayah sama Ibu setiap habis sholat. Jadi gak perlu lagi Sisi ikut nyari makam ayah."
Bocah kecil itu menggeleng cepat. "Sisi mau nyari makam Ayah."
"Izinkan Sisi ikut, Bu." Vani masih terus membujuk. Dia yakin, Sisi yang akan menunjukkan siapa ayah kandungnya nanti.
Vani berada didalam taksi bersama Susi yang tadi menjemputnya di stasiun. Dipangkuannya, Sisi tengah tertidur karena kecapekan. Mereka sedang menuju rumah mantan majikan alm. Rani.
"Kamu yakin mau kerja disana, Van?" tanya Susi. Dia tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Sebagai orang yang mangajak Rani kerja di Jakarta, dia merasa bersalah atas semua yang menimpa wanita itu.
"Iya, Mbak. Bukankah Mbak Susi yang bilang, kalau dirumah itu, lagi nyari ART yang bisa masak?"
"Tapi..." Susi tampak ragu. Seperti Bu Mia, dia takut hal yang menimpa Rani, kembali menimpa Vani.
"Mbak Susi yakin, dulu Mbak Rani gak pernah keluar-keluar saat masih kerja?" tanya Vani.
Susi mengangguk. Rani hanya sekali saja mau dia ajak keluar saat di Jakarta, selebihnya, Rani tak pernah mau. "Rani gak mau jalan-jalan, katanya uangnya mau ditabung saja, buat nguliahin kamu."
Vani menggigit bibir bawahnya. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dicegah. Rani adalah wanita yang sangat baik dan santun. Entah siapa yang telah memperdaya gadis polos itu hingga hamil. Saat itu, usia Rani baru 20 tahun. Satu tahun bekerja jadi ART di Jakarta, dia pulang dalam kondisi hamil.
"Itu artinya, Kak Rani gak punya kenalan cowok di Jakarta?" tanyanya lagi.
"Kayaknya sih enggak. Kami masih sering kirim pesan. Aku juga pernah mau ngenalin Rani sama temenku, cowok, tapi Rani gak mau. Dia bilang gak mau pacaran." Vani menyandarkan punggung di jok sambil memejamkan mata. Dugaannya makin kuat, salah satu pria dirumah itulah yang menghamili Rani.
Susi menatap Sisi yang sedang terlelap, dia terenyuh melihat wajah bocah itu. Kasihan sekali, tak bisa seperti anak lainnya, punya orang tua.
"Mbak, dari rumah majikan Mbak Rani, ke rumah sakit jauh gak?" Vani harus tahu tentang itu. Jadi saat terjadi sesuatu pada Sisi, dia bisa langsung ke rumah sakit. Selain itu, Sisi masih menjalani terapi imun, bocah itu harus terus mengkonsumsi obat. Jadi masih harus sering kontrol. Untunglah mereka memiliki asuransi kesehatan gratis dari pemerintah karena termasuk warga tidak mampu.
"Lumayan deket kok. Kapan-kapan aku antar kalau mau kesana. Aku ada cuti sehari dalam seminggu, bebas mau milih hari apa saja." Susi merasa beruntung, mendapatkan majikan yang sangat baik di Jakarta. Karena itulah, dia betah kerja disana sampai bertahun-tahun.
Akhirnya taksi yang mereka tumpangi sampai didepan rumah mantan majikan Rani. Vani segera membangunkan Sisi lalu mengajaknya turun.
Mereka bertiga berdiri didepan pintu gerbang yang sangat tinggi. Rumah mantan majikan Rani bisa dibilang yang paling besar dan mewah diantara lainnya.
"Kamu yakin mau kerja disini, Van?" lagi-lagi Susi bertanya.
"Yakinlah Mbak, orang udah sampai disini, masa mau mundur." Sahut Vani yang saat ini tengah memegang sebelah tangan Sisi.
"Kita mau tinggal disini, Bi?" tanya Sisi. Matanya tak berkedip menatap pagar yang menjulang tinggi dihadapannya. Belum pernah dia melihat rumah sebesar ini.
"Kita lihat saja nanti, Sayang." Jawab Vani sambil tersenyum pada Sisi. Dia juga belum tahu akan diterima atau tidak. Vani sudah browsing rumah singgah untuk survivor kanker. Jika tak diterima, dia akan istirahat ditempat itu dulu bersama Sisi. Tapi semoga saja, dia tak harus melakukan opsi kedua itu.
"Nanti bilangnya, kamu tahu info lowongan ini dari Tari, jangan bilang dari aku. Takutnya mereka malah mengaitkan dengan Rani, karena dulu aku yang ngajak Rani. Jangan sampai mereka tahu kalau kamu adiknya Rani." Vani mengangguk paham. Untung dia dan keluarganya sudah pindah rumah. Jadi alamatnya dan Rani jelas berbeda, di KK juga sudah tidak ada nama Rani lagi. Kepindahan mereka juga demi menghilangkan gunjingan tetangga pada Rani.
Setelah Susi pergi, Vani menekan bel yang ada didekat pintu gerbang. Tak berapa lama kemudian, seorang satpam membukakan pintu. Setelah ditanya keperluannya, dia langsung diantar masuk untuk menemui nyonya rumah.
Wanita bernama Retno itu langsung mengernyit melihat Vani membawa anak.
"Kamu yakin bisa kerja sambil ngasuh keponakan kamu?" tanyanya angkuh.
"Yakin, Nyonya. Keponakan saja ini pintar, gak pernah menyusahkan."
Melihat Bu Retno menatapnya tajam, Sisi langsung ketakutan. Menunduk sambil memegang erat lengan bibinya.
"Berapa usia kamu?"
"21 tahun. Sebelumnya, saya kerja disalah satu restoran, jadi asisten chef." Karena mendapat nilai tertinggi saat kelulusan, Vani yang merupakan siswa SMK jurusan tataboga, langsung direkomendasikan oleh sekolah untuk bekerja di restoran sebuah hotel. Setahun kerja disana, dia langsung menjadi asisten chef utama.
"Disini, kami sedang nyari ART yang bisa masak. Jadi keputusan diterima atau tidak, tergantung masakan kamu.," Bu Retno melihat jam tangan mahal yang bertengger dipergelangan tangannya. Sekarang sudah jam 4 sore. "Kamu bisa langsung menyiapkan makan malam."
"Baik, Nyonya," sahut Vani sambil menunduk. Dia dan Sisi lalu diantar kedapur. Disana, dia berkenalan dengan Fatimah dan Siska yang juga ART.
"Sisi duduk disini dulu, bibi mau masak." Vani menyuruh Sisi menunggu di sebuah kursi yang ada didapur. Dia harus memasak semaksimal mungkin agar bisa diterima.
..._________...
Masakan Vani sudah siap sebelum jam makan malam. Dengan dibantu Fatimah, dia menyiapkan semuanya dimeja makan. Belum terlihat satu orangpun disana, padahal Vani sudah tidak sabar untuk melihat wajah anak Bu Retno. Pria yang fotonya ada dibuku diary Rani.
"Semoga saja kamu diterima ya, Van," ujar Fatimah. "Selama ini sudah banyak yang ngelamar, tapi ditolak. Tuan dan Nyonya sedikit rewel kalau urusan makanan."
"Semoga saja, Mbak."
Bu Retno datang untuk mengecek meja makan. Setelah semua terhidang, dia menyuruh Vani menunggu di dapur, dan akan dipanggil kembali setelah mereka selesai makan.
"Ini masakan ART yang baru ngelamar tadi, Mah?" Tanya Pak Salim sambil menarik kursi dan memperhatikan makanan yang aromanya menggugah selera tersebut. Pak Salim adalah suami Bu Retno. Dan tadi Bu Retno sudah sempat cerita jika ada yang melamar jadi ART.
"Iya, Pah. Semoga saja cocok dengan selera kita. Mama udah capek nyari pembantu, gak sesuai mulu."
Tak berselang lama, seorang pria muda tampak menuruni tangga, dia adalah Dilan, anak pertama Bu Retno dan Pak Salim.
"Mana adikmu?" tanya Bu Retno.
"Gak tahu, Mah. Kayaknya belum pulang. Pas Dilan datang tadi, motor Damian belum kelihatan."
"Anak itu," geram Bu Retno. "Kapan dia bisa berubah. Setiap hari kerjaannya kelayapan. Kuliah udah 4 tahun belum lulus juga."
"Udah, Mah," ujar Pak Salim. "Nanti tekanan darah kamu naik kalau marah-marah. Biarin aja dia susuka hati. Nanti lama-lama juga insaf. Yang penting masih mau kuliah dan gak berurusan sama polisi, biarin aja." Pak Salim tak terlalu pusing memikirkan Damian. Baginya, sudah ada Dilan yang akan menggantikan posisinya diperusahaan.
Mereka lalu mulai makan malam. Tapi baru merasakan satu suap, Dilan langsung berhenti mengunyah. Masakan ini, kenapa rasanya mirip dengan masakan Rani? "Ini, masakan siapa, Mah?"
"Oh iya, Mama lupa belum ngasih tahu kamu. Hari ini ada yang melamar jadi tukang masak. Sebentar Mama panggilkan orangnya. Vani, Van, kesini," teriak Bu Retno sambil menoleh kearah dapur.
Vani yang berada didapur, langsung gemetar saat namanya dipanggil. Dia menarik nafas dalam membuangnya perlahan. Dia harus tampak tenang dihadapan mereka semua.
"Nyonya memanggil saya?" tanya Vani sesampainya dimeja makan. Dia berdiri disebelah Bu Retno sambil menunduk untuk menjaga etika.
"Ini Vani, yang masak makan malam kita." Begitu namanya disebut, Vani langsung mengangkat wajah.
Deg
Mata Dilan langsung terbeliak melihat gadis yang sangat mirip dengan Rani tersebut.
Tatapan Vani langsung tertuju pada pria yang duduk tepat didepannya. Ya, pria yang fotonya ada dibuka diary Rani, tak salah lagi. Mungkinkah dia adalah ayah Sisi? Vani meremat apron yang belum sempat dia lepas. Hatinya bergejolak, ada amarah yang besar saat menatap pria itu. Dia bersumpah dalam hati, akan menuntut balas atas penderitaan Rani dan Sisi.
"Vani, ini Tuan Salim, suami saya." Bu Retno menunjuk pria paruh baya duduk dikursi utama. Ketika Vani menoleh kearahnya, pria yang rambutnya sudah memutih itu, sedikit terkejut. Jangan-jangan, pria itu menyadari kemiripannya dengan Rani, batin Vani. Tapi jika kedua pria itu kaget melihatnya, kenapa Bu Retno tidak. Apakah mungkin wanita itu tak terlalu mengenal Rani?
"Saya Vani, Tuan." Ujar Vani sambil menunduk sopan. Pak Salim tak menjawab, hanya mengangguk lalu menunduk, fokus pada makanannya.
"Dan ini anak pertama saya, Dilan." Bu Retno menunjuk kearah Dilan.
Jadi namanya Dilan.
"Vani." Seperti pada Pak Salim, Vani menyebut nama sambil menunduk sopan. Dan Dilan yang masih syok, hanya menanggapi dengan anggukan kepala.
Selesai memperkenalkan anggota keluarganya, Bu Retno menyuruh Vani kembali kedapur, sedang dia mengajak keluarganya berembuk. Dan akhirnya, mereka memutuskan untuk menerima Vani bekerja disana.
...----------------...
Fatimah mengantarkan Vani dan Sisi kesebuah kamar kecil yang terletak didekat dapur. Dalam hati, Vani menebak-nebak, mungkinkah dulu kakaknya juga tidur dikamar ini?
Vani melihat-lihat isi kamar tersebut. Berharap ada barang milik Rani yang tertinggal disana, tapi rasanya mustahil, sudah 7 tahun berlalu. jika ada yang tertinggal pun, pasti langsung dibuang.
"Ini kamar kita, Bi?" Tanya Sisi sembari menghentak-hentakkan bokongnya, merasakan keempukan kasur. Meski kamar pembantu, tapi kasurnya masih lebih empuk daripada dirumah mereka.
Vani duduk disebelah Sisi lalu merangkul bahunya. "Untuk sementara, kita tinggal disini dulu."
"Lalu kapan kita ke makam Ayah?"
"Nanti, saat Bibi sudah punya uang. Sementara ini, Bibi masih harus bekerja disini."
"Sampai kapan? Lalu sekolahku?"
"Sisi gak usah sekolah dulu." Sekolahpun, Sisi sering tak masuk karena sakit. Jadi menurut Vani, tak apa jika setahun ini, Sisi tak sekolah dulu.
"Kalau gak sekolah, tahun depan, Sisi naik SD gak?"
"Nanti Bibi tanyakan Bu guru, semoga saja boleh. Sekarang Sisi bobok ya, udah malam."
"Bi, Sisi rindu sama Kakek dan Nenek." Mendengar itu, Vani langsung mengambil ponselnya yang ada didalam tas.
"Sisi video call saja sama Kakek Nenek."
"Yeee..." Bocah itu langsung girang. Mengambil ponsel dari tangan Vani lalu menelepon Neneknya. Mereka lalu mengobrol berempat. Bu Mia tampak berkali kali menyeka airmata dan menyusut hidung. Wanita itu masih sangat khawatir dengan kondisi Sisi dan Vani, takut sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.
Setelah cukup lama mengobrol, panggilan diakhiri karena Sisi harus segera istirahat. Vani tak mau Sisi kembali drop jika kurang istirahat. Setelah Sisi tertidur, Vani keluar kamar.
Udara Jakarta terasa sangat panas bagi Vani yang dari kampung. Dia yang merasa haus, pergi kedapur untuk mengambil minum, sekaligus menyiapkan jika nanti Sisi terbangun dan haus.
Saat sampai didapur, lampu sudah dimatikan semua. Vani yang baru hari ini berada disini, tak tahu dimana letak saklar. Dia mencoba menajamkan penglihatan sambil meraba-raba tembok, siapa tahu menemukan letak saklar. Kenapa juga tadi dia tak membawa ponsel saat kedapur.
"Aa.." Jerit Vani yang kaget saat lampu tiba-tiba menyala, padahal dia belum menemukan saklar. Dia yang ketakutan langsung berbalik dan hendak lari, tapi baru selangkah, dia malah menabrak seseorang. "Ha_" Teriakan Vani menguap diudara saat melihat sosok yang dia tabrak.
"Ha apa, hantu?" tanya Dilan sambil menahan tawa.
"Ba-bagaimana anda bisa disini?" tanya Vani terbata. Wajahnya masih pucat karena takut.
"Jalan kakilah, masa ngawang? Aku kan manusia, bukan hantu. Dimana-mana yang namanya hantu itu, matiin lampu, bukan malah nyalain lampu."
"Maaf," ujar Vani sambil menunduk.
"Kamu ngapain kedapur gelap-gelapan? Mau nyolong?" Vani langsung menggeleng cepat.
"Sa-saya bukan mau nyolong, tapi gak tahu posisi saklarnya."
"Yakin?" Dilan bersedekap sambil menaikkan sebelah alisnya. "Beberapa kali, rumah ini kecolongan. Dan pelakunya ART baru kayak kamu gini."
"Tapi sumpah, saya gak mau nyolong." Vani menggeleng cepat. "Saya cuma mau ambil minum."
Dilan tersenyum melihat ekspresi ketakutan Vani. Persis sekali dengan Rani. Seperti inilah ekspresi gadis itu saat ketakutan karena dituduh yang enggak-enggak. "Mumpung kamu lagi didapur, bisa minta tolong buatin saya teh chamomile?"
Vani langsung mengangguk, berbalik dan berjalan cepat menuju kompor untuk membuat teh.
Dilan duduk dikursi dapur, menatap punggung Vani yang sedang sibuk membuat teh. Dia tak menyangka jika akan bertemu dengan wanita yang sangat mirip dengan Rani, kekasihnya yang pergi tanpa kabar 7 tahun yang lalu. Meski sudah 7 tahun, dia belum bisa membuka hati untuk wanita lainnya. Hingga saat ini, ketika usianya sudah menginjak 30 tahun, dia belum juga menikah.
"Ini tehnya, Tuan." Ujar Vani sambil meletakkan teh diatas meja, tepat didepan Dilan. Tapi pria yang sedang melamun itu tak memberi respon apa-apa. "Tuan," Vani kembali memanggil tapi Dilan masih tak respon. Sampai akhirnya, Vani memanggil sambil menepuk bahu pria itu.
"Iya Ran," sahut Dilan yang gelagapan karena kaget.
"Ran?" Vani terperangah mendengar Dilan keceplosan memanggil Rani. Keyakinannya makin tinggi, Dilan ada hubungan dengan Rani, dan mungkin, pria itulah ayah biologis Sisi.
"Maaf, salah sebut," ujar Dilan sambil garuk-garuk tengkuk. "Kamu mengingatkanku pada seseorang, namanya Rani. Dia sangat mirip denganmu."
Vani meremat baju tidurnya. Mencoba menahan diri agar tidak bicara sesuatu yang membuat Dilan curiga padanya. Dia belum punya bukti jika Dilan adalah ayah kandung Sisi. Jadi sementara waktu, dia masih harus menahan diri agar tidak mengamuk didepan pria itu.
"Siapa Rani? Kekasih anda?"
"Sudahlah, jangan bahas dia lagi."
Vani menghela nafas kesal, kenapa juga gak mau bahas. Padahal, itulah yang sangat ingin dia bahas. Lebih cepat tahu siapa ayah kandung Sisi, lebih cepat pula Sisi dapat donor. Dan lebih cepat pula dia memikirkan cara balas dendam untuk Rani.
Dilan menyeruput teh cahmomile buatan Vani, berharap teh itu akan segera membuatnya ngantuk. Sejak melihat Vani tadi, dia jadi teringat Rani terus, sampai membuatnya tak bisa tidur.
"Anda tidak suka susu?" tanya Vani.
"Darimana kamu tahu?"
"Karena anda minum teh chamomile untuk mendatangkan kantuk. Jelas-jelas, susu hangat lebih cepat membuat kantuk."
"Ya, kau benar. Aku mual saat meminum susu. Makanya aku memilih teh chamomile."
Vani berjalan menuju meja kitchen, mengambil sebiji pisang yang ada disana lalu menyodorkannya pada Dilan. "Makan pisang, bisa bikin cepat ngantuk."
Bukannya menerima pisang pemberian Vani, Dilan malah menatap nanar gadis itu. Kenapa bisa seperti ini? Tak hanya wajah dan rasa masakan, bahkan sesuatu kecil yang mereka lakukan juga sama.
Kalau gak bisa tidur, coba Mas Dilan makan pisang. Kata Bapakku, makan pisang bisa bikin ngantuk. Gak tahu sih benar atau hanya mitos. Tapi aku kalau gak bisa tidur, makan pisang langsung ngantuk. Mungkin karena kenyang kali ya.
Dilan teringat pada ucapan Rani dulu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!