"Kakak! aku senang bisa berbagi kamar dengan mu, tapi ayah bilang sebaiknya kita menempati kamar masing-masing, itu sungguh menyebalkan bukan? padahal aku ingin tidur bersama kakak malam ini,"
"Apa kakak lelah? kenapa tidak juga menjawab pertanyaan ku? apa kakak tidak menyukai ku? apa diriku terlalu cerewet kak?"
Seorang gadis dengan usia lima tahun lebih muda dari Resta membuat ia tersenyum perlahan, penampakan wajah tulus dari adiknya membuat Resta selalu sedikit lebih bersyukur atas kehadiran Rensi adiknya yang terlihat begitu manja.
"Rensi, kakak mu pasti masih lelah. Biarkan saja dia beristirahat Nak!" sang ibu nampak kembali memperingatkan putri bungsunya.
"Biar saja Rensi tidur bersama ku ibu, aku juga merindukan nya."
"Benarkah kak? kakak tidak keberatan?"
Gadis itu kembali girang karena mendengar pembelaan dari sang kakak perempuan, ia kembali melonjak dan berlari memeluk Resta.
"Kakak memang yang terbaik!"
Baru beberapa langkah Resta menarik kopernya dengan genggam tangan kanan yang berada pada jemarinya adiknya sang Ayah kembali menghentikan langkahnya.
"Rensi! kau tak bisa tidur bersamanya Nak!"
"Tapi ayah!"
"Ayah tidak ingin dibantah, kalian paham bukan?" suara serta tatapan tajam dari Tuan Adam membuat kedua Rensi terdiam.
Resta hanya menghela nafas kasar,
Ia tahu betul bagaimana watak ayahnya.
"Kakak?"
"Tak apa, kita bisa tidur bersama lain waktu bukan?" Resta tersenyum lembut menatap manik mata adiknya.
Kehadiran Resta dikediaman keluarga baru ayahnya membuat ia terlihat serba salah, ibu tirinya merupakan wanita yang lembut penuh perhatian namun tetap saja itu bukan ibu kandungnya.
"Bagaimana kuliah mu Nak?"
"Semua berjalan lancar Bu, sangat sesuai dengan keinginan ayah juga ibu." Resta tersenyum lembut meskipun apa yang diucapkannya nyatanya tak sesuai dengan isi hatinya.
...***...
"Aaaaaghh, sial! kenapa harus ada paku disini? apa petugas kebersihan di area ini sama sekali tak bekerja dengan benar? apa mereka memakan gaji buta?"
Pemuda bertubuh jangkung dengan paras tampan itu nampak mengumpat seorang diri sambil memeriksa kebocoran pada roda sepedanya.
"Hey kau! bisa tolong pinjam sepeda mu? aku ingin menghubungi temanku!"
"Apa kau sedang demam? bagaimana caramu menghubungi temanmu dengan sepeda? apa kau tak memiliki gawai?" gadis itu nampak berbicara dan menanggapi dengan acuh, ia bahkan tetap santai menikmati sebatang rokok dengan wajah datarnya.
"Wanita macam apa kau ini?" pria itu dengan lancang merampas dan menginjak puntung rokok milik gadis dihadapannya.
"Apa mau mu Tuan? apa ada masalah?" Resta meninggikan dagunya, ia merasa terusik dengan perlakuan yang ia terima.
"Justru seharusnya aku yang bertanya, apa kau ada masalah? apa dirimu baik-baik saja?"
Ucapan dari bibir pria itu seketika membuat Resta bungkam.
"Tentu saja, semua pasti akan baik-baik saja! buktinya diriku masih bisa bertahan hingga sekarang." Resta tersenyum getir, gadis itu kembali melempar pandangan jauh melewati aliran sungai Lucia.
"Apa aku harus mengantar mu pulang? sepertinya kau memang tidak baik-baik saja."
"Tidak perlu, terima kasih atas basa-basi nya. Kau bisa menggunakan sepeda itu jika memang membutuhkan nya!"
Resta berlalu dan meninggalkan pria itu dengan ekspresi keheranan.
"Tunggu!" pria jangkung yang memiliki rahang tegas itu kembali menghentikan langkah Resta.
"Siapa namamu?"
"Apa itu penting? aku tak tertarik untuk mengenal siapapun disini!" gadis itu kembali mengernyitkan dahinya.
"Bagaimana caraku mengembalikan sepeda mu nanti, jika aku tak mengetahui identitas pemiliknya!"
"Ambil saja, tak perlu mengembalikan nya! itu juga tak begitu penting bagiku! aku masih kuat berjalan."
Lagi ucapan Resta dengan wajah tanpa ekspresi membuat pria itu semakin memperhatikan langkah Resta yang semakin menjauh darinya.
...***...
"Nona Resta! ayah, ibu dan juga Non Rensi telah menunggu Nona di meja makan."
"Terima kasih bi." Resta tersenyum ramah dalam menanggapi kalimat pelayan di rumah ayahnya.
Tatapan tajam Tuan Adam kembali nampak menghujani Resta dengan berbagai pertanyaan.
Pria tua ini, sepertinya akan kembali menghajar mu Res!
"Darimana saja kau ini? apa ibumu memang tak mengajari mu sopan santun?" suara Tuan Adam kembali menggema di ruangan.
"Lebih baik biarkan Rensi dan Nyonya Anne menikmati makan malam mereka terlebih dulu, baru akan ku jelaskan semuanya ayah."
Gadis itu sama sekali tak menghiraukan tatapan tajam dari ayah kandungnya.
Plakk
Wajah Resta tertoleh saat itu jua, rasa panas seketika menjalar pada pipi kirinya.
"Kau menikmati nikotin di pinggir aliran sungai sore tadi? apalagi yang kau lakukan diluar sana? belum puas juga untuk mempermalukan nama orang tuamu Resta?"
Resta hanya terdiam mendengar segala caci maki yang dilontarkan Tuan Adam pada dirinya, ia tak ingin membela apapun tentang dirinya.
"Kau ini apa sudah tidak waras? jika dirimu tak ingin kembali diasingkan di luar negeri, kau harus menuruti semua perkataan orang tua ini Resta!"
Gadis itu tertunduk, ia bahkan mencengkeram kuat jemari tangannya untuk menguatkan hati.
Ayolah, jangan menangis sialan!
Ini bukan apa-apa dibandingkan caci maki wanita ****** yang membesarkan dirimu dulu bukan?
"Sayang tak bisakah kita berbicara baik-baik padanya? Resta pasti memiliki alasan kenapa ia melakukan itu semua."
"Tak perlu membelanya Anne, dia memang keturunan wanita sial! dan kau Rensi jangan dekat-dekat dengannya, dia bukanlah gadis baik-baik seperti kita!"
Semua perkataan ayahnya membuat Resta semakin terpenjara dalam diam, ia tak ingin menghiraukan tapi telinganya mendengar semuanya.
"Maaf," kalimat itu akhirnya terucap dari bibirnya.
Resta berjalan meninggalkan ruang makan dengan tatapan kosongnya, langkah kakinya nampak begitu berat saat menaiki tangga untuk menuju kamarnya.
Anak buangan sialan! bisa-bisanya kau diam saja! cobalah sesekali membalas ucapan pria tua itu, dasar tak berguna!
"Aku harus bagaimana? bahkan diriku sendiri saja mengatakan kalau aku ini tak berguna."
Gadis itu kembali terkekeh dan berbicara seorang diri di atas ranjangnya.
Tok tok tok
Resta terperanjat, ia kembali memperoleh kesadarannya saat mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya.
"Makan lah Nak! bagaimana kau bisa tidur dalam keadaan perut tak terisi?" Nyonya Anne menerobos masuk begitu saja saat Resta membukakan pintu untuknya.
"Terima kasih ibu, seharusnya ibu tidak perlu melakukan hal ini. Saya bisa turun dan mengambil makan sendiri nanti."
Nyonya Anne terlihat tersenyum getir, tangannya nampak membelai surai rambut dari anak sambung nya.
Kenapa wanita itu begitu lembut? anggun juga cantik,
Rensi benar-benar beruntung memiliki ibu seperti nya.
Gadis itu kembali menuju ranjang nya, ia duduk dengan memperhatikan nampan yang berisi makan malam yang telah disiapkan oleh ibu sambung nya.
"Setidaknya ada setitik kehangatan dirumah ini," gadis itu bergumam dengan senyum simpul dibibir.
...***...
"Ayah bolehkah kakak berangkat bersama kita?"
"Maaf Rensi, kakak harus mampir ke toko buku terlebih dahulu. Jadi kakak tidak bisa ikut dengan mobil Ayah."
"Ayah, Ibu aku berangkat lebih dulu."
Resta mengambil sepotong roti dan menggigit nya begitu saja sembari membenarkan sneaker yang ia kenakan, seperti tak terjadi apapun gadis itu tersenyum dan berlalu begitu saja.
Melihat hal itu Tuan Adam menghentikan pergerakan tangannya,
Apa diriku kemarin sangat keterlaluan padanya?
"Apa ayah melarang nya untuk berangkat bersama kita?" Rensi kembali berucap terbata sembari menatap ayahnya yang diam memperhatikan daging steak pada piring saji.
Tuan Adam nampak bungkam seribu bahasa,
Nyonya Anne tak kalah diam, meskipun sebatas ibu sambung wanita itu sedikit banyak mengetahui beban putri pertama dari suaminya.
...***...
Menikmati minuman dari kaleng soda yang berada di genggamannya, Resta kembali menebar pandangan ke seluruh sudut area sungai Lucia.
"Apa kau membolos? bukankah ini belum waktunya pulang kuliah?"
Resta tak menanggapi suara yang terdengar dari samping kiri telinganya.
"Dirimu sendiri? apa yang kau lakukan disini? apa kau sengaja membuntuti ku?" gadis itu kembali melontarkan pertanyaan dengan ketus.
"Untuk apa aku membuntuti gadis seperti mu?" pria itu terkekeh dan tetap berdiri di samping Resta.
"Memang nya kenapa dengan gadis seperti ku? apa kau takut tertular sial?"
Resta turut terkekeh, pergerakan tangannya kembali terhenti karena Liam kembali merampas sebungkus rokok di tangan Resta.
"Hentikan! apa kau selalu membawa rokok kemanapun?" wajah pria itu menegang dengan tatapan tajam.
"Apa kau tak tahu bahwa diriku membeli rokok itu dengan harga mahal? siapa sebenarnya kau ini? kenapa selalu saja ikut campur dalam urusan ku?"
Liam terdiam melihat ekspresi putus asa dari gadis yang kini berdiri dihadapannya,
"Kau bisa bercerita padaku jika tak keberatan, luka ditangan mu itu, apa kau sudah memeriksanya ke dokter?"
Resta terdiam, ia kini menatap mata pria yang baru dua hari ini dijumpai nya di taman pinggiran sungai Lucia.
Siapa dia sebenarnya? kenapa pria ini kepo sekali?
"Panggil saja aku Li. Kau harus memeriksakan luka ditangan mu itu, akan jauh lebih mudah ditangani sebelum terjadi infeksi."
Senyuman dibibir Liam nampak begitu indah, hati Claresta nampak sedikit menghangat karenanya.
"Apa kau mendengar ku?" pria itu kembali menyentuh lembut hidung Resta dengan telunjuk jarinya.
"Lihat lah! kau terlihat lebih manis dengan senyuman seperti ini, jadi siapa namamu?"
"Apakah itu penting? tolong kembalikan rokok milikku! aku membutuhkan nya."
"Kenapa? kenapa kau membutuhkan nya? bukankah itu justru akan merusak kesehatan mu?"
Pria ini sungguh berisik sekali, aku tak menyukainya.
Resta menghela nafas kasar dan memilih untuk meninggalkan Liam yang berteriak tak jelas sendirian.
Langkah Resta kembali terhenti saat merasakan nyeri yang mendadak terasa begitu hebat dipergelangan tangannya, mulutnya mendesis namun tetap saja ia mencoba mengabaikan rasa sakitnya.
Ia memilih untuk mampir ke apotek, membeli beberapa kain kasa juga antiseptik serta obat pereda nyeri untuk lukanya.
"Apa Non Resta menginginkan saya untuk menyiapkan makanan?" sang Bibi pelayan nampak berucap dengan begitu ramah pada Resta saat gadis itu memasuki pintu rumahnya.
"Tidak bi, terima kasih. Saya sudah makan diluar."
Topeng itu kembali Resta pergunakan setiap kali menghadapi pelayan yang begitu nampak memperdulikan dirinya, entah karena gaji atau memang tulus dalam menampilkan perhatian untuknya, Resta tak pernah memiliki seseorang yang benar-benar dekat dengannya.
"Sial! kenapa ini sungguh nyeri sekali? biasanya hanya terasa sedikit perih, kenapa kali ini berbeda?" gadis itu bergumam sebelum akhirnya meminum obat yang telah disarankan oleh apoteker.
Resta memejamkan matanya, rahangnya kembali mengeras saat ia meneteskan antiseptik pada luka gores di pergelangan tangannya.
Tuhan, maaf kan lah segala kesalahanku.
Kenapa kau membiarkan diriku terlahir ke dunia ini Tuhan?
Rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya membuat Resta tersenyum,
"Aku masih hidup, ini luar biasa bukan? Tuhan maaf jika Engkau jengah mendengar setiap rintihan ku, aku hanya memiliki Mu Tuhan."
Lelah dengan isak tangisnya, gadis itu akhirnya juga terlelap karena efek obat penenang.
"Apa Resta sudah kembali bi?" Nyonya Anne yang baru saja tiba seketika menanyakan keberadaan putri sulungnya.
"Sudah Nyonya, Non Resta sama sekali tidak keluar dari kamarnya semenjak jam 3 sore tadi."
"Dia kembali lebih awal dari biasanya?" Tuan Adam akhirnya turut membuka suara.
Pria paruh baya itu akhirnya bergegas melangkah menuju kamar Resta, putri sulungnya.
"Ibu, apa sebenarnya yang telah terjadi dengan kakak? kenapa kakak dikirim ke luar negeri waktu itu ibu?" Rensi seketika berujar tanya begitu ayahnya berlalu dari hadapannya.
Nyonya Anne hanya termenung, ia tak mampu memberikan jawaban pada Rensi, bukan tak mampu wanita itu hanya tak ingin salah bicara perihal putri sambung nya.
Asap nikotin kembali menemani kesunyian pandangan Resta di taman pinggiran kota sungai Lucia, tempat favorit Resta untuk melepas segala kepenatan hatinya.
"Masa depan? masa depan seperti apa yang bisa kuharap kan?" gadis itu menghela nafas panjang sembari memejamkan mata.
Ponsel yang berdering seketika membuatnya kembali tersadar dan merogoh saku hoodie nya.
Nyonya Emili,
"Untuk apa dia menghubungi ku?" Resta bergumam dan memasukkan kembali ponsel nya ke dalam saku hoodie meskipun panggilan itu tak juga berhenti.
"Kenapa tidak menjawab? siapa tahu itu penting?" seseorang terdengar berucap lembut melihat tingkah laku gadis dihadapannya.
"Bukan urusanmu! berhentilah membuntuti ku! aku benci itu!"
"Kau salah jika berpikir aku tengah membuntuti mu! sungai ini memiliki kenangan tersendiri bagiku. Jadi jangan terlalu percaya diri Nona!"
"Setidaknya pilih lah lokasi yang lain, kenapa kau selalu mengekor padaku? tempat ini luas bukan?"
Liam tersenyum mendapati ucapan Resta,
"Baiklah, aku minta maaf! aku hanya kesepian karena tak ada yang bisa ku ajak bicara disini. Biasanya dulu aku kemari bersama saudara perempuan ku," pria itu tersenyum sebelum akhirnya tertunduk.
"Lalu, kenapa sekarang kemari seorang diri?" suara Resta akhirnya terdengar lembut begitu Liam memasang wajah sendu nya.
"Dia sudah bahagia bersama Tuhan."
"Maaf, aku sama sekali tak bermaksud untuk membuat mu kembali menelan rasa duka."
"Tak apa, kau sama sekali tak mengetahuinya," Liam kembali menghela nafas dan menatap gadis dihadapannya.
Pandangan Resta akhirnya bertemu dengan tatapan Liam, kecanggungan kembali membuat suasana menjadi hening.
"Bagaimana dengan lukamu?" pria itu perlahan memegang dan memeriksa pergelangan tangan Resta.
"Aku sudah mengganti perban nya, ini sudah jauh lebih baik!" gadis itu tersenyum sebelum akhirnya menarik perlahan tangannya.
"Apa kau terlalu banyak menangis? atau bahkan begadang?"
"Kenapa bertanya seperti itu? darimana kau tahu?" Resta tertunduk dan mencoba menyembunyikan wajahnya.
"Tentu aku tahu, aku sering menangani orang-orang putus asa seperti mu."
"Apa diriku terlihat putus asa?" Resta berujar tanya dengan melempar ke sembarang arah puntung rokoknya.
"Jangan membohongi dirimu sendiri, kau kesepian bukan?"
Gadis itu kembali bungkam, ia ingin menyanggah namun mulutnya tak mampu berucap sepatah katapun dihadapan Liam.
***
"Gadis bodoh ini, kenapa tidak juga menjawab panggilan ku? padahal diriku mengkhawatirkan nya."
Wanita anggun dengan penampilan modis nan elegan itu nampak mondar-mandir di kamar mewahnya.
"Ayolah sweetie, jawab panggilan ku!" wajah serius nya kembali terpampang nyata dengan tangan yang menyangga ponsel ditelinga.
Tak juga mendapati jawaban membuat wanita itu beralih dan menekan kontak lain pada layar ponselnya.
"Apa dia masih belum juga kembali ke rumah? kenapa kau tak mencarinya? ini sudah hampir tengah malam, ayah macam apa kau ini?"
"Jangan menyalahkan ku! kau sendiri tak becus dalam mengurus anak sialan itu bukan?" suara dari seberang tak kalah bengis.
"Kenapa kau menyuruhnya datang kemari? dia hanya bisa menyusahkan ku disini!"
"Hei Tuan! dengar baik-baik, Resta juga merupakan darah daging mu bukan? kenapa kau terlihat begitu terbebani atas kehadirannya? bukankah kita sudah memiliki kesepakatan sebelumnya? apa kau tak ingat?" suara tegas Nyonya Emili membuatnya memutuskan panggilan sepihak karena luapan emosi.
"Dasar pria sialan! berani-beraninya dia membuat ku kesal seperti ini! pecundang kau Adam!"
Wanita itu kembali berteriak sebelum akhirnya menenggak satu sloki wine yang ia sambar di atas meja.
"Apa gadis bastard itu membuat ulah kembali? kenapa kau memintanya untuk kembali kemari? bukankah sebelumnya dia sudah aman di luar negeri?"
"Entah lah sayang, aku hanya ingin membuat Resta mendapatkan sedikit kasih sayang dari ayahnya, kupikir itu bisa sedikit merubah wajah dingin nya terhadap ku!" tatapan Nyonya Emili nampak berubah seketika.
"Ayo lah! jangan menampilkan raut wajah seperti ini baby, bukankah lebih baik kita bermain?" pria dengan penampilan yang jauh lebih muda nampak tersenyum genit sembari menggoda wanitanya.
"Aaaaaghh Christian! slowly please!" tangan Emili nampak menahan dada bidang milik pria muda yang entah sejak kapan telah melucuti pakaiannya.
"I don't think so! i'm fucking loving you Emili. Aku menginginkannya lagi, tubuh mu begitu candu bagiku!" tangan Christian kembali menarik tengkuk leher Emili sebelum akhirnya melayangkan sebuah kecupan yang semakin lama semakin brutal, gairah masa mudanya membuat pria itu tampak menggebu dan tak sabar untuk merengkuh kenikmatan bersama wanita yang kini pasrah dalam kungkungan tubuh kekarnya.
Pasangan beda usia itu nampak bergumul mesra di atas ranjang, Emili sama sekali tak ingin ambil pusing tentang keadaan putrinya, wanita egois itu selalu mengutamakan kebahagiaannya.
***
"Darimana saja kau Nak? ibu menunggu mu dari tadi," suara lembut penuh kecemasan dari Nyonya Anne tetap saja membuat Resta terkejut malam itu.
"I-ibu? maaf aku pulang terlambat. Aku dari taman ..."
Derap suara langkah kaki kembali membuat Resta terdiam, siapa lagi kalau bukan ayahnya?
"Jam berapa ini? apa kau tak bisa memberikan contoh yang baik pada saudarimu?" suara datar itu semakin menampakkan wajah seriusnya.
"Ikuti peraturan di rumah ini jika masih ingin tinggal dan berada disini Resta!"
Tak adanya jawaban dari bibir Resta kembali membuat pria itu mendekat dengan wajah penuh amarah.
Tuhan, tolong selamatkan diriku! setidaknya jangan biarkan pria ini kembali memukuli diriku.
Tubuh Resta nampak gemetar, wajahnya tertunduk karena ia menyadari kesalahannya.
"Sayang tolong! biarkan diriku yang berbicara padanya." Nyonya Anne dengan seketika membawa putri sambung nya menuju kamar.
Wanita yang nampak lembut itu sama sekali tak melepaskan genggamannya pada jemari Resta hingga mereka tiba di ruang kamarnya.
"Bersihkan dirimu Nak, aku akan menyiapkan makanan untuk mu."
"Tidak perlu ibu, terima kasih. Aku sudah makan diluar. Ibu beristirahat lah, maaf karena telah membuat ibu menunggu ku." Resta tertunduk meskipun bibirnya tersenyum, hatinya kembali terasa ngilu.
"Apa kita perlu ke rumah sakit besok pagi? luka ditangan mu? kenapa belum juga melepas perban nya?"
"Ini, masih belum bisa Bu. Rasanya masih sedikit perih setiap kali terkena percikan air. Ibu Annne tenang saja, saya bisa mengurus ini."
"Kau yakin Nak? apa kau yakin dirimu baik-baik saja?" suara itu kembali terdengar tulus ditelinga Resta, wanita itu berharap Resta bisa sedikit terbuka padanya.
Namun nihil,
Resta nampak mengangguk tanpa ragu dengan tetap menyunggingkan senyum.
Terbaring di samping Tuan Adam suaminya, pikiran Nyonya Anne nampak melayang.
Aku ingin menjadi sahabat yang baik untuk nya, tapi kenapa dia selalu menutup diri seperti ini?
"Apa yang kau pikirkan sayang? tidur lah ini sudah larut. Maaf, kau pasti merasa tak nyaman karena kehadiran nya." Pria paruh baya itu berucap seraya memeluk dan mencium pipi istrinya.
"Kenapa diriku harus merasa tak nyaman? aku ingin menganggap nya sebagai putriku sendiri sayang."
"Kau tak perlu melakukan itu Anne, anak keras kepala itu tak berhak mendapatkan perhatian darimu! aku tak ingin kau kecewa karena ulahnya."
"Tapi sayang,"
"Sudah lah aku tak ingin membahas nya, aku ada meeting bersama klien besok pagi. Jadi tolong bangunkan diriku tepat waktu!"
Mendengar hal itu Nyonya Anne kembali terdiam,
Fajar berlalu gelapnya langit malam nampak telah memudar karena cahaya mentari yang semakin terasa hangat.
Resta keluar dari kamar mandinya, dengan rambut yang masih basah gadis itu bergegas untuk meraih hair dryer dan mengeringkan setiap surai rambutnya.
"Kakak! kita bisa berangkat bersama, ayah bilang kakak bisa berangkat bersama ku hari ini."
Gadis cantik dengan rambut lurus bergelombang itu nampak memperhatikan setiap sudut kamar kakaknya.
"Kenapa ada begitu banyak kain kasa di sini? apa luka kakak belum kering juga? sebenarnya tangan kakak kenapa kak?"
"Tak apa Rensi, ini hanya luka kecil. Pasti akan segera membaik," Resta menanggapi kalimat saudari nya dengan fokus mengeringkan rambut.
Selama berada dalam mobil bersama ayah serta saudari nya, Resta hanya terdiam. Ia menatap kosong pada jalanan yang mulai dipenuhi mobil yang berlalu-lalang.
"Aku turun dulu ayah, kakak! sampai jumpa nanti, aku menyayangi kalian!"
Mobil Tuan Adam berhenti tepat pada sebuah secondary school dimana Rensi mendapatkan pendidikan nya.
"Berhati-hatilah dan selamat menjalankan aktivitas mu sayang!" Tuan Adam mencium kening putrinya dengan senyum lebar yang menghiasi bibir.
Keheningan kembali terjadi begitu Tuan Adam hendak melajukan mobilnya,
"Aku bisa turun disini ayah! maaf telah merepotkan." Resta menerobos keluar dari mobil ayahnya seketika.
Tuan Adam terdiam menatap langkah putri sulungnya yang semakin menjauh dari pandangan.
Gadis itu kembali melangkah cepat mengingat waktu yang telah memburunya.
"Hei Nona Lucia! ikut lah dengan ku!" Liam nampak melambat kan laju mobilnya demi bisa mendapatkan atensi seseorang.
Tanpa berpikir panjang Resta akhirnya memasuki mobil Liam,
Aku beruntung kali ini,
Gadis itu tersenyum dengan menunduk.
"Apa kau salah jalan? kenapa bisa sampai kemari?"
"Tuan Li, bisakah kau mengantar ku sampai kampus? aku mohon!" Resta berucap dengan begitu lembut pada pria yang kini menatap dirinya dengan keheranan.
Dia bisa semanis ini? wajah jutek yang pernah kulihat sebelumnya? apa benar ini gadis yang sama?
"Apa Tuan baik-baik saja? helloii ..." Resta melambaikan tangannya tepat dihadapan wajah Liam.
"Aaaaaaa, tentu saja! baiklah aku akan mengantarmu."
"Terima kasih Tuan!"
Perubahan sikap Resta membuat Liam terpaku, ia sungguh tak menyangka Resta bisa sehangat pagi itu.
...***...
Ternyata tak ada salahnya berkomunikasi dengan orang lain,
Resta kembali bergumam dengan senyum tipis dibibir nya, ia nampak tenang dan kembali melanjutkan membaca buku yang ia genggam.
"Pindah dari sini sekarang! ini bukan lah tempat untuk gadis pindahan seperti mu!"
"Bukankah ini sarana belajar bagi setiap orang yang mengejar pendidikan disini?" Resta berucap datar tanpa menatap siapa yang menghardik dirinya.
"Apa kau ingin membuat ulah? kau tak tahu siapa diriku?"
Resta menggeleng, gadis itu cukup malas untuk terjun dalam sebuah perseteruan.
"Hentikan Sofia!" seseorang nampak menghentikan pergerakan tangan gadis yang hampir melayangkan pukulan pada Resta.
"Apa kau tak tahu siapa dia sebenarnya? kau bisa berada dalam masalah besar jika sampai menyentuh apalagi melukai nya!"
Bisikan dari seorang gadis yang mungkin merupakan sahabat dekat dari Sofia membuat Resta turut menegang dan menyipitkan matanya.
"Maaf Cla, aku sungguh tak bermaksud untuk mengganggu dirimu! kau bisa duduk dimana pun kau mau, sungguh ..., sebenarnya aku hanya ingin bisa kenal lebih dekat dengan dirimu Claresta."
Ada apa ini? apa mereka telah mengetahui identitas ku?
"Katakan apa kau butuh sesuatu? aku bisa melayani dirimu jika kau mau !"
Tak menghiraukan semua kalimat dari Sofia, Resta justru beranjak pergi tanpa sepatah katapun.
"Cla, tunggu! kau tak marah padaku bukan?" Sofia tetap saja mengejar langkah Resta demi memastikan nasibnya akan baik-baik saja.
Tatapan tajam dengan wajah datar Resta membuat gadis itu semakin bergidik ngeri, Sofia seketika melepas pegangan tangannya pada lengan Resta.
"Maaf aku tak akan mengganggumu lagi."
"Kenapa? bukankah akan menyenangkan bagimu untuk bisa mem_bully anak-anak baru seperti ku?"
Satu ucapan dari bibir Resta kembali membuat Sofia beserta dua kawannya terdiam.
Beberapa mahasiswa lain yang sempat menyaksikan hal itu seketika tersenyum dengan penuh kebahagiaan karena kini ada seseorang yang membuat Sofia takut bahkan tunduk padanya.
Ini dari kami, terima kasih telah hadir di kampus ini,
Semoga kau menerima nya Cla, dan jika tidak keberatan bisakah kita bertemu nanti setelah usai pada jam materi pulang?
Sebuah minuman herbal dengan note yang tertera di mejanya membuat Resta kembali melayangkan pandangan pada seluruh ruangan.
"Siapa yang mengirimkan ini?" gadis itu bergumam sebelum akhirnya menerbitkan senyum tipis.
...***...
"Nona Lucia, ternyata dirimu jauh lebih menarik dari apa yang ku bayangkan."
Guratan garis senyum kembali nampak di bibir Liam, wajahnya cukup menampilkan aura bahagia semenjak tak sengaja menemui dan memberikan tumpangan pada Resta.
"Apa sebenarnya yang terjadi dalam kehidupannya? kantung mata, nikotin yang selalu saja tersemat dibibir mungilnya, serta perban yang tak juga lepas dari pergelangan tangannya?"
Semua pertanyaan dalam diri Liam kembali membuat senyum nya memudar seketika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!