Jam dinding sudah menunjukan pukul 23.00 WIB. Namun, Sang Suami Abian tak kunjung pulang. Padahal sudah lebih dari empat jam lalu pria itu mengabari Zahira bahwa ia sudah berada di jalan menuju rumah. Saat ini Abian memang sedang bekerja di luar kota Jakarta, khususnya Bandung. Setiap akhir bulan laki-laki itu memang selalu memantau proyek yang ada di kota Kembang tersebut secara langsung. Biasanya hanya butuh sekitar 2-3 jam dari lokasi proyek untuk tiba di rumahnya. Tapi, ini?
Awalnya Zahira tetap berusaha untuk berpikiran positif, namun semakin bertambahnya waktu berlalu membuat wanita yang kesehariannya memakai hijab tersebut resah. Pikiran Zahira tak tenang, apalagi ponsel Abian tak lagi bisa dihubungi.
"Ya Allah, Mas. Kok kamu belum pulang sih? Aku khawatir banget sama kamu, mana handphone kamu nggak bisa dihubungi lagi," gumam wanita yang sudah 2 tahun menjadi istri Abian itu. Dia mondar-mandir di dalam kamar yang ukurannya lumayan besar.
Lagi. Zahira mencoba menghubungi nomor suaminya. Namun, lagi-lagi operator yang menjawab.
"Ya Allah, tolong lindungilah suamiku. Buatlah agar dia bisa pulang ke rumah dalam keadaan sehat tanpa kekurangan apa pun. Amin." Doa Zahira di dalam hati.
Abian Reegan, seorang CEO sekaligus pemilik perusahaan R' HOULDING. Perusahaan yang bergerak di bidang properti itu adalah perusahaan peninggalan orang tuanya, Abraham Reegan. Abian memiliki adik tiri dari pernikahan kedua almarhum ayahnya tersebut. Meski hanya ibu dan adik tiri, tapi Abian menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Sayangnya itu semua berbanding terbalik dengan kedua manusia itu.
Devita Maharani dan Armando Reegan yang merupakan ibu dan adik tiri Abian itu berambisi ingin memiliki seluruh harta kekayaan Reegan. Padahal harta warisan itu sudah dibagi rata.
Devita bahkan dengan sengaja pernah menjodohkan Abian dengan kerabat jauhnya yang bernama Inge agar bisa menguasi harta yang diwariskan kepada Abian. Namun, sayangnya sebelum keduannya menikah, Abian sudah terlebih dulu memergoki Inge sedang berselingkuh. Disaat itulah dia bertemu dengan Zahira yang kebetulan sedang libur kuliah dan bekerja di rumahnya untuk membantu ibunya yang memang bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Zahiralah, wanita yang selalu di sisi Abian. Dia menghibur dan merawat Abian yang sempat sakit. Perhatian Zahiralah yang akhirnya membuat Abian jatuh cinta kepadanya. Abian pun menikahi Zahira, meski keputusannya ditentang oleh Sang Ibu tiri.
Di tahun pertama Abian dan Zahira menikah, mereka masih tinggal bersama Devita karena permintaan ibu tiri dari Abian itu. Namun, melihat istrinya selalu direndahkan bahkan dihina di depan keluarga besarnya membuat Abian memilih membawa istrinya itu keluar dari rumah tersebut.
Memang secara tertulis rumah yang ditinggali oleh Devita adalah milik Abian. Akan tetapi Abian memilih mengalah dan membeli rumah baru untuk Zahira.
Rumah itu memang tidak sebesar rumah peninggalan orang tua Abian. Namun, tetap saja rumah itu terasa besar bagi Zahira dan Abian yang sampai usia pernikahan mereka menginjak dua tahun masih belum dikaruniai momongan.
"Nyonya, Nyonya. Gawat, Nyonya!" Bik Lastri mengetuk pintu kamar Zahira. Suaranya terdengar panik.
Zahira langsung membukakan pintu kamarnya tersebut.
"Ada apa, Bik?" tanya Zahira kepada wanita paruh baya yang pernah menjadi teman sejawat ibunya. Wanita itu datang dengan napas tersengal.
"Bik. Tenang dulu, bicara pelan-pelan," suruh Zahira. Dia mengambil air putih dari atas meja dan memberikannya kepada Bik Lastri. "Minum dulu!"
Bik Lastri menurut. Dia meminum air putih pemberian Zahira hingga tandas.
"Sekarang tarik napas pelan-pelan, hembuskan perlahan," sambung Zahira.
Bik Lastri kembali melakukan arahan dari istri majikannya tersebut.
"Sekarang Bik Lastri cerita ada apa? Apanya yang gawat?" tanya Zahira.
Seketika wajah Bik Lastri kembali panik. "Itu Nyonya, barusan ada telepon dari polisi yang mengabarkan kalau Tuan Abian kecelakaan di jalan tol dan sekarang beliau ada di rumah sakit Medika," jawab Bik Lastri.
"Tidak, Bik. Itu pasti tidak benar kan, Bik? Bik Lastri cuma ngeprank seperti biasanya kan?" Zahira tidak percaya. Apalagi selama ini Bik Lastri memang suka melakukan prank terhadap rekan sejawat, termasuk Zahira. Wanita yang sudah bekerja dengan keluarga Abian selama lebih dari 15 tahun itu memang terkenal jahil.
"Maaf, Nyonya. Tapi kali ini saya sungguh-sungguh. Saya mana berani ngeprank Nyonya dengan hal seperti ini."
Mendengar itu tubuh Zahira luruh ke lantai.
"Nyonya yang sabar ya. Tuan Abian pasti baik-baik saja." Bik Lastri memeluk Zahira.
"Bik, tolong antar aku ke rumah sakit itu. Aku harus tahu keadaan Mas Abian bagaimana!" pinta Zahira. Wanita itu berusaha bangun, meski kakinya seperti tak bertulang.
"Baik, Nyonya. Akan saya antar." Bik Lastri membantu Zahira dengan memapahnya.
Dengan menggunakan mobil yang dikendarai oleh Pak Dudung, Zahira dan Bik Lastri segera menuju ke rumah sakit Medika.
Selama dalam perjalanan Zahira terus menangis, tak lupa ia merapalkan doa agar tidak terjadi sesuatu pada suaminya dalam insiden kecelakaan tersebut.
***
"Dokter, bagaimana kedaan suami saya? Dia baik-baik saja kan?" tanya Zahira kepada seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang IGD.
"Apa Anda keluarganya Pak Abian?" Dokter itu malah balik bertanya.
"Saya istrinya, Dok," jawab Zahira.
"Sepertinya dalam kecelakaan itu Pak Abian mengalami benturan yang cukup keras di kepala. Kami sudah menanganinya tinggal menunggu hasilnya. Semoga dia segera sadar," jawab laki-laki berseragam putih tersebut.
"Dokter, apa saya bisa menemui suami saya?" tanya Zahira. Wajahnya masih basah karena sejak tadi dia terus menangis.
"Silakan, Buk. Anda bisa menemui Pak Abian setelah beliau kami pindahkan ke ruang perawatan.
"Tapi, dia baik-baik saja kan, Dok? Suami saya tidak apa-apa kan?" tanya Zahira lagi.
"Untuk memastikan itu kami harus menunggu sampai Pak Abian siuman," jawab Dokter itu lagi. "Permisi." Dokter itu kemudian berlalu dari Zahira.
"Yang sabar, Nyonya. Kita berdoa saja semoga Tuan Abian segera siuman." Bik Lastri mengusap lembut pundak Zahira.
Tidak lama dua orang berseragam coklat datang menghampiri Zahira.
"Selamat malam, kami dari kepolisian yang tadi menelpon ke rumah Pak Abian." Salah satu dari pria berseragam coklat itu berbicara.
"Iya, Pak. Saya Zahira, istri Mas Abian. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" jawab Zahira sembari bertanya.
"Perkenalkan Bu Zahira, saya Doni. Saya cuma memberi tahu bahwa barang-barang Pak Abian masih ada di kantor polisi. Ibu bisa mengambilnya kapan saja," jawab polisi yang mengaku bernama Doni tersebut. "Dan ada satu hal lagi yang harus Anda ketahui tentang kecelakaan yang menimpa Pak Abian," lanjut polisi bernama Doni.
"Apa itu, Pak?" tanya Zahira penasaran.
⭐⭐⭐
Gaes, maaf ya telat update. Padahal sudah janji update sebelum tanggal 8. Hehehe.
Jangan lupa untuk yang sudah mengikuti cerita ini, plis mohon kerjasamanya untuk baca di tiap bab yang aku update. Jangan lompat-lompat, apalagi nabung bab.
Kenapa? Karena author gak bakalan dapet apa-apa kalau kalian lakukan itu. Jujur, author juga butuh cuan buat beli kuota dan jajan supaya otak bisa terus ngehalu dengan lancar. Jadi, sekali lagi mohon kerjasamanya. Terima kasih.
"Dari hasil penyelidikan sementara dan diperkuat dengan cctv yang ada di lokasi, kami berkesimpulan kalau kecelakaan yang menimpa Pak Abian bukan kecelakaan biasa," jawab polisi bernama Doni tersebut.
"Maksud Bapak apa ya?" Zahira masih belum mengerti.
"Simpelnya, kecelakaan itu sudah direncanakan," jelas Doni.
"Astaghfirullah haladzim," pekik Zahira. Dia tidak mengira kalau ada orang yang berniat jahat kepada suaminya. "Apa Bapak sudah menemukan orang itu?" Zahira ingin tahu.
"Sayangnya belum. Makanya kami perlu keterangan tambahan dari Anda sekiranya ada orang yang Anda curigai. Saingan bisnis atau musuh suami Anda mungkin," papar Doni.
"Maaf, Pak sebelumnya. Tapi, setahu saya suami saya itu baik kepada siapa pun. Dia tidak pernah berbuat jahat kepada orang. Makanya saya kaget mendengar keterangan dari Pak Doni barusan."
"Mungkin ada teman, kerabat, atau keluarga Pak Abian yang Anda curigai?" Doni bertanya lebih lanjut.
Zahira tampak berpikir. Orang yang selama ini membenci suaminya adalah ibu dan adik tiri dari Abian. "Tidak mungkin mama dan Armand senekat itu. Apalagi beberapa minggu ini mereka selalu bersikap baik terhadap Mas Abian dan aku." Zahira membatin.
"Sepertinya tidak ada, Pak," jawab Zahira akhirnya.
"Kalau begitu mungkin ini persaingan bisnis. Kami akan menyelidikinya lebih lanjut," ujar Doni.
"Terima kasih, Pak. Saya harap pelakunya segera tertangkap," ucap Zahira penuh harap.
Siapa pun itu, pelakunya harus segera ditangkap untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
"Ya sudah, Bu. Kami permisi." Dua polisi itu pun pergi meninggalkan rumah sakit.
Zahira memasuki ruangan dimana suaminya masih terbaring lemah dengan beberapa alat menempel di tubuh. Zahira sangat tidak tega melihat keadaan suaminya yang seperti ini.
Istri Abian itu lalu sedikit menarik kursi kosong di sebelah brankar ke belakang untuk diduduki. Dia meraih tangan suaminya untuk digenggam.
"Mas, cepat bangun! Aku kangen sama kamu, Mas. Kamu janjikan sebelum pergi kemarin bahwa kamu akan mengajakku jalan-jalan untuk melihat bintang di puncak. Kamu harus memenuhi janjimu itu, Mas. Kamu juga bilang kan, mungkin kalau kita melakukan itu di puncak dengan suasana yang tenang, Abian junior pasti akan bisa secepatnya hadir. Kamu bilang, kamu tidak akan pernah membiarkan aku keluar dari kamar saat di puncak nanti." Zahira terus mengajak suaminya berbicara. Dia berharap semoga Abian bisa mendengar semua celotehnya dan segera bangun.
Ceklek. Pintu perawatan terbuka, seorang wanita paruh baya datang menghampiri Zahira dan memeluknya.
"Yang sabar ya, Nak. Teruslah berdoa agar suamimu cepat sadar."
Wanita itu adalah Ranti, ibu Zahira yang baru saja datang.
"Bu, Mas Abian, Bu," rengek Zahira. Sedari tadi dia berusaha terlihat kuat untuk tidak menangis di depan Sang Suami.
"Iya, Nak. Ibu tahu kamu pasti sedih melihat keadaan suamimu yang seperti ini. Tapi... Ibu yakin kok kalau Abian akan segera bangun. Percaya sama ibu." Ranti mengusap punggung putrinya naik turun.
"Ibu kenapa bisa tahu Mas Abian dirawat di sini?"
"Bik Lastri yang memberitahu ibu. Ibu tahu kamu membutuhkan ibu, makanya ibu langsung ke sini. Apalagi ibu yakin keluarga suamimu itu pasti tidak akan datang. Mereka kan sangat membencimu dan Abian," jawab Ranti.
"Siapa bilang?" tiba-tiba seseorang menyahut dari arah pintu. Dan suara itu tidak asing di telinga Zahira dan juga Ranti.
"Mama, Armand," panggil Zahira saat tahu yang datang adalah ibu tiri dan adik tiri dari suaminya.
Zahira bangun dari tempat duduknya untuk menyalami sang mertua. Tapi, seperti biasa Devita menolaknya mentah-mentah.
"Apa yang terjadi dengan Abian?" tanya Devita ketus.
"Siapa yang memberitahu Mama kalau Mas Abian berada di sini?" bukannya menjawab Zahira balik melemparkan pertanyaan karena setahu dirinya, dia belum menyuruh Bik Lastri untuk mengabari mereka.
"Tadi aku dan Armand ke rumah kalian untuk memberikan undangan perayaan ulang tahun Armand minggu depan. Tapi, orang rumahmu bilang kamu sedang ke rumah sakit karena Abian mengalami kecelakaan," jawab Devita, seperti biasa dengan nada ketus.
"Aku yakin Abian begini pasti gara-gara kamu. Sudah ku bilang kamu itu nggak cocok untuk Abian," omel Devita seperti biasa.
"Maaf, Bu Devi. Yang namanya musibah itu datangnya tak terduga dan itu bukan salah anak saya." Sebagai seorang ibu, Ranti tentu tidak terima anaknya selalu dipojokan dan disalahkan.
"Bukan salah anak kamu gimana? Anak kamu itu pembawa sial. Buktinya sudah dua tahun nikah belum hamil juga," sahut Devita.
"Lho, Bu? Yang namanya hamil itu bukan kuasa manusia. Itu kehendak Gusti Allah."
"Halah. Alasan saja! Harusnya Abian nikah sama keponakanku, pasti dia sudah bisa memiliki anak nggak kayak sekarang."
"Kan keponakan Ibu yang ketahuan selingkuh, masa iya wanita yang sudah selingkuh masih dipertahankan? Aneh Ibu Devi ini." Ranti berdecak sebal.
Devi tak bisa berkata apa pun lagi. Keponakannya itu memang bodoh, sudah jelas dijodohkan dengan Abian yang mapan dan tampan masih saja doyan laki-laki luar.
"Namanya juga khilaf," Devi berusaha membela keponakannya.
"Bu, khilaf itu sekali. Tapi ini? Memangnya saya tidak tahu kalau Inge keponakan ibu itu sudah sering berganti-ganti pasangan?"
"Kamu!"
"Apa?!" Devi memang mantan majikannya, tapi Ranti tidak akan mengalah kalau wanita angkuh itu sudah menjelek-jelekkan putrinya.
"Ibu, Mama, sudah. Kalian tolong berhenti bertengkar! Mas Abian sedang sakit, Bu, Ma," cicit Zahira.
Devita dan Ranti memutar kedua bola matanya.
"Kalau Ibu dan Mama nggak bisa tenang, mending kalian keluar dari ruangan ini karena Mas Abian butuh ketenangan," lanjut Zahira.
Bersamaan dengan itu Abian menggerakkan jemarinya.
"Mas, kamu sudah sadar, Mas," ucap Zahira bahagia.
"Eughh.... " Abian sedikit mengerang sambil perlahan membuka matanya.
"Dimana ini?" tanya Abian sambil memegang kepalanya yang masih terasa berat.
"Alhamdulillah, Mas. Kamu akhirnya sadar." Zahira menangis. Dia bersyukur suaminya akhirnya siuman.
Abian menatap Zahira dengan tatapan aneh.
"Mas, apa yang kamu rasakan? Apa ada yang sakit?" tanya Zahira cemas. Dia kembali menggenggam tangan suaminya.
Zahira tersentak kaget ketika Abian menghempaskan tangannya dengan kasar.
"Mas, ada apa?"
Tidak hanya Zahira yang bingung dengan sikap Abian tersebut. Ranti, Devita, dan Armand juga merasakan hal yang sama.
"Berani sekali anak pembantu sepertimu memegang tanganku!" sentak Abian dengan sorot mata penuh kebencian.
"Mas, aku istrimu. Aku istrimu, Mas. Zahira," ucap Zahira. Dia tidak percaya suaminya akan mengatakan hal yang menyakitkan hati.
"Istriku?" Abian mengulang ucapan Zahira.
"Iya, Mas. Aku istrimu," jawab Zahira lagi. "Lihatlah cincin ini! Cincin ini cincin pernikahan kita, Mas."
Zahira memperlihatkan cincin di jari manisnya dan jari manis Abian. Abian memperhatikan cincin itu dengan seksama.
"Argh! Kepalaku sakit." Abian kembali berteriak sambil memegangi kepalanya.
"Mas... kamu kenapa, Mas? Mas.... " Zahira terlihat panik.
"Nak, tenangkan dirimu! Ibu akan panggilkan dokter." Ranti segera keluar kamar untuk memanggil dokter.
Sementara Abian masih terus berteriak sambil memegangi kepalanya.
Zahira duduk di kursi di samping brankar. Tatapannya kosong setelah mendengar penjelasn dari dokter beberapa saat yang lalu bahwa suaminya mengalami amnesia parsial. Dia melupakan kejadian yang terjadi dalam kurun waktu dua setengah tahun dan hanya mengingat kejadian sebelum kurun waktu tersebut.
"Dari hasil pemeriksaan dan perbincangan saya dengan pasien, sepertinya pasien hanya mengingat kejadian sebelum dia bertunangan. Dia hanya ingat kalau dia dirawat disini karena kecelakaan saat ia mengendarai motor," ujar Sang Dokter menjelaskan.
Zahira memang tidak melihat langsung kejadian yang terjadi 2,5 tahun yang lalu itu. Akan tetapi menurut cerita dari ibunya pada hari itu Abian memang pernah mengalami kecelakaan ringan saat naik sepeda motor.
"Yang sabar ya Nak, ibu tahu ini berat bagimu. Tapi bagaimanapun kamu harus bisa melalui ini. Ibu yakin, Abian akan segera mengingatmu." Ranti mengusap kepala putrinya dengan sayang.
"Tapi... Bagaimana kalau Mas Abian nggak akan mengingat aku sebagai istrinya, Bu? Apa yang harus aku lakukan?"
Zahira memeluk ibunya sambil sesegukan.
"Nak, ibu yakin Abian pasti akan mengingatmu lagi. Percayalah." Ranti terus meguatkan putrinya. "Tapi, kamu juga jangan lupa terus berdoa dan meminta bantuan sama Gusti Allah karena hanya Dialah yang bisa mengabulkan semua doa-doamu."
Zahira mengangguk. Meski kelihatannya sulit, ia yakin kalau suatu hari nanti Abian pasti akan mengingatnya. Pasti.
Devita tersenyum senang setelah mendengar keadaan Abian sekarang. Itu artinya ada kesempatan untuk dirinya dan Armand menguasai harta Abian.
"Bener, Ma kalau Mas Abian amnesia?" tanya Armand untuk memastikan kabar yang baru saja ia dengar dari ibunya itu.
"Seratus persen bener. Dan itu artinya kita bisa memanfaatkan kondisi Abian ini untuk merebut semua hartanya," jawab Devita.
"Caranya?" tanya Armand ingin tahu.
"Kan Abian cuma mengingat kejadian sebelum dia bertunangan dengan Inge. Kita hadirkan lagi saja Si Inge ke dalam kehidupan Abian," jawab Devita. Ia yakin idenya kali ini akan berhasil.
"Tapi, Si Ingekan pernah menyelingkuhi Mas Abian. Memang Mas Abian mau balik lagi sama cewek tukang selingkuh?"
"Mand, mana mungkin Abian ingat itu? Dia aja lupa kalau dia sudah menikah dengan anak pembantu," jawab Devita. Dia sangat yakin kalau Abian juga pasti lupa dengan perselingkuhan yang pernah dilakukan oleh calon tunangannya itu.
"Terus bagaimana dengan Mbak Hira? Dia nggak mungkin diam saja kan kita ngedeketin suaminya sama wanita lain?" ujar Armand.
"Bener juga sih. Tapi, memangnya apa yang bisa dia lakukan wong Abian aja lupa sama dirinya," jawab Devita sambil terkekeh. "Sudah, sekarang kamu telepon Inge. Suruh dia datang ke rumah sakit. Kamu jelaskan juga sama dia tentang rencana kita!" Devita menyuruh Armand untuk segera menghubungi Inge.
"Armand cari tempat yang aman buat nelpon Mbak Inge ya, Ma. Takutnya kalau disini ada yang denger tentang rencana kita."
"Iya. Mama tunggu di ruangan Abian ya."
Armand menjawab dengan mengacungkan ibu jari.
Devita masuk ke ruang rawat Abian. Disana masih ada Zahira dan ibunya yang duduk di samping brankar.
"Dokter bilang apa tentang Abian?" tanya Devita dengan nada ketus. Meski tadi dia sudah mendengarkan secara diam-diam penjelasan dari Dokter tentang kondisi anak tirinya. Tapi, Devita ingin memastikannya sekali lagi.
"Dokter bilang Mas Abian amnesia, Ma. Dia melupakan semua kejadian yang terjadi selama 2,5 tahun ini," jelas Zahira dengan tatapan sendu.
"Berarti Abian lupa dong kalau dia sudah nikah dengan wanita rendahan seperti kamu?" tanya Devita dengan tatapan mengejek.
"Maaf, Bu Devi. Saat ini putri saya sedang bersedih karena suaminya lupa akan dirinya. Jadi, tidak seharusnya Anda mengatai putri saya wanita rendahan." Ranti tentu tidak terima putrinya dianggap wanita rendahan.
"Lho kan memang kenyataannya putrimu itu cuma anak pembantu dan pembantu itu status sosialnya rendah. Jadi, wajar dong kalau anakmu ini saya sebut sebagai wanita rendahan?" ujar Devita.
Ranti hendak menyahut lagi, namun dia urungkan saat Zahira menggenggam pergelangan tangan ibunya sambil menggeleng.
"Bu, aku tidak ingin ada kegaduhan di ruang rawat Mas Abian. Dia butuh istirahat yang cukup untuk memulihkan kondisi kesehatannya. Jadi, please ya, Bu. Apapun yang dikatakan oleh Mama Devi, Ibu tidak usah menggubrisnya!" pinta Zahira.
Ranti mengangguk. Bagaimanapun saat ini yang paling penting adalah kondisi kesehatan menantunya. Ranti hanya berharap semoga Abian bisa segera mengingat istrinya.
"Iya, Ibu akan pura-pura tuli. Apalagi berhadapan dengan wanita sok kaya seperti mertuamu ini. Dia pikir ibu nggak tahu apa kalau dulu dia cuma seorang LC. Dia berhasil menjadi istri Tuan Reegan karena berhasil menjebaknya," sinis Ranti.
Ranti sudah lama bekerja dengan keluarga Reegan bahkan sejak ibu kandung dari Abian itu masih hidup. Dia juga tahu bagaimana akhirnya Devita bisa menikah dengan duda kaya raya tersebut.
"Kamu!"
"Apa?!" Ranti sama sekali tak gentar. Demi membela putri semata wayangnya, dia tidak akan takut pada apa pun.
"Kalian sedang apa?" Abian yang baru saja siuman langsung bertanya.
"Ma, kenapa Mama marah-marah sama Bik Ranti? Apa Bik Ranti melakukan kesalahan?" tanya Abian saat melihat pertengkaran antara Devita dan Ranti.
"Nak Abian, kamu tidak ingat siapa Ibu?" tanya Ranti dia berharap Abian akan mengenalinya sebagai mertua.
"Tentu saja aku ingat, Bik. Bibik adalah Bik Ranti. Bibik adalah pembantu yang paling lama bekerja dengan keluarga kami," jawab Abian. Dia hanya mengingat Ranti sebagai pembantu yang bekerja di rumahnya.
"Nak.... " Ranti ingin mengatakan sesuatu, namun dicegah oleh Zahira. Wanita berhijab itu menggeleng sambil menatap ibunya.
"Bu, Ibu ingatkan kata Dokter? Jika kita memaksa Mas Abian untuk mengingat sesuatu yang sudah dia lupakan, itu malah bisa membuat ingatannya hilang secara permanen. Ibu sendiri kan yang menyuruh Zahira untuk sabar dan percaya bahwa suatu hari nanti Mas Abian bakal kembali mengingat Zahira," ucap Zahira dengan suara sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh Ranti.
Ranti hanya bisa menghembuskan napas berat. Dia memang menasehati putrinya untuk sabar, tapi ternyata dia sendiri justru yang tidak sabaran.
"Bik Ranti, Bik Ranti barusan ingin bilang apa?" tanya Abian.
"Tidak, Nak Abian. Bibik cuma ingin bilang semoga Nak Abian bisa cepat pulih seperti sedia kala karena ada wanita yang menunggu Nak Abian dengan cinta," jawab Ranti.
"Pasti maksud Bibik Inge kan? Aku pasti akan beraha cepat pulih demi Inge. Apalagi sebentar lagi kita akan bertunangan," jawab Abian dengan wajah bahagia.
Ranti tak lagi membuka mulut. Rasanya dia ikut sakit hati karena menantunya justru mengingat wanita lain.
Zahira meraih tangan ibunya. "Tidak apa-apa, Bu," ucapnya tanpa bersuara.
"Ma, kok Inge belum datang? Mama sudah ngasih tahu Inge kan kalau aku sedang dirawat di rumah sakit?" tanya Abian saat tidak melihat keberadaan Inge.
"Sebentar lagi, Nak. Yang sabar ya," jawab Devita. Dia menatap Ranti dan Zahira dengan tatapan mengejek.
"Ma, aku haus."
Buru-buru Devita memberikan gelas berisi air putih yang terletak di atas nakas. "Ini, Nak!"
Devita berlagak menjadi ibu tiri yang sangat baik.
Abian langsung menempelkan bibir gelas itu ke mulut. Namun, saat dia akan menenggak minuman tersebut matanya beralih menatap jari manisnya yang ternyata sudah memakai cincin berwarna perak keputih-putihan.
"Ma, ini cincin apa?" tanya Abian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!