NovelToon NovelToon

Cinta Jungkir Balik

Chapter 1

Helaan nafas kasar keluar begitu saja dari bibir gadis berambut lurus sebahunya. Wajah oval dengan sepasang lesung pipi itu tampak mulai frustasi. Bagaimana tidak, dari beberapa judul skripsi yang ia ajukan, seluruhnya ditolak oleh dosen pembimbingnya dalam beberapa bulan kedepan. Sebagai gantinya, mau tak mau ia menerima saran judul skripsi yang diberikan sang dosen. Meski dalam pengumpulan datanya, mungkin saja ia akan mendapati banyak kendala di lapangan.

Laluna, mahasiswa semester akhir dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, menatap nanar pada selembar kertas yang penuh dengan coretan yang dihasilkan oleh karya sang dosen. "Baru ngajuin judul, udah begini amat hasilnya," keluh gadis berumur 21 tahun itu.

Tak ingin membuang waktu yang terasa begitu berharga baginya, Luna bergegas menuju rental komputer yang berada tak jauh dari fakultasnya, ingin mencetak ulang lembaran pengajuan judul skripsi yang baru agar mendapat tanda tangan persetujuan dari sang dosen. Ia masih merasa beruntung, karena dosennya itu berbaik hati mau menunggunya untuk memperbaiki dan mengubah judul skripsi yang harus ia gunakan.

***

Cici menatap barisan kata yang membentuk satu kalimat 'KETERTARIKAN REMAJA TERHADAP KOMUNITAS ANAK PUNK'. Didalamnya juga sudah lengkap dengan tanda tangan dari sang dosen pembimbing. Gadis bermata sipit itu menatap sahabatnya; Luna. Ia tak habis pikir dengan gadis manis bermata bulat berkulit kuning langsat didepannya saat ini. Bisa-bisanya sang sahabat menerima begitu saja saran sebuah judul skripsi yang diberikan oleh dosennya.

"Kamu yakin, pakai judul ini untuk skripsi kamu, Lun?"

"Memang kenapa dengan judulnya, Ci?" tanya Luna dengan santai sambil terus melanjutkan aktivitasnya mencatat materi dari buku yang ia ambil disalah satu rak buku yang ada di perpustakaan kampus.

Cici berdecak kesal melihat sikap santai yang ditunjukan sahabatnya ini. Ia paham seperti apa karakter Luna selama mereka saling mengenal. Luna merupakan gadis ceria, humbel, loyal serta pemberani.

"Kamu gak ngerasa ngerih sama para nara sumbernya, kalau kamu ambil judul skripsi ini? Resikonya lumayan gede loh, Lun," Cici masih berusaha mempengaruhi agar Luna meminta revisi ulang judul skripsi yang sudah ditanda tangani dosen pembimbingnya.

Luna mengubah posisi duduknya, memutar menghadap Cici yang masih menatapnya dengan wajah yang terlihat serius. "Iya, aku tahu. Tapi judul-judul yang aku ajuin ke Pak Bambang, ternyata udah banyak yang pakai. Jadi mau gak mau, aku harus setuju dengan judul yang Pak Bambang kasih. Mau nolak, aku gak berani. Wajahnya Pak Bambang serem banget tau," Luna memanyunkan bibir diakhir kalimatnya.

Memang dikalangan mahasiswa, Pak Bambang adalah salah satu dosen ter-killer yang ada di kampus mereka. Tak hanya terkenal killer, Pak Bambang merupakan dosen yang menganut kesempurnaan untuk tugas-tugas yang ia berikan kepada mahasiswanya.

Cici memandang iba pada Luna yang terlihat sudah pasrah. "Malang bener nasib kamu, dapat dosen pembimbing galak modelan Pak Bambang. Ternyata lo bisa takut juga ya sama orang,"

Tuk,

Pena yang sedari tadi Luna pakai untuk menulis, kini tengah mendarat cantik dikening gadis keturunan Tionghoa itu. Gemas sekali dengan celetukan yang keluar dari bibirnya yang mungil. "Aku gak mau kualat kalau sampai ngelawan dan ngebantah perintah orang tua,"

Cici mencebikkan bibirnya, pintar sekali temannya yang satu ini buat ngeles.

"Besok temani aku hunting tempat, yuk!" Luna menutup bukunya, menyusun kedalam tasnya dengan rapih.

Cepat-cepat Cici langsung mengibaskan kedua tangan sambil menggelengkan kepalanya. "Gak mau. Aku gak mau ikut ketempat orang-orang yang berpenampilan kacau begitu," tolaknya.

Pundak yang tadinya tegap, kini luruh kebawah. Luna kecewa mendapat penolakan dari orang yang ia kira bisa diajak untuk menemaninya. "Please!" Luna memohon, kedua tangannya sudah menangkup didepan dada dengan tatapan menghiba.

"Duuh ... jangan natap aku kayak begitu." Cici langsung melengos, tak ingin melihat tatapan yang bisa membuat hatinya goyah.

Luna benar-benar tahu cara meluluhkan hati Cici. Ia tahu, Cici tak akan setega itu menolak permintaannya. "Cuma besok aja temani aku. Aku cuma mau lihat situasi aja,"

"Enggak, Luna,"

"Please!" Pinta Luna sambil mengedipkan matanya, tatapannya begitu memelas seakan minta dikasihani.

"Tetap enggak, Laluna!"

"Gak asik," sarkas Luna. Ia langsung membenahi buku dan menyusunnya kedalam tas punggung milik dan segera pergi dari perpustakaan karena memang waktu mulai beranjak sore. Ia memutuskan segera kembali ke rumah kecilnya.

Dari dalam angkutan umum yang terjebak macet di perempatan lampu merah, Luna bisa melihat sekumpulan anak punk yang sekedar duduk santai didekat trotoar sambil bercanda ria dengan teman-temanya. Ada pula diantara mereka menghampiri kendaraan yang terjebak macet, pindah dari satu sisi ke sisi lainnya sambil menyanyikan lagu yang mungkin saja mereka ciptakan sendiri, karena Luna sendiri tak pernah mendengar lagu itu sebelumnya dinyanyikan oleh penyanyi manapun.

"Kenapa mereka pada milih hidup di jalanan, sih? Padahal masa depan mereka itu masih panjang,"

Luna mengibaskan tangan tepat didepan wajahnya. Angkot yang penuh oleh penumpang begitu terasa sesak dan membuat siapapun pasti ajan merasa gerah. Dari tempat duduknya, gadis itu terus memperhatikan tiga pemuda yang berpenampilan begitu nyentrik. Hingga beberapa saat ketiga anak punk itu sudah berada tepat didepan pintu angkot yang ia tumpangi.

Luna begidig ngerih melihat tato-tato yang menghiasi kedua tangan dan sebagian wajah ketiga anak punk yang ada dihadapannya. Mereka berbagi tugas, ada yang memainkan ukulele dengan begitu piawai, ada yang bertugas menyanyikan lagu dan yang satunya lagi membawa bungkusan permen yang sudah kosong sebagai wadah uang saweran yang diberikan oleh pengendara.

Tangan ramping gadis itu merogoh saku celananya, meraih uang pecahan dan memberikan selembar uang berwarna abu-abu saat bungkusan permen kosong itu terarah padanya.

"Terima kasih, Mbak Cantik. Kita doakan si Mbak-nya semakin cantik tiap harinya,"

Celetukan anak punk itu membuat Luna terkikik geli. Mudah-mudahan ia bisa mendapatkan nara sumber yang ramah untuk mengisi data skripsinya.

***

Keesokannya, Luna tak lantas putus asa untuk membujuk Cici agar mau menemaninya hunting lokasi. Setelah terjadi drama bujuk membujuk, siang menjelang sore, kedua sahabat tersebut sudah berada disebuah kawasan Ibu Kota yang mudah untuk keduanya menemukan gerombolan orang-orang berpenampilan nyentrik. Karena tempat yang mereka datangi memang terkenal dengan tempat berkumpulnya para anak punk.

Disepanjang jalan yang mereka susuri, Luna dan Cici tak pernah luput dari tatapan-tatapan yang sulit untuk keduanya artikan.

"Lun!" Cici bersuara lirih sambil meraih jemari tangan Luna. Ia mulai tak nyaman dengan tatapan yang seakan sedang mengulitinya. "Balik aja, yuk!"

"Nanggung, Ci. Kita udah sampai sini," sahut Luna tak kalah lirih.

"Ya ampun ... ngerih banget aku lihat rambut mereka yang berdiri tegak begitu, rame banget warnanya kayak pelangi. Kalau ada balon mendarat diatasnya, pasti langsung meledak. Belum lagi tato-tato yang full begitu, udah kayak kain batik aja," ejek Cici pada penampilan anak-anak punk yang terlihat aneh dimatanya. Tentunya Cici hanya berani bicara dengan suara rendah, terkesan seperti sedang berbisik.

Luna sampai tergelak mendengar kata-kata yang keluar dari bibir julid sahabatnya itu.

...To Be Continued...

Chapter 2

Hari mulai beranjak sore. Namun Luna belum mendapatkan objek yang menurutnya aman untuk ia teliti. Dari sekian banyak anak punk yang ia temui, rata-rata dari mereka menyambut Luna dan Cici dengan ekspresi yang tak bersahabat.

"Udah sore, Lun. Balik yuk!" ajak Cici. Ia mulai merasa lelah karena terlalu lama berjalan.

Luna yang merasa iba pada sang sahabat pun menyetujui ajakan Cici. Mungkin besok bisa ia lanjutkan lagi mencari nara sumber yang aman dan lebih wellcome padanya. "Ya udah deh, yuk! Kasihan Tuan Putri udah kecapean,"

Keduanya berjalan keluar dari gang-gang sempit agar lebih cepat sampai ke jalan raya. Disepanjang sisa jalan yang mereka lalui, Luna dan Cici tak banyak bicara. Betis keduanya mulai terasa begitu pegal dan ingin segera sampai rumah dan segera beristirahat.

Tiba-tiba, Luna menarik tangan Cici dan berbelok ke arah sekumpulan anak punk yang sedang asik bercanda didepan sebuah warung kecil pinggir jalan.

Luna mendekat ke arah pemuda pemudi yang berpenampilan tak seseram anak punk lainnya yang sudah mereka temui. Gadis itu membiarkan Cici yang menghentikan langkahnya dipinggir jalan. "Sore, Mbak dan Mas!"

Orang-orang itu menghentikan candaan mereka, menoleh kearah Luna yang berdiri sambil memberikan senyum ramahnya.

"Sore juga. Ada apa ya, Mbak? Mau cari alamat?" sahut seorang diantara mereka dengan wajah yang terlihat serius menatap Luna. Ia juga melirik sekilas kearah Cici yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Euum ... begini. Perkenalkan, nama saya Luna dan dia Cici." Luna menunjuk kearah sang sahabat yang mengangguk sambil tersenyum kearah mereka. "Kami mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas XX. Kami ... terkhususnya saya, sedang mencari beberapa nara sumber sebagai penelitian untuk melengkapi data yang saya butuhkan dalam pembuatan skripsi. Apa Mbak dan Mas-nya bersedia menjadi nara sumber untuk saya?" Ia menatap satu persatu jajaran orang yang kini juga sedang menatapnya.

Hati Luna mulai harap-harap cemas, jangan sampai mereka menolak permintaan yang Luna ajukan dan kehilangan kesempatan emas yang ada dihadapannya saat ini.

"Kalau kita bersedia buat bantu Mbak-nya, kita bakal dapat apaan?" celetuk seorang diantara mereka.

Sudah Luna duga, semua pasti tidak bisa Luna dapatkan secara gratis. Sepertinya ia harus mengeluarkan modal yang lumayan agar bisa segera melakukan riset terhadap anak jalanan ini.

"Sebagai imbalannya, saya akan kasih kalian uang saku. Bagaimana? Setuju?" Luna yakin orang-orang ini akan setuju dengan penawaran yang ia beri.

Tak butuh waktu lama bagi Luna untuk mendapat jawaban, anak-anak punk langsung berseru menyetujui kesepakatan ini. Siapa sih yang tak menginginkan uang?

"Tapi saya gak bisa kasih uang saku untuk kalian banyak-banyak," lanjutnya dengan hati-hati. Jangan sampai mereka membatalkan kesepakatan ini.

"Gak masalah, Mbak. Yang penting kita-kita gak disuruh kerja berat aja?" kelakar seorang gadis diantara mereka.

Otomatis Luna ikut tergelak mendengar lelucon itu. Beruntungnya ia mendapatkan nara sumber yang kelihatan friendly kepadanya.

"Aku belum buka lowongan ajak kalian kerja soalnya. Kalian cukup berbagi cerita dan pengalaman kalian selama menjadi anak punk aja kok," Luna berusaha membaur diantara mereka.

"Kapan kita-kita diwawancarai, Mbak?"

"Kita mulai besok gimana?" usul Luna. Lebih cepat, lebih bagus. lebih cepat pula ia bisa menyelesaikan skripsinya.

"Gimana, kalian semua setuju kalau besok kita mulai wawancara sama Mbak Luna?"

"Ok. Kalau gue gak masalah mau kapanpun," celetuk seorang pemuda yang sedari tadi asik dengan ponselnya.

"Ok, deal ya? Besok aku datang kemari buat jumpain kalian," Luna bersorak senang dalam hati. "Boleh minta salah satu nomor kontak diantara kalian gak? Biar gampang komunikasinya,"

"Jangankan salah satu, nomor kita semua bakal kita kasih ke Mbak-nya,"

"Huuu ... jangan modus lo, Za." Gadis itu menyulut lengan temannya. "Mbak bisa simpan nomor aku aja, Mbak. Bahaya kalau mereka sampai tahu nomor Mbak-nya,"

Luna langsung mengetikan nomor yang diberikan padanya dan menyimpan dikontak ponselnya dengan nama Rosa. "Oh iya, aku belum tau nama kalian semua,"

"Iya ya, Mbak. Seperti pepatah mengatakan, 'tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta',"

Tuk,

Sebuah cangkir plastik Rosa lemparkan ke kepala teman prianya. "Playboy cap kurap! Jangan asal modusin anak orang," gadis itu sudah memelototkan matanya. "Sumber penghasilan kita itu," Rosa langsung nyengir kearah Luna diakhir kalimatnya.

"Namanya juga usaha, Sa. Kapan lagi ada kesempatan buat kenalan sama yang cewek secakep Mbak Luna begini." Lelaki itu langsung mendekati Luna dan mengulurkan tangannya. "Gue Reza. Yang itu jelas udah tahu kalau namanya Rosa. Yang itu Boy, lebih lengkapnya Boimin. Aagghhh ... sakit be-go!" Reza mengusap kakinya yang mendapati tendangan dari Boy.

Lagi-lagi, kumpulan anak punk ini berhasil membuat Luna tergelak. Sepertinya ia tidak akan sulit mengorek informasi dari mereka.

"Yang ini Nuri dan yang di pojok sana Yudi. Satu lagi anggota kita belum muncul, namanya Raja," lanjut Reza memperkenalkan teman-temannya.

Luna mengangguk paham. Mungkin untuk saat ini, Luna belum bisa menghafal masing-masing nama mereka. Tapi masih ada hari esok untuknya lebih mengenal mereka satu persatu.

"Ya udah kalau begitu, aku pamit dulu ya? Udah terlalu sore. Sampai ketemu besok." Luna melambaikan tangan dan segera meninggalkan mereka semua menghampiri sahabatnya yang masih setia menunggunya.

Senyum lega terukir jelas dari bibir tipis Luna. Akhirnya ia bisa mendapatkan objek penelitian yang sesuai dengan kriteria yang ia inginkan.

"Yuk! Kita pulang," ajaknya pada Cici. Sekali lagi, Luna berbalik dan melambaikan tangan kepada teman-teman barunya.

***

"Makasih buat tumpangannya ya, Bestie." Luna bergegas keluar dari mobil yang menjemputnya dan Cici. Melambaikan tangan sejenak saat mobil Cici mulai melaju meninggalkannya didepan gang kecil dimana rumahnya berada.

Kruuuk... kruuuk....

Perut gadis berlesung pipi itu mulai mengeluarkan suara-suara pemberontakan agar segera diisi. Sebelum memasuki gang rumahnya, Luna memutuskan mampir ke warteg yang berada tepat disamping gang rumahnya. Memesan makanan kesukaannya yang tak akan menguras isi kantong.

Usai dengan pesanannya, Luna bergegas menuju rumah yang beberapa tahun ini menjadi tempatnya bernaung.

Hidup sendiri di Ibu Kota, tak begitu membuatnya merasa kesulitan, asal kedua orang tuanya tak pernah luput mengirim biaya hidup dan kuliah untuknya. Meski ia bukan dari kalangan keluarga kaya, tapi penghasilan sang ayah di kampung lebih dari cukup untuk membiayai semua kebutuhan keluarga kecil mereka.

Ting,

Sebuah notif pesan masuk ke ponselnya. Kening Luna berkerut saat mendapati notif bahwa nomor miliknya telah bergabung dengan dengan sebuah grup yang tak pernah ia tahu sebelumnya.

Luna tergelak saat mengetahui siapa dan grup apa yang telah mengikut sertakan dirinya ada didalamnya.

"Ada-ada aja si Rosa. Nama grupnya gak sesuai sama apa yang lagi mereka jalani,"

Ting,

Rosa [Selamat bergabung di geng Calon Penghuni Surga].

...To Be Continued...

Chapter 3

Bruuugh,

"Aaaaghh ...," e-rangan keluar begitu saja dari mulut Luna. Gadis merasakan kebas dibagian bo-kong dan punggungnya.

Ternyata tempat tidur berukuran singel yang ia tempati tak cukup luas lagi baginya. Bukan sekali dua kali ia terjatuh dari atasnya. Kalau saja tubuhnya bisa bicara, pasti sudah melayangkan protes pada Luna yang bergerak terlalu lincah ketika tidur.

"Wajib minta uang tambahan sama Ibu nih kayaknya, buat beli tempat tidur yang lebih gedean lagi," keluhnya, masih dalam posisi telentang didasar lantai.

Ia sempatkan menoleh sesaat kearah jam dinding. Dua bola mata Luna langsung membola saat jam sudah menunjukkan pukul 05:30. Ia mulai panik, dengan gerakan terburu, Luna bergegas pergi ke kamar mandi sambil menggerutu. "Kalau gak jatuh dari tempat tidur, alamat aku benar-benar bangun kesiangan. Mungkin beginilah cara Allah menegurku."

Seperti biasa, usai melaksanakan ibadah shalatnya, gadis berambut lurus sebahu itu langsung menuju ke dapur untuk menyiapkan keperluan perutnya.

Helaan kasar keluar dari bibir tipisnya saat melongokkan kepala didepan lemari pendingin. "Ya Allah, begini banget hidup sendirian,"

Tak ingin terlalu lama meratapi nasib, Luna membawa langkahnya menuju pasar guna membeli segala kebutuhan untuk seminggu kedepan. Beruntung saat ini ia tidak terlalu aktif untuk datang ke kampus, jadi ia bisa sedikit bersantai tanpa harus merasa sedang dikejar waktu.

Senyum puas terukir dibibirnya setelah mendapatkan barang belanjaan yang ia butuhkan. Bergegas ia kembali kerumah agar bisa mengolah daging dan sayuran yang ada didalam kantong belanjaannya.

Dengan penuh kehati-hatian, Luna melangkah menghindari beberapa genangan air yang menghadang jalannya, dengan mata yang selalu awas memperhatikan jalanan didepannya.

Pagi ini pasar masih begitu padat pengunjung. Mata bulat Luna melihat sebuah pemandangan yang bisa membuat hatinya menghangat seketika. Tak jauh darinya, ia bisa melihat salah satu interaksi antara seorang laki-laki yang mungkin adalah cucu dari wanita tua yang sedang bersamanya. Keduanya terlihat begitu akrab di mata Luna. Hal itu terlihat begitu manis baginya, Sesekali tangan sang cucu merangkul pundak si nenek untuk melindunginya dari tabrakan orang yang berlalu talang dengan tergesa.

"Ternyata masih ada cowok se-care itu sama neneknya,"

***

Sesuai dengan janjinya, siang ini Luna akan menemui orang-orang yang kemarin ia jumpai. Kali ini ia akan pergi sendiri tanpa ditemani sang sahabat. Ia sadar, Cici juga memiliki kesibukan sendiri. Selain itu, Luna bisa merasakan bahwa sahabatnya terlihat enggan untuk berbaur dengan orang-orang yang notabennya memiliki image buruk dimata masyarakat.

[Rosa! Mbak OTW kesana.]

Sepenggal pesan Luna berikan kepada salah satu respondennya. Ia berharap, urusannya bisa berjalan lancar selama sebulan kedepan.

Ting,

[Ok, Mbak. Kita tunggu ditempat kemarin]

"Cepat juga respon nih anak," Luna bergumam saat melihat balasan pesan dari Rosa.

Tak ingin membuang-buang waktunya yang berharga, Luna bergegas ketempat yang akan ia tuju. Sebelum beranjak, ia memeriksa kembali perlengkapan dan keperluan yang dibutuhkan saat sesi wawancara nanti.

"Done. Semoga nanti gak ada kendala,"

Terbesit rasa was-was dalam hatinya. Kali ini, ia akan pergi ke kawasan yang mungkin saja berbahaya. Tapi ia menguatkan tekatnya. Ini semua demi skripsinya, demi masa depannya.

***

Luna mengerang kesal, entah sudah yang keberapa kali ia merutuki kebodohan yang dilakukannya. Tadi, karena terlalu asik dengan pikirannya sendiri, Luna sampai melewatkan dimana seharusnya ia turun. Hari ini, kesialannya datang bertubi-tubi dan sekarang ia lupa harus masuk ke gang yang mana agar bisa sampai ketempat janji temu dengan teman-teman barunya.

"Ya ampun, Lun. Belum jadi nenek-nenek, udah pikun kayak gini," Luna menggerutu disepanjang langkahnya.

Gadis itu berhenti sejenak saat mendapati segerombolan anak punk dengan tampilan yang mengerikan. Ia begidig ngeri melihat rambut meraka yang terlihat acak-acakan, kulit terlihat kusam dan dekil seperti tak pernah dibersihkan. Belum lagi tato yang menghiasi tangan dan wajah, serta banyaknya tindikan diarea wajah mereka.

Suuiit... suuiit...

"Mbak cantik! Mau kemana nih? Mau abang antar gak?" goda seorang pria diantara mereka, disambut gelak tawa teman-temannya.

"Mampir sini dulu aja, Mbak. Gabung sama kita-kita," sahut yang lain, ikut menggoda Luna.

Bulu kuduknua meremang melihat seringai-seringai yang mengerikan itu. Ia mempercepat langkahnya menjauh dari kumpulan orang-orang yang begitu mudah menyia-nyiakan masa depannya begitu saja. Luna mempercepat langkahnya, mengabaikan panggilan-panggilan yang semakin membuatnya merinding.

"Duh ..., aku ada dimana ini?" Luna menoleh kebelakang, memastikan tidak ada dari mereka yang mengikutinya. Ia mengeluarkan ponsel, segera mengirim pesan kepada Rosa.

[Sa! Bisa sherlock tempat kalian? Mbak nyasar]

Luna merasa lega, Rosa begitu fast respon kepadanya. Gadis itu langsung membagi lokasi dimana mereka sekarang.

Berbekal alamat yang ia dapat dari Rosa, Luna melanjutkan perjalanannya. Ia semakin dalam masuk kedalam sebuah gang. Keningnya mengerenyit, heran karena semakin lama, gang yang ia lalui semakin sempit dan terlihat begitu kumuh.

"Apa aku salah jalan lagi?" Luna menghelah nafas kasar. "Ya Allah ..., begini banget nasib aku," ingin rasanya Luna menangis saat ini. "Sepi banget lagi. Pada kemana semua orang sih? Gak mungkin masih pada tidur 'kan?"

[Sa! Sherlock yang kamu kirim udah tepat gak sih? Sepanjang jalan kok sepi banget? Makin lama, gang yang Mbak lewati makin sempit] Luna mengirim pesan sambil celingukan kesana kemari.

Bruuugh,

Belum sempat ia membaca balasan pesan dari Rosa, Luna sudah dibuat kaget. Langkah kakinya terhenti dengan kedua mata yang sudah membeliak. Didepan sana, tak jauh dari posisinya sekarang, ia mendapati seorang pemuda sudah terkapar di atas tumpukan kardus-kardus kosong.

"Bangun lo! Berani-beraninya lo nguping omongan orang, ya!" sentak seorang pria berbadan gempal, tampilannya terlihat sangar, mencengkram kerah baju pemuda itu.

Buuugh,

Pukulan balasan berhasil mendarat ditubuh gempal si preman.

"Aaaakhh...," pekikan Luna mengalihkan perhatian orang-orang yang sedang bertikai itu kearahnya. Sontak Luna meringis ngerih mendapati tatapan horor dari mereka.

"Woi! Ngapain lo ngerekam kita-kita?" sentak preman lainnya saat melihat Luna menggenggam sebuah ponsel ditangannya. Tatapan itu begitu mengerikan bagi Luna.

Mata Luna kian membeliak, ternyata disana tidak hanya ada satu preman, disekitar dua orang yang tengah berseteru itu masih ada tiga orang preman lagi.

"Enggak, enggak." Luna gelagapan sambil menggelengkan kepalanya cepat. Ia takut menjadi sasaran para preman itu. "Aku gak ngerekam apa-apa. Aku hanya kebetulan lewat,"

Perlahan, Luna memundurkan langkahnya, bersisp untuk kabur dari sana. Jika disuruh melawan seorang preman, mungkin ia masih mampu. Tapi kalau melawan empat preman sekaligus? Itu cari mati namanya.

"Tangkap tuh cewek!" perintah preman yang pertama kali Luna lihat kepada temannya yang lain.

Luna semakin panik saat dua preman merengsek maju dan mencoba menyergapnya.

"Aaaaaaa ...,"

Tubuh Luna langsung berbalik saat tangannya ditarik paksa oleh pemuda yang tadi terlempar keatas tumpukan kardus.

"Ayo, lari yang kencang!" Seru pemuda itu. Ia terus menarik tangan Luna dan membawanya menghindar dari preman-preman yang terus mengejar mereka.

"Kita mau kemana?" tanya Luna yang terus ikut berlari.

Pemuda itu menoleh kearah Luna yang ada dibelakangnya. "Kabur," sahut pemuda itu tanpa beban, tak ada sedikitpun rasa takut dari raut wajahnya. "Lo cepetan larinya, jangan kayak keong," sentak pemuda itu.

"Enak aja bilang aku kayak keong," Luna mulai kesal dengan pemuda disampingnya ini. Nafasnya mulai tersengal dan laju larinya mulai melambat. Luna bisa mendengar decakan kesal dari pemuda didepannya.

"Aaaaa ...," langkah Luna tertahan saat seorang preman berhasil meraih ranselnya membuat cekalan tangan si pemuda terlepas begitu saja.

"Mau kabur kemana, lo?" mata si preman melotot garang.

"Hei! Lepasin tuh cewek," sentak si pemuda.

Si preman mengecilkan dagunya, memberi kode pada rekannya akar menghajar si pemuda. Baku hantam tak terelakan lagi.

Melihat si pemuda mulai kewalahan melawan tiga preman bertubuh gempal sekaligus, Luna mencoba memberi perlawanan terhadap seorang preman yang masih mencekal lengannya dengan kencang. Digigitnya lengan besar itu sekuat yang ia bisa. Berhasil, cekalan itu akhirnya terlepas.

"Aaaghh ...," si preman mengerang kesakitan. "Breng-sek!"

Luna menoleh kearah pemuda yang hampir berhasil melumpuhkan semua lawannya. Ia merasa senang akan hal itu.

"Aaaghh ...." Kepala Luna terdongak saat rambut lurusnya ditarik begitu kasar. Bibirnya tak henti meringis. Tangan rampingnya terus mencoba memberikan perlawanan. Merasa tak tahan lagi, Luna memakai jurus pamungkasnya. Dengan kekuatan penuh, Luna mengangkat lututnya dan memberikan tendangan telak kearah benda keramat si preman.

"Aaaghh ...," lagi, si preman mengerang kesakitan sehingga cekalan tangannya terlepas dari rambut Luna.

Buuugh,

Buuugh,

Bruukh,

Tak lama, si pemuda berhasil melumpuhkan lawannya. Melihat ada kesempatan, si pemuda menarik kembali lengan Luna. Berlari menjauh dari preman-preman yang ingin mencelakai mereka. Cukup jauh keduanya terus berlari tak tentu arah agar tak tertangkap kembali oleh preman-preman itu.

Sesekali Luna menoleh kebelakang, takut preman-preman itu mengejar mereka kembali. Merasa hampir tak sanggup, Luna berhenti, tubuhnya lantas membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya. Begitupun dengan si pemuda, ia terlihat mengatur nafasnya yang sudah memburu.

"Hooosss ... hooosss ...," nafas keduanya sudah tersengal.

"Woi! Berhenti!"

Mendengar seruan itu, mata Luna dan si pemuda membeliak. Mau tak mau, mereka harus kembali berlari.

Mereka mengurangi kecepatan saat akan melalui belokan. Samar-samar keduanya mendengar suara sirine. Ada harapan bagi keduanya bisa terlepas dari kejaran para preman itu.

"Kita lari ke jalan raya. Minta bantuan polisi," usul Luna. Kakinya mulai terasa tak mampu lagi untuk terus berlari.

"Ayo, cepat! Jalannya udah kelihatan,"

Suara sirene mobil semakin terdengar jelas. Semoga saja mereka tidak terlambat untuk mendapat pertolongan.

Saat sudah berhasil sampai ditepi jalan, Luna dan pemuda asing itu sama-sama melongo melihat mobil dengan suara sirinenya.

"Ya ampun, kenapa malah mobil damkar?" Luna terlihat kebingungan, apalagi para preman itu semakin mendekat kearah mereka.

"Gak ada polisi, damkar pun jadi." Pemuda asing itu berlari dan berdiri ketengah jalanan sunyi. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menghentikan laju mobil damkar untuk mendapat pertolongan.

"Astaga! Sableng nih cowok,"

...To Be Continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!