"Selamat Siang, benar ini rumah Nyonya Arumi?" tanya lelaki yang berseragam Polisi, di depan rumah Arumi.
"Benar, Pak, ada apa ya?" tanya Arumi dengan wajah yang terheran, baru pertama kali ini ada petugas kepolisian yang ingin bertemu dengannya.
"Kami dari kantor kepolisian, membawa surat penangkapan atas nama Nyonya Arumi Wijayanti, bisakah kami bertemu dengan beliau?" tanya Polisi itu sambil menyerahkan surat penangkapan.
"Maaf, saya adalah Arumi Wijayanti, atas dasar tuntutan apa ya, Pak?kenapa saya di bawa ke Kantor Polisi?" kata Arumi dengan nada terkejut, tapi dibuat setenang mungkin, walau dia sekarang hanya seorang Ibu Rumah Tangga, tak berarti ilmu yang dia pelajari dulu semasa bangku kuliah hilang begitu saja. Arumi meras tidak bersalah, jadi dia meras tenang dan tidak menunjukkan perlawanan.
"Lebih baik nyonya ikut kami ke Kantor Polisi agar lebih jelasnya lagi," ucap petugas kepolisian itu seakan tidak ingin Arumi mengulur waktu.
"Tapi sebelumnya boleh saya menghubungi suami dan pengacara saya?" pinta Arumi. Dia ingin sekali mendapat dukungan dari sang suami dan juga dari pengacara keluarganya.
"Maaf, itu bisa nyonya lakukan nanti di Kantor Kepolisian, yang terpenting nyonya Ikut kami terlebih dahulu," tutur Polisi itu lagi dengan nada sedikit menekan. Arumi dengan terpaksa mengikuti kedua polisi itu ke kantor polisi, dia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Sesampainya di kantor Polisi, alangkah terkejutnya, Arumi melihat Yoga--suaminya duduk di kursi berhadapan dengan seorang Polisi yang bertugas mencatat pengaduan lewat Laptop.
"Mas Yoga, mas kok ada disini, ada apa, Mas?" tanya Arumi yang terkejut, melihat suaminya sudah datang duluan.
"Maaf, Nyonya Arumi, silakan ikuti kami ke ruang sebelah dan dengar penjelasan kami," sahut Polisi yang membawa Arumi tadi. Melihat Yoga yang hanya diam tatkala Meila bertanya, semakin membuat Arumi penasaran, diikutinya polisi itu menuju ke salah satu ruangan, yang berbeda dengan tempat Yoga berada.
"Silakan duduk Nyonya," titah Polisi pada Arumi. Arumi dengan patuh mengikuti instruksi sang polisi.
"Maaf ... Nyonya, kami mendapat pengaduan bahwa anda menggelapkan uang perusahaan Arkana Group, dimana Anda menduduki posisi Presiden Direktur sebelum Tuan Yoga. Apakah benar Anda sebelum Tuan Yoga, menjabat sebagai Presiden Direktur?" selidik Polisi memberi pertanyaan pada Arumi.
"Benar, Pak. Saya yang memimpin Perusahaan Arkana Group sebelum Tuan Yoga, karena Perusahaan itu milik ayah saya, yang sekarang sudah meninggal. Tapi Maaf siapa yang sudah melaporkan pengaduan ini, Pak? dan kenapa Saya tidak boleh didampingi pengacara Saya?" tanya Arumi dengan wajah yang serius. Dia bingung mengapa dirinya sampai mendapat surat penangkapan atas suatu tindak kejahatan.
"Maaf Nyonya, yang membuat laporan ini adalah Tuan Yoga Ardana," jawab Polisi itu.
Duaarrrr ....
Arumi sangat terkejut dengan kata-kata Polisi itu, tak disangkanya yang melaporkan pengaduan adalah suaminya sendiri.
"Apa, Pak? Saya tidak salah dengar?" pekik Arumi dengan nada yang agak tinggi karena terkejut, dia tidak menyangka jika Yoga yang membuat laporan pengaduan itu.
"Maaf, Nyonya, kami hanya menindak lanjuti laporan pengaduan pihak pelapor saja, selebihnya itu bukan hak kami untuk lebih tahu secara mendetail, kami harap Nyonya mau bekerja sama dengan kami, agar lancar semua proses penyidikan." sahut Polisi itu yang diketahui bernama Bramastiyo, biasa di panggil Bram.
"Kalau begitu bolehkah saya menghubungi pengacara keluarga Saya, Pak?" tanya Arumi lagi.
"Silakan, Nyonya. Kami beri waktu, kami juga menyediakan tim pengacara buat Nyonya jika Nyonya membutuhkannya."
jawab Bram.
"Terima Kasih Pak, " jawab Arumi dengan napas lega. Segera dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Pak Sasongko, seorang lawyer keluarga Arumi sejak ayah Arumi-- Tuan Adhi Wijaya hidup. Lama Arumi menekan nomer Pak Sasongko, tapi sambungan sibuk ,tidak bisa dihubungi. Pikiran Arumi menjadi kalut, pikirannya benar -benar kacau, pengacara handal milik keluarganya tidak bisa dihubungi.
"Bagaimana Nyonya, bisa kami bantu?" tanya Bram. Melihat Arumi kebingungan, diapun menawarkan bantuan.
"Mmm ... begini, Pak. Pengacara keluarga saya tidak bisa dihubungi, bisa saya minta bantuan, memakai jasa tim pengacara dari kepolisian?" tanya Arumi lagi.
"Baik Nyonya, akan kami usahakan, silakan anda menunggu di sini,"
"Boleh Saya pergi ke Toilet, Pak?" tanya Arumi.
"Silakan, di dari sini ke kanan lalu lurus, ada tulisan toilet," jawab Bram, menunjukkan posisi letak toilet.
"Terima kasih Pak," Segera Arumi keluar dari ruangan pemeriksaan, niatnya dia mau menemui Yoga, suaminya. Arumi mempercepat langkahnya menuju tempat dia bertemu dengan Yoga tadi.
"Mas, Yoga ... tunggu ...!" teriak Arumi yang melihat Yoga hendak keluar dari Kantor kepolisian. Yoga yang mendengar teriakan Arumi, hanya diam berlalu, tak digubrisnya teriakan istrinya itu.
"Mas ... Mas Yoga ... tunggu ...," teriak Arumi lagi dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
Yoga yang tidak enak dilihat oleh para petugas kepolisian yang lewat pun, terpaksa menghentikan langkahnya, dia melepas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya yang mancung, tapi tidak menengok ke arah Arumi, tatapannya angkuh lurus ke depan.
" Mas ... Mas Yoga ... Mas tolong, apa maksud semua ini? beri tahu Arumi, Mas ...!" seru Arumi dengan nafas ngos-ngosan.
"Maaf, silakan Anda menanyakan semua pada pengacara Saya," jawab Yoga angkuh. Arumi yang mendengar jawaban Yoga semakin terkejut, ada apa dengan suaminya itu, kemarin dia masih bersikap manis dan romantis, sedangkan hari ini seperti orang asing yang tidak saling kenal.
"Mas ... ini Aku Arumi Mas, istrimu ... tolong Mas, jangan begitu ... salah apa aku Mas, tolong beritahu biar aku memperbaiki diri lagi Mas, aku sudah mengikuti semua maumu dan Aku sudah mematuhi semua perintahmu, kurang apa aku, Mas? hingga kamu begitu tega padaku?" ucap Arumi yang mulai tak bisa membendung air matanya yang jatuh, walau demikian Yoga sama sekali tidak bergeming.
"Jemput sekarang, bodoh!" pekik Yoga di ponselnya, dia tak mendengarkan perkataan Arumi, tapi sibuk menelpon seseorang yang ternyata adalah supirnya, karena tak lama kemudian datang mobil hitam mewah menghampiri Yoga.
Melihat Yoga yang hendak memasuki mobil, Arumi segera menghapus air matanya dan berupaya menghentikan Yoga. Baru pertama Arumi lihat, dan alangkah terkejutnya di dalam mobil itu duduk seorang wanita cantik yang sepertinya dia kenal, tapi beda penampilan.
" Mas ... Mas ... tunggu, Mas..." teriak Arumi lagi, tapi tak digubris Yoga. Sementara wanita yang ada di dalam mobil tersebut tersenyum penuh kemenangan, Arumi yang menatap wanita itu pun menjadi ingat dengan senyumannya, dia adalah Gisel--- teman kuliah Arumi.
Arumi semakin tak mengerti, shock, marah, kecewa dan bingung menjadi satu dia pun hanya bisa berdiri terpaku berurai air mata. Siapa lagi yang akan menolongnya, dia sudah tak memiliki siapapun, ibunya meninggal karena sakit liver. Setelah ibunya tak berapa lama ayahnya Tuan Alex menyusul meninggal dunia.
Arumi adalah anak semata wayang, tak memiliki saudara lagi. Kedua orangtuanya tidak memberitahu apakah dia memilik keluarga lain, karena selama ini, kedua orang tuanya tidak pernah mengajaknya mengikuti acara keluarga besar seperti teman-teman yang lain. Pak Sasongko satu- satunya orang yang bisa membantu dan Arumi anggap sebagai pamannya itu tidak bisa dihubungi.
"Maaf, Nyonya ... ternyata Anda di sini, kami sudah mencari Nyonya sedari tadi, silakan Nyonya mengikuti kami. Mohon kerjasamanya, dan berhubung anda sudah secara sengaja keluar, maka kami akan menangkap anda." Bram pun memborgol kedua tangan Arumi, yang masih berdiri seperti patung, pandangannya kosong, hanya air matanya yang sedari tadi jatuh bercucuran.
"Mari, Nyonya." Bram pun membawa Arumi masuk kembali ke kantor polisi, dengan borgol di tangannya. Arumi hanya diam pasrah, tak ada jawaban dari mulutnya saat Polisi mencecarnya dengan pertanyaan tentang penggelapan uang yang di lakukannya.
Arumi seperti mayat hidup tatkala, Polisi wanita membawanya ke sel tahanan. Mulai hari ini Arumi menjadi penghuni Sel tahanan Polisi sampai sidang kasusnya di gelar di Pengadilan Negeri. Arumi tak punya harapan lagi, sambil mengelus perutnya yang masih rata, dia hanya di dampingi oleh pengacara dari tim Kepolisian.
Arumi di dampingi pengacara dari Kepolisian, hanya bisa pasrah karena tak mampu melawan, semua bukti yang terkumpul mengarah pada Arumi. Bukti - bukti itu jelas menunjukkan bahwa Arumi benar- benar menggunakan uang perusahaan secara berlebihan untuk kepentingan pribadi.
Apa yang dilakukan Arumi menyebabkan perusahaan diambang kebangkrutan. Banyaknya penarikan secara tunai yang semua itu atas persetujuan Arumi, karena di sana ada tanda tangan kuasa Arumi.
Arumi yang duduk di kursi terdakwa, pasrah mengikuti jalannya pengadilan, sampai dia di vonis penjara selama tiga tahun. Selama proses pengadilan berjalan, Arumi mendapati banyak fakta baru yang cukup membuatnya shock. Perusahaan milik ayahnya yakni Tuan Adhi Wijaya sudah sah menjadi milik suaminya yaitu Yoga Ardana.
Arumi semakin frustasi banyak hal yang tidak bisa ia terima dengan mudah. Seperti menghilangnya Pak Sasongko, pegawai ayahnya yang merupakan pengacara dan orang yang paling dipercaya ayahnya untuk mengurusi semua hal yang menyangkut hukum dan perusahaan.
Fakta tentang perusahaan yang kini dikuasai Yoga dan yang paling menyakitkan adalah diterimanya kabar bahwa suaminya kini memiliki keluarga yang sempurna, istri yang cantik dan seorang anak yang berusia 4 tahun.
Selama di dalam tahanan, Arumi menangisi kebodohannya yang begitu percaya pada suaminya. Sementara itu di dalam rumah Yoga diadakan pesta atas keberhasilan Yoga menjadikan perusahaan ayah Arumi menjadi miliknya.
Mereka mabuk-mabukan, sedangkan anak Yoga dititipkan pada neneknya yaitu Ibu Yoga yang ikut andil dalam menjebak Arumi Keluarga besar Yoga memiliki dendam pada keluarga Arumi. Dulu sewaktu Yoga dan Arumi masih kecil, keluarga Yoga lebih kaya dan sukses dibanding dengan Arumi Setelah ayah Arumi mendirikan perusahaan sendiri, perusahaan Papa Yoga mulai tersaingi.
Harga jual yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik membuat perusahaan ayah Arumi mengalami peningkatan, dan perusahaan ayah Yoga mulai bangkrut yang mengakibatkan ayah Yoga mengalami serangan jantung.
Hal itulah yang membuat Mama Yoga menjadikan anaknya untuk membalaskan sakit hatinya karena pikir Mama Yoga, merekalah yang bertanggung jawab atas kematian suaminya. Padahal apa yang terjadi pada ayah Yoga, murni karena penyakit bawaan yang sudah lama dia idap, tapi tidak berani memberitahukan pada istrinya.
Yoga sangat membenci Arumi karena menurutnya dialah yang menyebabkan Papanya meninggal dunia, dan karena Arumi pula dia terpaksa menerima perjodohan yang mamanya rencanakan dan terpaksa berpisah pula dengan cinta pertamanya. Yoga mengenang awal perjodohan dulu.
"Mah, apa tidak ada cara lain untuk bisa membalas dendam kematian Papa?" tanya Yoga pada Mamanya.
"Tidak ada Yoga, hanya itu cara untuk menghancurkan keluarga Adhi Wijaya, kamu harus bisa menguasai semua perusahaan mereka dengan jalan menikahi satu- satunya putri Tuan Adhi Wijaya," sahut Mama Yoga yang bernama Nyonya Nike.
"**** ... bagaimana hubunganku dengan Gisel Mah? kasihan dia. Yoga sangat mencintai Gisel, karena Gisel adalah cinta pertama Yoga," tolak Yoga Lagi, berusaha agar mamanya tidak melanjutkan ide perjodohan ini.
"Yoga! demi keluarga kamu harus rela berkorban, jika Gisel benar-benar mencintaimu maka dia harus mau menunggumu sampai kamu berhasil menguasai harta mereka!" hentak Nyonya Nike.
"Baiklah Ma ... Yoga akan membicarakan semua dengan Gisel terlebih dahulu," pasrah Yoga yang berfikir dia tidak akan bisa menang dari Mamanya itu.
Yoga berlalu dari hadapan mamanya, dia mengambil kunci motornya menuju rumah Gisel. Setelah menempuh perjalanan 20 menit, Yoga sampai di rumah Gisel.
"Sore Tante, Gisel ada? sapa Yoga pada Mama Gisel-- Tante Rani.
"Oh ada Ga, masuk aja dia ada di taman belakang kok. Kamu masuk terus ke dapur, nah ada pintu kamu buka aja ya, itu pintu menuju taman belakang." Tante Rani menunjukkan arah pada Yoga.
Yoga menuju ke arah yang ditunjuk oleh Rani.
"Sayang, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Yoga yang baru saja sampai di kebun belakang rumah Gisel.
Gisel yang mendengar seseorang berbicara di belakangnya, dia pun menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya dia saat melihat Yoga yang datang. Gisel pun tersenyum senang melihat kekasihnya datang menemuinya.
"Mas Yoga? Maaf Mas, aku tidak mendengar suara mobilmu datang," jawab Gisel sambil tersenyum manis pada Yoga. Yoga menatap lembut Gisel, baginya tidak ada yang bisa menggantikan Gisel dihatinya. Gisel masih menatap Yoga dengan tatapan keheranan, menunggu jawaban Yoga.
"Sengaja Mas datang ke sini karena ada yang ingin Mas bicarakan, ini menyangkut hubungan kita. Tapi bisakah kita mencari tempat yang tepat?" tanya Yoga serius.
Gisel menatap nyalang Yoga, tak biasanya kekasihnya itu berbicara seserius ini, pasti apa yang akan dia bicarakan pasti sangatlah penting.
"Baiklah Mas, kita bicara di kafe tempat biasa kita nongkrong," jawab Gisel. Yoga tersenyum dengan jawaban Gisel. Gisel mengajak Yoga masuk untuk menunggunya berganti pakaian terlebih dulu, Yoga duduk di sofa ruang tamu sambil mengutak-atik ponselnya. Dia berbalas pesan dengan Arumi. Yoga memang pintar dalam berakting, tak sedikitpun Arumi curiga dengannya.
"Mas, malam ini Papa ingin bertemu denganmu!" kata Arumi
"Ada masalah apa Arumi?" tanya Yoga dengan tatapan serius ke arah Arumi.
"Arumi tidak tahu, Papa hanya bilang tuk mengundangmu nanti saat makan malam."
"Baiklah, Arumi. Mas nanti ke sana."
"Okey, nanti kusampaikan pada Papa. See you next time, Mas!"
Memang jika cinta sudah bicara maka sepandai apapun wanita, tak akan bisa melihat kebenaran yang ada.
"Mas, Aku sudah siap. Ayo kita berangkat." Gisel tersenyum pada Yoga. Yoga terpana melihat kecantikan kekasihnya itu, dia berjanji dalam hatinya bahwa dia akan selalu membahagiakan kekasihnya dengan jalan apapun.
"Mari sayang, Kamu sungguh cantik," puji Yoga pada Gisel. Dengan bergandengan tangan mereka memasuki mobil Yoga. Sepanjang jalan mereka bercanda dan saling memuji. Suasana romantis yang disajikan pemilik kafe membuat para pengunjung merasa betah dan rileks.
"Ada yang ingin Aku sampaikan, Sayang. Ini pasti akan membuatmu marah dan bahkan benci padaku," ucap Yoga membuka percakapan saat mereka sudah duduk di bangku yang mereka pesan sebelumnya.
"Ada apa, Mas?" Gisel bertanya pada Yoga dengan nada penasaran. Dia sudah merasa pasti ada yang tidak beres.
"Begini Sayang, Mamaku menjodohkanku dengan Arumi sahabatmu. Tapi jangan salah paham dulu sayang, aku menerima perjodohan ini semata-mata untuk membalas dendam pada keluarga Arumi. Ayah Arumi yang membuat perusahaan Papa bangkrut dan Papa meninggal dunia karena serangan jantung ...." Yoga memotong ucapan Gisel, dia menyeka air mata yang mulai mengembun. Yoga sangat menyayangi sang ayah, yang menurutnya sosok ayah yang paling baik.
"Apa? Mas dijodohkan dengan Arumi dan Mas menerima begitu saja, hah!" Gisel mengeraskan suaranya karena hatinya tidak rela jika Yoga menjadi milik orang lain.
"Gisel tunggu ...." teriak Yoga mencegah Gisel untuk pergi dari dekatnya.
"Gisel tunggu, Sayang." Yoga mencekal lengan Gisel yang hendak kabur darinya. Yoga lantas menjelaskan semua rencananya secara terperinci pada Gisel.
"Baiklah, Mas, asal kau berjanji setelah menyingkirkan Arumi, kau segera meresmikan pernikahan kita sah secara hukum dan agama.
"Tentu sayang, sungguh Aku sangat mencintaimu. Mas berjanji begitu Aku menceraikan Arumi dan menguasai seluruh hartanya maka pernikahan kita Mas legalkan secara hukum." Yoga memeluk Gisel, dia merasa senang karena Gisel akhirnya mau mengerti dan mau menerima menjadi istri pertamanya yang sah secara agama.
Setelah menghabiskan waktu bersama Gisel, Yoga bersiap memenuhi undangan Papa Arumi malam harinya untuk dinner bersama keluarga Arumi
"Nak Yoga, bagaimana apakah Kamu setuju jika pernikahan ini dipercepat? Kami sudah ingin menimang cucu," ucap Tuan Alan sembari menyesap teh herbal buatan istrinya. Tuan Alan memiliki penyakit diabetes melitus sehingga harus mengkonsumsi minuman tanpa gula.
Yoga menatap Arumi yang tertunduk malu, Yoga sangat membenci perempuan yang ada di samping Tuan Alan itu. Demi menuntaskan dendamnya dia harus berakting.
"Saya ikut apa kata Om Alan saja, bagaimana enaknya. Mama juga sudah menyetujui dan menyerahkan semua pada saya dan Arumi." Yoga menjawab dengan nafas yang berat. Bayang-bayang Gisel menangis masih hangat di pikirannya.
"Baiklah, semua akan kami persiapkan. Kau dan Arumi tinggal tahu beres saja," ucap Tuan Alan Papa Arumi dengan senyum yang merekah. Begitu pun dengan Arumi dia sangat bahagia akan segera menikah dengan lelaki pujaannya.
"Mas ... Kamu memikirkan Arumi?" tegur Gisel sembari menepuk pundak Yoga yang sedang melamun. Yoga tersenyum melihat Gisel yang cemburu. "Cemburu nih?" goda Yoga. Gisel dengan wajah cemberut meninggalkan Yoga. "Loh kok Mas ditinggal? Gisel ... Sayang jangan marah dong, Mas hanya goda dikit aja dah ngambek. Gak seru, ih! istri Mas satu-satunya ya kamu ini!" Yoga membuntuti Gisel dari belakang.
"Mas, jelas Aku cemburu. Sampai sekarang Aku belum Kau nikahi secara hukum!" rajuk Gisel. "Kan Mas, baru urus di KUA sayang. Sebentar lagi pasti keluar surat nikah kita." bujuk Yoga.
"Benarkah? Apa mas tidak bohong?" ragu Gisel.
"Tidak, karena Mas sudah mendapatkan tanda tangan Arumi untuk mengijinkan Mas menikhah lagi dan juga Mas mendapatkan tanda tangannya untuk semua pengalihan aset perusahaan dan rumah atas nama Mas," sombong Yoga.
"Wow, Mas hebat sekali ... Bagaimana bisa Mas mendapatkan tanda tangan Arumi tanpa dicurigai?" tanya Gisel lagi.
"Mudah dong, Mas bilang aja tanda tangan kerja sama dengan perusahaan lain hahaha ...." Yoga tertawa senang, dia begitu mudah membodohi Arumi yang lugu itu.
"Jadi sekarang kita adalah pemilik dari perusahaan raksasa itu Mas? Wow ... cubit Aku Mas!" Gisel sangat senang karena semua milik sahabatnya itu kini menjadi miliknya. Tidak sia-sia pengorbanannya selama ini.
"Aduh! Mas Sakit ...." Gisel memegangi hidungnya yang dicubit Yoga.
"Tadi katanya minta dicubit, sekarang marah?" Yoga merajuk, dia menghempaskan diri di ranjangnya. Pesta yang dia adakan hari ini sungguh membuatnya lelah dan sedikit mabuk. Gisel paham jika suaminya itu sedang merajuk, dengan perlahan Gisel membuka bajunya hingga tersisa dalaman yang melindungi dua aset berharganya.
Dengan genitnya dia merangkak menaiki tubuh Yoga yang terlentang. Sentuhan sensual Gisel berikan dengan lembut ke seluruh tubuh Yoga. Yoga yang mendapat serangan dari Gisel pun akhirnya roboh juga benteng pertahanannya. Dengan sigap Yoga membalikkan posisi, sekarang dia berada di atas tubuh Gisel.
"Ah, Emph ...." Gisel mendesah pelan tatkala bibir Yoga menyapu habis dua benda kenyal miliknya. Tubuh Gisel seolah candu bagi Yoga. Mereka pun mendesah dan mengerang bersama tanpa ada lagi yang mengganggu sebab terkadang disaat mereka sedang beradu peluh, Arumi menelpon Yoga untuk segera pulang.
"Come On Baby ... more faster!" racau Gisel berada di bawah kungkungan Yoga. Yoga semakin bersemangat seolah tidak ada beban lagi dalam hidupnya, dendamnya sudah terbalas dan sekarang dia bebas mau kapanpun bercinta dengan Gisel.
Sementara itu dibalik jeruji besi, Arumi duduk sambil memeluk kakinya. Tak hentinya air mata membasahi pipinya yang putih tapi tidak terawat. Hari-hari Arumi lalui dengan mengurus segala keperluan Yoga. Layaknya pembantu yang melayani majikannnya. Semua dari memakai sepatu saja, Arumi yang memakaikan. Mandi pun Arumi yang menyiapkan air hangat dan peralatan mandinya. Untuk baju pun semua Arumi yang siapkan.
Arumi terpaku menghadapi kenyataan yang dia hadapi saat ini. Dengan mata yang cekung dan membengkak Arumi dan tubuh yang sakit semua dia menjalani hari-harinya di dalam jeruji penjara. Dia bersumpah akan membalaskan sakit hati pada Yoga suaminya. Lelaki yang dulu dia puja ternyata lelaki yang paling brengsek.
"Aduh, perutku sakit ...." rintih Arumi. Dia memeluk perutnya dengan kedua tangannya. Dia pun berteriak, "Tolong ... Tolooong ... sakit!" Arumi mendekap tubuhnya karena bagian perut bawahnya seperti ditusuk -tusuk.
Mendengar teriakan Arumi para penjaga pun berdatangan dan menolong Arumi. Mereka membawa Arumi menuju klinik yang ada di dalam penjara. Dokter pun memeriksa keadaan Arumi yang masih meremas perutnya yang sakit.
"Tolong Nyonya, tolong kerja samanya ...." dokter meminta Arumi membuka baju atasnya untuk diperiksa.
"Sepertinya Nyonya mengalami kram perut, Saya curiga ada janin yang tumbuh di rahim Nyonya," ucap dokter itu sembari memeriksa denyut nadi Arumi.
Arumi tidak bisa mencerna apa yang dokter ucapkan karena dia masih merasakan sakit yang luar biasa.
"Anda saya rujuk ke rumah Sakit, nyonya, agar mendapatkan penanganan yang tepat. Sipir tolong antar Nyonya Arumi ke Rumah Sakit terdekat. Sipir wanita itupun dengan sigap menaikkan Arumi ke kursi roda untuk dibawa ke Rumah Sakit terekat dengan menggunakan ambulans.
Perjalanan dari penjara menuju rumah sakit hanya membutuhkan waktu dua puluh menit saja. Arumi segera dibawa masuk ke dalam IGD untuk mendapatkan penanganan.
Dokter pun memeriksa dengan teliti keadaan Arumi. "Nyonya maaf, anda harus segera di operasi untuk mengambil janin Anda yang sudah meninggal di dalam. Sepertinya ini sudah beberapa hari tidak diketahui akhirnya membuat infeksi rahim nyonya. Agar nyawa anda terselamatkan kita harus segera mengambil janin Anda, Nyonya," jelas dokter yang menangani Arumi.
Arumi terkejut dengan apa yang di sampaikan dokter IGD, dia pun berkata,"Lakukan saja dokter, Saya sudah ikhlas." Arumi menatap lemas ke arah dokter lelaki yang bertugas menanganinya. Setelah mendapat persetujuan dan tanda tangan Arumi untuk melakukan operasi, dokter tersebut pun bekerja sama dengan dokter spesialis lainnya segera melakukan operasi pada Arumi
"Maafkan mama nak, belum sempat mama memelukmu ternyata Tuhan berkehendak lain. Dia mengambilmu kembali dari rahim mama," gumam Arumi melemah seiring dengan hilangnya kesadaran karena pengaruh obat bius.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!