Sinar mentari pagi menghangatkan bumi bahkan seluruh isinya, namun kehangatan itu seakan bermusuhan dengan tubuh lunglai seorang wanita muda yang gemetar karena rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Setiap malam dia harus tidur di sofa dalam pengaturan suhu AC yang di bawah batas suhu ruangan itu, bahkan tanpa memakai selimut.
Bobot tubuhnya kian hari semakin merosot saja karena telah berhari-hari hanya memakan nasi sisa. Tak jarang dia harus menahan rasa laparnya karena pekerjaan yang tidak ada habisnya.
"Sharen...!" Pekik suami Sharen, hingga membuat Sharen terjingkat. Walaupunl dia sedang bekerja membersihkan kamar mandi, dia harus bergegas menghampiri pria yang sudah dia nikahi selama satu tahun itu.
"Ya, Tuan." sahut Sharen dengan suara bergetar. Sapaan Tuan itu telah dia ucapkan selama satu bulan pasca kecelakaan sang suami, meskipun sapaan itu membuat hati Sharen terasa pedih saat mengucapkannya.
"Dasar wanita tidak berguna! Cuma mengerjakan itu saja lama sekali!" Sembur Rayan. Kata kasar itu keluar begitu saja dari mulut Rayan, hingga kata-kata itu sudah menjadi sarapan pagi bagi Sharen. "Mana tas kerjaku?" pintanya tanpa menatap sang istri. Tatapannya fokus pada cermin sembari merapikan dasi yang baru saja dia kenakan.
Sharen buru-buru membawa tas kerja yang hanya beberapa langkah dari posisi suaminya berdiri. "Ini Tuan", ucap Sharen lirih.
Rayan menyambar kasar tas dari tangan Sharen. Lalu dia mengayunkan langkahnya, tanpa kata pamit atau sekedar melihat wajah sendu Sharen, bahkan kaki Rayan sudah melangkah jauh meninggalkan Sharen yang masih mematung diposisinya. "Kapan ingatanmu akan pulih suamiku? Perubahan sikapmu membuatku sedih", ucap Sharen lirih.
Sudah satu bulan sejak kecelakaan itu terjadi, Rayan telah melupakan semua kenangan indah selama satu tahun pernikahan mereka. Memori Rayan hanya mengingat kejadian lima tahun kebelakang, yakni ingatan tentang kebenciannya pada Sharen.
Setiap hari Rayan memperlakukan Sharen seperti wanita yang tidak ada nilai di matanya, namun Sharen tidak pernah mengeluhkan hal itu, karena dia tahu Rayan membencinya sama seperti waktu pertama sekali mereka bertemu.
"Apakah kau benar-benar melupakan cintamu padaku?" gumam Sharen sembari duduk di lantai dengan menyandarkan punggungnya di sudut tempat tidur. Netranya mulai berkaca-kaca hingga tanpa ada yang memerintah bulir-bulir kristal itu jatuh bebas membasahi pipinya. "Sampai kapan aku harus bertahan?" Isaknya seraya mengusap kasar wajahnya.
"Sharen...!" Nafas Sharen seakan terhenti kala mendengar suara teriakan seorang wanita yang tidak pernah menyukai dirinya itu.
"Ya, Bu", sahut Sharen walaupun dia tidak ingin menjawabnya. Kaki lemahnya harus dipaksa berlari menyusul sang ibu mertua lebih tepatnya ibu tiri Rayan itu.
"Mana kopiku? Kenapa harus selalu diingatkan!" Suara cempreng sang ibu mertua selalu saja memekakkan telinga Sharen.
"Iya, sebentar Bu", sahut Sharen dengan raut wajah lesu. Langkahnya melambat saat perutnya terasa perih.
"Kenapa lama sekali? Apa kau sudah tidak punya tenaga untuk berjalan?"
Sharen melanjutkan langkahnya tanpa menyahut cibiran sang ibu mertua, karena akan semakin memperlambat pekerjaannya.
Sementara Rayan seolah tidak peduli walaupun melihat perlakuan kasar sang ibu tiri pada istrinya itu. Mulutnya tiada henti mengunyah sisa roti di dalam mulut, seolah tak terjadi apapun. Diraihnya segelas air, lalu dia minum dalam sekali tegukan.
"Aku berangkat ke kantor!" ucap Rayan tanpa menoleh ke arah ibu tirinya.
"Oke, Nak", sahut sang ibu tiri dengan lembut.
Rayan beranjak dari posisinya duduk, lalu berjalan meninggalkan ruang makan. Tak berselang lama Rey datang menghampiri sang ibu.
"Pagi, Ma. Aku mau dibuatin sandwich dong", pinta Rey tanpa menyapa Rayan.
Desy menarik nafas dan berteriak. "Sharen!" pekik Desy dengan suara lantangnya.
Tangan Sharen masih sibuk menyatukan kopi dan gula di dalam gelas. Dia semakin mempercepat tempo mengaduk, lalu gegas melangkah menuju meja makan.
"Ya, Bu", jawab Sharen sembari meletakkan gelas di atas meja.
"Lama sekali! Rey minta dibuatkan sandwich."
"Baik,.Bu", sahut Sharen di sisa tenaganya. Gegas dia kembali lagi ke dapur membuatkan sandwich. Sharen menelan salivanya kala melihat sepotong daging jatuh ke lantai. "Belum lima menit", katanya riang bak anak kecil mendapatkan jajan. Dalam sekejap sepotong daging sudah melewati kerongkongannya. Entah kenapa rasanya begitu nikmat saat memakannya dengan diam-diam.
"Aaa..." pekik Sharen kala membalikkan badan, Rey sudah berdiri tepat dihadapannya.
"Apa kau pikir aku ini setan?"
Bahkan lebih menyeramkan dari setan. Ucap Sharen di dalam batinnya.
"Apa kau sedang meng*tukiku dalam pikiranmu?"
Apa dia cenayang? Kenapa dia bisa membaca pikiranku. Sharen memaksakan senyumannya. "Sandwich ini mau di bawa sendiri atau aku antar ke meja?" tanya Sharen mengalihkan perhatian Rey. Dia tidak ingin berbicara lama dengan adik iparnya itu.
"Berikan!" rebut Rey dari tangan Sharen, kala dia mendengar derap langkah seseorang. Lalu dia buru-buru meninggalkan Sharen.
Sharen membiarkan itu terjadi, setidaknya satu pekerjaannya terbantu. Dia menyandarkan tubuh lelahnya seraya menghela nafas. "Sebentar saja", ucapnya lirih seraya memikirkan cucian pakaian yang menumpuk, karena dia pun harus mencuci pakaian milik Ibu mertua dan adik iparnya. Pernah satu kali dia menolak, akhirnya sang suami ingin mengusirnya dari rumah.
"Hufft... lebih baik aku selesaikan semua cucian itu sekarang." Sharen bangkit dari posisinya, lalu berjalan dengan langkah gontai menuju tempat mencuci pakaian.
...---...
Tanpa Sharen sadari sudah satu jam lamanya dia berada di tempat mencuci. "Ah, akhirnya selesai juga!" Sharen meregangkan otot dan lehernya, kemudian dia berjalan menuju pintu. "Aaaa...", pekiknya kaget kala melihat Rey berdiri di ambang pintu seraya tersenyum padanya. "Apa yang adik ipar lakukan di sini?" tanyanya dengan tatapan berbeda.
Bukannya menjawab Rey malah tersenyum. Namun saat Sharen akan beranjak dia menarik paksa tangan Sharen. "Aku ingin memberimu satu penawaran", ucapnya.
Sharen menghempas tangan Rey. "Sudah aku katakan ribuan kali. Aku tidak pernah tertarik dengan tawaranmu!"
"Tapi kau belum mendengarkan tawaranku yang ini." Rey terus mengekori Sharen yang berjalan meninggalkan dirinya.
"Pasti sama saja!" tukas Sharen. "Sudah jangan ikuti aku lagi, atau ibumu akan mengira aku yang menggodamu." Sharen gegas meninggalkan Rey.
"Suatu saat nanti kau pasti datang memohon padaku. Saat itu aku tidak akan berbelas kasihan lagi padamu!" seringai Rey.
Sharen bernafas lega saat sudah berada di depan pintu kamarnya. Dia membuka pintu, berjalan masuk dengan berdecak kesal. "Entah apa yang sedang adik ipar pikirkan, sorot mata jahatnya itu membuatku bergidik ngeri", gumamnya saat menutup rapat pintu.
Netra Sharen melirik pada sebuah berkas yang mencuat dari dalam laci kerja Rayan. "Dia selalu saja begini", ucap Sharen tersenyum tipis seraya berjalan mendekat ke meja. Tangannya menarik ke luar laci dan merapikan berkas Rayan. Tanpa sengaja dia membaca berkas di posisi paling atas. "Apa?" ucapnya dengan mata melotot kala membaca judul surat yang telah dibubuhi tanda tangan oleh suaminya itu.
Tubuh lesu Sharen sudah seperti tak bertulang saja, seluruh tubuhnya luruh bersamaan dengan deraian air mata yang jatuh bebas membasahi pipinya. "Kenapa dia menginginkan perceraian kami? Apakah dia benar-benar telah melupakan cinta kami?" Tangan Sharen menekan dadanya yang mulai terasa sesak. Pandangannya semakin buram kala air matanya tak terbendung lagi.
Sharen mengurai lembaran surat cerai yang baru saja dia temukan itu. Entah sejak kapan surat itu berada di dalam laci meja kerja suaminya, namun hal itu membuat hati Sharen bak di sayat sembilu.
"Kenapa dia buru-buru ingin menceraikanku?" Sharen memikirkan berbagai kemungkinan alasan sang suami melakukannya. "Tidak! Ini tidak boleh terjadi!" Sharen mengusap kasar air matanya. "Aku harus menanyakan hal ini, setelah suamiku pulang ke rumah." Sharen gegas meletakkan kembali surat dalam genggamannya pada posisinya semula, agar tampak tidak seperti pernah di sentuh. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya seolah tidak melihat apapun.
"Sharen...!" pekik suara wanita yang tiada hari tanpa mencari dirinya. Hidup ibu tiri Rayan benar-benar digantungkan pada Sharen.
"Iya, Bu", sahut Sharen lemah saat dia keluar dari dalam kamarnya, lalu dia menuruni anak tangga dengan langkah terburu-buru.
"Dari mana saja kau? Aku sudah memanggilmu sedari tadi, apa kau mulai berpura-pura budeg?"
Suara cempreng ibu tiri Rayan ini sungguh memekakkan telinga. "Maaf Bu. Tadi aku baru selesai mencuci pakaian."
"Mencuci apa? Coba lihat keluar, kenapa semua pakaian masih kotor?"
Sharen mengernyitkan keningnya. "Kotor?" ulang Sharen. Netranya tidak sengaja melihat ke arah senyuman penuh arti sang adik ipar. Apa adik ipar melakukan sesuatu? Tanya Sharen di dalam batinnnya. Dia gegas pergi melihat cuciannya dan benar saja, semua pakaian berserakan di bawah. Sharen memungutnya dan mencuci ulang semua pakaian.
...---...
Sharen baru saja selesai mencuci ulang semua pakaian. Rasanya tubuh lelahnya susah tidak kuat lagi, jika harus memasak makan siang untuk semua orang yang ada di dalam rumah.
"Istirahat sebentar sepertinya tidak apa-apa", gumamnya. Namun tanpa dia sadari matanya terpejam, hingga dia pun tidur pulas.
Tok. Tok.
Suara ketukan pintu membuat Sharen terbangun. "Apa ini sudah pagi?" ucap suara paraunya kala netranya mengerjap sambil melihat kesekeliling ruangan.
Diraihnya ponsel di atas nakas hanya untuk memastikan sudah pukul berapa saat ini. "Masih jam 11", ucapnya, lalu dia mencoba tidur kembali. Namun seketika netranya mendelik, bahkan kepalanya seakan di hantam benda keras. "Habislah aku. Ini jam 11 siang." Sharen panik seraya bangkit dari tempat tidur. Dia berjalan dengan langkah lebar menuju pintu keluar.
"Dasar pemalas!" sembur Desy kala Sharen baru saja membuka pintu. "Apa kau sangat santai, hingga punya waktu untuk tidur?"
"Maaf, Bu. Tadi aku sangat kelelahan."
"Cih, kau selalu beralasan. Cepat siapkan makan siang!"
Sharen mengangguk seraya berjalan keluar dari dalam kamar, tangannya bergerak cepat menutup pintu. Apa mereka tidak akan makan, jika aku tidak memasak? Gerutu Sharen di dalam batin. "Aduh...!" pekik Sharen. Kakinya seperti ada yang menjegal, hingga membuatnya hampir jatuh terjerambab.
"Sorry...!"
Sharen menoleh ke sumber suara. Hatinya mendongkol kala sosok yang sedari tadi mencari gara-gara dengannya sedang tersenyum meledek padanya. Jika saja aku tidak buru-buru, akan aku maki dia. Ucap Sharen di dalam batin.
...---...
Setelah satu jam, aroma masakan menyeruak masuk ke dalam penciuman ibu tiri Rayan. Dalam hitungan detik dia sudah duduk di meja makan.
"Cepat sajikan, aku sudah lapar", katanya dengan tidak sabar.
Tak berselang lama Rey pun datang dan ikut duduk di kursi makan. "Berikan saja padaku lebih dulu!" titah Rey, namun tangannya sudah lebih dulu menyambar piring dari tangan Sharen.
"Kenapa kau tidak sabaran!" bentak Desy. "Aku ini Mamamu, harusnya kau menghormatiku!" Desy tiada henti menasehati putranya yang tampak tidak peduli dengan ucapannya. "Biarlah, daripada tekanan darahku akan naik, jika meladeni anakku satu-satunya ini."
Sharen pun memberikan piring yang lain pada Desy. Dia pun ikut duduk makan di meja makan, mungkin karena terlalu lapar, Ibu dan anak itu tidak melarang Sharen duduk di meja makan yang sama.
...----...
Waktu berlalu begitu cepat, hingga Rayan pulang ke rumah dengan wajah kusut.
"Malam, Tuan", sapa Sharen dengan lembut. Dia ingin kelembutan yang dia tunjukkan membuat suaminya itu mengingat hubungan mereka sebelumnya.
Seperti biasanya Rayan tidak menyahut atau bahkan sekedar menoleh, namun Sharen tetap melanjutkan ucapannya. "Tuan, air hangat sudah ada. Apa Tuan akan mandi sekarang?"
"Menyingkirlah! Aku tidak butuh perhatian palsumu itu!"
Hati Sharen terhenyak mendengar ucapan kasar suaminya, namun dia pantang menyerah. "Aku tidak berpura-pura, Tuan. Aku benar-benar tulus melakukannya, karena aku mencintaimu!"
"Cih, jangan katakan cinta jika kau tidak tahu apa makna sebenarnya!" tukas Rayan. "Sudah cukup cuma papamu yang mengkhianati papaku. Aku tidak sudi melihat sikap sok manismu didepanku, karena kau tidak jauh berbeda dengan papamu."
Sharen membisu, namun dalam pikirannya dia tiada henti memikirkan cara agar suaminya mau mendengarkannya. "Maaf, Tuan. Mungkin ada kesalahpahaman antara Papaku dan Papa Tuan", imbuhnya.
Rayan menyibukkan dirinya, seolah tak tertarik dengan ucapan Sharen. "Hmm..." jawabnya berdehem.
"Papa Tuan tiada, itu semua terjadi bukan karena papaku. Tapi ada yang sengaja menyebar fitnah, hingga Papaku tertuduh sebagai pelakunya. Tuan sudah mengetahui hal itu dua tahun yang lalu, tapi Tuan tidak mau memberitahuku pelaku sebenarnya." Sharen mencoba untuk membuat Rayan mengingat kejadian itu, namun karena dia tidak memiliki bukti, ucapannya seolah sia-sia saja.
Rayan bersidekap dengan tatapan datar. "Sudah selesai bicaranya?" tanyanya.
"Mungkin saat ini Tuan mengira ucapanku hanya omong kosong. Tapi aku berjanji bahwa aku akan membuktikan kebenarannya pada Tuan", ujarnya.
Rayan pergi begitu saja meninggalkan Sharen yang masih mematung diposisinya. Dia terus berjalan menuju kamar mandi tanpa sepata kata.
"Mungkin saat ini pikiran suamiku masih kacau, karena ingatannya yang hilang. Kalau begitu aku harus membuatnya mengingat kenangan manis kami. Tapi bagaiamana caranya, ya?" tanya Sharen seraya berfikir. "Owh, iya. Lebih baik aku mencoba membawanya ke tempat kenangan indah kami di mulai", lanjut Sharen bermonolog.
Baru saja Sharen melangkah menuju pintu keluar. "Ah, aku lupa menanyakan tentang surat cerai itu. Tapi sepertinya dia tidak akan mau di ajak bicara lagi." Sharen pergi keluar kamar. Dia berjalan mondar mandir hanya untuk memikirkan cara dia bertanya pada sang suami.
Hampir 5 menit lamanya dia berfikir, namun tak ada satu katapun yang terlintas dalam pikirannya, akhirnya dia mengurungkan niatnya bertanya tentang surat cerai. Tiba-tiba pintu kamar mandi di buka, Sharen pun menoleh. Lalu dia melakukan sama seperti saat dia dan suami saling cinta.
"Sayang...aku akan menyiapkan bajumu", katanya dengan berani.
"Sayang, biarkan aku menyiapkan bajumu, ya", kata Sharen dengan berani, seolah mengulang sebuah kejadian yang biasa dia lakukan di pagi hari.
Seketika Rayan mendelik mendengar ucapan Sharen, pandangannya kabur ketika bayangan masa lalu tiba-tiba terlintas. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, hingga dia mulai melangkah menghampiri Sharen.
Tiba-tiba tangan kekar Rayan mengangkat dagu Sharen. "Apa kau ingin di usir dari rumah ini?" Pertanyaan mendominasi Rayan sontak membuat Sharen ketakutan.
"Maaf, Tuan. Saya masih mau tetap di sini", sahut Sharen. Tujuanku belum tercapai, bagaimana mungkin aku keluar dari rumah ini sekarang. Ucap Sharen di dalam batin.
"Cih, aku pikir kau sudah tidak sanggup lagi tinggal di sini!" tukasnya seraya berjalan menuju walk-in closet.
...---...
Malam ini Rayan tidak mengizinkan Sharen makan bersama di meja makan, hanya karena sikap tidak patuh Sharen yang berani memanggil dirinya dengan sebutan sayang.
Setelah semua keluarga selesai menikmati hidangan makan malam buatan Sharen, kini giliran Sharen yang makan.
"Sudah aku duga", gumamnya kala membuka wadah makanan di atas meja. "Mereka tidak punya hati, teganya memberikanku makanan sisa ini", lanjutnya bergumam. Namun perut Sharen sudah tidak bisa di ajak kompromi. Sharen mencoba ikhlas menikmati makanan yang sebenarnya tidak layak untuk di makan olehnya.
Dikeheningan ruang makan, Sharen menikmati suapan demi suapan makanan dingin yang sudah tidak utuh itu. Dentingan sendok dan garpu mulai terdengar kala makanan di piring sudah hampir habis.
Gluk. Gluk.
Sharen minum segelas air dalam sekali tegukan. "Aku kenyang sekali", katanya seraya bersandar pada kursi. Perutnya terlihat menonjol kala makanan di atas meja makan habis tak bersisa. Kemudian Sharen bangkit dari kursi makan untuk membereskan meja makan yang penuh dengan peralatan makan yang sudah selesai di pakai.
"Aku mencucinya besok saja." Sharen menyusun semua peralatan makan dan membawanya menuju washtafel. Lalu dia gegas kembali ke kamarnya.
Baru saja Sharen melangkah di anak tangga terakhir, Rey datang menyapa.
"Bagaimana?" tanya Rey dengan menaikkan alis kanannya.
Namun bukannya menjawab, Sharen malah acuh dan melewati Rey begitu saja.
"Hei!" ketus Rey. "Aku sedang bicara denganmu, atau jangan-jangan kau memang suka mencuci pakaian berulang-ulang kali setiap hari?"
Sharen menatap tajam ke arah Rey. "Ternyata benar kau pelakunya."
"Itu salahmu sendiri!" tukas Rey. "Aku sudah berbaik hati memberimu penawaran yang menarik, tapi kau malah mengacuhkanku."
Langkah Sharen yang sempat terhenti, akhirnya kembali terayun. Lagi-lagi dia mengabaikan Rey yang selalu punya niat tidak baik padanya.
"Susah kali mendapatkannya!" kesal Rey seraya mengacak kasar rambutnya. "Padahal banyak sekali wanita yang mengantri, hanya untuk bisa bersamaku", lanjut Rey bermonolog.
Sementara Sharen sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Dia menghela nafas panjang seraya membuka pintu. "Eh, ini kenapa?" tanya Sharen yang kesulitan membuka pintu kamar. Kemudian dia mengetuk pintu dan berteriak memanggil Rayan. "Tuan... Tolong buka pintunya."
Sharen mengulanginya hingga berkali-kali, bahkan hingga kulit tipis jarinya memerah dan terasa sakit. "Tuan -- " Sharen menggantung ucapannya kala mendengar pintu di buka.
"Aku pikir kau akan menginap di kamar pria lain!" sembur Rayan.
Pria lain? Tanya Sharen di dalam batinnya. Dia mencoba memahami maksud ucapan suaminya itu. Tiba-tiba Sharen teringat akan Rey, karena dia sempat mendengar suara pintu di tutup kala dirinya sedang berbincang dengan Rey. "Aku tidak pernah punya niat untuk tidur dengan pria mana pun, Tuan! Aku hanya mencintaimu!"
"Aku tidak butuh penjelasanmu!" tukas Rayan sembari berjalan. Lalu dia naik ke atas tempat tidur.
Sharen mematung diposisinya sembari menanti, barangkali Rayan akan menoleh padanya. Sudah lama dia menunggu, namun suaminya itu tidak kunjung membalikkan badannya. Sharen pun memutuskan untuk tidur di tempat biasa dia tidur.
Sementara Rayan mendengus kasar, kala dirinya membalikkan badan dan melihat istrinya sudah tertidur di sofa. Katanya mau menjelaskan, tapi kenapa dia malah tidur! Ucapnya di dalam batin.
Suasana di dalam kamar itu tetap hening hingga pagi menyapa.
Pagi ini Rayan bangun dari tidurnya lebih lama dari biasanya. Entah apa yang sedang dia pikirkan hingga netranya menelisik ke sofa, untuk mencari keberadaan istrinya. "Dia sudah bangun", ucapnya tanpa sadar. "Astaga apa yang kupikirkan! Untuk apa aku memikirkannya!" Rayan bingung dengan dirinya sendiri. Namun dia tidak punya waktu untuk memikirkan apa yang terjadi padanya. Dia gegas bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.
...---...
Di meja makan.
Tangan lembut Sharen yang telah berubah menjadi kasar, begitu sibuk menyiapkan sarapan pagi bagi semua orang di rumah mewah bergaya klasik itu. Tak pernah sekalipun Sharen peduli akan keadaannya, seolah itu adalah pengorbanan yang pantas dia berikan pada suaminya sendiri.
"Huh, hampir saja", ucapnya seraya mengusap peluhnya yang hampir saja jatuh mengenai nasi goreng di dalam bakul. "Jika tadi tidak sempat rasa asinnya akan bertambah, nih", candanya saat bermonolog, namun senyum di wajahnya seketika muncul.
"Kenapa kau senyum-senyum sendiri?" tanya Desy yang datang tiba-tiba dan sempat melihat senyuman di wajah Sharen.
Baru saja Sharen akan menjawab, namun dia urungkan kala melihat tatapan tidak senang Rayan.
"Ini kopinya, Bu", ucapnya seraya menunduk.
"Apa kau tidak mendengar pertanyaanku tadi? Kenapa kau malah menyodorkanku kopi?"
Sharen menatap ibu tiri Rayan dengan tersenyum. "Tadi aku tersenyum karena semua makanan sudah terhidang dengan lengkap, Bu", jawabnya.
"Owh, begitu" sahut Desy seraya menunjukkan ekspresi tidak puas dengan jawaban Sharen. "Hm, cepat hidangkan nasi goreng buatku!" titahnya kemudian.
Sementara Rayan bersikap tidak seperti biasanya. Entah kenapa dia hanya diam, seraya menunggu sarapannya disajikan seseorang.
Sharen gegas menyajikan minas kesukaan sang suami. "Ini Tuan", ucap Sharen saat meletakkan sepiring minas dihadapan suaminya.
"Hmm..", jawab Rayan dengan deheman, namun jawaban itu cukup membuat hati Sharen bahagia.
"Pagi, Tante..." sapa suara seorang wanita yang tiba-tiba datang ke ruang makan. Sontak semua yang ada di meja makan menoleh ke sumber suara.
"Fiona...!" pekik Desy kala mengenal wanita yang datang bersama putranya itu. "Kau tambah cantik saja. Ayo, duduklah. Kami baru saja akan sarapan bersama", lanjutnya berujar.
Fiona duduk tepat di samping Rayan. Sementara Sharen yang berdiri di belakang Rayan, tidak bisa berbuat apa-apa.
"Hai, Kak Ray. Apa kabarmu?" tanya Fiona dengan lembut.
"Hm, tidak baik berbincang di meja makan!" tukas Rayan yang membuat Fiona cemberut.
"Ray -- "
"Stop!" ketus Rayan memotong ucapan sang ibu tiri. "Aku sudah selesai", ucapnya kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya.
Fiona gegas mengekorinya. "Kak Ray, aku minta maaf", ucapnya saat langkahnya sejajar dengan Rayan.
"Aku buru-buru. Tolong jangan mengikutiku lagi!"
Fiona langsung menyambar tangan Rayan. "Aku tahu Kakak kesal padaku, tapi ada penjelasan di balik itu semua", imbuhnya dengan wajah sendu.
Rayan melepaskan pegangan tangan Fiona. "Maaf, aku sudah terlambat", katanya seraya beranjak meninggalkan Fiona.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!