NovelToon NovelToon

Selamat Datang Cinta

1. Sederhana

Sosok yang menawan itu bukan yang menonjolkan banyak kemampuan. Namun, sosok sederhana yang bersahaja.

°°°

Ardinan Nawwaf, adalah seorang guru tetap di sebuah SMA swasta yang cukup terkenal. Dia dikenal sebagai guru yang memiliki wawasan yang luas, meski dia adalah seorang guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Pak Dinan, begitu seluruh warga sekolah memanggilnya. Sosok yang banyak bekerja dari pada sekadar berbicara.

Pagi yang cerah, pagi ini adalah masa dua bulan sebelum semester satu berakhir. Di mana, waktu ini adalah banyak target yang ingin ditempuh. Tak terkecuali Dinan, dia juga ingin menilai sejauh mana tanggapan siswa-siswinya menerima hal yang dia ajarkan.

Pagi ini Dinan datang lebih pagi dari biasanya, dia mengenakan kemeja warna biru muda dengan celana warna hitam pekat. Warna biru adalah seragam yang sudah menjadi kesepakatan bersama seluruh dewan guru. Dinan melangkah dari parkir depan menuju ruang guru yang cukup jauh, sesekali dia mengangguk dengan bibir segaris saat disapa oleh para siswa dan siswi yang sudah datang.

"Assalamualaikum," salam Rindu, salah satu staf administrasi sekolah.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Dinan berhenti di depan ruang tata usaha yang cukup ramai di pagi hari.

"Tumben pagi?" tanya Rindu, sosok perempuan berusia pertengahan tiga puluhan.

"Iya, mau gandakan soal." Dinan berkata dengan nada datar, tak ada sedikitpun intonasi. Padahal dia adalah guru bahasa Indonesia yang pada kesempatan akan membacakan puisi untuk anak didiknya.

"Udah dinyalakan kok," kata Rindu sambil memberikan kode dengan dagunya ke mesin fotocopy.

"Terima kasih." Dinan melangkah meninggalkan Rindu yang sudah kembali sibuk dengan kolom Exel di depannya.

Dinan sibuk mengeluarkan lembaran kertas yang ada di dalam map. Kemudian dia memilih beberapa lembar soal yang dia buat semalam. Dinan bukan guru yang suka memberi soal setiap saat, bahkan dia terkenal sebagai guru paling dipuji oleh anak didiknya karena hanya hitungan jari akan memberi pekerjaan rumah dalam satu semester.

"Tumben Pak," kata Doni salah satu staf tata usaha.

"Iya, mau evaluasi akhir semester." Doni mengangguk, dia tahu benar karakter Dinan yang pendiam dan berbicara seperlunya.

"Dapat berapa kelas tahun ini?"

"Batas minimal jam mengajar," kata Dinan meletakkan kertasnya di atas kaca kemudian menutup dan menekan tombol pengaturan.

Dinan menghadap ke arah Doni, "undang yang kemarin beneran?" Doni mengangkat wajahnya, kemudian tersenyum.

"Ya, kenapa terkejut?" Doni dan Dinan memang sudah saling kenal, bahkan dulu keduanya memasukan lamaran pekerjaan ke yayasan ini bersamaan walaupun Doni lebih dulu mendapat panggilan.

"Sedikit." Dinan membalik badan dan mengurusi kertas yang dia kopi, hal itu membuat Doni berdecak sebal.

"Jangan lupa datang, siapa tahu ketemu jodoh." Dinan menoleh sejenak kemudian mengangguk.

••••

Dinan berjalan menuju kelas X-e yang ada di bangunan paling barat dekat perpustakaan. Kelas itu menjadi kelas favorit bagi dirinya, selain karena banyak anak didiknya yang aktif dalam belajar juga karena letaknya yang berdekatan dengan perpustakaan, tempat paling nyaman dan disukai oleh Dinan.

"Assalamualaikum," salam Dinan saat memasuki kelas, dan bisa di lihat para siswa dan siswi yang awalnya berhamburan langsung mengambil duduk. Bahkan ada beberapa anak yang berebut duduk karena terkejut.

"Sudah siap?" tanya Dinan menatap anak didiknya yang mulai tenang.

"Siap pak," seru anak didik Dinan dengan kompak.

"Baiklah, Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh."

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."

"Mari belajar kita awali dengan bacaan basmalah bersama." Dinan mengatakan kemudian disambut serempak oleh peserta didik. Sekolah ini memang SMA swasta namun sekolah ini berbasis Islam.

"Seperti biasa, silahkan ambil alat tulis dan alas ujian. Karena sesuai dengan informasi dua hari yang lalu bahwa hari ini kita akan mengadakan evaluasi akhir semester satu." Dinan mulai membuka lembar soal di map.

"Pak kasih waktu 10 menit untuk belajar ya?" kata salah satu siswa yang memiliki niat untuk mengolor waktu.

"Maaf, kemarin sudah dijelaskan jadi belajar dilakukan saat berada di rumah atau paling lambat sebelum saya masuk ke dalam kelas."

"Yaaah," seru beberapa anak dengan pasrah.

"Lagi pula ini bahasa Indonesia, jika kalian sudah menerima materi saya pasti kalian bisa mengerjakannya. Bahasa Indonesia itu menggunakan pengetahuan pasti yang hanya perlu kita nalar sedikit." Dinan menjelaskan kepada para siswanya.

"Baiklah saya bagikan dan tolong berperilaku jujur," kata Dinan dan diangguki beberapa anak. Dinan membagikan setiap soal ke meja. Dia tidak malas dan meminta salah satu siswa tapi dia berjalan sendiri untuk menghampiri siswa dan sisinya, karena menurutnya ini bisa membangun chaimistry dalam pendidikan.

"Jawaban langsung di lembaran soal," kata Dinan mengamati satu persatu siswanya.

"Silahkan dikerjakan!" Dinan berjalan menuju belakang. Dia akan mengamati siswanya dari belakang.

"Jika ada yang tidak paham atau salah penulisan, tolong tanyakan langsung kepada saya jangan mengganggu aktivitas temannya," kata Dinan memberi peringatan. Namun peringatan tetaplah sebuah peringatan karena sebagian siswa lebih nyaman bertanya kepada temannya dari pada kepala gurunya.

Dinan hanya tersenyum tipis saat ada salah satu anak didiknya yang sedang bertanya kepada temannya namun dicuekin. Dia tahu, bahwa ada sebagian siswa atau siswi yang nampak terlihat bersaing dengan satu teman lainnya. Dia ingin tampak terlihat di matanya dengan siswi yang berprestasi. Dia tahu itu, namun dia tidak mau ambil pusing tentang semua itu.

•••

Dinan berjalan menuju koperasi yang berjarak sekitar empat ruangan dari kantor, dia melangkah dengan pelan hingga salah satu murid menghalangi langkahnya.

"Maaf Pak," kata siswi perempuan itu dengan malu-malu.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya Dinan menatap bet nama yang tergantung di jilbab.

"Em, itu pak anu," kata siswi yang diketahui bernama Dinda.

"Iya," kata Dinan tidak sabar. Dia ingin segera sampai di koperasi membeli kertas HVS kemudian segera pulang.

"Anu Pak," Dinan mundur satu langkah kemudian memasukkan dua tangannya di saku celana.

"Kalau hal itu penting segera ucapkan, namun jika tidak penting biarkan saya melanjutkan perjalanan. Hari semakin sore jadi saya harus segera pulang." Dinda menggaruk kepala belakangnya, dia merasa canggung.

"Mau bicara?" tanya Dinan, Dinda mendongak kemudian menunduk.

"Saya cuman diminta menyerahkan ini," kata Dinda mengulurkan tangan yang ternyata membawa sebuah kertas yang dilipat.

"Ini buat saya?" tanya Dinan mengacungkan kertas yang dilipat rapi di depan dadanya.

"Iya Pak?" Dinan menatap wajah Dinda aneh, kemudian Dinan mengerti bahwa gadis yang di depannya ini sedang dikerjai teman-temannya atau sedang berusaha menarik perhatiannya. Dia menoleh ke arah kaca yang ada di kelas IPA dan di sana nampak dua siswi yang sedang mengintip.

"Baiklah, terima kasih. Sekarang saya boleh pergi?" Dinda mengangguk dengan antusias, sama antusiasnya dengan detak jantungnya yang menggila.

Dinan tersenyum mengamati kertas itu kemudian melipat dan memasukkan ke dalam kantongnya. Ini bukan pertama kalinya ada murid yang mengirim surat tulisan, bahkan dia sudah sering menerima. Biasanya mereka menulis puisi atau sajak dan ada juga yang menulis surat cinta atau sebatas curhatan tentang orang tua, pacar atau mantan. Dan semua itu diterima oleh Dinan dengan santai, kadang dia juga memberi saran secukupnya bagi sebagian siswinya yang memerlukan. Mungkin inilah pesona seorang Dinan, dia tak banyak bicara namun banyak bekerja. Dia sederhana dengan segala kelebihannya.

°°°

posting : 12 November 2019

-Mawarmay-

2. Si Pendiam

"Diam itu emas. Allah menciptakan satu mulut dan dua telinga, dengan hikmah kita harus banyak mendengar daripada berbicara."

••••

"Sudah sholat?" tanya Rina guru boga di bidang pengelolaan makanan.

"Belum Bu." Amira menjawab sambil meletakan beberapa proposal anak didiknya untuk acara gelar karya akhir semester.

"Sholat saja dulu, nanti kita baca ulang. Saya tidak sholat soalnya," kata Rina dengan nada keibuan. Ya, Rina adalah wanita berusia awal empat puluh jadi jiwa keibuannya tampak kental dibandingkan dengan Amira yang baru berumur dua puluh empat tahun.

Amira mengangguk kemudian dia mengambil mukena yang ada di laci, "tunggu aja sebentar. Tadi saya sudah SMS bu Fina untuk sholat bersama." Amira mengangguk tanda mengerti. Rina hanya tersenyum kecil melihat tanggapan partner gurunya selama sebulan ini.

Amira adalah sosok pendiam tapi juga banyak bicara. Amira akan diam jika diam tidak diajak bicara atau membicarakan hal yang tidak dia kehendaki, namun dia akan menjadi lawan bicara yang seru di berbagai hal yang dia kehendaki. Amira cenderung banyak bicara jika berinteraksi dengan anak-anak didiknya karena memang hal itu yang dibutuhkan saat kita terjun langsung ke dapur.

Amira kembali duduk, dia menunggu guru dari ketrampilan lain sambil membuka ponselnya. Dia membuka aplikasi *******, aplikasi yang dia gunakan untuk menyalurkan hobi membaca. Amira terhanyut pada salah satu cerita dia melupakan hal yang sedang dia lakukan yaitu menunggu.

"Bu Mira," panggil Rina membuat Amira menekan tombol back dan tersenyum tanda mengerti. Kemudian Amira berpamitan keluar ruangan bergabung bersama guru-guru lainnya yang akan pergi ke masjid sekolah.

"Bagaimana persiapan gelar karya, Boga?" tanya Nirmala salah satu guru yang usianya tak jauh dengan Amira.

"Masalah dekorasi dan kepanitiaan sudah terbentuk, hanya tinggal mengoreksi beberapa menu yang diajukan anak-anak." Amira menjawab dengan jelas.

"Konsep baru atau konsep sama seperti sementar yang lalu?"

"Ada yang baru, nanti beberapa anak akan melakukan demo masakan sesuai dengan menu pilihan pembeli. Jadi pembeli bisa melihat masakan yang dibeli dikelola dengan benar atau tidak. Terus ada hal baru lagi kok  terlalu panjang kalau dijelaskan." Amira tersenyum tipis kemudian menunduk.

"Santai saja sama saya Bu Mira. Toh usia kita tidak  berjarak jauh," kata Nirmala melihat kecanggungan yang mulai nampak dari sikap Amira.

"Bu Mira asal mana?" tanya Nirmala.

"Saya dari luar kota Bu, kalau Bu Mala?"

"Saya Deket kok, di perumahan Puspa."

"Yang ada di jalan Handayani itu ya, Bu?"

"Iya, main kalau luang. Saya di blok A2 nomor 123." Amira tersenyum tipis sambil mengangguk.

"Kalau kamu tinggal di mana?" tanya Nirmala.

"Saya dulu kuliah di universitas Kota. Jadi selama setahun ke depan masih ada kontrakan hasil patungan sama teman."

"Jauh banget universitas Kota ke sini," komentar Nirmala.

"Ya lumayan, tapi kan saya masuk siang jadi tidak terlalu repot." Nirmala mengangguk kemudian keduanya berpencar dari guru yang lain saat di tempat wudhu.

"Hari ini jadwal pak Dinan yang jadi imam sholat, jadi pasti masjid penuh."

"Ya, siapa juga yang mau melewatkan suara merdu pak Dinan."

"Eh, pak Dinan masih single loh, bisa digaet."

"Emang situ mau punya suami guru sendiri?"

"Kan gak ada salahnya, toh mbak Siska anak kelas duabelas pacaran sama pegawai TU."

"Ya, nambah sejarah begitu gak papa."

Amira hanya menggelengkan kepalanya mendengar sekelompok siswa yang sedang berbincang sesuatu yang sangat aneh menurutnya. Bukan karena ada murid yang menyukai gurunya hanya saja karena murid itu memiliki niat yang tidak tulus menurut Amira.

"Kenapa?" tanya Nirmala setelah membenarkan posisi jilbabnya.

"Gak papa," kata Amira maju untuk wudhu.

°°°

Amira masuk ke dalam ruangan ketrampilan sambil menunduk, dia tidak akan heran jika para siswi menyukai sosok guru bernama Dinan. Karena selain bersuara merdu ternyata memiliki wajah yang lumayan enak dipandang. Bukan sekedar enak dipandang namun menenangkan saat dipandang. Tapi, semua itu tidak bisa mengusik hati Amira yang sudah ditutup dengan rapat dan membangun dinding-dinding pembatas yang kokoh.

"Assalamualaikum," salam Amira masuk ke dalam ruangan yang sudah berisi beberapa siswi yang sudah berganti kostum ketrampilan.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."

"Proposal udah dikoreksi semua, Bu?" tanya Amira setelah meletakkan mukena.

"Tinggal menentukan menu dan menunjuk anak yang bertugas untuk demo masak. Sepertinya kita ambil dari kelas sebelas semuanya." Amira menoleh kemudian mengangguk.

"Memangnya anak kelas sepuluh belum siap Bu?" Rina menoleh sejenak.

"Kelas sepuluh masih pengelolaan bahan berat. Seperti pengelolaan masakan sederhana." Amira mengangguk kemudian dia mulai membuka proposal daftar menu. Dia sesekali menatap anak didiknya yang saat ini tengah konsentrasi mendengarkan penjelasan Rina tentang rencana konsep yang dipakai saat gelar karya.

"Jadi untuk kelas sepuluh nanti hanya menjaga standar saja, dan bagian demo masakan Ibu ambil dari kelas sebelas." Amira melihat berbagai ekspresi dari wajah yang duduk di depannya. Dia tahu kemampuan anak kelas sepuluh belum setara dengan kemampuan kelas sebelas yang sudah lebih dari satu tahun yang mendalaminya.

"Nanti kalian yang resepnya sudah di ACC oleh Bu Mira kalian bisa pindah ke ruang samping melihat chef Ardi melakukan demo sebagai materi praktikum akhir semester satu." Amira berdiri sambil membawa tumpukan kertas yang berisi dua resep. Satu resep masakan tradisional dan yang satu adalah masakan kontinental.

"Maaf, ketua kelas bisa membagikan kemudian yang sudah bisa langsung pindah ruangan." Amira mengatakan sambil memberikan tumpukan kertas kepada Aina ketua kelas boga satu.

"Bu Amira mau pindah ke ruang sebelah?"

"Iya, saya tadi diminta chef Ardi untuk mendokumentasikan." Bu Rina tersenyum kemudian mengangguk tanda setuju. Amira mengambil ponselnya dan memasukkan ke dalam saku kemudian berpamitan kepada  Rina yang sedang mengoreksi laporan wirausaha.

Amira berjalan sambil menunduk karena merasa lantainya sedikit lengket, terlihat dari langkahnya yang sedikit kesulitan.

"Kenapa Bu?" Tanya pak Agus, guru tata busana.

"Ini Pak, lantai sedikit lengket." Amira berkata sambil menunduk menatap kakinya yang terbungkus kaus kaki.

"Oh mungkin tadi ngepelnya kurang bersih." Amira mengangguk kemudian Agus berjalan lebih dulu menuju ruangan yang berada di samping ruangan yang dituju Amira. Keduanya saling mengangguk saat berpamitan.

Amira berdiri tepat di pintu saat chat Ardi juga sedang di depan pintu, membuat keduanya terkejut.

"Baru saja saya mau menyusul ke sana." Chef Ardi berkata dengan sopan untuk menghilangkan rasa canggung beberapa saat.

"Maaf," kata Amira kemudian dia masuk ke dalam ruangan.

"Mixer yang besar ada, bukan yang manual?"

"Ada di ruang alat. Mau diambilkan?"

"Tidak perlu, biar saya meminta tolong pada salah satu siswa." Amira mengangguk kemudian dia mengambil duduk di paling belakang agar bisa melihat dengan jelas dan video akan terlihat lengkap. Amira duduk sambil mengutak-atik kameranya, dia ingin mendapatkan sport yang bagus dengan pencahayaan yang baik.

"Tadi bahasa Indonesia ulangan di kelas kamu?" tanya salah satu siswi. Amira mengamati, dia ingin tahu apakah sekelompok anak itu akan saling membocorkan informasi tentang ulangannya.

"Sulit gak?"

"Lumayan mudah kok, sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh pak Dinan."

"Dlo, di kelas kamu pak Dinan yang ngajar?"

"Iya, di kelas kamu siapa?"

"Bu Mina, kan beliau wali kelasku. Wah enak ya diajar pak Dinan. Bisa sambil cepe-cepe." Amira tersenyum tipis mendengar ucapan genit salah satu siswinya. Dia heran mengapa Dinan begitu terkenal di kalangan siswi, padahal tidak diajar juga.

"Cepe-cepe, pak Dinan itu orangnya lurus." Amira menaikan alisnya, dia baru saja mendengar salah satu muridnya mengatakan lurus. Dia tersenyum dalam hati, masih adakah lelaki yang lurus beredar di publik, dia tidak yakin.

Amira mendengar suara chef Ardi yang memulai membacakan bahan-bahan dia segera berdiri dan sedikit mendekat untuk mendapatkan gambar dan melupakan kelanjutan perbincangan siswi yang ada di belakang.

°°°

3. Evaluasi

~Bukan hanya takdir yang menentukan sesuatu terjadi, tapi usaha juga berperan penting di dalamnya.~

°°°

Pagi ini adalah pagi yang berbeda untuk Amira, bukan karena biasanya pagi terasa cerah kemudian berubah menjadi mendung. Akan tetapi dikarenakan dia harus berangkat pagi, seperti para siswa pada umumnya.

Senin sibuk, itulah yang terjadi pada Amira saat semalam mendapat kabar tentang rapat evaluasi yang dilakukan secara mendadak setelah upacara bendera. Biasanya rapat seperti ini dilakukan sebulan sebelum ujian, namun entah karena apa rapat ini dimajukan sepekan lebih awal.

Rapat evaluasi adalah rapat menentukan naskah ujian dan segala sesuatu mengenai jalannya ujian semester mulai dari tim kepanitiaan hingga pembagian tugas guru kegiatan akhir semester. Amira berdiri di halte bus dekat rumah kontrakannya sejak pukul enam lima belas. Dia sengaja mengambil kendaraan pagi supaya tidak berjubal.

Amira adalah seorang rantauan yang memanfaatkan kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi, bukan karena tidak memiliki namun lebih tidak bisa mengendarai. Amira, walau dia hanya seorang guru honorer, akan tetapi dia memiliki sebuah bisnis shop yang dia jalani bersama sahabatnya sejak kuliah.

Jadi jika hanya sekedar untuk membeli motor second dia masih mampu.

Tak membutuhkan banyak waktu bus AC berwarna oranye dan putih itu berhenti menghampiri dirinya di pinggir jalan dan tak membutuhkan waktu yang lama Amira segera masuk dan mengambil tempat duduk.

"Karcis," kata seorang kondektur.

"Yayasan Kota," kata Amira sambil memberikan beberapa lembar uang sesuai dengan tarif yang biasa dia bayar.

Tak membutuhkan waktu yang lama, bus segera menepi di depan halte dekat yayasan Kota, Amira turun melalu melalui pintu depan kemudian dia langsung berlari ke halte karena hujan turun.

Amira mengibaskan jilbabnya kemudian dia mengambil payung lipat yang dia bawa setiap hari di paper bag. Dia membuka kemudian berjalan dengan pelan-pelan masuk gang menuju sekolah.

Hujan di bulan Oktober, membuat upacara bendera tidak bisa dilakukan. Amira tersenyum tipis saat mengingat masa SMA yang sangat bahagia jika tidak jadi melakukan upacara bendera.

Tin...tin...

Sebuah mobil berjalan lambat di samping Amira, dia sedikit heran kemudian dia berhenti bertepatan pada mobil itu juga berhenti. Kaca mobil terbuka nampak Nirmala dengan senyumnya.

"Yuk bareng," kata Nirmala pelan. Amira menatap ke arah orang yang mengemudi kemudian menggerakkan kepalanya tanda tidak setuju.

"Terima kasih, Bu Mala duluan saja, saya sudah terlanjur basah." Nirmala menatap ke arah kaki Amira yang nampak becek kemudian dia mengerutkan keningnya.

"Ya sudah kami duluan," kata Nirmala berpamitan dan mobil pun berjalan meninggalkan Amira yang sedang menghela napas. Amira kembali berjalan dan gerbang depan sudah terlihat.

Amira masuk melalui gerbang depan di sana sudah ada beberapa anak yang berdiri untuk menjaga ketertiban siswa. Amira mengangguk saat disapa oleh beberapa anak didiknya. Amira langsung berjalan menuju teras terdekat kemudian melipat payung yang dia gunakan dan memasukkan ke dalam paper bag sebelumnya dia bungkus dengan plastik. Setelah semua tapi Amira berjalan dengan santai menuju ruang guru yang tinggal beberapa langkah lagi.

Amira menyempatkan diri mampir ke toilet sebelum masuk ruangan. Dia mengganti sendal jepitnya dengan sepatu kemudian dia berjalan menuju pintu sebelah kanan ruang guru.

"Bu Mira," panggil salah satu siswi yang dia ketahui kelas sepuluh.

"Assalamualaikum," salam siswi itu sambil menjabat tangan Amira.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, ada yang bisa dibantu?" Amira menatap Dila dengan wajah datar.

"Ini Bu, mau ngumpulin buku laporan wirausaha." Amira menaikan alisnya.

"Bukankah harusnya ke bu Rina?" Dila tersenyum canggung.

"Tadi udah nyari bu Rina tapi gak ada." Amira mengangguk.

"Ya sudah saya terima," kata Amira dengan senyum segaris.

"Terima kasih Bu."

"Sama-sama, tolong beritahu anggota kepanitiaan inti gelar karya untuk menemui saya ya," kata Amira. "Dan sekarang giliran saya yang mengucapkan terima kasih." Amira melanjutkan dengan nada ramah.

"Sama-sama," jawab Dila dengan senyum geli. Dia jadi merasa akrab dengan guru boga barunya.

"Ada pak Dinan." Bisik teman Dila yang masih didengar oleh Amira membuat dia tersenyum kecil. Sungguh dia merasa terintimidasi saat para penggemar guru tampan itu membicarakan tokoh pujaannya.

"Tidak ada lagi?" Amira bertanya dan dua siswi di depannya sudah tidak menjawab, mungkin karena sudah ingin pergi dan menghampiri sang idola.

"Ya sudah saya duluan. Assalamualaikum." Amira membalikan badan sambil menatap ke arah dua guru yang sedang berbincang di depan pintu ruang guru sebelah kiri. Amira menunduk kemudian masuk ke dalam ruangan seraya mengucapkan salam.

Amira menatap ruangan panjang yang nampak begitu ramai, dia merasa canggung namun dia tetap berjalan menjabat tangan satu-satu guru yang sudah datang.

"Bu Mira kok basah?" tanya Tia guru matematika yang duduk semeja dengannya. Ya, di sekolah ini setiap meja di isi dengan dua guru dan kebetulan Amira duduk dengan Bu Tia, guru yang bisa dibilang sudah berumur dan menggeluti bidang sejenis angka-angka.

"Oh, ini tadi terkena air di perbatasan koridor tata usaha dan ruang komputer." Amira meletakan tasnya di atas meja.

"Iya, di sana airnya deras sekali." Tia menimpali ucapan Amira kemudian keduanya sibuk dengan kertas yang ada di depannya.

"Bu Mira sudah membuat laporan perkembangan siswa."

"Alhamdulillah sudah," Amira menjawab dengan sopan. Dia memperkirakan umur Tia seusia dengan umur ibunya. Mengingat hal itu membuat Amira merindukan sang ibu yang ada di luar kota.

"Kalau ada kesulitan bisa tanya ke rekan guru yang lain," kata Tia menoleh ke arah Amira dan menatap dengan wajah keibuan.

"Iya Bu, terima kasih." Amira menjawab sambil menggosokkan kedua tangannya dia merasa kedinginan. Dia mengamati ruangan yang terlihat ramai, dia ingin tahu letak AC berada karena dia merasa kedinginan.

Amira menatap lurus ke sebelah kirinya, pantas saja dia kedinginan AC berada segaris lurus dengan posisi duduknya.

"Kamu bisa pakai ini," kata Nirmala menaruh jaket yang berukuran besar di bahu Amira.

"Terima kasih," kata Amira membenarkan posisi.

"Kamu gak minat pindah?" tanya Nirmala menghadap ke belakang, karena dia duduk di depan Amira.

"Masih satu tahun kontrakannya jadi rugi kalau ditinggalkan." Nirmala mengangguk.

"Kamu coba tawarkan, kamu cari kontrakan atau kos di dekat sekolah. Kamu kan gak bisa mengendarai motor atau mobil jadi bakal sulit transportasinya saat berangkat, apa lagi kalau hujan." Amira menatap ke arah Nirmala kemudian dia tersenyum tipis. Dia baru mengenal Nirmala sekitar tiga bulan. Itu pun dia tidak pernah menghabiskan banyak waktu dengan salah satu guru ketrampilan itu, namun guru yang baik hati itu selalu care terhadap dirinya hingga membuat dia terharu. Karena selama ini dia tidak pernah mendapat teman yang begitu tulus.

"Terima kasih," kata Amira depan dan tersenyum.

"Udah jaket itu kamu pakai aja, kamu bisa balikin kapan aja. Aku mau ngoreksi desain anak-anak." Amira mengangguk kemudian dia mengamati jaket yang dia gunakan untuk menyelimuti bahunya. Jaket berwarna coklat kemerahan yang tebal, berbahan halus dan memang benar-benar menjamin kehangatan walau terasa berat. Ukuran jaket ini sangat besar dan panjang, tidak mungkin bukan jika ini ukuran jaket Nirmala.

Dia meremas kedua tangannya yang ada di pangkuan, dia merasa tak nyaman kemudian dia menghela napas.

"Kenapa?" tanya Tia yang sejak tadi heran dengan ekspresi wajah Amira.

"Tidak Bu," jawab Amira.

"Bu biasa minum kopi atau teh?" tanya Dinan yang sudah berdiri di dekat meja. Amira menoleh heran.

"Bu Mira mau teh atau kopi?" Amira menoleh ke arah Tia yang mengulang pertanyaan Dinan.

"Buat apa ya Bu?" tanya Amira sedikit heran.

"Diminum." Tia menjawab sambil terkekeh.

"Saya kopi susu ya pak Dinan, Bu Mira?"

"Teh." Amira menjawab dengan pelan.

"Baiklah dicatat ya," kata Dinan dengan datar.

"Kok pak Dinan yang keliling?" tanya Tia yang dijawab Dinan dengan senyum ramah.

"Pak Agus sepertinya masuk angin, jadi saya yang waktunya luang mengganti," kata Dinan dengan sopan. Tia mengangguk kemudian Dinan berpamitan.

"Merasa asing ya, sabar nanti juga terbiasa." Tia menyentuh tangan Amira.

"Tangan kamu dingin sekali," kata Tia yang menghilangkan nada formilnya karena terkejut menyentuh tangan Amira. Amira menatap tangannya kemudian menatap wajah Tia kemudian tersenyum tipis.

"Gak papa Bu, hanya kedinginan." Dinan yang berdiri di meja belakang Amira kembali mendekat.

"Ini ada minyak kalau untuk menghangatkan," kata Dinan memberikan minyak kayu putih kepada Amira. Amira menerima dengan canggung, kemudian mengucapkan terima kasih.

•••

Amira duduk di depan ruang ketrampilan, hari ini dia sedang mendapat tamu bulanan jadi dia merasa tak nyaman dan emosinya pun sulit dikendalikan. Dia menatap jaket yang dia lipat di pahanya, jaket yang dipinjamkan Nirmala tadi pagi. Dia menghela napas kemudian berdiri, dia melangkah untuk ke gerbang belakang.

Amira berniat untuk pulang, karena lingkungan sekolah sudah nampak sepi.

"Pulang Bu," sapa pak Rahmat, penjaga sekolah.

"Iya pak, mari!" Amira membungkuk sejenak kemudian kembali berjalan. Dia berjalan dengan pelan, dia ingin menikmati setiap langkah kakinya, dia menunduk sesekali memandang ke depan.

"Perlu teman?" Amira menoleh ke samping kemudian dia berhenti. Dia heran menatap wajah sosok lelaki di depannya. Dia menoleh ke sekeliling takut jika dia salah sangka.

"Kamu mengajak berbicara saya?" tanya Amira sedikit heran.

"Iya, memang selain kamu ada yang lain lagi." Amira menggeleng sambil di hati dia berkata bahwa lelaki di depannya itu ramah.

"Saya Fatih," kata lelaki di depan Amira sambil mengulurkan tangannya.

"Amira," jawab Amira dengan pelan. Kemudian dia kembali berjalan diikuti oleh Fatih.

"Aku sering melihatmu duduk di halte," kata Fatih memulai pembicaraan.

"Benarkah? Kamu bukan penguntit kan?" Amira bertanya sambil menatap wajah Fatih curiga. Fatih nampak salah tingkah dengan menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal.

"Aku tidak menguntit hanya menandai," kata Fatih sedikit canggung. Amira terkekeh pelan.

"Apa yang ditandai," kata Amira dengan santai.

"Cewek calon ibu yang baik dan cantik." Amira menoleh dengan cepat.

"Sepertinya kamu perlu mengevaluasi ucapan kamu." Amira berjalan lebih cepat meninggalkan Fatih yang terdiam di tempat.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!