Sebuah Kelahiran
Di suatu malam yang kelam, ketika hujan menari-nari di atas genting dan menghentakkan nyanyian kehancuran, Bima Wira Wijaya lahir. Namun, cahaya harapan yang seharusnya menyinari kelahirannya terbelah oleh kegelapan. Ibu yang berjuang memberinya nafas pertama berpulang dengan lembutnya. Dalam dekap ayahnya, dia tumbuh dengan cerita tentang seorang ibu yang memberikan hidupnya untuk mempertahankan kehidupannya.
Empat tahun berlalu, hujan masih sering menari, dan Bima mulai mengerti arti kehilangan. Ayahnya, seorang polisi yang selalu menjanjikan keselamatan, pergi dalam sebuah tugas yang tak pernah bisa diberitahukan tentang akhirnya. Dia hanya menyisakan ingatan kabur tentang wajah pria berani itu, yang wajahnya tak lagi bisa dilihat oleh mata bocah itu.
Langkah di Panti Asuhan
Dari penerangan redup sebuah lampu, Bima bangkit pada setiap pagi. Pakaian lusuh yang dikenakannya tak mampu menyembunyikan keberanian yang semakin meresap dalam dirinya. Kehidupannya di panti asuhan adalah bukti tentang kegigihan manusia untuk tetap tegar dalam kondisi yang keras.
Bima merapikan pakaiannya dan mengepulkan napas. Dia melewati lorong-lorong yang hening, meraba-raba suasana yang seakan mencerminkan kehidupannya yang tak pernah bercahaya. Ruangan panti itu, dengan dinding yang sedikit luntur dan lantai yang kusam, adalah rumahnya yang tak pernah nyaman. Namun, dalam kesederhanaannya, ia belajar tentang nilai-nilai penting seperti kerja keras, kesabaran, dan solidaritas.
"Ayo baris yang rapi!," teriak seorang suster yang berjaga di hari itu. Sedang anak-anak berbaris demi mendapatkan makanan yang layak.
Setiap langkah yang diambil Bima mengandung jejak kesedihan yang menghanyutkannya dalam kenangan-kenangan yang tak pernah bisa dia lupakan. Saat tidur, dia sering terjaga oleh mimpi yang berubah menjadi kenangan, tentang ibunya yang tak pernah dikenalnya dan ayahnya yang lenyap begitu saja. Momen-momen itu seperti hantu yang menghantui, merasuki pikiran dan hatinya.
"Bim, kamu sudah gede ya sekarang! Maaf ya Bim, ibu gak bisa nemenin kamu.", ucap Ibunya sambil memeluknya dalam bayang-bayang mimpinya.
"Bim, kamu anak yang kuat, kamu harus jadi orang yang baik ya!", pesan ayahnya dalam mimpinya. Semua mimpi-mimpi itu terasa sangat nyala baginya, dan Bima percaya bahwa mimpi itu nyata. Walaupun hanya sebatas mimpi tetapi Bima sangat merindukan sosok ibu dan ayahnya. Sepeninggal ayahnya Bima selalu menyimpan benda peninggalan mereka, sebuah kotak tua yang lusuh berisi kenangan yang sangat berharga baginya.
Dion
Tapi di antara peluh dan air mata masa kecilnya, Bima beranjak dewasa dan menemukan sahabat sejati di SMA. Dion Putratama, pemuda keturunan chinese, rambutnya hitam pendek, berkacamata, jenius dan memiliki senyum yang ramah, selalu membawa laptop kecil di sisinya. Bima terkesima dengan kemampuan Dion di bidang IT yang tak pernah ia kenal sebelumnya. "Hei, Bim! Lihat, aku baru aja bikin program yang bisa menggambar gambar apa pun hanya dengan kata-kata!" Dion menjelaskan sambil menunjukkan laptopnya kepada Bima. Dion dikenal sebagai anak jenius di sekolahnya. Dia selalu cepat dalam belajar dan selalu mendapat nilai paling tinggi. Dion adalah sahabat terdekat Bima.
Pertemuan awal mereka tidaklah baik. Karena Dion adalah siswa pindahan dari SMA lain, Dion mendapatkan bully dari teman-teman sekelasnya pada awal masuk sekolah.
"Eh ada bocah baru nih, bisa kali bagi duit!", bentak Faris si tukang bully sambil menarik kemeja seragam Dion ke atas. Sementara Bima langsung datang dan menghajar Faris dengan pukulan keras hingga Faris tak sadarkan diri. Peristiwa itu berujung pada dipanggilnya Bima ke kepala sekolah.
Bima datang ke kantor kepala sekolah, duduk di depan meja dengan kepala tertunduk. "Maaf pak, Bima cuma nolongin Dion", ucap Bima.
"Jadi gini Bim, bapak udah berkali-kali ngingetin kamu buat gak berantem lagi. Ini udah ke sepuluh kali kamu berantem, dan semua lawanmu kau buat pingsan. Bapak udah nggak bisa nolongin kamu lagi Bim, kalau orang tua Faris dateng dan nuntut sekolah terpaksa Bapak harus keluarin kamu dari sekolah ini.", kata Pak Tio, kepala sekolah.
Sementara terdengar langkah lari sepatu tergesa-gesa dari arah luar, dan tiba-tiba Dion muncul membuka pintu ruangan itu. "Maaf Pak, Dion yang salah. Tolong jangan keluarkan Bima dari sekolah ini, dia sudah menolongku. Seharusnya aku yang harusnya bisa membela diri. Sekali lagi maaf Pak, saya mohon jangan keluarkan Bima Pak", ucap Dion di hadapan Pak Tio dan Bima sambil menunduk.
"Dion, kamu murid baru kan? Bener yang kamu bilang tadi? Kamu gak diancam kan sama Bima?", tanya Pak Tio.
" Bener Pak, Dion jujur Bima gak pernah ngancam aku Pak. Justru Bima bantuin aku Pak", jawab Dion dengan tatapan serius.
"Oke, kalo kasusnya kayak gini Bapak percaya. Bima kamu gak jadi Bapak keluarkan, tapi kalau orang tua Faris menuntut sekolah ini, Dion, Bapak minta tolong kamu harus mau bersaksi", jawab Pak Tio lagi.
"Siap Pak", jawab Dion.
"Makasih Pak, Makasih Dion, kamu udah jujur", kata Bima sambil tersenyum. Pertemuan singkat itu sangat berkesan bagi mereka berdua. Mereka menjadi sahabat sejati.
Lestari
Dan ada juga Lestari Sarasvati, gadis berambut panjang lurus, berwajah lembut dengan mata yang selalu berbinar. Dia melihat dunia dengan rasa ingin tahu yang tinggi, dan tak jarang, ia meminta Bima untuk membaca buku-buku yang ia bawa dari perpustakaan. "Bim, baca ini deh, aku pengen tau prespektif kamu soal buku ini" tanyanya dengan suara lembut, sambil menunjuk buku berjudul "Artefak Tak Dikenal" di tangannya.
"Buku tentang penemuan lagi?", tanya Bima.
"Yang ini beda Bim, artefak-artefak ini belum diketahui asal-usulnya dari mana, bahkan ada yang menyebut artefak ini datang dari peradaban kuno dengan teknologi yang sudah jauh lebih maju dari kita."
"Hmm, menarik", ucap Bima sambil membuka buku yang penuh dengan gambar-gambar artefak kuno. Tapi Bima sedikit terdiam melihat satu artefak batu kristal yang mempunyai simbol tidak asing baginya. Simbol ini ada di sebuah kalung peninggalan turun temurun dari ayahnya. Kalung itu selalu ia pakai. "Simbol ini?! Kayaknya aku pernah lihat simbol ini sebelumnya", kata Bima dalam hati terdiam sejenak tangannya meraih kalungnya dan memegangnya erat dalam genggaman. Lestari lanjut bertanya, "Woy Bim? Kok diem?", sambil menepuk pundak Bima.
Lanjut Bima "Ehh gak kok, Oke Tar nanti aku baca bukunya", lalu ia menutup buku itu dan membawanya pulang.
Naga
Tak kalah pentingnya sosok Naga Mahesa Santiago, bocah dengan senyuman abadi yang selalu tampak ceria. Naga adalah anak tunggal seorang pengusaha sukses Franky Mahesa Santiago, perusahaan Santiago Industries sudah ada secara turun temurun sejak 100 tahun yang lalu. Meskipun terlihat ceria tetapi Naga menyimpan banyak kesedihan, orang tuanya terlalu sibuk untuk mengurus bisnis keluarganya, dan selalu menuntut Naga untuk menuruti setiap kemauan orang tuanya. Yaitu sebagai satu-satunya pewaris bisnis keluarga. Meski Naga lahir dari keluarga yang sangat kaya, Naga selalu memakai pakaian sederhana setiap kali pergi keluar bersama teman-temannya. Penampilannya tak mencerminkan dirinya adalah anak seorang pengusaha sukses. Naga adalah seorang yang paling misterius daripada yang lain.
"Bim, besok jadi kan rencana jalan-jalan kita? Dion sama Lestari juga ikut kok.", tanya Naga
"Mmm, jadi kok, tapi kantongku lagi kosong", jawab Bima.
"Tenang, aku yang traktir", jawab Naga dengan senyuman. Bimapun tersenyum menjawab, "Thank you Ga".
Namun, di balik semua senyum dan tawa, Bima dan Naga memiliki persamaan. Ada banyak momen sedih yang Bima dan Naga sembunyikan. Mereka sering tak bisa menahan air mata saat melihat keluarga lain yang datang menjemput anak-anak dari sekolahnya. Mereka melihat anak-anak lain yang tertawa riang, berangkulan dengan ibu dan ayah mereka. Bima dan Naga hanya bisa berdiri di samping jendela, menyaksikan dengan hati yang hampa.
Di balik ceria teman-temannya, di antara senyum yang mereka bawa, Bima dan Naga menyimpan kesedihan yang mungkin takkan pernah hilang, meskipun mereka tak pernah menceritakan kepada siapa pun.
Persahabatan Bima, Dion, Lestari dan Naga masih berlanjut meskipun mereka sudah jadi dewasa. Setelah mereka lulus dari sekolah SMA, Dion, Lestari dan Naga melanjutkan kuliah sedang Bima bekerja di sebuah kedai kopi sebagai barista.
Waktu kian cepat berlalu seperti angin yang selalu membawa awan untuk menghujani setiap daratan yang ditemuinya. Bima, Dion, Lestari dan Naga kini sudah bekerja. Bima masih setia dengan pekerjaannya sebagai barista. Dion bekerja di perusahaan teknologi terkenal, Quantum Labs. Lestari memilih menjadi wartawan TV nasional, penulis dan juga aktif sebagai aktivis lingkungan. Sedangkan Naga sudah pasti menjadi penerus bisnis keluarganya, Naga tidak punya pilihan lain selain menuruti kedua orang tuanya, meskipun sebenarnya dirinya lebih suka berpetualang menelurusi alam dan tempat-tempat yang baru.
Di sudut kecil pusat kota Jakarta, di antara deru kendaraan dan keramaian manusia, terdapat kedai kopi yang tak menonjol, namun memancarkan pesona damai. Di sini, pagi hari berkumpul dengan senyap, hanya terganggu oleh suara gemerisik biji kopi yang digiling dengan penuh cinta. Dan di balik meja kayu polos, Bima Wira Wijaya, seorang barista muda dengan semangat dan hati yang tulus, mengawal aroma kopi seperti tukang sihir.
Rambutnya yang gondrong mengalir seperti sungai yang gelap, mengingatkan pada malam yang tenang. Berkacamata minus yang tak pernah ia lepas, menghubungkan jiwanya yang penuh dengan impian dan harapan. Pakaian kemeja sederhana yang dikenakannya setiap hari, bagaikan kanvas yang menggambarkan ketenangan di tengah kesibukan kota besar.
"Hai Bim, kayak biasanya ya", ucap Lestari yang baru saja datang. "Oke Tar, udah aku siapin kok, ini Cappucinno Spesial untuk Lestari seperti biasanya", lanjut Bima sambil memberikan secangkir Cappucinno. "Thank you Bim, keren banget cappucinno artnya, sayang banget kalo diminum", kata Lestari sambil memotret foto cappucinno art dari Bima berbentuk mawar dengan smartphonenya. Lalu Lestari duduk di meja tempat biasa mereka berkumpul.
Lestari, sang penjelajah cerita, tengah mendapati kenikmatan dari secangkir cappucinno hangat. Rambutnya yang panjang dan hitam memancarkan pesona misterius, seperti malam yang terungkap dalam sinar bulan. Kacamata di wajahnya memberinya tampilan manis dan tegas. Kemeja formal yang selalu dikenakannya menggambarkan dedikasinya terhadap pekerjaannya sebagai wartawan yang gigih mencari kebenaran di balik kabut dunia.
"Bim, inget gak sama buku ini?", Lestari menunjukan buku Artefak Tak Dikenal kepada Bima. Jawab Bima, "Eh ini kan buku yang kita baca dulu kan Tar? Sampai-sampai dulu kita rela nabung buat ke museum nasional cuma buat ngelihat-lihat artefak ini".
"Tahu gak Bim baru-baru ini ada pencurian artefak peninggalan di museum nasional, nah salah satunya artefak ini Bim", Lestari menunjuk pada sebuah gambar batu kristal dengan ukiran simbol di dalamnya. Bima terdiam sejenak, "Ini kan batu kristal yang dulu, simbol itu tampak sangat amat familiar buatku," kata Bima dalam hati sambil terdiam menatap ke gambar kristal itu sangat lama.
"Lah malah bengong si gondrong ini", ucap Lestari dalam hati. "Bim? Kok bengong?", balas Lestari sambil menepuk pundak Bima. Bima yang tersadar, "Eh, sorry Tar aku akhir-akhir ini kurang tidur aja, soalnya kemarin dapet shift malem", ucap Bima mengalihkan pembicaraan.
"Kebiasaan banget Bim, dari dulu gak berubah ya. Dari jaman rambut kamu masih pendek sampai rambutmu gondrong masih aja suka bengong, mikirin apasih Bim? Cicilan?", ucap Lestari sedikit kesal.
"Udah-udah jangan berantem. By the way rambut Bima emang cocok gondrong Tar. Kalo soal cicilan gak mungkin Bima mikirin, dia udah punya banyak tabungan sekarang, ya kan Bim?", kata Dion tersenyum merangkul Bima. Bima hanya mengangguk.
Duduk berdekatan dengan Lestari, Dion, pemuda yang selalu membawa laptop dimanapun dia berada, sepertinya laptop itu sudah menjadi satu seperti organ dalam tubuhnya. Rambut pendeknya rapi dan matanya yang sipit menyiratkan keliaran dan optimisme. Laptop yang selalu ia bawa, seperti sahabat yang setia mengantarnya dalam dunia di mana kodifikasi menjadi bahasanya.
"Guys, kalian tahu gak akhir-akhir ini banyak perampok", tanya Dion. "Perampok?", lanjut Bima bingung. "Iya perampok-perampok itu menamakan diri mereka "The Silent", mereka biasa memakai cara diam-diam seperti scam, hingga penjualan data pribadi yang bocor. Tetapi tak jarang juga mereka memakai kekerasan fisik secara terang-terangan di publik, memaksa korbannya untuk memberikan data pribadi dan uang tabungan digital mereka", kata Dion.
"Iya sampai sekarang terdapat ratusan kasus perampokan ini, dan dalangnya masih diselidiki polisi, tapi belum ada satupun pelaku yang tertangkap. Mereka melakukan perampokan ini dengan sangat rapi, kasian banget korban-korbannya bahkan sampai ada yang bunuh diri karena frustasi kehilangan tabungannya", lanjut Lestari
Di sudut yang lain, ditemani aroma kopinya, ada Naga, anak orang kaya yang pemurung, seolah tak terikat pada kewajaran dunia. Rambutnya yang pendek rapi, menciptakan kesan teratur yang seolah menyembunyikan kelam dalam hatinya. Pakaian santai yang ia kenakan, kaos polos dan celana pendek, mungkin hanya senandung perlawanan terhadap norma-norma sosial dari keluarganya yang selalu mengekangnya. Naga hanya mendengar percakapan sahabat-sahabatnya.
"Eh Naga, janganlah mojok sendiri, gabung sini!", teriak Bima yang selalu bisa memberi senyuman di wajah murung Naga. Begitu sederhana persahabatan mereka membuat Naga betah berlama-lama menghabiskan waktunya bersama sahabatnya dibandingkan untuk melakukan kegiatan lainnya.
"Santiago Industries juga kena imbasnya guys, banyak supplier bahan mentah kita yang bangkrut karena perampokan ini, mereka mengincar orang-orang kaya sepertiku", lanjut Naga.
"Naga, emang bener ya kamu sekarang ngurusin bisnis ayah kamu?", tanya Lestari. "Iya Tar, sekarang aku dikasih tanggung jawab buat ngurusin bisnis, capek banget deh, apalagi adanya kasus ini. Makanya aku sering-sering kabur kesini buat nyantai bentar", jawab Naga santai.
"Naga, kalau kamu butuh liburan kami siap kok nemenin, tenang kali ini kita bayar masing-masing", lanjut Bima tertawa. Diantara yang lainnya Bima memang yang paling mengerti perasaan Naga.
"Iya Ga, bilang aja sama kami, ntar kita siapin jadwal kosong buat rencanain liburannya", ucap Dion. "Iya, pengen banget rasanya pergi ke alam, aku sudah bosen dengan suasana perkotaan", kata Naga pesimis. "Ga, kamu gak takut jalan pergi sendirian? Kalo perampok-perampok itu dateng gimana?", Bima sedikit kawatir. "Tenang Bim, kan ada kalian yang jagain hahaha", Naga tertawa. "KAU PIKIR KAMI BERANI???!!!", jawab Bima, Dion dan Lestari bersamaan, mereka tertawa lepas.
Keempat manusia ini, seperti serangkaian bintang yang bergabung membentuk rasi bintang dalam malam gelap. Mereka berbagi kisah, tertawa, dan menghapuskan batas-batas waktu. Meskipun kehidupan membawanya pada jalan yang berbeda, persahabatan yang terjalin di antara mereka adalah benang takdir yang mengikat hati mereka. Bersama-sama, mereka mengisi hari-hari dengan kehadiran dan tawa, seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka.
"Bim, kenapa kopimu selalu enak?" tanya Lestari dengan matanya yang berbinar ingin tahu, sambil menyeruput kopi yang menghangatkan tangannya.
Bima hanya tertawa menanggapi pujian. Di antara aroma kopi dan canda mereka, dunia terasa begitu sempurna, seolah tidak ada rintangan yang tak bisa diatasi oleh persahabatan yang kokoh.
Dan di balik deru kota yang tak pernah berhenti, di sudut kecil kedai kopi itu, takdir mereka terjalin dalam setiap hembusan udara, dalam setiap senyuman, dan dalam segelas kopi hangat yang tak pernah berakhir. Dalam kebersamaan ini, mereka menemukan kedamaian dan pengertian bahwa kehidupan yang sesungguhnya bukanlah tentang tempat yang mereka tempati, melainkan tentang teman-teman yang mereka temui di sepanjang perjalanan.
Matahari pagi perlahan muncul di langit Jakarta, menerangi setiap sudut kota dengan sinar emas yang lembut. Di kedai kopi yang tenang dan hangat, Bima, Lestari, Dion, dan Naga berkumpul seperti biasa. Bima sebagai pegawai datang lebih awal, kemudian Lestari, Dion dan Naga muncul satu persatu memesan kopi seperti biasanya. Kedai itu masih baru saja buka, belum ada pelanggan lain. Seperti biasa mereka bercanda, membicarakan kehidupan mereka masing-masing. Namun, takdir sedang merentangkan benang-benangnya, dan mereka tak menyadari bahwa hari ini akan menjadi hari yang berbeda.
Tiba-tiba, suasana itu pecah oleh datangnya sekelompok sepuluh orang berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup topeng hitam, membawa senjata-senjata mematikan di tangan mereka. Setiap langkah mereka menusuk tanah dengan keras, seolah-olah mereka adalah badai yang datang untuk merusak ketenangan. Mereka membuka pintu dan masuk dengan arogan.
Bima merasakan perubahan dalam atmosfir. Wajah-wajah yang tadinya tertawa dan berbincang-bincang, kini membeku dalam ketakutan. Tapi tak ada yang lebih mencolok daripada ketenangan yang tampaknya melekat pada Naga. Dia duduk di sudut kedai, tampak santai seperti biasa, seolah-olah tak ada yang aneh terjadi.
"Kami mencari Naga Mahesa Santiago. Tunjukkan dimana dia!" teriak salah satu dari mereka dengan suara serak yang teredam oleh topeng hitam.
Naga berdiri mengangkat tangan dengan santai, tak terkejut atau takut oleh situasi yang ada di depannya. Pandangannya mengunci pada Bima, Lestari, dan Dion dengan sejuta makna yang tak terungkapkan.
"Oh, jadi kamu Naga Mahesa Santiago?" ujar pemimpin kelompok dengan nada mengancam.
"Aku Naga Mahesa Santiago. Aku yang kalian cari. Jangan kotori tempat ini." Naga menjawab sambil menunjukan KTPnya dengan tenang, suaranya terdengar lembut di tengah keguncangan yang menyelimuti.
Lestari terlihat sangat ketakuan, dia menangis, "Tolong jangan bawa dia", ucapnya setengah. Dion menutup mulut Lestari "Jangan Tar, aku sudah mengirim sinyal ke polisi dengan program daruratku mereka pasti datang sebentar lagi", kata Dion menenangkan Lestari. Mereka tahu bahwa Naga adalah target perampokan ini, dan terjebak dalam situasi yang jauh di luar kendali mereka.
"Tenang Tar, Dion, Bima, aku pasti baik-baik saja." kata Naga kepada Bima, Lestari, dan Dion dengan tatapan penuh arti. "Jangan sakiti mereka! Mereka tidak ada hubungannya denganku!", ucapnya lagi ke perampok-perampok itu.
Sementara itu, dalam keheningan yang tegang, Bima merasakan sesuatu yang aneh. Ada suara bisikan yang menggelitik telinganya, seolah-olah berasal dari dalam dirinya sendiri. "Sudah waktunya kamu tahu siapa dirimu sebenarnya, Bima," bisik suara itu.
Begitu Bima mendengar suara bisikan itu, sesuatu dalam dirinya meledak. Ia melihat wajah-wajah yang tak terlihat oleh mata orang lain, seperti bayangan di balik nyata. Mata Bima berbinar dengan tekad dan keberanian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dia meraih handuk kain di dekatnya dan melingkarkan di tangan kirinya, menggunakannya sebagai perisai yang sederhana.
Dalam sekejap, tangan Bima telah berubah menjadi senjata. Dia meloncat ke depan, mempertaruhkan nyawanya, dan dengan gerakan yang cepat dan tiba-tiba, meluncurkan serangan pertama ke arah salah satu perampok. Handuk yang terlipat rapi tadi meluncur seperti cambuk yang terurai, membelah udara dengan cepat. Perampok itu tak punya kesempatan untuk bereaksi, dan jatuh dengan sakit di lantai.
Dalam sekejap, kisah keberanian Bima menjadi suatu kenyataan yang spektakuler. Dia mengayunkan handuk itu dengan kecepatan dan keahlian yang luar biasa kepada perampok kedua, dia kemudian memberi pukulan, tendangan kepada perampok itu membuatnya terjatuh.
Perampok ketiga mengarahkan pistol ke arah Bima dan menembakkan tembakan ke arah Bima. Bima menangkis semua tembakan dengan tengan kosongnya, peluru itu berjatuhan ke lantai dengan asap yang menggumpal. Lalu Bima maju perlahan dan melompat mengirimkan tendangan ke arah muka perampok ketiga, membuat perampok itu terjatuh kesakitan.
Melihat serangan beruntun dengan kemampuan fisik yang tak terduga membuat perampok-perampok itu berada dalam kebingungan yang total. Kekebalan tubuh Bima mengherankan semua perampok disana.
Lalu perampok ke empat berlari ke arah Bima "Bajingan!", teriaknya sambil melepaskan pukulan tajam ke arah muka Bima. Tiba-tiba Bima dengan kecepatan luar biasa mengelak dari pukulan itu dan mendorong perampok itu dari belakang dengan pukulannya hingga terjatuh.
Sementara itu, Naga menyaksikan aksi Bima dengan mata terbelalak kagum. Dia tak pernah menduga bahwa Bima memiliki kemampuan seperti ini. Lestari dan Dion, yang awalnya cemas, merasa sedikit lega melihat perlawanan sengit yang diberikan Bima.
Namun, situasi menjadi lebih rumit ketika pemimpin perampok berhasil mendapatkan kendali atas situasi. Dia menarik keluar pistolnya dan mengarahkannya ke arah Naga. "Jangan bergerak, Santiago! Kau tahu apa yang kami inginkan," ancamnya.
Naga tetap tenang, tapi wajahnya mengisyaratkan ketidakpuasan. Dia tahu bahwa takdirnya telah menciptakan situasi ini, dan ia siap menghadapinya.
Dengan kecepatan yang diluar batas Bima melompat terbang melepaskan tendangan ke arah pimpinan perampok itu, tendangan itu mendarat dengan pasti dan keras ke arah mukanya sehingga pistol itu terlepas dari tangan pimpinan perampok itu dan terjatuh ke lantai.
Namun, tiba-tiba, suara sirine polisi memecah kesunyian. Gerombolan The Silent menjadi panik. Mereka merasa terjebak dalam jebakan yang tak terduga. Dalam kepanikan, mereka berlarian membantu rekan-rekannya yang sudah terjatuh, menopang tubuh-tubuh mereka yang kesakitan dan berlarian menuju pintu dan meninggalkan kedai kopi dengan cepat.
Bima tetap berdiri dengan napas tersengal-sengal, penuh keringat dan rasa kemenangan. Senyuman lega menghiasi wajahnya. Sementara pandangan wajahnya mengarah menuju kedua tangannya, seperti tak percaya apa yang baru saja terjadi dengan dirinya. "Apa yang terjadi? Kekuatan apa ini?", tanya Bima dalam hari.
Lestari dan Dion juga menghela nafas lega, merasa terbebas dari ancaman perampok yang mendebarkan.
Naga mendekati Bima dengan tatapan yang penuh penghargaan. "Bim, makasih ya. Tenang aku yang bakal ganti semua kerusakannya" katanya sambil tersenyum. Meski dalam hatinya terus berputar pertanyaan "Siapa Bima sebenarnya? Kekuatan apa itu? Peluru itu tidak menembus kulitnya?", ucap Naga dalam hati. Bima yang masih terdiam terkaget, mengangguk, dan tersenyum.
"Syukurlah kita baik-baik saja," kata Lestari dengan suara gemetar, masih terguncang oleh peristiwa tadi.
"Bim kamu hebat," ujar Dion, menghargai tindakan heroik Bima. Sementara itu polisi datang menanyakan apa yang barusan terjadi, dan mereka memberikan informasi tentang The Silent yang baru saja hampir membawa Naga.
Namun, Bima merasa ada yang telah terbuka di dalam dirinya. Ia merasakan bahwa suara bisikan tadi adalah panggilan untuk lebih banyak lagi. Panggilan untuk menemukan dirinya yang sebenarnya dan memahami kekuatan yang tersembunyi di dalamnya.
Di sudut kecil kedai kopi yang penuh kenangan, mereka merayakan kemenangan kecil mereka dan merasakan benang takdir yang mengikat persahabatan mereka semakin erat. Kehidupan mereka mungkin telah berubah, tetapi mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka siap menghadapi segala hal yang datang di masa depan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!